Di sebuah gubuk tua, seorang gadis di rantai, di ikat, dan mulutnya di bungkam lakban. Terdapat beberapa memar di beberapa titik tubuhnya, karena pukulan dari para penculik yang menyekapnya. Trauma, takut dan ingin kabur yang bisa dia pikirkan saat ini. Sudah seminggu dia diculik, di bawa ke beberapa tempat dan para penculik meminta uang tebusan sangat banyak.
”Ayah.” Gumam gadis itu, matanya terbuka, menatap sekeliling yang begitu tidak layak huni kini menjadi tempat tinggalnya. Tikus-tikus berkeliaran dengan bebas, kecoa yang paling dia takuti membuatnya menegang dan menangis, apalagi saat binatang itu menggerayangi kakinya.
Berteriak-teriak pun tidak bisa dia lakukan bebas, kedua tangannya yang diikat ke belakang membuatnya tidak berdaya. Tubuhnya begitu kurus, bukan hanya kelaparan, tapi karena trauma. Sepotong roti dan segelas air yang diberikan satu kali sehari oleh para penjahat itu.
******
Di tempat lain, di sebuah pesantren bernama Baitul makmur. Terdengar riuh suara para santri yang sedang mengaji, pesantren yang diurus di atas tangan Yusuf Al Fatih. Dan sudah dua tahun berpindah kepada sang anak, yaitu Muhammad Salman Al farisi.
Kedua pria itu kini sedang mengobrol bersama, di teras rumah.
”Kapan kamu akan menikah lagi?” seru Yusuf. Salman langsung berpaling, tidak suka dengan pembahasan pernikahan yang sering diajukan ayahnya.
”Jangan bahas itu bi, aku mohon." Pinta Salman serak. Yusuf menggeleng kepala dan meraih segelas teh hangat buatan istri tercintanya, Wulan.
”Kamu harus tetap hidup, menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Syafa akan sedih jika tahu kamu rapuh saat ini nak.” Tutur Yusuf serak. Kedua matanya berair, khawatir dengan perilaku Salman setelah ditinggalkan Syafa.
”Itu urusanku bi. Tolong.” Salman sangat lelah dan Yusuf menggeleng kepala.
Salman menjadi duda, sudah satu tahun. Usianya kini 27 tahun, tinggi 1,82cm. Berambut hitam pekat, dan ikal. Kedua matanya seperti mata elang, kulitnya coklat eksotis, hidung nya mancung bertulang sedikit menonjol (seperti author), pipinya sedikit cabi dengan luka di bagian pelipis kirinya. Pintar dalam agama dan dipercaya menjaga pesantren keluarganya. Memiliki tiga adik, dua perempuan satu laki-laki. Fitria, Sairish dan Surya. Merupakan sosok kakak baik, tegas, perhatian dan royal. Sosoknya yang tegas dan galak sangat ditakuti para santri, tapi tetap saja yang bandel terus ada. Pendiam, memiliki usaha di bidang kuliner. Semakin pendiam setelah ditinggalkan rembulan nya. Syafa Hafizah.
”Asstaghfirullah.” Seru Yusuf lantang, saat melihat seorang gadis masuk ke kawasan pesantren tanpa memakai kerudung, hanya memakai tunik dan celana panjang. Masih sopan, tapi tetap saja tidak sopan untuk masuk ke tempat belajar agama tersebut.
Salman langsung bangkit, dia menuruni tangga dengan cepat, langkahnya begitu tegas dan sembari menarik kain sorbannya, dia mendaratkan kain sorbannya di atas rambut Sairish, Sairish diam dan menggigit kecil bibirnya.
”Maaf.” Suara Sairish serak.
Sairish terus menunduk, tidak berani menatap Salman yang marah padanya saat ini, apalagi Yusuf ayah kakaknya yang langsung pergi. Setelah selesai menutupi aurat adiknya, Salman menarik Sairish ke dalam rumah.
”Sudah aku bilang, pakai kerudung kalau kesini.” Seru Salman penuh emosi. Sairish dia minta duduk dan kini keduanya berseberangan.
”Ya maaf.” Lirih Sairish, dan hampir menangis.
”Kenapa kemari?”
”Kamu lupa? sekarang kan Surya ulang tahun.” Ujar Sairish, Salman terdiam, memijat keningnya berulangkali. Bagaimana bisa dia lupa? Surya kalau tahu, pasti anak itu marah dan tidak mau bertemu dengannya.” Jangan bilang mas lupa ya. Udah ada belum kado nya?”
”Belum, temani aku. Aku mau beli sekarang juga." Imbuh Salman, lalu bangkit dan bergegas pergi untuk mengambil kunci mobil dan dompet nya.
”Dasar." Cibir Sairish, lalu dia diam menunggu. Dia menoleh saat Fitria muncul dari dapur, keduanya saling memandang sinis. Sairish mendengus dan memangku satu kakinya, jelas saja hal tersebut membuat Fitria meradang.
”Tidak tahu sopan santun.” Maki Fitria emosi. Lalu melenggang pergi menuju ke dapur.
Fitria dan Sairish tidak akur, sering berdebat karena hal kecil. Fitria masih seperti dulu, malah semakin menjadi-jadi. Dia yang selalu merasa lebih berhak atas ayah tirinya yaitu Yusuf. Ibunya Wulan berulangkali mengingatkan, anak tiri tidak berhak menuntut apapun. Wulan malu, kepada Asma dan Salman atas tingkat laku putrinya.
Setelah Salman siap, dia mengajak Sairish untuk segera pergi, dia melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Menuju pusat perbelanjaan untuk mencari hadiah. Adiknya masih SMA. Terakhir kali dia meminta iPad, tapi Salman tidak memberinya karena Surya mengalami penurunan dalam nilai nya. Anak itu sering bermain game tidak tahu waktu, jarang belajar dan sering tertidur di kelas.
Sairish diam, memperhatikan gantungan yang dikaitkan ke kaca spion bagian dalam adalah foto Syafa, foto kakak iparnya yang paling dia kagumi. Sosoknya tak akan pernah terganti, baik dan ramah adalah identitas Syafa.
”Kalau mas Salman menikah lagi, aku gak apa-apa. Tapi aku mau yang seperti mbak Syafa.” Gumam Sairish, lalu dia berpaling dan Salman menoleh sekilas padanya.
Asma diam, menatap keluar kaca jendela berulangkali. Apa Salman tidak akan datang? susah seminggu dia tidak bertemu dengan putra pertamanya, rasa rindu yang menggebu begitu menyiksanya.
”Anak-anak sudah dewasa ya bund.” Ujar Satya, Asma menoleh dan tersenyum. Dia menyenderkan kepalanya di lengan suaminya itu saat Satya merangkul bahunya.
”Aku khawatir dengan keadaan Salman, dia tidak baik-baik saja setelah kepergian Syafa.” Asma mengadu, tentang rasa khawatir dan kegelisahan yang dia alami. Kepergian menantunya begitu menjadi cambukan terburuk, Satya diam. Tidak bisa mengatakan apapun kecuali mengelus kepala Asma.
Dalam diamnya, tiba-tiba Asma tersentak mendengar suara klakson mobil, dan saat melirik keluar kaca jendela, ia melihat mobil berwarna silver datang. Anak pertamanya sudah datang, dia pun menjauhi suaminya, bergegas pergi untuk menyambut kedatangan Salman.
”Hati-hati.” Seru Satya menegur. Tapi Asma tak mau mendengar.
Salman keluar dari dalam mobil, dia diam sejenak, menyapu sekeliling. Banyak keluarga yang hadir, Surya bahkan langsung berlarian keluar saat mendengar kakak pertamanya datang.
”Mas.” Seru Surya, menghambur memeluk mas nya. Salman tersenyum lebar dan tubuh besarnya terus di goyangkan.
”Cukup.” Pinta Salman dan Surya berhenti. Dia usap rambut lurus adik lelakinya itu.” Semoga sehat-sehat ya, selamat ulang tahun. Jangan sering main game.” Tuturnya lembut dan Surya mengangguk. Tangan Surya menadah, meminta hadiah. Salman langsung menjitak kepala adiknya kesal.
”Sakit.” Ucap Surya, dan terus meringis memegang kepalanya.
”Nih.” Kata Salman, memberikan hadiah dan kedua mata Surya berbinar-binar.
”Beneran kan?” tanya Surya, takut isinya macam-macam. Seperti ulang tahunnya 4 tahun yang lalu, hadiahnya kodok.
”Hadeuh, ya udah kalau gak mau. Buat Sairish aja.” Ujar Salman, memberikannya kepada Sairish tapi Surya menyambarnya.
”Makasih mas Salman hehe.” Senyuman di bibir Surya membuat Salman bahagia. Kini dia berpaling kepada bunda nya.
Salman melangkah, memburu tangan bunda nya lalu menciumnya, Asma tersenyum, mengusap rambut Salman.
”Assalamu'alaikum bunda.” Imbuh Salman lembut.
”Wa'alaikumus Salaam nak.” Jawab Asma. Kini Salman berdiri dengan tegak dan melirik ayahnya sekilas. Asma langsung memeluk putranya hangat, mengusap-usap punggung lebar dan kekar itu. Salman membalas pelukannya, dia sibuk sampai tidak sempat mengunjungi bundanya.” Jangan siksa bunda dengan rasa rindu nak.” Pinta Asma sambil menangis.
”Maaf bunda.” Balas Salman serak, seraya mempererat pelukannya.
Setelah merasa cukup, keduanya sama-sama saling melupakan, Salman tersenyum, kedua tangannya dengan sigap mengusap air mata bundanya.
”Aku disini bund.” Imbuh Salman, seraya meraih kedua tangan Asma lalu menciumnya bergantian.
”Bunda sudah nungguin kamu dari tadi, ayo masuk.” Ujar Satya dan Salman menoleh, dia tersenyum, melepaskan tangan bundanya lalu beralih dengan menyalami tangan ayah tirinya Satya. Begitu penuh hormat dan Satya tersenyum lebar.” Bagaimana kabar kamu sehat?”
”Ternyata ayah pandai berpura-pura.” Goda Salman dan Satya memukul lengannya.
”Kalian bicara apa hah?” tanya Asma dan keduanya menggeleng kepala kompak. Lalu tertawa bersama.” Dasar.” Kata Asma dan mengajak semuanya masuk.
Salman terdiam, menatap semua makanan, kue yang begitu banyak. Dia menoleh saat Sairish menepuk bahunya.
”Aku suapi mas ya.” Kata Sairish dan Salman membuka mulutnya, menjilat jari adiknya berulangkali dengan sengaja, Sairish menjerit-jerit merasa jijik.” Jijik, jorok banget sih ah." Kesal.
Salman cengengesan dan mengunyah kue yang masuk ke mulutnya lembut.
”Jahil banget sih kamu.” Kata Asma dan Salman diam saat noda di bibirnya karena krim dari kue oleh Asma.
”Dia yang bilang mau nyuapin aku kan?” Salman tidak mau di marahi dan membela diri, Sairish cemberut dan mencuci tangannya.
”Gila!" maki Sairish.
”Enggak boleh gitu.” Tegas Satya dan Sairish tersentak.
”Iya ayah.” Imbuhnya kembali lirih.
”Kamu mau makan yang mana nak?” tanya Asma dan Salman bingung, terlalu banyak masakan malah membuatnya selalu dilema, pria sederhana, yang dengan satu masakan pun cukup baginya.
”Aku mau udang aja.” Kata Salman sambil meraih piring.
”Ayam, tumis, yang lainnya enggak?” Asma terluka kecewa. Salman menoleh, melihat raut wajah bundanya seperti itu.
”Bunda kamu yang masak semuanya.” Ucap Satya dan Salman tersenyum.
”Oke, terserah bunda saja. Yang mana saja boleh, tapi jangan pakai sambal.” Tuturnya lembut dan Asma terdiam. Salman seperti abi nya, tidak suka sambal.
Setelah acara makan-makan ulang tahunnya Surya usai, Salman sampai sekarang masih di rumah bundanya, dia tidak akan pulang ke pesantren. Pria itu sedang menelepon, di roof top. Saat mendengar suara langkah kaki, Salman mematikan panggilan dan diam saat Sairish memeluknya erat dari belakang.
”Aku tahu, pelukan ini berbau rayuan.” Tutur Salman dan Sairish tergelak.
”Aku butuh uang mas hehe.” Akhirnya Sairish jujur.
”Untuk?” tanya Salman, seraya berbalik dan kini berhadapan dengan adiknya.
”Jalan-jalan.” Jawab Sairish ragu, raut wajah Salman langsung berubah.
”Kemana?” tanyanya lagi.
”Ke puncak, sama teman-teman.” Ujar Sairish sambil tersenyum lebar.
”Cewek cowok?” mulai ketus.
”Dua-duanya, boleh?” jawab Sairish sambil bertanya, Salman menghela nafas panjang lalu berbalik.
”Enggak!” ucapnya penuh penekanan, tidak bisa dibantah apalagi di lawan. Sairish mendesah kasar, dia meraih tangan Salman dan menggoyangkannya agar diberi uang dan diberi izin.
”Ayolah bang, cuma satu malam aja.” Rengek Sairish dan Salman menggeleng kepala. Dia tidak akan mudah di bujuk rayu.
”Emangnya ayah ngasih izin?”
Sairish menggeleng kepala.
”Gila kamu, ayah aja gak ngasih izin, apalagi aku.” Ketus nya berucap. Lalu meletakkan kedua tangannya di pagar rooftop.
”Justru itu, aku mau mas bilang sama ayah, mas bujuk ayah. Supaya ngizinin aku.” Tutur Sairish dan Salman tergelak.
”Siapa kamu ngatur-ngatur hmm?" imbuhnya sewot, Sairish kesal, memukulinya lengan kekar kakaknya itu dan Salman melangkah pergi. Sairish harus berlari untuk mengimbangi langkah lebar kakaknya. Setelah sampai di lantai satu, Asma dan Satya mendesah bersama, melihat adik kakak yang terus ribut jika bertemu.
”Mas.” Rengek Sairish.
”Enggak.” Tegas Salman dan melangkah mendekati orang tuanya, Sairish tidak berani dan berhenti merajuk. Salman duduk dan menyenderkan kepalanya di bahu Asma. Asma diam membiarkan.
”Katanya Sairish mau liburan ke puncak!” seru Salman lantang, kedua mata Sairish membulat, dia tidak bisa membiarkan kakaknya terus berbicara, tapi untuk membungkam nya pun tidak mudah.
”Mas.” Sairish berbisik. Sambil melotot.
”Masih membahas itu lagi?” tegas Satya emosi.
”Irish maksa aku ayah, supaya membujuk ayah mengizinkan dia pergi.” Tutur Salman mengatakan segalanya, Sairish semakin frustrasi sekarang.
”Enggak kok.” Bantah Sairish berusaha menghindari amarah ayahnya.
”Ayah kan udah bilang, jangan.” Tutur Satya dan Sairish diam.” Kamu anak perempuan, jangan terlalu berani bergaul apalagi dengan lelaki.” Sambungnya keras.
”Mungkin Irish mau tinggal di pesantren.” Kata Salman dan Sairish terbelalak, dia tidak tertarik tinggal di tempat penuh kekangan itu. Dia tidak mau. Salman tersenyum lebar melihat kepanikan di wajah Sairish.
”Enggak ayah, aku gak mau.” Suara Sairish berat, dia mengerucutkan bibirnya.
”Nurut dong nak, jangan bikin mas sama ayah kamu khawatir. Terus bunda? apa kamu gak mikirin bunda nak, bunda juga gak ngasih izin.” Ujar Asma dan Sairish menekuk wajahnya dalam-dalam, semuanya gara-gara Salman, dia jadi bahan omelan habis-habisan.
”Awas kamu mas.” Ancam Sairish dalam hati.
”Aku yakin dia sedang mengumpat.” Gumam Salman.
Kedua adik beradik itu saling menatap sinis, lalu berpaling bersamaan.
****
Keesokan paginya, Salman sudah siap-siap untuk pulang, dia berbincang dengan Satya sejenak dan Satya memberikan sesuatu padanya. Salman menuruni tangga, lalu melangkah menuju dapur.
”Sarapan nak.” Kata Asma.
”Iya bund.” Jawab Salman lalu duduk, tatapannya begitu sinis menatap Sairish, Sairish mendelik sebal. Gadis itu sudah siap untuk pergi kuliah. Dan Surya juga baru datang dan siap untuk ke sekolah.
”Gimana sekolah kamu?” tanya Salman.
”Baik mas, lancar.” Jawab Surya.
”Lancar? gimana bisa lancar kalau tidur terus.” Cibir Salman, lalu meraih piring dan lauk pauk. Surya menunduk lemah, pasti Fitria yang mengadukannya kepada Salman. Fitria adalah seorang guru, Salman mengetahui segalanya tentang Surya dari Fitria, meski begitu. Dia tidak asal menerima apa yang dikatakan si julid Fitria.
”Mati aku.” Gumam Surya dan tidak berani menimpali ucapan Salman.
Salman terkekeh, melihat raut wajah tegang adiknya. Dia tiba-tiba mengeluarkan dompet, kedua mata adiknya berbinar saat melihat uang.
”Aku mau.” Pinta Sairish dan terus tersenyum, berbeda dengan awal kedatangan Salman.
”Giliran duit aja semangat.” Ketus Salman lalu memasukkan dompetnya kembali, kedua adiknya berhasil dia kerjain.
”Rese." Maki Sairish dan Salman hanya tertawa.
Asma menggeleng kepala, melihat Salman mengerjai kedua adiknya seperti itu, setelah Salman selesai sarapan lebih dulu, dia mendekati Asma.
”Bunda, aku pulang ya.” Salman pamit.
”Hati-hati, jaga pesantren dengan baik. Bunda selalu ingat sama abah dan umi.” Tutur Asma sedih. Mengingat abah Abdul dan umi Salamah yang sudah meninggal.
”Do'ain ya bund.” Pinta Salman, lalu memeluk Asma erat.
”Pasti bunda do'ain, mau bawa makanan? bunda siapin.” Ujarnya lembut, sambil menatap pahatan wajah putranya yang begitu luar biasa mempesona.
”Enggak usah, aku buru-buru.” Tolak Salman sedikit ragu, dan Asma pun paham.
”Ya sudah.” Ucap Asma lalu Salman menyalami tangannya.” Sudah pamit sama ayah nak?”
”Sudah bunda.” Jawab Salman lalu melirik kedua adiknya, Asma tersenyum seraya mengangguk. Salman melangkah sambungan mengeluarkan dompet, menarik empat lembar uang dan meletakkannya di meja makan.” Assalamu'alaikum”
”Wa'alaikumus Salaam.”
Sairish dan Surya antusias, menyambar uang dari Salman.
”Mas makasih ya.!” Teriak Sairish dan Salman hanya melambaikan tangan tanpa berbalik badan.
”Jangan boros.” Tegur Asma dan keduanya mengangguk.
*****
Beberapa hari kemudian, Salman pergi, dia izin kepada abinya. Sekarang, dia sedang berada di sebuah hutan belantara, di sebuah kota. Jauh dari tempat tinggalnya, tangannya yang kasar terus memegang senjata, persenjataan lengkap ada di dalam tas. Sesekali dia memberi kabar sampai akhirnya dia tidak menemukan sinyal.
Gadis yang sedang disekap, Vanya. Gadis berumur 24 tahun, calon dokter. Seorang anak dari keluarga kaya raya. Sedari kecil dia dibesarkan dengan bergelimang harta. Jika mau, dia bisa dimandikan dengan emas dan uang. Jika mau, dia bisa menerima semua fasilitas mewah dari sang ayah. Tapi dia tidak seperti itu, sosoknya sangat sederhana, dermawan dan baik.
Matanya kini terbuka, dia haus, untuk bernafas pun rasanya tidak kuat. Saat suara tembakan terdengar, kedua matanya terpancar binar penuh harap, berharap ada yang menyelamatkannya. Suara ledakan pun terdengar berulang kali.
”Ayah.” Gumam gadis itu, dia yakin ayahnya datang untuk menyelamatkannya.
Pintu ruangan tersebut pun akhirnya terbuka, cukup keras karena di dobrak oleh seorang pria. Vanya terdiam, melihat sosok yang tidak dia kenal. Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar, wajahnya tidak terlihat jelas. Di penuhi dengan noda berwarna hitam.
”Tolong.” Lirih gadis itu, entah pria itu mendengar atau tidak, karena mulutnya masih dibungkam.
Pria itupun mendekat, mengarahkan senjatanya kepada Vanya, tidak lama dia berlutut saat melihat gadis lemah dengan nafas terengah-engah itu. Rambut panjang berwarna pirang itu begitu lusuh. Kulit putihnya begitu berdebu.
”Hei." Panggil pria itu.” Buka matamu." Dia mulai panik.
Vanya membuka matanya, tubuhnya di angkat, lakban dari bibirnya di tarik perlahan-lahan, Vanya diam saat pria itu melepaskan ikatan tali dari tubuhnya, Vanya mengernyit, berusaha membaca nama yang tertera di seragam berwarna hitam itu. Hanya huruf S yang dia lihat.
”Salman!” seru seorang pria yang baru masuk, dia Hendry.” Cepat.” Ujarnya panik.
Salman sedang berusaha membuka gembok rantai yang mengikat kaki gadis itu. Dia melakukan segala cara dan akhirnya berhasil dengan kawat dari yang dia ambil dari tas nya.
”Ayo bangun.” Tegas Salman, tapi Vanya tak kuat.
”Saya tidak kuat pak.” Lirih Vanya. Suara gemuruh dari langkah kaki para musuh membuat Salman panik, dia akhirnya membungkuk, mengangkat pinggang gadis itu sampai setengah badannya terkulai di bahu lebarnya. Vanya diam, saat dia dibawa lari, pandangannya semakin buram. Salman berlari dan Hendry menjaga keduanya dan tidak lama yang lain pun datang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!