NovelToon NovelToon

Pelarian Cinta Termanis

Ujian Sang Pengantin

Hembusan angin malam menyelinap masuk melalui jendela terbuka, menciptakan suasana hangat dan intim di dalam kamar yang dipenuhi cinta.

Rasmi dan Daud yang baru saja menyelesaikan keintiman mereka sebagai sepasang suami istri, saling berpelukan dalam keheningan yang penuh makna. Mata mereka beradu, memancarkan kebahagiaan dan cinta yang tak terbantahkan.

Sementara napas keduanya masih tersengal disertai peluh yang bercucuran.

Daud, dengan sorot mata yang tampak penuh cinta, mencium lembut kening Rasmi sambil tersenyum penuh arti. "Terima kasih, Ras, untuk segalanya. Aku menyayangimu lebih dari apa pun di dunia ini," ucapnya dengan suara parau yang penuh emosi.

Rasmi membalas pelukan Daud dengan erat, merapatkan dirinya dalam dekapan hangat sang suami, merasakan kekuatan emosi yang mengalir di antara mereka.

Namun, kebahagiaan mereka terhenti ketika Daud tiba-tiba menyinggung perihal keputusannya untuk pergi.

"Ras, sudah waktunya Mas berpamitan, pesawat Mas empat jam lagi take off. Mas harus siap-siap," ujar Daud dengan suara yang penuh penyesalan.

Meskipun Rasmi sudah mengetahui bahwa hari ini suaminya akan pergi ke luar negeri, nyatanya mendengar lagi dari mulut Daud secara langsung membuat hatinya kembali sesak.

Pernikahan mereka baru terhitung dua minggu, tetapi mau tak mau Rasmi harus rela melepas kepergian sang suami untuk bekerja.

"Baiklah, Mas," balas Rasmi lirih, mencoba menahan air mata yang ingin meluncur dari sudut matanya.

Rasmi hendak beranjak dari kasur, tetapi Daud buru-buru menyentuh kedua bahu sang istri, lalu menyentuh pipi putih itu dengan gerakan lembut.

"Cukup nangisnya, ya. Dari kemarin air mata kamu tumpah terus. Nanti mata cantik ini bengkak lagi, hem!" tuturnya. Kemudian melabuhkan kecupan ringan di kedua kelopak mata Rasmi secara bergantian.

Bukannya tenang, justru Rasmi kian terisak. Napasnya tersendat-sendat karena sekuat tenaga menahan diri agar tangisnya tidak pecah.

Beberapa hari lalu, Daud menjelaskan bahwa ia telah mendapat kesempatan untuk bekerja di Malaysia sebagai mandor proyek konstruksi. Meskipun posisinya sebagai mandor, tugas sebagai buruh bangunan tetap menantinya di sana.

Perpisahan yang mendadak ini menjadi ujian pertama bagi pernikahan mereka, di mana jarak dan waktu akan menjadi rintangan besar yang harus dihadapi.

"Hei ..., Sayang." Daud merengkuh kembali sang istri. "Kepergian Mas hanya sementara, Ras. Bukan selamanya. Lagipula ... Mas ke sana, kan, untuk bekerja. Menjalankan kewajiban Mas dalam upaya mencari menafkah. Semua demi dirimu, Ras. Demi masa depan kita ... terutama demi kebahagiaan kamu. Jadi, daripada terus larut bersedih, lebih baik kamu doakan Mas agar selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa."

Kepala Rasmi mendongak, menatap suaminya dengan mata penuh air mata. Ia cepat-cepat menyekanya kemudian mengusap lembut jambang halus sang suami. "Mas Daud adalah suamiku, kebahagiaanku. Di mana pun Mas berada, Mas harus selalu baik-baik saja. Nama Mas selalu kulangitkan di setiap untaian doaku."

"Terima kasih, Sayang!" Daud menciumi kepala Rasmi secara bertubi.

Waktu berlalu, Rasmi dan Daud pun berangkat menggunakan taksi menuju bandara. Dalam dekapan terakhir sebelum perpisahan, sepasang suami istri itu saling bertukar janji, bahwa cinta dan kesetiaan mereka akan tetap ada meskipun terpisah jauh.

"Jaga dirimu baik-baik, Ras. Kamu akan selalu berada di hati Mas, semoga kamu pun begitu. Bisa menjaga fitrahmu sebagai seorang istri selama Mas tak ada di rumah. Mas pasti bakalan kangen kamu." Daud menangkup wajah Rasmi dengan tatapan teduh, tenang, dan dalam. Seakan mampu menenggelamkan diri Rasmi hingga terperangkap bersama kerinduan.

Rasmi hanya bisa mengangguk lemah, tenggorokannya serasa tercekat hingga ia tak mampu membalas pesan cinta dari suaminya. Keduanya berdiri berhadapan di tengah ramainya lalu-lalang para pengunjung bandara.

"Jangan terlalu lama bersedih, hem! Begitu pekerjaan Mas selesai, Mas janji akan segera pulang, lalu kita akan kembali berkumpul dan menikmati bulan madu kita yang tertunda."

Lagi-lagi Rasmi hanya mengangguk. Ia menciumi telapak tangan sang suami secara bergantian ketika masih menempel di kedua sisi pipinya, yang kemudian dibalas dengan pelukan erat oleh Daud.

Malam itu, bandara internasional tanah air menjadi saksi segala bentuk janji manis, air mata Rasmi yang mengalir, dan tatapan penuh penyeselan Daud.

Rasmi hanya mampu berdiri sambil terus menatap nanar punggung sang suami yang kian menjauh, ditemani angin kencang kota Jakarta yang mengacak-acak rambut hitam panjang miliknya.

Selagi sang suami berjuang mengais rezeki, Rasmi di rumah tak tinggal diam. Ia rajin menyisihkan sebagian uang nafkah yang rutin tiap bulan Daud kirimkan. Menyimpannya di rekening khusus untuk kebutuhan mendesak di lain waktu.

Secara perlahan, finansial mereka pun meningkat. Rasmi tak perlu risau akan kekurangan uang. Semua berjalan dengan mulus tanpa adanya rintangan berarti.

......................

Enam bulan kemudian, Daud memang sempat pulang, tetapi tak sampai satu minggu pria berparas tampan itu kembali berangkat lagi meninggalkan sang istri yang dirundung kesepian.

Dalam rentang waktu Daud berada di Indonesia pun, ia masih tetap disibukkan dengan pekerjaannya melalui laptop. Alhasil, bulan madu impian yang Daud janjikan pun belum jua dapat terealisasikan.

Tak terasa, jatah libur Daud pun habis. Otomatis keduanya harus berpisah lagi. Meski ini bukan pertama kalinya, tetapi entah mengapa kali ini hati Rasmi sungguh berat melepas sang suami. Sampai-sampai Daud harus menenangkan dan meyakinkan Rasmi berkali-kali.

Namun, Rasmi seolah enggan berpisah, dan malah semakin merapatkan pelukan.

Terakhir kali mereka berpisah, Daud tak henti-hentinya menggaungkan kata cinta sambil memeluk bahkan mengecupnya. Rasmi pun tak pernah bosan mendengar, sepenuh hati ia menyambut perilaku manis itu. Di sini, di tempat yang sama ini. Disaksikan oleh para pengunjung.

Akan tetapi, entah kenapa perpisahan kali ini tak sehangat sebelumnya, tak semanis perlakuan Daud kala meninggalkannya untuk pertama kali.

Walau perasaan Rasmi menjadi tak nyaman, tetapi waktu terus berjalan dan ia tak ada kesempatan untuk membahas perasaannya itu.

Daud pun akhirnya pergi, menyisakan banyak tanya yang bersemayam di dalam dada Rasmi.

Seperti memang firasat seorang istri tak pernah salah. Setelah Daud beberapa bulan di Malaysia, ia pun akhirnya memberi kabar akan segera pulang.

Jikalau tidak meleset, menurut jadwal Daud akan kembali lagi ke Indonesia tepat setelah pergantian tahun 2018-2019.

Namun, takdir sepertinya kurang puas menguji biduk rumah tangga Daud dan Rasmi. Jatah libur Daud terpaksa diundur lantaran ada kendala serius mengenai pekerjaan laki-laki berusia 34 tahun itu di negara tetangga.

Suami dari Rasmi itu pun jadi semakin sibuk, hingga berimbas pada komunikasi keduanya yang semakin berkurang.

Rasmi sempat mengeluh, tetapi hanya sebatas di dalam hati. Tidak tega rasanya jika ia terus merengek sementara sang suami lelah bekerja. Pada akhirnya, ia hanya mampu kembali bersabar, menerima takdir Tuhan dan mendoakan kesehatan dan keselamatan suaminya.

Sampai akhirnya wabah covid -19 melanda seluruh dunia, merebak hingga ke penjuru tanah air. Covid-19 atau korona virus 19 yang disebabkan oleh SARS-COV-2, suatu penyakit dengan risiko penularan cukup tinggi yang menyerang sistem pernafasan, demam tinggi, bahkan mampu melumpuhkan hingga merenggut nyawa orang-orang terkasih.

Lantaran pandemi inilah, mengakibatkan perekonomian negara melemah, berimbas pada setiap usaha tak pandang bulu. Mulai dari pedagang kecil hingga perusahaan besar sekalipun. Termasuk perusahaan tempat Daud bekerja.

Finansial Daud dan Rasmi pun turut goyah, proyek pembangunan yang dijalankan Daud tersendat karena perusahaan terpaksa melakukan PHK besar-besaran. Meski bukan termasuk salah satunya, tetapi Daud justru kian kualahan. Pekerjannya menjadi lebih berat dengan gaji yang justru mengecil.

Daud mulai membatasi, mengurangi, bahkan pernah tidak mengirimkan uang bulanan. Sebagai seorang istri, Rasmi tentu cukup tertekan. Ia yang sejak dulu terbiasa hidup berkecukupan, kini harus pintar-pintar menggunakan uang.

Keresahan Rasmi

Menjadi seorang ibu rumah tangga bukanlah pilihan yang mudah bagi Rasmi. Pemilik nama lengkap Indurasmi berusia 26 tahun itu dulunya adalah seorang wanita karir, bekerja sebagai jurnalis freelance. Ia adalah sosok yang penuh semangat dan berdedikasi tinggi dalam mencari kebenaran melalui tulisannya.

Seiring status Rasmi yang berubah menjadi istri dari seorang Daud Alamsyah, atas permintaan suaminya itulah ia akhirnya berhenti bekerja. Mencurahkan segalanya hanya untuk suami, dan keluarga.

Rasmi yang kesehariannya sudah terbiasa disibukkan pekerjaan, jalinan pertemanan, dan membentuk relasi cukup luas. Tentu tak langsung setuju dengan permintaan dang suami. Belum lagi yang tadinya memiliki penghasilan sendiri, kini Rasmi harus bergantung pada uang nafkah yang ternyata tidak sebesar gajinya sebelum menikah.

"Bukan maksudku menolak niat mulia kamu, Mas. Tapi, kan, kamu tau kalau aku ini tulang punggung keluarga. Jadi ..., rasanya sayang aja kalau harus berhenti bekerja," jelas Rasmi ketika itu.

Dengan sorot mata teduh andalannya, Daud merangsek dan menggenggam tangan sang istri. "Mas paham perasaanmu, Ras, tapi ini adalah cita-cita Mas sejak sebelum menikah. Mas ingin memiliki istri yang hanya tunduk pada perintah suami, bukan kepada atasan atau bosnya. Kalau kamu kerja, kamu pasti sibuk dan nggak ada waktu buat Mas."

"Tapi, Mas, bagaiamana dengan Ayah dan Ib—"

"Raaas," potong Daud. "Istri itu perhiasan suami, dan sebaik-baiknya seorang istri adalah istri yang berada di rumah."

Wajah Rasmi tertekuk, tetapi ia sembunyikan dengan menunduk dalam-dalam. Ini pilihan sulit untuknya. Satu hal yang mengusik pikiran Rasmi saat itu, mengapa Daud tidak menyampaikan hal sepenting ini sebelum mereka menikah? Ia pikir Daud akan paham, dan mengizinkannya tetap bekerja meski sudah sah sebagai pasangan.

Kalau seperti ini, Rasmi tak bisa berbuat banyak. Selain menurut dan merelakan karirnya yang ia bangun sejak lama.

Mengenai kebutuhan orangtua Rasmi, saat itu Daud berjanji akan rutin mengirimkan uang pada mereka. Ia akhirnya merasa cukup tenang, setidaknya tak perlu mengkhawatirkan kewajibannya sebagai seorang anak satu-satunya.

Pada akhirnya, Rasmi memutuskan untuk menuruti keinginan sang suami. Meski awalnya terasa sangat sulit, lambat laun ia pun dapat menerima serta menghormati keputusan Daud. Ia tak ingin melangkah sejengkal pun tanpa adanya ridho dari sang suami.

Rasmi, dengan latar belakangnya sebagai seorang jurnalis dengan sosok yang hambel dan mudah bergaul, tentu memiliki lingkaran pertemanan yang cukup luas di dunia jurnalistik.

Tak ayal, meski ia sudah tak aktif lagi bekerja, teman-temannya terdahulu masih sering mempertanyakan kabarnya. Menyayangkan kemunduran Rasmi dari pekerjaan yang telah lama digeluti bersama.

Bagi Rasmi, kebahagiaan keluarga kecil dan keutuhan hubungannya bersama Daud ialah prioritas tertinggi untuk saat ini. Meski hati kecilnya terkadang rindu dengan lingkungan kerja.

Menganggur bukan berarti Rasmi bebas berleha-leha. Ia tak serta merta berdiam diri dan hanya menunggu sang suami pulang.

Sebelum akhirnya wabah penyakit mengerikan itu tiba di tanah air, Rasmi sempat mengelola usaha kecil-kecilan dengan berjualan online atas rekomendasi dari teman-teman sejawatnya dulu.

Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Rasmi terpaksa gulung tikar karena terkena imbas pandemi yang merajalela.

Sejak saat itu, keseharian Rasmi pun berubah monoton dan membosankan. Untuk mengisi kekosongan dan waktu luangnya, wanita itu kerap membaca novel online melalui ponsel canggih miliknya. Berbagai judul mampu ia selesaikan dalam rentang waktu yang cukup singkat. Tak jarang ia terjaga hingga larut malam untuk memuaskan rasa penasarannya akan akhir sebuah cerita.

Namun, karena latar belakangnya yang berbekal ilmu kepenulisan, pada akhirnya Rasmi coba terjun ke dunia literasi. Yakni menulis novel online itu sendiri. Menjadi seorang penulis, memberikan Rasmi ruang kreativitas yang lebih luas dan tanpa batas.

Di sela-sela kesibukannya sehari-hari dan menulis, Rasmi tak serta merta melupakan kewajibannya sebagai seorang istri. Setelah tenggelam bersama cerita yang ia ciptakan di dalam novel, ia menyempatkan diri menghubungi Daud melalui sambungan telepon atau pesan singkat.

Seperti saat ini.

"Mas gak lagi sibuk, kan? Tak apa kalau aku telepon lebih lama?" tanya Rasmi sambil memainkan bolpoint di atas meja. Sementara ia duduk di kursi plastik menghadap ke jendela terbuka, tempat biasa ia menulis naskah novelnya.

"Gak sibuk, sih, cuma Mas lagi pusing," sahut Daud terdengar tak bersemangat.

"Pusing kenapa? Mas ada masalah kerjaan lagi?" Rasmi bertanya dengan raut cemas.

"Bukan."

"Terus?"

Daud mengarahkan kamera ponselnya ke sudut kamar, memperlihatkan sebuah ember berwarna putih penuh pakaian. "Cucian Mas banyak banget, Ras. Kemarin habis survey lokasi ke daerah pelosok, kebetulan lagi hujan, baju Mas jadi basah semua. Mana kena lumpur pula."

Rasmi menahan senyum mendengar cerita Daud yang terdengar sedikit manja di telinganya. Namun, ia juga jadi sedih karena tak dapat membantu kesulitan sang suami. "Maaf, ya, Mas. Harusnya aku yang cucikan baju kerja kamu," kata Rasmi penuh sesal.

"Gak perlu minta maaf, Ras. Ini udah risiko kita. Lagian, Mas udah terbiasa begini, kok. Gak usah berlebihan!" ujar Daud.

Sepintas ada rasa tak nyaman menyusup ke dalam hati Rasmi. Mengapa Daud begitu cepat beradaptasi? Sementara sampai detik ini dirinya masih bergelung dengan sepi dan tertekan.

......................

Di salah satu sudut ruang kerja mini di dalam kamar, Rasmi tenggelam bersama hening yang membelenggu, hanya terganggu oleh suara ketikan dari jari-jemari lentiknya di atas papan ketik.

Tak lama, getaran dari ponsel di atas meja membuyarkan konsentrasi Rasmi. Dengan segera ia pun mengambil ponsel dan menatap layar yang menerangi wajahnya dengan hentakan detak jantung yang cepat. Sebuah pesan dari Daud, suaminya, muncul di layar.

"Ras, tadi Mas dapat kabar dari kantor pusat. Jatah libur Mas akan dijadwalkan ulang. Kalau tidak ada halangan, tiga hari lagi Mas pulang ke Jakarta."

"Benarkah? Alhamdulillah, Mas. Aku seneng banget dengernya. Tapi kenapa ngabarin berita semembahagiakan ini cuma lewat pesan, Mas? Kenapa gak telepon aja? Mas Daud Lagi sibuk banget, ya?"

Rentetan pertanyaan tersebut segera Rasmi layangkan melalui pesan singkat. Meski ia kurang puas dan kepalanya mulai dipenuhi banyak tanya. Namun, kabar bahagia ini cukup menggantikan segala keresahannya.

Bukan apa-apa, setelah obrolan mereka berbulan-bulan yang lalu, komunikasi di antara mereka mendadak sulit dan Daud sering mengabaikan pesannya. Keanehan itu terus berlanjut hingga tak terasa kepergian Daud memasuki tahun kedua.

Sibuk dan lelah menjadi alasan Daud tiap kali Rasmi mengajukan tanya. Laki-laki itu hanya akan menghubungi sang istri jika dirinya ada kepentingan mendesak saja.

Pikiran buruk pun sempat menghantui kepala Rasmi. Banyak kisah-kisah miris pasangan suami istri yang pada akhirnya bercerai karena kerenggangan yang terjadi ketika salah satu dari mereka pergi bekerja. Salah satu contohnya ialah teman Rasmi yang tinggal tak jauh dari komplek perumahannya.

Ia dijandakan suami hanya untuk memperistri janda lainnya.

Sungguh, Rasmi tak ingin hal itu terjadi pada hidupnya. Maka sebisa mungkin ia akan menjaga hubungannya dengan Daud. Menuruti setiap permintaan sang suami dengam harapan suatu hari nanti sikap Daud akan kembali hangat padanya.

Cukup lama Rasmi menunggu, tetapi sampai beberapa jam berlalu, tak ada tanda-tanda Daud membalas pesannya.

Sampai akhirnya tiga hari pun berlalu. Waktu yang Rasmi tunggu-tunggu untuk dapat bertemu sang suami kini telah tiba. Namun, ia masih belum dapat menemui suaminya secara langsung karena terhalang prosedur. Setiap orang yang memasuki tanah air, mereka diwajibkan menjalani karantina selama satu minggu di suatu tempat yang telah pihak negara siapkan.

Untungnya, kali ini Daud sudah bisa dihubungi. Keduanya pun berbicara melalui sambungan telepon.

"Nanti aku jemput ya, Mas, biar kita ketemunya lebih cepet," pinta Rasmi.

"Gak perlu. Sebelum keluar, semua orang yang diisolasi harus nunggu hasil lab dulu, Ras. Kalau dinyatakan negatif covid, maka kami baru boleh keluar. Kalau ternyata positif ..., ya lanjut diisolasi."

"Aku yakin kamu sehat, Mas. Mau, ya, aku jemput." Rasmi yakin bahwa suaminya akan baik-baik saja. Sekalipun takdir berkata lain, setidaknya ia dapat menghirup udara yang sama dengan sang suami.

"Terserah kamu sajalah! Yang penting Mas sudah ingatkan."

Setelah mengatakan hal itu, sambungan telepon pun terputus begitu saja.

Sungguh, Rasmi sudah sangat rindu pada suaminya itu. Dua tahun berlalu begitu saja tanpa pernah bertemu, membuat hati Rasmi kembali berdebar dan menggebu-gebu.

Namun, apakah suaminya itu merasakan hal yang sama? Tampaknya Daud terkesan biasa saja walau pertemuan sudah di depan mata.

Miris

Berbekal sertifikat vaksin dan perlengkapan keamanan covid lainnya. Rasmi nekat berangkat seorang diri dengan memesan taksi online.

Sesampainya di tempat tujuan, Rasmi sempat diperiksa suhu badan oleh petugas setempat sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku.

Setelah selesai, ia pun dipersilakan memasuki area gedung yang mirip dengan apartemen bertingkat. Gedung tinggi berkawasan di daerah sekitar Manggarai tersebut memiliki kurang lebih 30 lantai, dan menurut kabar dari Daud, laki-laki itu berada tepat di lantai 27.

Dari bawah sini, Rasmi berdiri sambil mendongakkan kepalanya ke atas, berharap ia dapat menjangkau keberadaan sang suami. Namun, tentu hal itu mustahil terjadi. Rasmi hanya bisa menatap sebuah balkon yang cukup luas, menonjol keluar di lantai tiga sana.

"Andai saja salah satu dari mereka adalah suamiku," ucap Rasmi. Lantaran ia mendapati beberapa orang yang tengah berdiri di sana, tampak sedang melambai-lambaikan tangan ke arah kumpulan pendatang yang posisinya tak jauh dari Rasmi.

Mata Rasmi mendadak berembun, rasa rindunya pada sang suami semakin menjadi-jadi hingga dadanya terasa sesak. Segera ia mengalihkan fokus agar tak lanjut bersedih, kemudian mencari tempat menunggu yang nyaman serta aman.

Akhirnya, ia memilih duduk di teras tak jauh dari pintu utama. Sambil menunggu, ia coba kembali menghubungi suaminya, berharap mendapatkan info lanjutan dari keputusan pihak terkait mengenai kepulangan Daud.

"Halo, Mas, aku udah di sini. Dekat lobi."

"Lobi? Lobi mana?" tanya Daud dengan nada heran.

"Lobi gedung tempat kamu berada, dong, Mas. Kan udah bilang aku mau jemput. Aku tunggu di sini, ya, Mas." Rasmi tersenyum hangat setelah mengatakannya. Namun, senyum itu perlahan memudar saat ia mendengar helaan napas yang disusul decakan dari mulut sang suami.

"Kamu ngeyel banget, sih! Meskipun wabah covid udah mereda, tapi kita harus tetap hati-hati, Rasmi! Apalagi hasil tes lab Mas belum keluar, bisa jadi harus nunggu lagi sampai malam," ujar Daud terdengar kesal.

"Tapi, Mas, aku udah vaksin, kok. Jadi, gak masal-"

"Sudah Mas bilang kamu tunggu saja di rumah. Kok batu banget, sih?" lanjut Daud, memarahi istrinya.

Belum sempat Rasmi menyahuti perkataan sang suami, tetapi sambungan telepon diputus sepihak oleh Daud. Rasmi paham kekhawatiran suaminya itu, tetapi apakah Daud tidak bisa berbicara sedikit lebih lembut padanya?

Gadis pemilik rambut sebahu itu hanya bisa bersabar, menguatkan diri agar tidak berpikir yang aneh-aneh. Pulang ke rumah pun percuma, hari sudah mulai gelap dan hujan turun tanpa ia sadari sebelumnya.

Sementara di atas sana. Daud tampak jengkel dan frustasi. Laki-laki berusia matang itu tak sendiri, ia bersama dua pelancong lain yang datang dari negara yang sama.

Satu di antaranya adalah seorang wanita cantik berambut panjang, kira-kira seusia dengan Rasmi. Tubuhnya sekal, padat, dan berisi. Terlihat dari pakaian yang dikenakannya begitu ketat dan membentuk setiap lekukan badan.

Mendapati teman sekamarnya tampak kalut, ia pun segera menghampiri dan langsung memberikan pelukan penenang.

"Jangan terlalu diambil pusing, Mas. Aku yakin istrimu di bawah sana baik-baik saja. Kalau Mas mau, nanti biar aku yang cari cara supaya kita bisa keluar bebas dari sini tanpa dicurigai," ujarnya sambil menatap lekat-lekat paras tampan Daud.

Bukannya tenang, hati Daud malah semakin bimbang. Kalau bukan karena termakan hawa napsu dan godaan syaiton, ia tidak akan berada di persimpangan jalan ini.

Namun, ia tak dapat menyangkal bahwa kehadiran Eva, wanita di sampingnya ini bagaikan oase di tengah padang pasir dalam kehidupannya yang terasa begitu kehausan dan kekeringan panjang.

Kepala Daud menggeleng, satu tangannya membelai rambut panjang Eva yang tergerai. "Jangan lakukan apa pun, Ev. Aku tidak mau terus melibatkan kamu. Nanti urusannya panjang."

Eva menunduk, matanya yang bulat mulai berkaca-kaca. Sementara kedua tangannya menggenggam erat tangan besar Daud.

"Maaf, Mas. Ini semua salahku. Padahal selama di Malaysia, kamu begitu baik sama aku dan dan Ziel. Tapi aku malah lancang jatuh cinta sama kamu," tutur Eva, terdengar lirih.

Mendengar nama Ziel, hati Daud seketika terenyuh. Anak laki-laki Eva berusia 4 tahun yang menjadi korban dari perceraian kedua orangtuanya itu kini memiliki tempat tersendiri di hatinya.

Tangan Daud pun refleks menarik tubuh Eva, memeluk janda muda di hadapannya ini dengan isi kepala yang terus berkecamuk.

Eva adalah korban KDRT, mereka bertemu pada saat Daud menjalankan tugasnya sebagai kepala mandor.

Saat itu, Eva si pemilik salah satu warung di sekitar proyek, menjual berbagai kue-kue basah serta kopi hangat kepada para pekerja konstruksi.

Mengetahui sang penjual memiliki paras cantik lagi berstatus janda, wanita itu tak jarang jadi sasaran para pekerja yang doyan menggoda si daun muda. Mungkin, hanya Daud yang tidak berperilaku sama. Ia selalu diam tanpa melayangkan rayuan.

Eva pun cukup sulit ditaklukan, janda cantik itu tampak tak terganggu dan tetap fokus berjualan setiap hari.

Suatu ketika, warung milik Eva tampak sepi. Wanita itu tak berjualan hingga beberapa hari lamanya. Entah apa yang Daud pikirkan, ia tiba-tiba penasaran dan coba memeriksa rumah wanita itu yang letaknya tepat di belakang warung.

Begitu sampai di dekat pintu masuk, Daud langsung disambut teriakan seorang pria dewasa dari dalam rumah. Eva terdengar melawan hingga terjadi perdebatan panjang.

Kejadian itu tak hanya satu kali, Daud mendengar kejadian menegangkan tersebut hingga berulang-ulang kali.

Mulanya, Daud tidak begitu peduli setiap kali mendengar percekcokan antara Eva dan pria itu. Namun, semua berubah ketika ia menemukan Eva yang tergeletak di dekat warung dengan sekujur tubuh yang penuh lumpur dan luka memar.

Tanpa pikir panjang, Daud pun segera menggendong wanita malang itu ke dalam rumah. Tak peduli pada pakaiannya yang ikut terkena lumpur hingga basah dan kotor.

Sejak saat itu, kedekatan mereka pun terjalin begitu saja. Tak jarang, Daud selalu menjadi garda terdepan kala mantan suami Eva datang untuk membuat kegaduhan.

Puncaknya ketika Ziel, anak dari Eva diculik oleh ayahnya sendiri, lalu dijadikan sandra agar Eva mau memberinya uang dengan jumlah fantastis. Perhatian Daud pun mulai terbagi, antara pekerjaan, Eva, dan Rasmi yang kerap kali menghubunginya.

Kebaikan dan perhatian Daud yang luar biasa tersebut, mampu menggetarkan hati Eva yang selama ini dirundung nestapa. Ia merasa pertemuannya dengan Daud merupakan anugerah dari Tuhan untuk melindunginya. Rasa aman dan nyaman yang semula tak pernah didapatkannya selama berumah tangga, mampu Daud berikan dengan sekejap mata.

Cukup lama keduanya berpelukan, sampai akhirnya Eva lebih dulu melerai.

Seorang pria yang duduk bersila di ujung kamar sana, tak merasa curiga dengan keintiman Daud dan Eva. Sebab, sebelum memasuki gedung isolasi ini mereka mengaku sebagai pasangan suami istri. Namun, karena fasilitas yang seadanya ini, mau tak mau ia pun harus bergabung satu kamar selama satu minggu ke belakang atas perintah petugas.

"Sudah, ya, nangisnya. Malam nanti kita telepon Ziel, jangan sampai dia ikut sedih karena lihat wajah cantik mamanya ini tiba-tiba bengkak dan hidungnya merah," ujar Daud dengan nada menggoda.

"Iiii, Maaas, aku nggak bengkaaaak," rengek Eva dengan seyum tertahan di bibirnya.

Merasa gemas dengan tingkah Eva, Daud pun refleks mendekatkan wajah, lalu mencium bibir merah muda itu dengan gerakan yang sangat sensual. Eva bahkan tak sempat menghindar, hanya diam dan menerima perlakuan manis laki-laki pemilik jambang halus ini.

Eva bahkan tak berdaya kalau tangan Daud menyusup di antara baju dan pakaian dalamnya. Ia pun refleks menggigit bibir Daud hingga akhirnya terlepas.

"Mas, ... malu," bisik Eva, terdengar manja.

Daud menulikan telinganya, ia malah tersenyum nakal kemudian menarik tubuh Eva ke dalam kamar mandi. Desahan dan rintihan Eva di dalam sana menjadi pertanda, bahwa hubungan keduanya sudah sejauh mana.

Di lantai dasar sana, kondisi Rasmi tampak memprihatinkan. Ia tengah mencari-cari kardus bekas di dalam gedung untuk dirinya bermalam di sana. Wanita itu tak mampu membayar penginapan karena harus irit menggunakan uang.

Alhasil, Rasmi tidur meringkuk di depan lobi, menepis rasa lapar yang mulai menyiksa. Syukurnya, Rasmi tak sendiri. Ia bergabung dengan pengunjung lain yang juga berniat menjemput kerabat mereka.

Sungguh miris dan berbanding terbalik dengan kehangatan yang tercipta antara Daud dan Eva di atas sana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!