Moza baru saja selesai mandi, berpakaian, memoles wajahnya dengan make up tipis agar terlihat lebih segar. Setelah selesai semua itu ia menatap pantulan dirinya di cermin.
Cantiknya gak manusiawi.
Kata itulah yang pantas di sematkan oleh gadis bernama lengkap Moza reffilia Abraham yang memiliki wajah belasteran. Bayangkan saja wajah dari tiga negara di jadikan satu. Ia memiliki mata gadis khas Indonesia bulat cantik dengan bulu mata lentik, hidung bangir runcing khas gadis Turki, serta kulit seputih susu khas orang Chinese. Semua di borong, lebih-lebih bentuk tubuhnya yang memiliki tinggi 167 cm dan lekuk tubuh bakbgitar Spanyol semakin menyempurnakan penampilan gadis tersebut. Tak sedikit gadis yang iri melihat rupanya yang cukup sempurna untuk ukuran manusia.
Fyi aja ni ya, Moza memang punya ibu keturunan Tionghoa-Turki, sementara bapaknya orang pribumi lebih tepatnya orang Payakumbuh, Padang.
Moza melangkahkan kaki jenjangnya keluar kamar menuruni satu demi satu anak tangga menuju meja makan yang dimana seluruh keluarganya sudah duduk disana bersiap untuk sarapan. Rumah itu tampak megah dan juga mewah, wajar saja sang papi merupakan panglima jenderal besar negara ini.
"Pagi semua." sapanya begitu tiba di area meja makan yang tentunya seluruh keluarga sudah kumpul disana juga ada dua ajudan yang juga bergabung bersama.
"Pagi sayang." jawab Hamzah dan Clara–orangtua Moza secara bersamaan. Moza mengecup sebelah pipi papi dan juga maminya secara bergantian. Dan tentunya di balas kecupan manis juga oleh kedua orangtuanya di pipi gadis itu.
"Rapih banget mau kemana pi, mi?" Tanya Moza ketika melihat kedua orangtuanya mengenakan pakaian dinas lengkap begitu pun juga Marwan—ajudan papinya yang tak kalah rapih, keduanya memakai baju loreng khas TNI AD dengan baret mereka serta Clara dengan seragam persitnya.
"Dinas, menghadiri acara kenaikan pangkat. Oza mau Ikut?" Tanya Hamzah menawarkan siapa tau anak bungsu kesayangannya itu mau ikut bersama.
"Gak pi, banyak kerjaan." Jawab Moza, malas juga ikut kalau sang papi dinas yang sudah pasti berdiri Berjam jam kalau sudah acara seperti itu. Paling Moza akan ikut kalau ada cara besar, seperti menghadiri acara tujuhbelasan di istana negara atau kalau tidak pelantikan para perwira baru.
"Ya sudah."
"Pagi dek." sapa Julian dan Fira yang merupakan kakak dan juga ipar Moza.
"Pagi bang, kak." Balas Moza tersenyum pada keduanya mencium tangan keduanya dengan sopan. Julian juga nampak rapih dengan setelan kantorannya. Fyi, aja Julian tidak mengikuti jejak sang papi karena ia sudah merasakan sendiri hidup dengan didikan militer papinya itu bagaimana, walaupun dia anak cowok satu tidak ada toleransi dalam mendidik. Tetap saja kalau salah di suruh sikap taubat. Makannya ia memilih jadi pengusaha saja, ogah jadi abdi negara.
"Pagi bunda telsayang." sapa Sean—anak dari Julian dan juga Fira yang baru berusia 5 tahun.
"Pagi juga gantengnya bunda." Tak lupa Moza menyetor pipinya untuk di kecup sang ponakan ganteng, itu sudah menjadi kebiasaannya setiap hari karena kalau tidak Sean akan tantrum.
Cup!
Satu kecupan Sean mendarat di pipi kanan Moza. "Wuih, cantikna sayangna sean, calon bidadali sulga sean... Halum lagi." Puji Sean setelahnya.
Semua orang di sana hanya geleng-geleng kepala. Sean memang sangat mengangumi Tante cantiknya. Bocah lima tahun itu bahkan mengklaim kalau Moza itu pacarnya. Dan Sean berkata di masa depan dia akan menikahi Tante cantiknya itu.
Bocil aja tau mana barang bagus.
Moza terkekeh "Wuih, gantengnya. Pagi-pagi udah rapih banget yang mau ke sekolah." tak lupa ia juga memuji sang ponakan gantengnya ini lalu mengacak-acak rambutnya mengusili.
"Iish, bunda! Jangan di acak-acak dong lambut Sean. Nanti gantengna Sean ilang. Telus Bunda Ndak cinta lagi, trus bunda putusin Sean, terus Sean sakit hati, terus gimana dong Sean?" protes bocah 5 tahun itu sambil mengerucutkan bibirnya lucu.
Astaga! Kadang Moza bingung, ini anak dapat rumus kisah cinta dari mana sih? Perasaan di rumah ini gak ada yang begitu. Kecuali mayor Marwan sih. Moza menatap ajudan sang papi dengan sengit. Semantara Marwan yang di tatap begitu oleh Moza langsung gelagapan "bukan saya nona." benar bukan dia loh yang ngajari bocah Lima tahun itu begitu. Dia tidak tau apa apa.
Moza akhirnya beralih lagi pada Sean dan mencubit kedua pipi bocah itu."uluh.. Uluh... Sekalipun Sean jadi pangeran kodok juga bunda tetap cinta."
"Iiish, kok belubah jadi pangelan kodok sih? Ndak elit banget. Sean itu vely vely handsome dali apapun dan siapapun, Om Aji yang ganteng kayak oppa oppa kolea aja masih kalah jauh sama Sean. Dia punya nilai minus kalena punya tampang tampang maling. Sean paling ganteng gak ada kulangnya, undelstand? Om aji gak boleh protes!"
Pria bernama Aji yang juga salah satu ajudan itu mendongak menatap Sean yang duduk di sebelahnya dengan mata melotot, pinter menjatuhkan harga diri sekali cicak albino satu ini. Habis di buat melayang karena di bilang ganteng seperti oppa oppa Korea, terus di jatuhkan karena di bilang tampang mirip maling "Om ganteng loh Sean, masak di bilang mirip maling."
"Iya, Om memang ganteng, tapi sayang muka Om itu belubah jadi maling kalau lihat bidadalinya Sean." jawab Sean tak ada takutnya sedikit mendongak menatap Aji yang lumayan tinggi duduk di sebelahnya.
Mata orang orang disana sudah menatap Aji, lebih lebih Hamzah tatapannya sudah seperti akan menguliti dirinya, jika benar apa yang di katakan Sean Aji ingin menculik Putri tersayangnya maka siap siaplah Aji di kulit bahkan di gantung di tiang bendera yang ada di istana negara. Aji menelan salivanya susah payah.
"Dengel ya Om Aji yang milip... Siapa ma nama oppa Korea yang suka joget kuda lumping di depan TV itu." Sean beralih pada Fira sebelum menyelesaikan ucapannya pada Aji.
"Sehun." jawab Fira sudah menahan tawa melirik raut tertekan ajudan yang mengawal sang adik itu karena di tatap sang mertua begitu tajam.
"Nah, itu. Denger ya Om Aji yang milip soun, maaf maaf aja ya mending niat Om Aji itu segela di tenggelamkan aja langsung ke inti bumi kalena Om Aji Ndak ada kesempatan buat culik bidadali sulga Sean dalam bentuk bunda Moza. Bunda Moza itu udah punya segel dan hak paten yang hanya punya Sean bellogo dan terseltifikat dali MUI jadi Om Aji jangan coba coba buat maling punya Sean paham!" tidak lupa ia mengacungkan jempolnya di depan wajah Aji.
Dan itu membuat orang orang yang ada di meja tersebut tak tahan untuk tidak tertawa mendengar perkataan bocah berusia lima tahun yang sudah dewasa sebelum waktunya. Aji yang di ceramah demikian pun bukannya marah ia malah ikut terkekeh karena ucapan sok bijak dan dewasa dari bibir Sean, ia sesekali melirik Hamzah takut di telan hidup hidup oleh panglima jenderal satu itu.
Aji mengusap kepala bocah Lima tahun itu yang tengah menatapnya dengan tatapan permusuhan. "Jangan sentuh sentuh Sean Om, nanti penyakit kurap Om nulal." kali ini tawa Marwan paling kencang sangking tak tahannya. Memang sejak beberapa bulan lalu Aji menginjakkan kaki di rumah keluarga Abraham dan mendapat tugas untuk menjaga Moza, bocah Lima tahun ini sudah mengibarkan bendera perang pada dirinya. Aji tidak tau apa maksudnya apakah bocah ini tau kalau Aji memiliki rasa pada nona rumah ini? Tapi ya masak iya, bocah sekecil Sean bisa mengerti perasaannya? Hebat betul tuyul satu ini.
"Udah udah Sean, gak boleh begitu ke Om Aji harus sopan." akhirnya Julian menengahi, memperingati sang putra untuk berlaku sopan pada ajudan sang adik itu.
"Minta maaf sama Om nya." titah Fira juga, ia tak ingin anaknya menjadi kurang ajar pada orang yang lebih tua.
Sean melirik tak suka pada Aji, namun tetap saja mulutnya meminta maaf "maafin Sean Om."
Aji hanya terkekeh "iya, Om maafin."
Moza ikut tersenyum melihat interaksi keduanya "Pagi Lettu Aji, pagi mayor Marwan." sapa Moza pada akhirnya ke dua ajudan itu seperti biasa.
"Pagi nona." balas kedua ajudan itu pada Moza. Wajah Aji makin cerah dengan senyum yang begitu lebar dan detak jantung yang mulai tak tau diri hanya karena di sapa oleh nona cantiknya, wajar diam diam ia mendamba si nona cantiknya sejak lama. Aji tak seperti Marwan berpenampilan rapih saat mengawal, lihat saja ia berpakaian begitu santai tidak ada embel embel baju loreng serta baret di kepala karena Moza yang memerintahkan untuk berpakaian biasa saja seperti itu, dia tidak ingin menjadi pusat perhatian saat berada di luar.
"Mulai makan. Sudah siang." titah Hamzah, ia mulai menyantap sarapan paginya yang tadi sudah di siapkan sang istri dengan lahap.
"Selamat pagi pak, buk. Tadi ada kurir ngantar ini lagi untuk mbak Moza." tiba-tiba pak satpam masuk membopong beberapa buket bunga yang lumayan penuh di tangannya bahkan wajah satpam tersebut sampai ikut tertutup Buket bunga sangking banyaknya, lengan kanan kiri juga penuh denga buket berbentuk keranjang. Aksi makan seluruh keluarga itu langsung terhenti menoleh ke arah pak satpam yang wajahnya sudah tak terlihat.
"Lama-lama bisa buka toko bunga mendadak ini rumah kalau tiap hari begini." keluh Julian, karena sudah enam bulan terakhir ini kediaman keluarga Abraham selalu saja mendapati kiriman bunga, lebih tepatnya setelah Moza membuka studio foto.
"Gak toko lagi bang tapi udah kebonnya mah ini." sahut Clara seraya terkekeh. "Susun di sana aja pak." tunjuk Clara di sudut ruangan dekat dapur.
"Terimakasih pak." Moza mengucapkan terimakasih ketika pak satpam berhasil meletakkan semua buket bunga itu di sana. Moza melirik sang papi yang acuh tak acuh malah lanjut menikmati Sarapan paginya. Agak gereget si Moza sama Hamzah karena tak ada satupun dari para pria itu yang di izinkan Hamzah untuk mendekatinya, bahkan pria lain di luar sana yang berniat mendekatinya saja sudah lebih dulu di depak oleh Hamzah untuk segera get out menjauh dari sang putri. Moza juga ingin segera menikah loh, kalau kelakuan papinya begitu mana ada yang mau meminangnya.
Paham akan tatapan sang adik Julian angkat suara "Papi itu mau cari laki-laki modelan gimana si Pi buat jadi mantu? Tiap hari macem-macem orang anter bunga ke rumah, yang ada nanti jadi kebun bunga ini rumah kita gara-gara papi gak izini oza untuk terima salah satu dari mereka. Kalau sudah begini mau di kemanakan lagi itu bunga-bunganya? Gak ada niatan mau Nerima salah satu di antara mereka buat jadi mantu pi?" Tanya Julian, Hamzah melirik Sang adik yang kini tengah menunduk dalam merenungi hidupnya yang tak tau kapan mendapatkan jodoh.
Moza sampai detik ini masih jadi anak perawan yang tidak tersentuh barang secuilpun oleh para pejantan di luar sana itu akibat papinya yang terlalu menjaganya Moza bak tuan putri, lebih tepatnya sih putri putrinya, karena Hamzah memiliki dua anak perempuan yang satu kembaran Julian, sudah menikah juga, namanya Berlian.
Jangan tanya Dwika–suami Berlian saat itu sampai berjuang segimananya demi mendapatkan restu si bapak jenderal satu ini. Sudah pasti jungkir balik dan seleksi calon mantu ala ala milter pun terjadi saat itu, untungnya Dwika memang anggota militer juga, bahkan ia dari satuan kopassus jadi ya masih bisa di lewati pria itu segala tantangan ala ala militer si bapak jenderal satu ini. Dan setelah menyebrangi lautan, mendaki gunung, terjun dari ketinggian 20.000 kaki dan menjelajahi lembah. Barulah Dwika lulus menjadi mantu idaman. Beh, gak kaleng kaleng memang bapak satu ini dalam hal menyeleksi calon mantu. Kalau kata Hamzah mah, supaya anak gadisnya mendapatkan suami yang tepat, cinta saja tidak cukup, kalau tak mampu menjaga putri putri tercintanya.
Tapi sangat berbeda dengan Julian dulu sewaktu akan berniat menikahi Fira yang saat itu masih jadi kekasihnya. Jujur, saat pertama kali mengatakan pada Hamzah bahwa Julian ada keinginan untuk meminang Fira, ia sudah ketar ketir duluan. Kalau akan melewati hal yang sama dengan apa yang kembarannya rasakan. Namun ternyata ia salah. Malah Hamzah menyarankan untuk mempercepat pernikahan tanpa ada ajang seleksi calon mantu lebih dulu, Hamzah juga berkata seperti ini "papi percaya sama pilihanmu."
Julian berasa lagi menang undian dong. Ia Buru buru menikahi Fira si guru TK untuk di jadikan istri. Takut si bapak berubah pikiran. Tau, jarak dua Minggu setalah mengatakan itu ia langsung menikahi Fira tanpa ada ajang lamar melamar langsung akad dan resepsi. Menikah mendadak udah kayak buntingi anak orang.
Di tanya seperti itu Hamzah mengangkat kepalanya menatap Julian lalu menggeleng "dari mereka semua gak ada yang cocok di jadiin calon mantu." Bukan dia tidak tau bagaimana bentukan pria yang saban hari mengirimi buket-buket bunga untuk Moza. Dari yang playboy sampai yang play store ada, dari yang ngacengan sampai yang gak punya burung pun ada.
Yang seperti itu mau di jadikan menantunya. Sorry ye, gak masuk rekap jadi calon mantu bapak jenderal. Minimal seperti Dwika lah yang di sikat habis pantang mundur sekalipun di suruh terjun ke kurang. Nah, yang begitu yang Hamzah cari, yang tak takut dengan apapun.
"Tapi gak boleh gitu loh pi, kasian ozanya gak ada yang berani deketin. Backingan nya serem." Clara agak khawatir akan putrinya kali ini, bukan bagiamana umurnya sudah 27 tahun loh. Udah Mateng matengnya buat berumah tangga, tapi si bapak jenderal satu ini terlalu overprotektif sama anak gadisnya.
Hamzah mendengus lalu terkekeh remeh "gak ada yang berani dekati? Lah bunga bunga itu apa? Nyasar kesini?" tanyanya sinis, tapi masih tetap lanjut makan.
Clara memutar bola matanya malas "tapi bukan gitu maksud mami–"
"Sst! Gak boleh protes. Suatu saat nanti pasti ada pria yang tepat untuk oza. Toh, papi juga masih mampu membiayai kehidupannya. Mami tenang aja. Lebih baik mami lanjut makan, sudah siang. Kita harus cepat." Final Hamzah, yang akhirnya membuat Clara mau tak mau diam.
Julian melirik sang mami memberi isyarat untuk maminya lebih baik menutup mulut dan dengarkan sang papi saja. Solanya Hamzah itu paling tidak bisa di ajak berkompromi kalau menyangkut anak anak gadisnya.
Sementara Aji di kursinya terus menerus berdoa agar jenderal besarnya itu tak menerima lamaran satu pun pria sampai ia memiliki keberanian untuk meminang si nona cantiknya ini. Iya, Aji juga sedang mengumpulkan keberanian untuk itu, untuk meminang Moza. Tapi karena bapaknya auranya mencekam sekali Aji agak takut. Bisa bisa di kuliti tanpa persiapan dia kalau tiba-tiba berkata ingin meminang Moza.
Acara sarapan pun pagi selesai, semuanya pergi ke rutinitasnya masing-masing. Seperti Hamzah dan Clara yang langsung pergi ke acara kedinasan bersama dengan ajudan mereka. Julian pergi ke perusahaan tapi lebih dulu mengantar Sean kesekolah. Moza yang pergi ke studio di antar oleh Aji tentunya, karena ia pemilik studio foto. Semantara Fira dirumah karena dia sudah tak lagi mengajar sebagai seorang guru TK semenjak menikah dengan Julian karena memang mertuanya tidak mengizinkannya untuk bekerja lagi. Tau sendirilah Fira itu menantu perempuan satu satunya di keluarga Abraham, menjadikannya menantu kesayangan dan tidak di perbolehkan membanting tulang.
Lagu Indonesia raya mengalun begitu lantang di dalam sebuah aula. Sekitar tiga puluh anggota tentara Republik Indonesia mengenakan seragam loreng serta baret di atas kepala dengan berbagai jenis warna dari korps masing masing tempat mereka bertugas tampak berbaris rapih di dalam aula yang merupakan markas besar TNI dan di hadapan mereka berdiri seorang pemimpin yang merupakan panglima jenderal Hamzah Abraham, bapak panglima jenderal negeri ini.
"Lapor, Abrizam putra Bimantara, Kapten infanteri beserta dua puluh sembilan perwira pertama lainnya telah di naikkan pangkat lebih tinggi dari pangkat yang lama. Laporan selesai." Ucap komandan upacara berbaret merah menandakan dia dari korps kopassus begitu lantang dengan suara baritonnya, tubuhnya berdiri tegak, tinggi menjulang begitu gagah di tengah tengah aula, wajahnya yang juga termasuk dalam katagori tampan membius beberapa kowad, wara, dan kowal serta anak petinggi yang hadir di sana. Ya, itu anak sulung Saga dan Nada, Abri. Wajah manisnya benar-benar terbungkus apik dengan ketegasan yang melingkupi wajahnya. Sangat sempurna.
Dan ah, ternyata ini adalah acara kenaikan pangkat.
Tampak seluruh anggota yang naik pangkat hari ini merupakan anggota perwira dari mulai angkatan darat, laut dan udara berbaur menjadi satu di dalam aula.
Dan Abri, pria berusia tiga puluh tahun itu kini telah resmi naik pangkat dari Letnan satu infanteri menjadi kapten infanteri. Sungguh pencapaian yang sangat luar biasa bukan? Kedua orangtuanya yang menghadiri acara di sudut ruangan sana sudah menatap bangga dan haru putra sulung mereka.
"Laporan resmi saya terima, kembali ke tempat." Ucap jenderal Hamzah menatap wajah Abri begitu lekat yang rasanya sangat familiar dimatanya. Seperti pernah melihat wajah itu, tapi dimana? Dan Bimantara? Seperti nama belakang rekannya. Pikiran Hamzah berkecamuk merasa penasaran dengan komandan upacara satu ini.
"Kembali ke tempat." Beo Abri dengan suara baritonnya lalu memutar tubuhnya melangkah dengan gagah untuk kembali ke tempat awal ia berdiri.
Selain mendapatkan pangkat baru Abri juga mendapat tugas dan tanggung jawab baru yaitu sebagai komandan kompi atau yang sering di sebut Danki di mabes kopassus 81 Gultor di Cijantung, Jakarta Selatan.
"Pesan saya cuma satu untuk seluruh perwira pertama yang hari ini mendapatkan pangkat dan tugas baru untuk kita tak cepat berpuas diri namun justru meningkatkan kualitas dan kapasitas terbaik untuk pengabdian pada bangsa dan negara. Saya juga berharap kenaikan pangkat ini harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Jangan sampai nanti makin tinggi pangkat makin bingung apa yang akan dilakukan." Ujar jenderal Hamzah di tengah pidatonya.
Benar bukan? Tak satu dua orang yang seperti ini, pangkat tinggi tapi nol besar dalam pergerakan. Kenaikan pangkat bukan hanya sekedar naik dan mendapatkan gelar baru di depan nama saja tapi juga tugas baru yang harus di emban juga jauh lebih besar dari sebelumnya. Misalnya saja seperti Abri yang dulunya seorang danton yang memimpin sebuah pleton dan terdiri dari lima puluh anggota kini sudah naik menjadi Danki dan memimpin satu kompi yang terdiri dari seratus anggota. Bayangkan Abri harus melindungi, mendidik dan mengayomi orang sebanyak itu di bawah kepemimpinannya.
"Jadi saya akan menunggu ide atau kinerja para perwira yang aplikatif, yang riil. Jangan sampai sudah pangkatnya tinggi, tapi tidak ngerti apa yang mau diperbuat," pesan jenderal Hamzah pada akhir pidatonya.
Akhirnya barisan pun bubar setalah rangkaian demi rangkain acara selesai di laksanakan.
Abri menghampiri kedua orangtuanya yang juga menghadiri upacara hari ini. Tak lupa kedua orangtuanya membawa sebuket bunga untuk sang putra.
"Selamat atas pangkat dan tugas barunya bang semoga jadi komandan yang baik, yang bisa memimpin anggota dengan bijaksana dan tentunya tegas juga." Ucap Saga penuh bangga dengan si sulung. Ia memeluk Abri menepuk nepuk kecil punggung putranya yang kini jauh lebih lebar dari dirinya.
Sedari kecil hanya Abri yang terlihat jelas akan mengikuti jejaknya, kemanapun Saga bertugas pasti Abri kecil ingin ikut. Sering sekali Abri kecil mengenakan seragamnya dan berkata ingin jadi seperti papanya. Saat kecil di tanya guru atau siapapun itu yang mempertanyakan cita citanya jadi apa, pasti Abri menjawab "Abang mau jadi seperti papa Saga jadi tentara supaya bisa lindungi papa, mama dan adik adik abang." Sangat penyayang keluarga sekali memang Abri ini sejak kecil hingga sekarang.
"Bang Saga?" Panggil seseorang yang membuat Saga, Nada dan juga Abri langsung menoleh.
Saga dan Abri langsung menegakkan tubuh mereka lalu memberi hormat "siap, benar jenderal." Sahut Saga. Itu panglima jenderal Hamzah.
"Wah, apa kabar bang?" Tanya Hamzah, setalah berjabat tangan lalu saling berpelukan. Seakan meluapkan rasa rindu yang menggebu kepada rekan lama.
"Siap, sehat jenderal." Jawab Saga.
"Ah, kayak sama siapa aja sih ga. Gak usah siap siap lah. Kita ini teman lama loh."
Saga hanya tersenyum sungkan "siap, jenderal."
"Katanya kamu jadi pangdam di Kodam jaya, tapi kita kok jarang ketemu ya ga, saya padahal bolak balik kesana loh." Cerita Hamzah, mengingat dia sering keluar masuk tempat kerja Saga tapi jarang sekali bertemu dengan pria itu disana. Lebih tepatnya masih terhitung dengan jari lah pertemuan mereka.
"Siap, sedang dinas di luar kadang jenderal. Bentar lagi juga saya masuk masa pensiun."
"Ha? Yang benar? Astaga sudah tua ternyata bang mayjen ini." kekeh Hamzah.
"Anak juga sudah 3 jenderal, baru punya mantu satu. Ya sudah tua."
Ya, Hamzah tau itu, anak bungsu keluarga Bimantara sudah menikah sekitar tiga Minggu yang lalu. "Tapi abang belum punya cucu. Kalah jauh dariku." ledek Hamzah dengan penuh bangga, punya cucu untuk pria paruh baya seperti mereka itu adalah pencapaian loh.
Wajah Saga berubah asem, sifat ngeselin Hamzah ini tak berubah sejak muda sampai sekarang. "masih pengantin baru anak saya. Nanti juga saya punya cucu. Tunggu aja."
"Santai dong bang mayjen." ujar Hamzah dengan jenaka melihat raut wajah Saga yang sudah berubah. "Tunggu tunggu, ini siapamu bang mayjen?" Tanya Hamzah kaget ketika baru menyadari keberadaan Abri yang berdiri di samping Saga.
"Siap, anak sulung saya komandan."
"Ha? Serius?" Wajah jenderal Hamzah jelas nampak kaget bukan main. Ia menatap bergantian wajah Abri dan juga Saga secara bergantian.
"Pantes namanya gak asing di telinga saya, wajahnya juga garang garang seperti muka siapa gitu? Eh, ternyata buntut bang Saga rupanya." ucap Hamzah seraya terkekeh saat mengatakannya. "Tapi saya perhatikan kok gantengan dia ya bang. Abang sih udah keriput." Lanjut Hamzah dengan nada bercanda setelahnya membandingkan wajah Abri, juga wajah Saga yang menurutnya begitu mirip bahkan bagai pinang dibelah dua.
"Siap, namanya juga udah tua bapak jenderal. Lagian kalau anak ganteng begitu bibit saya gak gagal kan?" Jawab Saga dengan nada bercanda juga, jenderal Hamzah menjadi tergelak karenanya.
Abri yang mendengar candaan para pria Paruh baya itu hanya bisa mesam mesem saja. Bingung juga mau nimbrung apa kan?
"Bapaknya korps raider anaknya korps kopassus. Salut saya bang mayjen sama didikannya. Anaknya jadi abdi semua mana berprestasi lagi. Kalau itu nurun mamanya pasti pinter semua." Hamzah menepuk nepuk pundak Abri bangga membuat kedua sudut bibir Abri tertarik membentuk senyum manis.
"Anaknya bener ini Bu mayjen?" Tanya Clara memastikannya pada Nada sang ibu.
"Siap, bener ibu jenderal." Jawab ibu tiga orang anak itu.
"Waduh, mukanya ganteng sekali kamu nak, gagah dan ya ampun tingginya." Clara sampai geleng geleng kepala langkah loh orang bertubuh tinggi tegap seperti Abri ini di Indonesia. "Tinggimu berapa kapten?" Clara saja yang termasuk wanita jangkung cuma sebatas pundak Abri.
"Siap, 187 cm ibu jenderal." jawab Abri dengan suara sedikit lembut karena berbicara dengan seorang wanita.
"Masya Allah tinggi banget kamu itu." Heboh Clara mengetahui tinggi Abri yang hampir mendekati dua meter. Abri hanya tersenyum saja memamerkan dua dimple di pipinya sangat manis sekali membuat wajah garangnya jauh lebih bersahabat.
"Kalau di dampingi orangtua begini ini pasti belum punya istri ini. Betul kapten... Abrizam?" Hamzah membaca name tag Abri yang berada di dada.
Abri nyengir dan menunduk malu "siap, benar bapak jenderal." dan satu yang Hamzah sadari, Abri ini ramah, murah senyum. Beda jauh sekali dengan Saga yang terkesan cuek bebek. Hamzah yakin kalau saja dirinya bukan seorang panglima Jenderal pasti ia sudah di cueki habis habisan. Hamzah yakin seratus persen.
"Kamu belum punya istri?" tanya Hamzah lagi pada Abri.
"Siap, belum pak jenderal."
"Kasihan sekali, ganteng ganteng gak laku kamu. Lihat itu tentara lain naik pangkat yang sama denganmu saja bahkan sudah punya anak, nah yang letnan satu juga sudah ada beberapa yang bawa istri. Eh, kamu malah gandeng orang tua. Gak iri kamu?"
Abri melirik beberapa rekannya yang lain. Hatinya meringis, rasa iri itu pasti ada, tapi hatinya belum mau bangkit ia masih terjebak dalam kubangan yang di namakan masa lalu. "Siap, tidak pak jenderal." Jawabnya pada akhirnya.
"Kapten lettingannya Adipati Dwikara Jenggala?" Tanya Clara merasa wajah Abri begitu familiar di matanya karena beberapa kali seliweran di medsos sang menantu, kalau dia tidak salah lihat sih.
"Siap, benar ibu jenderal." Tentu saja Abri membenarkan. Memang ia berteman bahkan mereka bersahabat sejak pendidikan sampai saat ini. Tapi di karenakan mereka Abdi negara yang siap di tugaskan di manapun berada jadilah keduanya berpisah. Abri yang bertugas di satuan kopassus yang berada di Cijantung, Jakarta Timur dan Dwika di Kartasura, Jawa tengah. Sesekali mereka bertemu ketika ada latihan gabungan, misi, perayaaan besar korps kopassus atau TNI. Jika tidak ya tidak bertemu.
"Kok tau mi? Kenal?" Tanya Hamzah sedikit berisik pada sang istri.
"Gak sih, cuma pernah mami beberapa kali lihat postingan Dwika sama kapten Abri."
Jenderal Hamzah menganggukkan kepalanya paham.
"Bisa dong ini Bu jadi besanan kitanya, saya juga punya anak gadis loh di rumah." Mata Abri melorot mendengar ucapan ibu jenderal barusan kepada sang mama.
"Hahaha, siap ibu jenderal, kalau mau angkut Bu angkut." Sahut Nada setengah bercanda. Ia tak menganggap serius ucapan Clara, sadar diri. Anak jenderal loh ini ya kali jadi mantunya, kalau pun iya, mimpi apa Nada semalam.
"Tuh, Pi udah di suruh angkut sama mamanya yuk Pi. Buat Moza. Boleh loh ini." Clara menyenggol lembut lengan sang suami dengan wajah jenaka.
Sementara Hamzah menatap Abri dari atas sampai bawah dengan intens, menatap kapten baru di Lantik itu dengan tatapan yang tak mampu di jabarkan oleh siapapun. Ternyata pikiran istrinya tak jauh jauh dari dirinya yang jujur sedari awal sudah memiliki rencana itu setelah mengetahui Abri ini anak Saga.
Tau sendirilah Saga itu seperti apa, Hamzah yakin salah satu buntut Saga ini pasti sangat cocok jika jadi calon mantunya. Belum lagi pemuda ini termasuk dalam salah satu tentara elit terbaik yang kemampuannya di atas rata rata pasukan pada umumnya, terbukti dari mana ia berdinas di SAT-81 kopassus Gultor.
"Bang Mayjen, habis ini sepertinya kita perlu bicara sebentar ya. Sudah lama kita gak minum kopi bareng bareng loh ini." Usulnya dengan niat tersembunyi lebih dari sekedar minum kopi.
Memang kedua pria paruh baya itu tidaklah begitu dekat, bahkan awal mulanya mereka ini musuhan loh. Masih ingat tidak tim gagak yang pernah Saga kalahkan dalam latihan sewaktu dulu?
Nah, Hamzah ini kapten dari tim itu, masih ingat tidak bahwa pria ini habis di ledeki oleh Dirga dan juga Saga karena kalah stategi saat latihan. Nah, itu yang membuat mereka jadi musuh bebuyutan beberapa tahun. Yang lebih jelasnya sih, ya Hamzah ini yang memusuhinya, pantang melihat wajah Saga pasti langsung ia lempar tatapan permusuhan dan mengibarkan bendera perang. Kalau Saga sih, bodo amat, dia fine fine saja. Sampai beberapa kali mereka di pertemukan di berbagai macam misi jadilah mereka mulai terbiasa, wajah Hamzah kian bersahabat saat mereka di satukan pada misi yang sama dan rasa gedek Hamzah pun mulai terkikis habis, sampai mereka jadi benar-benar akrab dan dekat hingga sekarang. Saga masih tak menyangka pria itu kini mampu duduk menjabat sebagai jenderal panglima TNI. Boleh pamer tidak sih Saga kalau dia pernah loh mengalahkan panglima TNI satu ini dalam latihan. Sombong ya ga.
"Sekali lagi selamat kapten Abri. Semoga dapat amanah dan bertanggung jawab atas pangkat barunya." ucap jenderal Hamzah, ia malah melupakan tujuan awalnya ini. Abri memberi hormat lebih dulu, lalu menyambut uluran tangan jenderal Hamzah untuk di jabatnya.
"Siap. Saya akan berusaha menjadi pimpinan yang baik untuk anggota saya." jawabnya dengan suara bariton khasnya.
"Yuk bang mayjen. Bareng Bu mayjen ya Bu, kita ngobrol ringan. Kapten Abri?" Ajak Jenderal Hamzah sebelum pergi dengan niat terselubung di balik duduk manis minum kopi.
"Izin jenderal, saya tidak bisa ikut, rekan rekan saya datang." Lirik Abri pada beberapa rekannya yang berdiri tidak jauh darinya.
Jenderal Hamzah melirik kemana mata Abri tertuju, "oh, ya ya ya. Silahkan silahkan." jawabnya mempersilahkan "berarti kita kita saja ini bang mayjen?"
"Siap bapak jenderal." Jawab Saga sudah berdiri bersisian bersama dengan jenderal Hamzah, sementara istri mereka juga sudah nampak lengket dan berbicara sendiri di belakang suaminya masing masing. Sudah akrab sekali calon besan ini.
"Kalau gitu kita duluan ya kapten Abri, selamat sekali lagi. Yuk bang Mayjen." Setelahnya para orangtua berjalan keluar dari aula tersebut di buntuti oleh beberapa ajudan masing masing.
"Siap, bapak jenderal."
"Halah gak usah bapak jenderal bapak jenderalan lah bang Saga, kita teman kan?"
"Gak enak dong mas Hamzah."
"Mas? Astagfirullah. Panggil Hamzah aja bang saya lebih seneng dengernya. Kan Abang juga jauh lebih tua dari saya."
"Bisa di sleding saya sama ajudanmu."
Hamzah melirik Marwan "berani wan sama bang Saga?"
Marwan yang di tanya seketika menegakkan tubuhnya "siap kalau beliau mengancam keselamatan bapak kenapa tidak berani?"
Saga pun terkekeh kecil "Kopassus kau tanyai, mana ada takutnya."
Hamzah mengangguk membenarkan. Akhirnya mereka pun berlalu dari dalam aula.
Selepas kepergian orangtuanya yang di bawa oleh jenderal panglima TNI, Abri di hampiri oleh para rekannya yang ternyata berbodong bondong datang ke sana.
"Widih, gak main main koneksi bapak mayjen, temennya sekelas bapak jenderal cok!" Heboh Marvin begitu tiba di hadapan Abri.
Abri hanya memutar bola matanya malas.
"Eh, eh, ngomong ngomong pada tau gak kalau anak bontot bapak jenderal cantiknya Masya Allah banget. Mbak Berlian cantik kan? Nah ini lebih parah cantik banget, banget, banget." Gilang memulai aksinya sebagai buaya rawa, yang pasti tau saja anak anak petinggi yang bening bening tak terkecuali anak dari panglima jenderal mereka.
"Kau pernah lihat?" Tanya Denis penasaran.
"Buaya kelas paus ni bos, senggol dong. Ya jelas tau lah gue!" Gilang menepuk dadanya bangga dengan predikat buaya yang melekat dalam dirinya. "Bening cok bening parah, siapa? Luna Maya? Lewat, prili Latuconsina? Gak ada apa apanya, Sifa hadju? Jauh. Cantik poll sumpah poll. Kalau gak anak pak jenderal mah dari pertama lihat udah gue embat sumpah."
"Kalau sampai dia terjerat perangkap buaya kelas paus kayak kau, di jadikan tumbal proyek kau yang ada sama bapaknya." Ujar Denis menakut nakuti.
Abri yang sejak tadi hanya mendengarkan kini mulai angkat suara "kalian kesini mau ngucapin selamat ke saya, atau mau ngegosipin anaknya pak jenderal?" Jujur saja Abri pun tak pernah tau anak bapak jenderal itu bagaimana bentukannya, yang ia tau ya cuma Berlian, karena pernah bertemu beberapa kali dengannya.
Kelima pria itu cengengesan, tidak terkecuali si anak baru Marvin yang baru bergabung dua bulan lalu di kesatuan mereka.
"Maaf maaf komandan. Kita kan sekedar berbagi informasi, siapa tau pak jenderal lirik kita buat jadi calon mantu." Jawab Gilang dengan wajah jenaka sok yes nya.
"Yang betul aja, walaupun cantik kayak bidadari pun kalau bapak mertuanya jenderal Hamzah, maaf maaf aja lah. Aku gak ikutan, ngeri coy denger cerita bang Dwika waktu mau jadikan kak Berlian istri. Hutan, rawa, laut, gunung, jurang jadi saksi dia di babat habis bapak jenderal coy buat seleksi calon mantu." Ibam bergidik ngeri di akhir mengingat cerita Dwika di waktu dulu mereka masih satu kesatuan saat bertugas di Banten.
Abri pun ikut membenarkan apa yang Ibam katakan karena ia yang tau persis seperti apa perjuangan Dwika untuk mendapatkan Berlian.
"Sudah sudah, bahas itunya nati lagi. Ini kita ucapkan selamat dulu gak si ke komandan Abri?" Ujar Marvin. Jujur saja dia tidak paham dengan pembahasan para rekannya ini. Tapi ia turut penasaran, anak bapak jenderal ini cantiknya bagaimana sih, sampai mereka pada memujinya seperti itu.
"Hua pangkat baru dong!" Sorak Gilang heboh sekali. Membuat mereka jadi pusat perhatian yang lain.
"Mulut Lang mulut. Macam kau buat di hutan pulak ini gedung aula." Gemas Ibam dengan logat Bataknya.
"Naik pangkat udah ndan, tinggal naik pelaminan aja ini ndan yang belum." oho, Mulut sowak siapa itu yang berkata seperti itu minta di tahlilin apa gimana?
Tidak taukah kapten barunya ini belum bisa move on akibat di tinggal nikah lima tahun lalu? Masih trauma dia. Malah di tanya kapan naik pelaminan. Huh, kapan kapan deh.
Semua mata langsung menatap horor Marvin si anak baru.
"Kita tunggu teraktiran nya bang." ucap Ibam menyenggol lengan Marvin, dia belum tau semengenaskan apa kapten barunya ini dalam dunia percintaan. Marvin mengangkat dagunya tanda bertanya, namun Ibam malah menggeleng. Nanti sampai di barak pasti akan Ibam beritahu apa yang tidak boleh di sebutkan dalam barak bujang mereka.
"Nah, nah ini nih yang di tunggu-tunggu pajak naik pangkatnya." sambar Denis dengan senyum bahagia, ia tidak ingin Abri mengingat-ingat kisah masa lalunya yang jujur sangat menyakitkan. Denis saja yang bukan korbannya ikut nyesek kalau ingat itu.
"Kalian atur aja dimana, nanti saya yang traktir. Tapi jangan malam ini, soalnya saya mau makan malam sama keluarga." ucap Abri santai seolah tak mendengar perkataan Marvin tadi
"Woke kapten, siap laksanakan!" seru mereka.
Padahal hari sudah Berubah gelap tapi Moza masih fokus akan komputernya, memeriksa hasil editan beberapa project customer yang sudah selesai dan akan di ambil lusa oleh costumernya.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk."
Setelahnya seseorang masuk kedalam ruangannya begitu di izinkan pemiliknya masuk.
"Astaga, lemburnya nya udah kali kak. Udah jam delapan itu kerjaan yang lain juga udah pada kelar. perlu gue bantu juga kak?" Tanya Okan—salah satu fotografer yang bekerja di studionya.
"Gak usah, dikit lagi kok. Riski mana? Belum balik?" Tanya Moza balik setelah menolak tawaran Okan menanyakan keberadaan fotografer lain yang juga bekerja dengannya.
"Udah, tadi gue telpon orangnya udah sampai rumah. Katanya abis motret langsung pulang. Padahal niatan gue mau ajak ke club gitu dugem ajep ajep, sambil minum satu dua gelas." Okan mengangguk-anggukkan kepalanya sambil sedikit berjoget seakan akan tengah menikmati musik di dalam club, padahal suara musik pun tidak ada sama sekali.
Mata Moza melotot "heh, itu anak pak haji jangan kamu sesatin kan."
Okan pun tertawa setelah melihat reaksi Moza "hahaha, bercanda kak. Gue anak baik baik loh ini mana mungkin mau ke tempat begituan. Bisa di sleding dari KK dong gue sama emak kalau sampai itu terjadi. Eh, kok malah ngebacot deh gue disini kan bukan ini niat awal gue. Astajim!"
Moza terkekeh kecil melihat karyawannya satu ini.
"Lu si kak." Tuduhnya.
"Lah, salah kakak dimana kan?" Perasaan dia tidak ngapa ngapain loh ini.
"Ah, udah lah, gue pulang duluan kak! Jangan lembur. Assalamualaikum!" Ia langsung pergi keluar dari ruangan Moza tanpa berbasa basi lagi, ya niatnya datang ke ruangan bos cantiknya itu cuma mau pamit pulang karena kerjaannya sudah selesai.
Moza geleng geleng kepala saat sudah tak melihat Okan, memang di antara karyawannya yang lain Okan ini yang paling random.
Pintu kantor belum tertutup sempurna, dua orang gadis muncul dari sana "kak kita pulang!" Seru keduanya, sudah seperti anak kembar, padahal tidak sama sekali.
"Eh, iya iya hati hati. Kakak pikir udah pada pulang loh." Kali ini Moza menatap kedua gadis yang berdiri di ambang pintu yang merupakan dua resepsionis studionya bernama Laila dan Ana.
"Hehehe, abis gibah sama kak Windy dulu tadi di bawah jadi lama." Tidak lupa keduanya nyengir.
"Astagfirullah! Istighfar dosa loh gibahin orang."
Lagi keduanya terkekeh "sekali sekali kak gak papa." Jawab Laila tanpa dosa.
"Kalian mah keseringan."
Lagi keduanya cuma cengengesan "gak pulang kak?" Tanya Ana mengalihkan.
"Bentar lagi na. Oh ya Windy mana?"
"Di bawah lagi Nerima telpon." Jawab Laila.
"Customer?"
"Gak tau." Kompak keduanya menjawab.
Moza mengangguk saja "kalian mau pamit pulangkan?"
"Hehehe, iya kak. Kita duluan ya kak, bolehkan?"
"Iya boleh. Tolong nanti bilang ke Windy untuk buatkan kakak kopi ya."
"Siap kak." Seru keduanya lalu berjalan keluar.
Moza kembali sibuk dan fokus akan komputernya, mengedit beberapa foto customer disana sampai sampai ia tak sadar ada orang masuk kedalam ruangannya.
"Udah kali za, kapan sih tu foto di ambil customer?" suara Windy—asisten sekaligus sahabatnya. Windy membawa segelas kopi yang di minta Moza.
"Lusa, makasih. Lettu Aji masih nunggu di bawah?" Tanya Moza tentang keberadaan sang ajudan.
"Lagi ke mesjid katanya tadi, Lo suruh nunggu bentar kalau mau pulang."
Moza mengangguk anggukkan kepalanya paham, karena ini sudah waktunya sholat isya sih. Jangan tanya Moza kenapa gak sholat, sudah pasti lagi m, males maksudnya. Huehehe.
"Eh, za. Gue... mau minta tolong sama Lo... boleh gak?"
Mendengar itu Moza langsung memasang wajah was was, apa lagi melihat wajah Windy yang amat sangat mencurigakan, ia tau sahabatnya ini kadang kalau minta tolong gak mikiri harga diri orang "Apa?" matanya berubah tajam.
Menyadari Moza yang sudah masang ancang-ancang Windy nyengir "papa gue jodohin gue lagi za." Windy melancarkan aksinya kini wajahnya di tekuk sesedih mungkin untuk menarik perhatian sang sahabat agar mau menolongnya.
Nah kan. Moza sudah tebak pertolongan macam apa yang Windy harapkan darinya "gak ada ya win, gak mau aku jadi tumbalmu!" Moza kembali fokus akan komputer, ia berusaha tak menatap wajah Windy.
"Please... Sekali ini aja za." mohonnya, dengan wajah di buat senelangsa mungkin.
"Gak gak. Dari dulu pun kamu bilang sekali aja, nyatanya malah berkali-kali." tolak Moza, kali ini ia tidak akan menuruti permintaan Windy lagi, yang ada trauma Moza mah. Niatnya nolak mewakili sang sahabat, eh malah para pria yang mau di jodohkan oleh Windy malah putar haluan mengejar dirinya.
"Ini benar benar yang terakhir za. Please." mohon Windy dengan menangkupkan kedua tangannya di depan wajah memohon.
"Aku sibuk, kerjaan ku banyak gak sempat jadi Basarnasmu. Sana telpon damkar aja, minta tolong ke mereka yang sudah pasti mau nolong kamu." sebisa mungkin Moza menghindari tatapan mata memelas Windy yang mengiba itu, soalnya Moza paling tidak tahan melihat wajah mengibah seseorang pada dirinya.
"Oza..." rengeknya bak bocah yang minta di belikan permen dengan wajah memelas yang sudah berada di sebalah Moza tidak lupa gadis itu menangkup kedua pipinya berlagak sok paling imut. Akh! Moza tidak kuat kalau diginiin. "Please..." ia mengerjapkan beberapa kali matanya berlagak sok polos dan sok imut. Moza melirik melalui ekor matanya.
Moza benar benar tidak kuat, ia memejamkan matanya dengan paksa, frustasi sendiri akan permintaan sang sahabat "apa susahnya sih win ikuti kata orangtua. Toh, si Rama juga gak jelas, aku lihat dia juga gak ada niatan serius sama kamu. Kali ini aja gak ada salahnya mempertimbangkan pilihan orangtuamu." ya, entah sudah berapa kali Windy di jodohkan oleh orangtuanya. Tapi Windy tidak pernah mau, selalu menolak dengan alasan ya karena dia udah punya pilihan sendiri dia sudah punya kekasih bernama Rama, tapi sudah 4 tahun pacaran Rama tak kunjung memperlihatkan keseriusannya. Orangtua mana yang gak jengkel. Kalau dapat papinya Moza, udah di jadiin Kampas rem Alusista yang begitu itu.
"Gak, papa gue aja yang gak sabaran. Suatu saat nanti pasti Rama datang melamar gue za Rama yang bilang sendiri sama gue."
"Win, udah berapa kali dia ngomong gitu, sadar. Empat tahun gak sebentar win. Dan selama empat tahun itu pula kamu di iming iming janji semu. Kali ini aja dengerin apa kata orang tuamu."
Windy terdiam dan menunduk sejenak "gue cinta sama Rama za, gue cuma mau nikah sama dia. Gak mau yang lain. Lagian Lo enak banget ngomongnya. Seandainya ya, seandainya gue kebalikin ini posisi gue ke Lo. Lo di jodohin sama papi lo dengan cowok yang gak Lo cintai, apa Lo mau? Apa Lo terima?"
"Ya, aku terima, kenapa enggak? Toh aku yakin sama pilihan kedua orangtua ku win, apa lagi pilihan papi yang udah pasti pilihan terbaik dan gak akan mengecewakan aku. Aku pasti terima dengan Lapang dada. Dan soal cinta? Cinta akan datang karena terbiasa aku yakin itu." tanpa berpikir lebih dulu, Moza begitu mantap mengatakannya. Membuat Windy terdiam kaku.
"Tapi Lo ngomong gitu karena Lo gak punya pilihan za, sedangkan gue. Di sisi gue, gue punya orang yang gue cinta. Gue gak mau dijodohin. Kali ini aja za, tolong gue ya. Kali ini aja. Please." mohonnya untuk yang terakhir kali di barengi air mata yang mulai meluruh membasahi pipi. Ya, ia menggunakan senjata terakhirnya yang pasti kali ini tak akan gagal.
Benar saja Moza benar-benar tak kuat jika melihat Windy seperti ini.
Moza menghela nafas lelah, susah sekali memang berbicara dengan manusia yang sudah menjadi budak cinta seperti Windy ini. "Oke, gue bantu. Tapi ini yang terakhir. Janji?"
"Beneran?" matanya mulai berbinar.
"Janji dulu."
"Serius?" tanyanya lagi.
"Janji dulu Windy! Atau gak sama sekali." geram Moza.
"Eh, jangan dong. Harus bantu. Oke, gue janji, ini jadi yang terakhir. Lo juga harus janji juga harus bantu gue." Windy mengambil stempel yang ada di atas meja Moza. Dan memberi cap di atas punggung tangan Moza "udah gue cap janji lo, gak boleh di cancel."
Mata Moza kontan melotot melihat kelakukan sahabatnya satu ini. Dia belum jawab loh. "Windy!" kesalnya karena tangan mulusnya mendadak menjadi kertas.
"Lo udah tau tugas Lo kan?" tanya Windy tak perduli geraman Moza.
Moza menatap Windy malas "Seperti biasa kan?" tebaknya.
Windy mengangguk mantap. "Tapi..."
"Tapi...?" beo Moza mengikuti ucapan sang sahabat.
"Kali ini gak ada fotonya." tidak lupa gadis itu nyengir tanpa dosa memperlihatkan deretan giginya.
"Gila ya! Ya kali gak ada fotonya. Jadi gimana caraku untuk mengenalinya Windy?"
"Ya gimana. Mak gue gak kasih."
"Wah, gila, benar benar gila. Gak ada pertemuan, batal kesepakatan kita!" seru Moza. Gila kali dia di suruh temui cowok yang gak dia tau mukanya gimana. Di suruh nebak gitu dengan cap cip cup. Gila kali!
"Loh, mana bisa gitu. Kita udah sepakat. Lo juga udah janji mau bantu, udah gue cap loh itu."
"Ya gimana, fotonya juga gak ada. Mana bisa aku bantu. Batal deh pokoknya batal."
"Gak gak, harus jadi. Lo udah janji ya za. Gak boleh gak. Bentar gue telpon mak gue dulu." Windy dengan segera beralih ke kaca transparan yang menampilkan pemandangan ibu kota Jakarta kala malam hari. Sangat cantik.
Moza lantas mendengus melirik Windy yang wajahnya sudah panik duluan. "Sabar za." ucapnya, sepertinya panggilan di sebrang sana belum di angkat oleh mamanya Windy.
"Halo ma." suara Windy setelah sekian lama, panggilannya di angkat. semantara Moza hanya memperhatikannya dari kursinya.
Ah, Moza baru ingat dengan kopi yang ia minta buatkan Windy tadi. Dengan perlahan Moza meniup kopi yang masih terasa panas itu dan pelan pelan menyeruputnya.
Ting!
Ponselnya pun bergetar, pesan dari Aji.
Pumpung saya lagi di luar. Nona mau makan apa?
Letnan Aji
^^^Gak mau apa apa. Kamu cepat jemput aku, aku udah selesai.^^^
^^^Moza.^^^
Siap nona
Letnan Aji
Setelah membalas chat dari Aji, panggilan yang di lakukan Windy dengan sang mama pun terputus juga.
"Gimana?" tanya Moza langsung, lagi Windy hanya meringis.
"Oke, berarti batal ya, kalau begitu aku mau pulang." ucap Moza pada akhirnya bangkit dari duduknya memasukan laptop flashdisk ke dalam ranselnya.
"Eh, Jagan dong, di gorok Mak gue entar kalau yang ini gak di temui." Windy mencekal tangan Moza agar gadis itu berhenti berkemas. Urusan mereka belum selesai.
"Terus aku harus gimana? Aku bukan peramal ya, bisa nebak calon suamimu itu bagaimana bentukannya dan wajahnya."
"Gak ada calon suami! Gue cuma cintanya sama Rama!" teriak Windy tak terima.
Dasar bucin akut.
"Ya sudah bawa Rama ke hadapan kedua orangtuamu, gampang kan gak usah memperibet hidupku Windy!"
"Tapi kali ini harus di jumpai Moza..." ujarnya kali ini balik memelas.
"Ya udah sana kamu temui, kan itu calonmu bukan calon ku."
"Tapi kan Lo udah janji tadi. Gak punya perasaan banget si jadi temen."
"Itu tadi, kalau ada gambaran orangnya gimana. Lah, ini ya kali win aku mau asal jumpai orang."
"Mak gue lagi usaha kok buat minta fotonya sama mamanya tu cowok. Mungkin bentar lagi di kirim. Mau ya bantu gue." bujuknya lagi.
Moza menghela nafas pasrah, ia menganggukkan kepalanya. Toh, dia nolak juga pasti Windy akan terus menerornya dengan bantuan gila ini.
"Nah, gitu dong itu baru temen gue." Windy memeluk tubuh Moza begitu erat sangking senangnya.
"Lepas win, gak bisa nafas aku!"
Windy malah tertawa, namun tetap melepaskan pelukannya. "Haduh, anak jenderal yang cantiknya melebihi bidadari ini benar benar memiliki hati yang seputih salju mau menolong pengemis cinta seperti saya."
Tak!
Tanpa kasihan Moza nyelentik jidat Windy. "Ada maunya muji sampai ke akar akarnya ya."
Windy mengelus jidatnya yang jujur ini sangat sakit. Tapi dia gak boleh protes bisa berubah pikiran lagi nanti Moza.
"Nona, mari pulang." tiba tiba saja Aji muncul, ia langsung masuk karena pintu ruangan sang nona cantiknya tidak di tutup.
"Eh, tunggu dulu. Bang Aji harus anterin kita dulu ke suatu tempat ya." pinta Windy lebih dulu sebelum ajudan ganteng sahabatnya itu menggeret Moza untuk pulang.
Alis Aji menyatu bingung "mau kemana?" tanya Aji menoleh ke Moza meminta jawaban gadis itu.
"Ke restoran." bukan Moza yang menjawab tapi lagi lagi Windy yang menyerobot.
"Nona lapar?" tanya Aji lagi kepada nona cantiknya.
Moza sudah membuka mulutnya bersiap menjawab namun lagi lagi Windy menyerobotnya lebih dulu "kita punya urusan bang, gak usah banyak tanya deh anterin kita aja. Oke. Yuk za." langsung Windy menggeret Moza untuk segera keluar dari ruang kerja gadis itu, bisa bisa Aji terus menerus bertanya seperti wartawan yang sedang mengejar berita terpanas dan terhot. Belum lagi, jika Aji tau niat busuknya, haduh bisa gawat itu, jelas Aji akan mengadukan dirinya ke bapak jenderal dan mengatakan kalau Moza telah dijadikan tumbal perjodohan oleh Windy. Bisa gawat yang ada pak jenderal langsung menjatuhkan nuklir ke rumahnya.
By the way aja ya. Sebab akibat banyaknya pria yang mengejar dan mengirimi Moza bunga itu asal muasal nya ya dari Windy ini. Semua pria yang awalnya di jodohkan dengan Windy atau sekedar kenalan dengan Windy balik kanan putar jalan malah mengajar Moza yang selalu menggantikan Windy setiap kali gadis itu di jodohkan orangtuanya. Bumerang sekali bukan untuk Moza?
Hidupnya yang adem ayem mendadak riwuh ya gara gara Windy. Teman laknat memang dia. Tapi selaknat laknatnya Windy tetap saja Moza tak mampu menolak permintaan gadis itu, taulah ya Windy itu punya jurus seribu satu cari untuk meruntuhkan dinding bertahan yang bernama kasihan di diri Moza gadis itu paling tidak bisa kalau melihat orang mengiba padanya.
Aji menatap Moza yang ternyata juga menoleh pada Aji, tatapan pria itu seakan meminta penjelasan namun malah di balas hanya anggukan oleh gadis itu membuat Aji menghela nafas pelan dan mau tak mau menurut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!