Dini tersenyum menatap bangunan sederhana yang akan menjadi tempat tinggalnya selama ia mendapatkan tugas di daerah itu.
Ia melangkahkan kakinya mendekati pintu bercat putih yang sepertinya baru di perbarui karena masih tercium aroma cat.
Dini membuka pintu itu dan masuk ke dalam, ia memindai ruang tamu yang tidak besar, hanya ada kursi bambu dan juga meja yang juga terbuat dari bambu, ia masuk ke dalam kamar yang berada di samping ruang tamu itu.
Cukup nyaman meskipun ranjangnya menggunakan ranjang usang dan kasur kapuk yang sudah tidak empuk. Ia membuka jendela dan menghirup udara yang masih terlihat asri. Di sebelah kamar nya terdapat kebun kopi milik warga kampung.
Tempat tinggalnya berada di tengah kebun kopi yang bertetangga dengan 4 orang rumah lainnya.
Mayoritas warga di kampung di desa Kenanga ini memang merupakan petani kopi. Desa ini berada di puncak bukit sehingga udara nya masih terlihat sejuk dan dingin.
Dini membuka lemari kayu dan menata pakaian nya yang ia bawa ke dalam lemari itu. setelah itu Dini bersiap untuk menuju ke rumah warga yang menjadi tetangganya untuk berkenalan. Kebetulan ia membawa beberapa makanan khas dari daerahnya yang sengaja akan ia bagikan pada tetangganya.
"Permisi!" Dini mengetuk salah satu rumah yang berada tepan di sebelahnya.
"Iya!" seorang wanita berumur 30 an membuka kan pintu.
"Mbak kenalkan, saya Dini. Dokter baru yang bertugas di Pustu Kenanga!" Dini mengulurkan tangannya mengenalkan dirinya.
Wanita itu menyambut ramah sapaan Dini. Ia membalas uluran tangan Dini dan membawa Dini agar masuk ke dalam rumah nya.
Wanita itu bernama Rita, ia merupakan warga asli yang memiliki seorang suami dan 2 orang anak berusia 6 dan 3 tahun.
Mereka mengobrol selama kurang lebih satu jam, beberapa warga juga ikut menimbrung di rumah Rita hingga Dini tidak perlu mendatangi rumah mereka satu persatu.
.
Malam harinya sekitar pukul 7 malam, Dini bersiap menuju ke Pustu yang jaraknya sekitar 100 meter dari tempat tinggalnya. Ia menuju ke Pustu tersebut dengan berjalan kaki karena memang dekat.
Dini merasakan kampung Kenanga ini lumayan terang meskipun sepi. PLN sudah mulai masuk ke kampung ini namun penduduk nya masih terbilang sepi.
Saat musim panen kopi tiba biasanya kampung ini menjadi ramai karena mereka yang berada di luar kampung akan datang untuk memanen kopi di kebun mereka, setelah musim panen selesai mereka akan kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing.
Sesampainya di Pustu Dini sudah melihat seorang bidan bernama Kanaya yang sudah datang.
"Sudah dari tadi Nay?" tanya Dini dan meletakkan tas diatas meja.
"Baru aja over sip sama dokter Rinto kak." jawab Kanaya.
Dini mengangguk dan mulai mempersiapkan keperluan yang perlu di siapkan.
Ada atau tidak adanya pasien malam ini, semua keperluan alat medis harus di persiapkan.
Saat sedang mengeluarkan beberapa alat medis dari dalam tempat sterilisasi, mereka mendengar ada andong yang berhenti di depan Pustu.
Mereka berdua keluar dan melihat ada seorang pasien hamil yang sepertinya akan melahirkan.
"Kanaya, ambil kursi roda." Titah Dini.
"Baik kak!" Kanaya sigap mengambil kursi roda lalu membawanya ke hadapan andong.
Pasien wanita yang memakai pakaian khas kerajaan itu merintih kesakitan sambil memegangi perutnya.
Ada 3 orang lainnya yang mengantarkan pasien tersebut, mereka semua memakai pakaian seperti pada jaman kerajaan.
Dini dan Kanaya tak banyak bertanya dan langsung membawa pasiennya menuju ke ruang bersalin.
Saat sedang mempersiapkan keperluan untuk bersalin. Dini melihat ekspresi kedua orang yang mengantarkan pasien wanita itu yang diam tak mengatakan apapun. Tak ada raut cemas atau bahagia karena akan menyambut kelahiran bayi.
Tak mau ambil pusing Dini langsung kembali ke ruang bersalin disana Kanaya sudah membimbing pasiennya untuk mengejan karena pembukaan sudah lengkap.
Setelah beberapa saat kemudian, bayi itu telah lahir.
Dini dan Kanaya melihat keanehan pada pasiennya karena pasien itu memakan kembang setaman yang di bawakan oleh ibu mertuanya. Sementara pria yang menjadi suaminya menimang bayi mereka tanpa ekspresi, ekspresi mereka bertiga sama-sama datar dan tidak menandakan adanya raut bahagia karena bayi mereka telah lahir.
Karena lelah telah membantu pasien melahirkan Dini dan Kanaya memutuskan untuk tidur karena hari sudah menunjukan pukul 1 dini hari.
"Mas, kami ada di ruangan sebelah sana ya. nanti kalo butuh apa-apa ketuk aja pintunya." kata Dini. Ia harus izin karena tidak ingin keluarga pasiennya mencarinya saat nanti mereka membutuhkan Dini dan Kanaya.
Pria itu mengalihkan atensinya pada Kanaya dan Dini lalu memberikan beberapa lembar uang pada mereka berdua.
"Terimakasih karena sudah membantu persalinan istri saya dengan selamat. Ini uang untuk membayar tenaga kalian. Kami akan pulang malam ini juga." kata pria itu dengan nada datar dan ekspresi yang juga datar.
Dini dan Kanaya merasa heran melihat mereka bertiga pergi dari ruang perawatan, pasiennya yang baru melahirkan juga tidak ada ekspresi kesakitan seperti wanita yang baru melahirkan pada umumnya.
Karena merasa heran mereka berdua hanya terdiam melihat pasiennya pergi setelah melahirkan sebelum melalui fase observasi selama 2 jam pasca melahirkan. Saat pasiennya telah menaiki andong, barulah Dini dan Kanaya tersadar kembali dan mereka berlari mengejar andong yang sudah berjalan.
Dan saat sampai di kegelapan malam, Andong tersebut menghilang seperti di telan kegelapan.
Tiba-tiba angin berhembus meniup wajah mereka hingga rambut mereka berterbangan dan membuat bulu kuduk mereka merinding.
"Mereka itu manusia kan kak?" tanya Kanaya yang ketakutan.
Dini masih menatap ke jalanan tempat andong itu pergi dan menggendik kan bahunya.
"Entah, kalo emang manusia Alhamdulillah. Kalo demit ya mudah-mudahan nggak ganggu kita, kita kan niatnya baik, bantu persalinan wanita itu. Sudah tidak perlu di ambil pusing sebaiknya kita masuk ke dalam.
Mereka berdua masuk ke dalam Pustu dan menempati ruangan khusus petugas medis beristirahat.
Mereka berdua tidur di lantai dengan menggunakan kasur lantai yang telah di sediakan.
Dini mengeluarkan uang pemberian suami wanita tadi dari dalam kantong almamaternya dan terkejut melihat uang uang itu berubah menjadi daun kering.
"Astaghfirullah, Kanaya. Kamu liat kan tadi pria itu memberikan kita uang asli berwarna merah?" tanya Dini tak percaya.
"Liat kok kak, gimana ceritanya bisa jadi daun?" tanya Rita penasaran.
"Entahlah, yang jelan pasien tadi memang agak misterius banget." Kata Dini dah membuang daun itu ke tempat sampaih.
"Sudah lah nay, sebaiknya kita tidur lagi aja ya. Kamu ngantuk kan pastinya. besok kita bahas tanya sama pak RT masalah ini.
Keesokan paginya Kanaya dan Dini sudah bersiap untuk kembali ke rumah mereka. Dokter dan seorang perawat yang akan menggantikan tugas mereka sudah datang.
"Gimana semalam shif pertamanya dok?" tanya Lusi perawat wanita yang memakai seragam putih-putih.
"Hhh, ya begitulah. Ada kejadian aneh semalam. benar-benar di luar nalar." kata Dini.
"Hahaha! Pustu ini memang sedikit unik dok, aku sudah khatam dengan gangguan yang terjadi.' Lusi tertawa mendengar perkataan Dini.
"Bukan dari Pustu ini, tapi semalam aku dan Kanaya mendapatkan pasien dari alam ghaib." ujar Dini lagi.
Lusi yang sedang menyisir rambut menghentikan kegiatannya dan duduk di depan Dini. Dokter Rinto yang merupakan dokter senior juga ikut menimbrung.
"Gimana maksudnya kak?" tanya Lusi penasaran.
Dini lalu menceritakan pengalamannya semalam membantu kelahiran dari pasien alam ghaib. Ia juga menunjukkan beberapa lembar daun kering yang semalam di berikan keluarga pasien tersebut.
"Nih, liat. Semalam suaminya pasien itu kasih uang sebelum pergi. Tapi pas mereka menghilang. uang ini menjadi daun kering." ujar Dini.
Lusi memegang daun kering itu diatas meja dan meneliti nya." impossible!" gumam Lusi pelan.
"Hhhh, tapi itu kenyataannya." kata Dini.
Dini berdiri dari duduknya dan mengambil jedai dari dalam tasnya dan menjepit rambutnya menggunakan jedai.
"Aku pulang dulu ya Lusi, dokter Rinto." kata Dini lalu keluar meninggalkan mereka berdua.
.
Malamnya Dini kembali ke Pustu, malam ini dirinya berjaga seorang diri karena Kanaya mendapatkan jatah libur.
Dini memasuki Pustu yang sudah kosong karena memang petugas jaga sudah kembali, hanya ada penjaga di bagian luar bernama Samsul.
Samsul sudah berpuluh tahun menjadi penjaga Pustu ini.
Malam ini sedikit membuat Dini merinding karena di luar rintik hujan sedang turun. Justru rintik hujan yang seperti ini membuat Dini takut karena orang bilang, kuntilanak akan berkeliaran di cuaca gerimis seperti ini.
Dini menutup pintu Pustu dan duduk di balik meja dengan bermain ponsel. Ketika sedang mendengarkan murotal. Dini di kejutkan dengan kedatangan seorang pria yang memakai kemeja berwarna blue sky yang telah basah dan juga beberapa luka di tubuhnya.
Dini langsung berlari menghampiri Andre dan memapahnya.
"Mas, kenapa bisa kaya gini?" tanya Dini dan membawa Andre keatas brangkar. Dan mengambil perlengkapan untuk mengobati Luka Andre.
"Motor Saya nabrak tiang listrik mbak, nggak keliatan gara-gara kaca helmnya kena air hujan." kata Andre dengan meringis menahan perih di beberapa tubuh nya yang terluka.
"Astaga, terus gimana sama motornya mas? Parah nggak?" kata Dini sambil membersihkan luka Andre menggunakan cairan infus.
Andre tersenyum menatap Dini yang sedang mengobati lukanya. "Kok malah nanyain motor saya sih mbak?" kata Andre sambil mengulum senyumnya.
Mendengar perkataan Andre Dini merasa tidak enak, ia tersenyum getir dan menggaruk tengkuknya.
"Eem, maaf mas. Saya basa-basi aja. Mas nabrak tiang listrik dimana? Jauh dari pustu ini?" Tanya Dini dan kembali mengobati Luka Andre menggunakan iodine. Andre berteriak kesakitan karena lukanya terasa perih.
"Aaaah, sakit mbak perih!" rintih Andre.
Dini tersenyum melihat Andre. "Mas, udah nggak usah teriak! Saya lagi obatin ini. Kaya anak kecil aja." kata Dini. Dengan tangan menutup luka Andre menggunakan plester luka.
Setelah selesai mengobati luka pada beberapa tubuh Andre, Dini merapihkan kembali peralatannya. Dan mengembalikan ke tempatnya semula.
Dini memberikan satu tablet pereda nyeri dan satu tablet antibiotik pada Andre.
"Di minum dulu ya mas, biar nggak infeksi luka nya." kata Dini, setelah Andre menerima obatnya Dini memberikan air minum kemasan.
"Terimakasih mbak, sepertinya kaki saya keseleo ini. Karena tadi terperosok ke dalam Siring." kata Andre.
Dini lalu memeriksa pergelangan kaki Andre dan ternyata pergelangan kaki Andre membiru.
"Waah, iya ini mas. Keseleo. Sebentar ya saya ambilin minyak gosok." kata Dini dan mencari minyak gosok di dalam tasnya.
meskipun Dini merupakan dokter, ia terkadang masih melakukan pengobatan secara tradisional saat sakit. Seperti melakukan kerokan saat merasa kembung dan masuk angin. Jadi Dini selalu membawa minyak angin kemanapun ia pergi.
Dini mengusapkan minyak ke pergelangan kaki Andre yang memar secara perlahan.
"Mas, sebaiknya menginap dulu di Pustu ini sampai besok ya. Karena nggak mungkin kan, mas pulang dengan kondisi seperti ini, nanti biar aku minta pak Samsul buat ambil motor nya mas!" kata Dini sambil terus menggosok kaki Andre.
Andre tersenyum melihat Dini telaten menggosok kakinya.
"Memangnya mas ini mau kemana, malem-malem keluyuran. Sudah tau hujan!" kata Dini lagi.
"Saya baru kembali dari kota mbak, mau pulang ke rumah saya di kampung sedap malam, eeeh pas sampai sini ternyata hujan, padahal sepanjang jalan nggak hujan, kaca helm saya ketutupan air hujan, jadi nggak lihat ada tiang listrik di depan, akhirnya nabrak deh." kata Andre menjelaskan.
"Mas nya ninggalin motor nya dimana? Biar saya minta penjaga Pustu ini untuk mengambilnya." kata Dini.
"Di gardu ronda ujung jalan mbak, semoga motor saya nggak hilang deh." kata Andre. Dini mengangguk dan berjalan keluar mencari Samsul.
Saat berada di luar, Dini merasa merinding karena tiba-tiba angin berhembus kencang hingga menerbangkan rambutnya.
"Pak Samsul!" teriak Dini sambil celingukan kesana kemari. Karena tak menemukan Samsul di bagian depan, Dini menuju ke pos penjaga di gerbang Pustu.
Sementara Andre merebahkan tubuhnya diatas berangkar sambil merasakan sensasi nyeri dari luka-luka nya dan pergelangan kakinya.
Saat baru beberapa menit memejamkan matanya, ia mendengar suara troly medis di dorong. Ia menatap kearah ujung lorong Pustu yang minim pencahayaan, ia melihat seorang perawat dengan pakaian serba putih dan memakai nurse cup di kepalanya mendekati ruangan tempat Andre berada yang tidak Dini tutup pintunya.
Andre berusaha untuk duduk meskipun sulit karena berpikir perawat itu akan memeriksa keadaanya. Karena sudah 30 menit lebih Dini belum kembali.
Perawat tersebut masuk ke ruangan Andre dan memeriksa kondisi Luka Andre.
Andre merasakan merinding ketika tiba-tiba ada angin berhembus menerba kulitnya. Andre tersenyum menatap Perawat wanita itu yang hanya diam membisu dengan ekspresi datar. Andre juga merasakan tangan perawat tersebut sangat pucat dan dingin hingga Andre bisa melihat urat yang berada di dalam kulit.
"Maaf sus, mbak yang tadi nolongin saya kemana ya?" tanya Andre dengan tersenyum ramah.
Perawat tersebut yang sedang membersihkan luka Andre menghentikan aksinya dan menatap Andre dengan tatapan kosong. Wajahnya sangat pucat hingga bibirnya memutih.
Perawat tersebut menggelengkan kepalanya dan kembali membersihkan luka Andre menggunakan cairan yang seperti Dini berikan.
Kemudian ia memberikan bubuk pada luka Andre dan kembali menutupnya menggunakan plester.
"Maaf sus, tapi mbak yang tadi baru beberapa menit mengobati luka saya." kata Andre ramah.
Perawat tersebut kembali menatap Andre.
"Menggunakan bubuk ini luka mu akan cepat mengering dan kamu tidak akan merasakan sakit." kata Perawat tersebut dengan nada datar, Andre mengangguk dan memperhatikan perawat tersebut membereskan perlengkapan medis nya dan keluar ruangan Andre dengan mendorong troly medis itu.
Andre merasakan memang sudah tidak merasakan perih lagi pada luka-lukanya. Ia kembali merebahkan tubuhnya diatas brangkar dan memejamkan matanya karena mengantuk sekali.
Sementara Dini basah kuyup karena mendorong motor milik Andre seorang diri, Dini tidak menemukan keberadaan Samsul, sehingga ia memutuskan untuk mengambil sendiri motor milik Andre yang terparkir di pos ronda di ujung jalan.
meskipun merinding, tapi Dini tak tega membiarkan motor Andre di ambil orang. Ia mendorong motor Andre sampai ke depan Pustu dan memarkirkannya.
Dini masuk ke dalam Pustu dan mengambil baju yang ia bawa dari dalam tas, Dini memang selalu membawa baju ganti saat dinas, karena ia takut jika mengharuskan mengganti pakaian setelah melakukan tindakan pada pasiennya.
Setelah mengganti pakaiannya Dini menghampiri ruangan dimana Andre beristirahat. Dini melihat Andre sedang tertidur dengan posisi tangan menutupi wajahnya.
.
Keesokan paginya, Andre terbangun sekitar pukul 5 pagi. Ia turun dari ranjang karena ingin melaksanakan sholat subuh yang sudah terlewat beberapa menit. Ia merasakan luka-lukanya sudah tidak sakit dan perih, selain pergelangan kakinya yang masih ngilu karena keseleo.
Ia melihat Dini yang masih melaksanakan sholat dengan posisi membelakanginya. Andre menuju ke toilet yang berada di ujung untuk mengambil wudhu.
Saat akan membuka pintu toilet pria, Andre di kejutkan dengan Dini yang baru keluar dari toilet wanita, sepertinya habis berwudhu.
"Loh, mas, kok udah jalan, memang udah nggak sakit?" Tanya Dini dengan mengusap wajahnya yang basah.
Andre meneguk ludah nya menatap Dini di depannya dan menoleh kearah ujung, namun ia tak melihat siapapun. Hanya ada kursi roda kosong dan juga mukena yang tergantung di capstok.
"Mas! Maas!"
Andre tersadar dan langsung mengerjapkan matanya.
"Eeh, iya mbak. Luka-lukanya sudah nggak sakit lagi, karena semalam sebelum saya tidur ada perawat yang memberikan obat. Hanya saja kaki saya yang terkilir masih sakit. Saya mau wudhu dulu ya mbak." kata Andre lalu masuk ke dalam toilet, untuk membuang air kecil dan mengambil wudhu.
Sementara Dini di buat heran mendengar perkataan Andre yang mengatakan tentang perawat yang mengobatinya. Jelas-jelas semalam dirinya hanya piket sendirian. Karena Kanaya libur dan Lusi shif pagi hingga siang. 2 petugas lainnya juga tidak bisa piket karena sedang sakit. Tak ingin berpikir macam-macam Dini memutuskan untuk melaksanakan sholat subuh karena takut kesiangan.
.
Setelah selesai melaksanakan sholat, Dini membuatkan pasiennya sarapan. Di Pustu itu sudah di lengkapi dengan pantry agar mereka bisa memberikan makanan untuk pasien yang di rawat.
Dini membuatkan omelet dan juga sayur bayam untuk Andre. Setelah siap ia membawanya ke tempat Andre.
"Mas, sarapan dulu ya. Maaf kalau masakan saya nggak enak. Biasanya ada teman perawat yang bantu masakin." kata Dini dan meletakkan makanan diatas meja.
"Lah, perawat yang semalam dimana memangnya mbak? Pulang duluan ya?" tanya Andre penasaran.
Dini mengerutkan keningnya dan menatap Andre bingung.
"Semalam saya cuma piket sendirian mas, karena rekan saya sedang sakit." Kata Dini.
Andre sedikit tersentak mendengar pernyataan Dini.
"Mbak jangan bercanda, semalam pas mbak pergi lumayan lama, ada suster Dateng ngobatin saya, nih luka saya udah kering karena semalam dia obati." kata Andre dengan menunjukan luka yang sudah mengering pada Dini.
Dini melihat luka Andre yang sudah mengering, ia juga melihat sesuatu berwarna kuning menempel pada luka itu, tanpa rasa jijik Dini mengambil bubuk tersebut dan menatapnya seksama.
"Mas, nggak sedang bermimpi kan?" kata Dini.
Andre menggeleng dan menatap Dini serius. "Saya benar-benar di obati oleh seorang perawat wanita. hanya saja memang perawat itu agak aneh, ekspresinya datar dan tatapan matanya kosong, tangannya sangat dingin dan juga kulitnya sangat pucat." kata Andre menjelaskan.
Dini lalu keluar dan mengambil cairan antiseptik untuk membersihkan luka milik Andre. Ia tidak ingin mengambil resiko pada pasiennya.
"Ada apa mbak? Apa semalam yang mengobati saya bukan manusia?" tanya Andre sarkas.
Dini menghentikan aksinya dan menatap Andre. "Saya kurang tau mas, saya baru seminggu di tugaskan di Pustu ini. saya dan teman-teman saya memang sering mendapatkan gangguan selama bertugas disini, tapi belum pernah mereka menampakan dirinya." kata Dini. Karena cuaca masih dalam keadaan mendung meskipun sudah pukul 6 pagi, membuat langit masih sedikit gelap, apalagi di Pustu itu terdapat beberapa pohon-pohon besar di sekitarnya. Sehingga sinar matahari sedikit yang masuk.
"Astaga! Sial banget sih gw, udah nabrak tiang listrik sampe bonyok, malah ketemu demit. Perasaan hidup gw kenapa nggak jauh-jauh dari demit sih." kata Andre Frustasi.
Dini hanya diam mendengarkan keluhan Andre. Ia fokus membersihkan Luka Andre dan memikirkan siapa perawat yang semalam mengobati Andre.
"Saya juga pas tadi keluar ruangan ini, liat ada yang lagi sholat di ujung sana, saya kira mbak dokter yang sholat, nggak taunya mbak malah baru keluar dari toilet, pas saya liat lagi ke belakang, nggak ada siapapun yang sholat. Agak lain memang Pustu ini." kata Andre lagi.
Tiba-tiba Dini merasakan merinding hingga bulu kuduknya meremang.
"Mas, jangan buat saya merinding." kata Dini ketakutan.
"Saya juga merinding ini mbak!" kata Andre sambil mengusap tengkuknya.
Tiba-tiba dari arah luar terdengar suara benda terjatuh ke lantai hingga membuat Dini dan Andre berjingkat karena terkejut.
"Aaaaah!" teriak mereka bersamaan.
Dini mendekati Andre dan memegang lengan baju Andre dengan tangan gemetar.
"Please deh, ini udah pagi. Masa ia sih setan nya masih belum pulang." kata Dini.
Andre turun dari brangkar dan berjalan menuju ke luar dengan langkah tertatih. Dini mengikuti Andre dari belakang dan melihat alat medis yang telah di sterilisasi jatuh berhamburan diatas lantai.
"Tolong jangan iseng ya. Aku capek tau!" kata Dini kesal. Ia lalu memunguti alat medis dan kembali memasukkannya ke tempat sterilisasi.
Andre berjalan keluar dan melihat motornya telah terparkir di depan Pustu.
"Waah, motor saya ternyata sudah disini." kata Andre senang.
Dini mendekati Andre dan berdiri diambang Pintu. "Semalam saya yang ambil motornya mas, soalnya saya nggak ketemu pak Samsul, nggak tau kemana orangnya, padahal pas saya baru Dateng ada, giliran di cariin nggak ada." kata Dini.
Andre membelalakkan matanya mendengar Dini yang mendorong motornya semalam. "Serius mbak dokter yang ambil dan dorong motor saya, motor saya ini berat kalo nggak di tunggangi!" kata Andre. Karena motornya merupakan motor sport.
"Yaah, memang berat banget. tapi ya mau nggak mau, dari pada motor nya pasien saya ilang." kata Dini.
Andre tersenyum dan mengangguk. "Terimakasih ya mbak dokter, sudah repot-repot bantuin saya semalam. Saya harus bayar berapa ini biaya perawatan dan biaya mbak dokter dorongin motor saya?" tanya Andre sambil mengeluarkan dompet dari saku celananya.
Dini tersenyum dan masuk ke dalam dan mengambil secarik kertas rincian biaya yang harus Andre bayar.
"Ini rinciannya mas, buat dorong motornya nggak usah, saya ikhlas." kata Dini dan menyerahkan nota kertas pada Andre.
Andre melihat nominal biaya yang harus ia bayar dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya.
"Mbak, saya lebihkan untuk biaya dorong motor ya. Tolong di terima, jika mbak dokter tidak mau menerimanya saya akan merasa sedih." kata Andre dengan mimik wajah di buat sedih.
Dini menyunggingkan senyumnya dan menerima uang pemberian Andre.
"Sebenarnya kalo mas warga asli sini tinggal pake foto copy KTP saja gratis mas nggak perlu bayar." kata Dini.
"Saya memang warga asli sini, tapi nggak bawa foto copy KTP. Tolong di terima ya mbak."
Dini mengangguk dan tersenyum manis. "Ya ya ya, saya terima ya mas uangnya. Terimakasih."
"Gitu dong, saya kan jadi seneng."
.
Sekitar pukul 7 pagi, Andre sudah di perbolehkan pulang.
Andre berdiri di samping motornya karena pergelangan kaki nya masih sakit, jadi ia tidak bisa mengendarai motornya.
"Loh, mas! Nggak ada yang jemput ya!" ujar Dini yang baru keluar dan melihat Andre masih berdiri sendirian dengan wajah bingung.
Andre meringis dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Nggak mbak, mau nelpon minta bantuan saudara ponsel saya rusak, semalam tertimpa body motor." kata Andre sambil memperlihatkan layar ponselnya yang retak.
Dini menoleh ke kanan dan ke kiri namun tak melihat satupun warga yang lewat. Di dalam Pustu hanya ada Kanaya dan dokter senior.
"Emmm, mas, gimana kalo tinggal dulu beberapa waktu di rumah singgah saya. Kebetulan rumah singgah saya di kampung ini hanya seratus meter dari Pustu."
"Nggak usah mbak, nanti malah merepotkan mbak dokter lagi, saya takut di grebek!" kata Andre.
Dini terkekeh mendengar perkataan Andre tersebut.
"Nanti saya hubungi pak RT, mana tau Pak RT bisa bantu." kata Dini. Andre menimbang usulan yang di berikan Dini beberapa saat.
"Kalau begitu boleh deh, motornya tinggal saja di sini aman kan mbak?" kata Andre.
"Insya Allah aman mas." Jawab Dini. Lalu mereka jalan menuju ke rumah singgah Dini.
Andre menggunakan tongkat yang Dini pinjam dari Pustu. Agar memudahkan Andre berjalan.
Sesampainya di rumah, Dini langsung mempersilahkan Andre untuk masuk ke dalam, ia lalu masuk ke dalam kamar untuk mengambil handuk karena ingin mandi.
"Mas, saya tinggal mandi sebentar ya."
"Silahkan mbak! Saya tunggu di sini." jawab Andre.
menuju kamar mandi yang berada di dapur.
Andre memindai rumah singgah yang di tempati dokter cantik itu, meskipun kecil dan hanya bangunan semi permanen, namun terlihat nyaman karena rapih dan bersih.
Ada televisi layar datar berukuran 32 inch yang menempel di dinding, dan juga kipas angin yang tergantung di atasnya.
Di bandingkan kampung sedap malam, kampung kenanga ini memang jauh lebih maju meskipun penduduk nya sama-sama merupakan petani kopi.
Andre mengambil remote tv yang berada diatas meja dan menghidupkan televisi untuk membuang keheningan.
Andre tidak melihat adanya aktivitas warga di sekeliling rumah Dini, ke 4 rumah yang berada di dekatnya semua pintunya tertutup dan juga pagar yang terbuat dari bambu berukuran satu meter juga tertutup.
"Kenapa aku baru sadar kalau kampung kenanga ini sangat menenangkan, jauh dari teror dan suasana mencekam seperti kampung sedap malam beberapa bulan lalu. Beruntung saat ini kampung itu sudah mulai maju." gumam Andre.
Ia melihat pemandangan di depan rumah Dini yang terlihat asri dan sejuk, jalan setapak di depannya terlihat sangat terawat meskipun di bagian seberang jalan merupakan kebun kopi warga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!