"Jadi, memang benar mereka tidur terpisah," gumam Luna pelan, hatinya dipenuhi dengan campuran rasa kaget dan penasaran. Dia berdiri di tengah kamar Damon, kakak iparnya, dengan teliti memeriksa setiap sudut ruangan. Baru saja, dia telah memeriksa kamar kakaknya, Elise, di ujung koridor. Rumah yang tampak sempurna ini ternyata menyimpan rahasia gelap di balik dinding-dindingnya.
Elise dan Damon, pasangan yang selalu terlihat harmonis dan penuh cinta di depan orang banyak, ternyata menyembunyikan sesuatu yang tak terduga. Mereka tidur di kamar terpisah. Luna tidak pernah melihat adanya ketidakcocokan di antara mereka sebelumnya. Senyum Elise, sikap perhatian Damon—semua tampak seperti potret ideal pernikahan. Namun, setelah pengamatannya yang mendalam dan rasa penasaran yang tak tertahan, Luna mulai merasakan kejanggalan dalam hubungan mereka.
Sejak kecil, Luna selalu memiliki ketertarikan pada hal-hal tersembunyi, rahasia-rahasia yang orang lain berusaha sembunyikan. Ketegangan halus di antara Elise dan Damon mulai mencuri perhatiannya—ketegangan yang tersembunyi di balik tawa dan candaan mereka yang tampak normal di hadapan keluarga besar. Luna mulai memperhatikan hal-hal kecil seperti sentuhan yang kaku, senyum yang dibuat-buat, dan keengganan mereka untuk berbicara tentang satu sama lain ketika tidak berada di depan umum.
Sebuah kebetulan—atau mungkin takdir—membawanya ke apartemen mereka hari ini. Luna datang dengan alasan untuk bertemu kakaknya dan berbincang seperti biasa, tetapi niat aslinya adalah untuk menyelidiki lebih dalam. Dia ingin memastikan apakah perasaan aneh yang menghantui pikirannya memiliki dasar atau hanya hasil dari imajinasi yang terlalu aktif. Setelah memeriksa dua kamar tidur yang seharusnya bersatu tetapi justru terpisah, Luna mendapatkan jawaban yang jelas.
Mengapa mereka tidur terpisah? Pertanyaan ini terus berputar di kepalanya. Apakah ini hanya masalah kecil, atau ada sesuatu yang jauh lebih besar yang terjadi di balik layar pernikahan mereka? Luna merasakan detak jantungnya semakin cepat. Sebuah gagasan muncul di benaknya—mungkinkah ini pernikahan kontrak, seperti yang sering dia lihat di film-film? Sebuah hubungan yang dijalin bukan karena cinta, tetapi karena alasan lain yang lebih praktis atau bahkan lebih gelap?
Namun, Luna tahu bahwa sebuah rahasia sebesar ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dia merasa harus melakukan sesuatu, mungkin mengungkapkan kebenaran ini kepada ibunya. Tetapi sebelum Luna sempat mengambil langkah lebih jauh, suara langkah kaki mendekat membuatnya tertegun. Damon muncul di ambang pintu, tatapan tajamnya langsung mengunci pandangan Luna. Wajahnya tenang, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Luna merasa waspada.
Damon melangkah mendekat, tanpa melepaskan tatapannya. "Apa yang kau lakukan di sini, Luna?" tanyanya dengan suara rendah, penuh kewaspadaan. Nada suaranya yang dingin membuat Luna merasa seolah-olah dikelilingi oleh ketidakpastian yang menekan.
Luna tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Aku... hanya melihat-lihat," jawabnya cepat, merasakan ketidaknyamanan yang mendalam dalam kata-katanya.
Damon tersenyum, senyum yang tidak mengandung kehangatan seperti biasa. "Sepertinya kau menemukan sesuatu yang tidak seharusnya kau ketahui," ucapnya dengan nada misterius dan penuh ancaman. Sebelum Luna sempat menjawab, Damon melangkah lebih dekat, membuat gadis itu merasa terperangkap dalam jaring yang tak terlihat.
Luna merasakan tatapan tajam Damon, penuh dengan niat yang tidak bisa diabaikan. "Kenapa kakak Elise bisa menikahi seseorang seperti ini?" pikirnya, kebingungan dan kekaguman bercampur aduk. "Damon memang kaya raya, tapi kekayaan itu tidak membungkus kelembutan atau kebaikan. Semua yang ada hanyalah sikap dingin dan dominasi."
Saat Damon berdiri dengan postur tegas dan sikap yang menuntut perhatian, Luna merasa terjepit. Ia tahu bahwa keberaniannya untuk melaporkan apa yang dilihatnya kepada ibunya harus ditunda, setidaknya hingga dia bisa memahami situasi ini dengan lebih baik. Tatapan Damon yang tajam seolah memperingatkannya bahwa setiap langkah selanjutnya harus diambil dengan hati-hati.
Luna merasakan tatapan tajam Damon yang penuh ancaman, dan jantungnya berdebar kencang. "K... Kak Damon, apakah kakak tidak pergi ke kantor hari ini?" tanyanya, suaranya bergetar dan penuh kekhawatiran. Rasa tertekan menghantui dirinya—ia mengira Damon tidak ada di rumah karena kakak Elise mengatakan bahwa suaminya sedang sibuk di kantor. Dengan anggapan itu, Luna merasa cukup percaya diri untuk datang dan memasuki rumah tanpa izin. Namun, kenyataan berbalik dengan kehadiran Damon yang mengejutkan.
Damon tidak memberikan jawaban. Dia bergerak dengan tenang namun penuh kekuatan, langkah kakinya menggema di koridor sepi saat mendekati Luna. Setiap langkahnya menambah rasa terpojok pada diri Luna, seolah-olah ruang di sekelilingnya semakin menyusut.
Luna menelan ludahnya dengan susah payah, merasa terjebak dalam situasi yang semakin menegangkan. "Apa yang akan kau laporkan?" tanya Damon, suaranya rendah dan penuh tekanan. Dia berdiri sangat dekat dengan Luna, jarak mereka begitu dekat sehingga Luna dapat merasakan hembusan napas Damon yang hangat dan berat di wajahnya. Tatapan Damon yang dingin dan menakutkan menambah rasa tercekik di dadanya, seolah-olah setiap gerakan dan kata-katanya dipantau dengan ketat.
Dalam keheningan yang tegang itu, Luna merasa dirinya terjebak dalam permainan yang sangat berbahaya, di mana setiap langkahnya akan menentukan hasil akhir. Damon berdiri dengan postur yang menuntut perhatian, wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak akan mentolerir kesalahan atau kebohongan. Luna tahu bahwa dia harus memilih kata-katanya dengan hati-hati untuk menghindari situasi yang lebih buruk.
“A… Aku...” Luna ragu, mencoba mengumpulkan pikirannya untuk memberikan alasan. “Sebenarnya, aku hanya ingin memberitahu bahwa aku berencana untuk mengunjungi beberapa teman di minggu depan,” katanya, suara terasa canggung dan tidak meyakinkan. Setelah beberapa detik, dia menyadari bahwa alasannya terdengar lemah dan tidak meyakinkan. “Aku sudah pasti ketahuan,” pikirnya dengan cemas.
Damon, yang berdiri di depan Luna dengan ekspresi yang sulit dibaca, tidak menunjukkan tanda-tanda percaya. “Kamu benar-benar berpikir alasan itu bisa menipu aku?” ucap Damon dengan suara yang dalam dan tegas. “Aku akan memberi kamu satu menit untuk menjelaskan situasi sebenarnya.”
Luna terpaku, matanya tidak bisa tidak memperhatikan Damon yang berdiri di sana hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Saat matanya tertuju pada otot-otot perut Damon yang menonjol, Luna merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Keadaan ini menambah rasa tidak nyaman dan kecemasan di hatinya, membuat situasi semakin membingungkan dan menegangkan.
Luna merasa hatinya berdebar saat melihat Damon, kakak iparnya, keluar dari kamar mandi dengan penampilannya yang memukau. Biasanya, Luna hanya melihat pria-pria tampan di layar kaca, namun kini situasinya terasa sangat nyata dan menegangkan.
Tanpa diduga, Damon dengan lembut mendorong Luna ke ranjang, membuatnya terjatuh di atasnya. Posisi mereka mendekat, dan Luna merasakan ketegangan yang tinggi. Damon menyentuh pipinya dengan lembut, membuat Luna merasa canggung dan bingung.
“Kak Damon...” Luna berbisik, suara bergetar. Jantungnya berdebar cepat, berperang antara rasa takut dan malu.
Damon menatap Luna dengan penuh perhatian dan lembut bertanya, “Apakah ada yang ingin kamu katakan?” Luna mencoba mengalihkan pandangannya, tidak mampu menatap mata Damon. Pikiran Luna terasa kosong, tidak tahu bagaimana harus bertindak.
Damon dengan hati-hati menyentuh bagian dada Luna, mengejutkannya dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Ini adalah pengalaman baru yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Luna mencoba untuk bergerak, berusaha menjauh, tetapi Damon tetap berada di dekatnya. Sentuhan lembut Damon membuat Luna merasa terjepit dan bingung, tubuhnya bergetar dengan campuran rasa geli dan ketidakpastian.
“Kak Damon, ini tidak benar,” Luna berbisik dengan cemas, khawatir jika elise, kakaknya, tiba-tiba datang dan menemukan mereka.
Damon, mencoba menenangkan suasana, menjelaskan, “elise jarang pulang di siang hari. Apakah kamu pernah mengalami sesuatu seperti ini sebelumnya?” tanya Damon, penasaran. Luna hanya bisa menggeleng, merasa malu dengan pertanyaan tersebut.
Damon tersenyum, merasa puas dengan kesempatan ini. Meskipun pernikahannya dengan elise adalah kesepakatan bisnis, ketertarikan Damon pada Luna membuatnya ingin lebih dekat dengannya.
Seandainya Damon mengenal Luna sebelum menikahi elise, situasinya mungkin akan berbeda. Namun, saat ini, Damon melihat Luna sebagai sosok yang menarik dan ingin mendekatinya lebih jauh, meskipun caranya tidak sepenuhnya sesuai.
Luna merasa seakan bayangan Damon terus berputar tanpa henti dalam pikirannya. Setiap kali ia mencoba menutup matanya, wajah Damon yang penuh percaya diri muncul kembali, menghantui setiap sudut pikirannya. Malam itu, kenangan akan momen-momen canggung dan tidak nyaman yang terjadi memenuhi pikirannya, membuatnya sulit untuk tertidur. Bahkan saat pagi tiba, rasa pusing dan kelelahan menyelimuti dirinya.
“Sial,” gumam Luna dengan suara lemah saat ia menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya. Ia mengeluarkan keluhan kecil saat menuruni ranjang dan melangkah gontai menuju kamar mandi. Keinginannya untuk kembali tidur begitu besar, namun ia tahu ada kewajiban yang menunggunya di kampus—sebuah agenda yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Di kamar mandi, Luna membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap rasa pusing di kepalanya akan mereda. Namun, pikirannya terus kembali pada Damon. Senyum penuh percaya diri Damon dari kemarin begitu membekas dalam benaknya, menciptakan rasa gelisah yang mendalam. Luna merasa tidak nyaman dengan kedekatan yang tiba-tiba itu, namun ia juga bingung dengan perasaan campur aduk yang menyelimuti dirinya.
Setelah berhasil melarikan diri dari rumah Damon dan kakaknya semalam, Luna merasa kesal dan marah pada dirinya sendiri. Ia tidak mengerti bagaimana ia bisa terjebak dalam situasi yang begitu memalukan. Setiap kali ia mengingat bagaimana Damon mendekatinya dengan penuh keyakinan, perasaannya berkecamuk antara marah dan bingung, menciptakan kekacauan dalam dirinya.
Setelah selesai di kamar mandi, Luna berdiri di depan cermin dan menatap refleksinya. Mata yang sembab akibat kurang tidur dan wajah yang tampak lelah menunjukkan betapa terganggunya ia oleh peristiwa semalam. "Kenapa harus begini?" bisiknya pelan pada bayangan dirinya sendiri di cermin.
Di sisi lain, Damon tampaknya menikmati permainan ini. Setiap langkahnya terencana dengan baik, seolah ia ingin menguji reaksi Luna. Damon berusaha memastikan bahwa Luna mulai memikirkannya dengan intens, bahkan mulai merencanakan langkah-langkah berikutnya untuk mendapatkan perhatian gadis itu sepenuhnya.
Luna akhirnya menyelesaikan persiapannya untuk pergi ke kampus. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian semalam, membuatnya sulit untuk fokus. Namun, ia tahu hari ini adalah hari yang penting. Pengumuman penempatan magang sudah di depan mata, dan ia harus hadir untuk mendengarnya secara langsung.
Dengan langkah yang terasa berat, Luna menuju ruang makan. Di sana, ibunya sudah sibuk menyiapkan sarapan seperti biasa. Sejak kemarin, Luna sengaja menjauh dari ibunya. Ia tahu ibunya pasti akan penasaran dengan apa yang terjadi di apartemen kakaknya. Namun, Luna merasa tidak sanggup menceritakan semuanya. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan bahwa ia secara tidak sengaja masuk ke kamar Damon dan berakhir dalam situasi yang sangat tidak nyaman? Ia yakin ibunya akan sangat marah jika mengetahui yang sebenarnya. Oleh karena itu, Luna memilih untuk diam dan menjaga jarak.
“Ada apa, sayang? Kamu kelihatan gelisah,” tanya ibunya tiba-tiba, memecah keheningan. Luna tersentak kaget, namun segera menggelengkan kepala dengan cepat, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
“Kamu kok aneh, Nak?” lanjut ibunya dengan nada curiga, sambil menatap Luna dalam-dalam. Namun, sebelum Luna sempat menjawab, ibunya kembali fokus menata makanan di meja, memberikan sedikit waktu bagi Luna untuk mengatur dirinya.
“Mungkin Luna lagi kepikiran tentang tempat magangnya, ya?” Ayahnya yang baru saja masuk ke ruang makan, mencoba menenangkan suasana. Luna merasa lega karena ayahnya datang tepat waktu. Jika tidak, ia pasti sudah kebingungan mencari alasan.
“Papa sudah bilang, lebih baik kamu magang di kantor Papa saja. Tapi kamu kan yang ingin cari tantangan sendiri, sekarang malah kepikiran,” ujar ayahnya sambil tersenyum, menatap putrinya dengan penuh kasih sayang.
Luna mengangguk sambil tersenyum, meski dalam hatinya masih ada rasa gelisah. “Luna cuma ingin pengalaman baru, Pa. Kalau di kantor Papa, nanti nggak ada yang berani kasih tugas ke Luna karena mereka tahu Luna anak bos. Mana seru!”
Papanya tertawa kecil sambil mengusap rambut Luna dengan lembut, tanda kasih yang tak pernah berubah. Sang ibu, yang telah selesai menyiapkan sarapan, tersenyum menyaksikan interaksi itu. Mereka tahu bahwa Luna, meski sudah beranjak dewasa, masih memiliki sisi manja yang kuat. Berbeda dengan Elise yang lebih mandiri, Luna sering kali membuat mereka khawatir dengan keputusannya yang impulsif.
Namun, kali ini Luna merasa ada beban yang berbeda. Setelah sarapan dan berpamitan, Luna segera berangkat ke kampus dengan hati yang tidak tenang. Ia hampir terlambat menghadiri sesi orientasi magang, namun ia berhasil tiba tepat waktu. Aula tempat orientasi itu sudah penuh sesak oleh mahasiswa lain yang juga menantikan pengumuman.
Dengan susah payah, Luna menemukan tempat kosong di barisan paling belakang. Meski jauh dari panggung, ia masih bisa mendengar suara dosen yang memberikan materi orientasi magang dengan jelas, berkat penggunaan mikrofon.
Orientasi berlangsung singkat, diakhiri dengan pembagian penempatan lokasi magang. Luna merasa lega karena akhirnya akan tahu di mana ia akan ditempatkan. Namun, di balik rasa lega itu, pikirannya kembali melayang pada Damon. Bagaimana jika ia harus berhadapan lagi dengan pria itu? Apakah ia mampu mengendalikan perasaannya yang masih kacau?
Sambil membaca lembaran kertas yang baru saja diberikan, Luna menyadari bahwa tantangan di depan matanya bukan hanya tentang dunia kerja, tapi juga bagaimana ia bisa mengatasi perasaannya sendiri. Perjalanan ini bukan sekadar magang biasa—ini adalah ujian bagi dirinya, untuk menemukan siapa sebenarnya dirinya dan bagaimana ia menghadapi dunia yang penuh kejutan.
---
Ester menatap ketiga gadis di depannya dengan penuh rasa ingin tahu. “Dari mana kalian semua berasal?” tanyanya dengan nada ramah namun penuh perhatian.
Gadis berambut ikal yang bernama Rachel menjawab dengan percaya diri, “Dari AH Group.”
Ester melirik ke arah gadis lainnya, yang terlihat cemas. “Luna, bagaimana denganmu?”
Luna tidak langsung menjawab. Ia tetap fokus pada kertas di tangannya, seolah dunia di sekelilingnya menghilang. Rachel merasa tidak nyaman dengan ketegangan yang tiba-tiba. “Kenapa harus kebetulan seperti ini?” pikirnya dalam hati.
“Luna?” Ester bertanya lagi, suaranya menunjukkan keprihatinan.
Luna akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Ester dengan mata yang penuh kelelahan. “Saya magang di Arta Group,” jawabnya dengan nada dingin.
Ester tersenyum ceria, tidak menyadari ketegangan di antara mereka. “Oh, itu luar biasa! Arta Group milik kakak ipar saya, kan? Jadi kita berdua magang di kantor yang sama!” Serunya dengan penuh semangat.
Namun, ekspresi Luna berubah menjadi suram. “Arta Group...,” katanya dengan nada lesu. “Setelah kejadian kemarin, sulit bagi saya untuk merasa senang.”
Ester, tetap tidak menyadari ketidaknyamanan Luna, melompat kegirangan. “Kita bisa bersama-sama di tempat yang sama! Ini akan sangat menyenangkan!” serunya dengan antusiasme yang tulus.
Sementara itu, Luna hanya menghela napas, merasa kecewa dan tidak bersemangat. Ia menundukkan kepala, berusaha menahan perasaannya yang semakin mendalam.
Luna mondar-mandir di depan pintu ruangan Dekan, seolah-olah ia adalah semut yang tersesat di antara jalur-jalur yang penuh kebingungan. Jemarinya terus-menerus menggigit bibir, sementara pikirannya berputar-putar seperti badai yang tak berujung. Akhirnya, dengan segenap keberanian yang tersisa, ia memutuskan untuk memasuki ruangan. Namun, begitu tangannya menyentuh kenop pintu, gelombang keraguan kembali menghantamnya: Apakah Dekan akan menyetujui permintaannya untuk dipindahkan? Bagaimana jika dia dihadapkan pada pertanyaan tentang alasan di balik permintaannya itu? Apa yang harus ia katakan untuk meyakinkan? Pikirannya terasa lumpuh, tidak ada satu pun solusi yang bisa ia temukan.
**"Mengapa nasib harus mempermainkan aku seperti ini? Bagaimana mungkin aku malah ditempatkan di kantor suami kakak iparku sendiri?"** pikirnya penuh frustrasi. Luna sudah berusaha keras untuk menjauh dari Damon, namun kini ia terjebak dalam situasi yang semakin rumit. Bayangan kejadian memalukan semalam menghantui pikirannya, menambah beban emosional yang harus ditanggungnya. Dan jika Kak Elise mengetahui bahwa ada hubungan pribadi yang rumit antara dirinya dan Damon, segala sesuatu akan berantakan. Bayangan menjadi wanita yang dianggap merebut suami kakaknya sendiri membuatnya bergidik ngeri. **"Pelakor?"** Luna menggoyangkan kepalanya dengan keras, berusaha menyingkirkan gambaran buruk tersebut dari pikirannya.
Saat Luna terjebak dalam labirin pikirannya, sebuah suara lembut namun jelas memecah kesunyian, **"Luna? Apa yang kau lakukan di sini?"** Suara itu milik Kevin, pria yang diam-diam selalu menarik perhatiannya. Luna terkejut dan berbalik, melihat Kevin berdiri di belakangnya dengan senyuman yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Kevin, dengan perpaduan sempurna antara keturunan Eropa dan Asia, memancarkan daya tarik yang sulit diabaikan, dan Luna merasa gugup setiap kali berada di dekatnya.
**"Oh, aku hanya ingin bertemu dengan Dekan. Aku akan masuk sekarang, ya, Kak,"** kata Luna dengan cepat, lalu tanpa menunggu tanggapan Kevin, ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Setiap kali berada di dekat Kevin, rasa gugup selalu menyergapnya. Kevin, di sisi lain, merasa bingung; dari sekian banyak wanita yang ia kenal, hanya Luna yang tampak menjauh dan tidak berusaha akrab dengannya. Meski begitu, ada sesuatu pada Luna yang selalu menarik perhatian Kevin, meski ia tidak pernah mengungkapkan perasaannya.
Setelah pertemuan di ruangan Dekan berakhir, Luna bergabung dengan teman-temannya di kantin. Wajahnya menunjukkan tanda-tanda kekecewaan, menandakan bahwa pertemuan tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkannya. Permintaan Luna untuk dipindahkan ke divisi lain langsung ditolak mentah-mentah oleh Dekan. **"Semua penempatan sudah final. Kalian akan memulai tugas kalian setelah jam makan siang,"** begitu bunyi perintah yang tidak bisa ditawar. Luna terpaksa harus mempersiapkan diri untuk bekerja di kantor kakak iparnya sendiri, tempat yang sangat ingin ia hindari.
**"Eh, katanya direktur Arta Group itu ganteng banget, kayak aktor Korea!"** celetuk Rachel dengan nada kagum, memandang Luna dan Ester dengan penuh iri. Luna hanya bisa tersenyum masam. **"Tampan sih, tapi hati dan pikirannya sangat licik. Meski wajahnya tampak sempurna, di balik itu dia adalah pria yang tak tahu malu dan otaknya penuh dengan niat kotor,"** jawab Luna dengan nada dingin.
**"Dia sudah punya pacar belum sih?"** tanya Ester dengan rasa ingin tahu, seolah berharap ada berita baik.
**"Dengar-dengar, pernikahannya tidak bahagia. Istrinya dikabarkan berselingkuh dan pernah ketahuan ciuman dengan pria lain, tapi si suami malah diam saja,"** Rachel menambahkan dengan suara berbisik, membuat Luna terkejut. Topik pembicaraan mereka ternyata menyentuh isu yang sangat sensitif bagi Luna—pria yang mereka bicarakan adalah kakak iparnya sendiri.
**"Dari mana kamu tahu semua itu? Apa itu hanya gosip?"** tanya Ester dengan ragu.
**"Kakakku bekerja di sana, dan dia yang bercerita padaku. Tapi ingat, jangan sampai bocor, bisa-bisa dia kehilangan pekerjaan,"** Rachel memperingatkan dengan nada serius. Ester mengangguk, kini ia yakin. Luna hanya bisa tersenyum sinis dalam hati. Ironisnya, Rachel yang memperingatkan untuk menjaga kerahasiaan malah memulai gosip tersebut.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan gedung megah bertuliskan **Arta Group** dengan huruf besar di fasadnya, yang membuat Ester tak bisa menahan kekagumannya. Bekerja di perusahaan sebesar ini adalah impiannya, dan ia bertekad untuk memberikan yang terbaik selama masa magang, berharap suatu hari nanti bisa menjadi karyawan tetap di sini.
**“Ayo, Lun, kita masuk!”** seru Ester, menarik tangan Luna dengan penuh semangat. Luna menoleh ke kanan dan kiri, berusaha sebisa mungkin untuk menghindari pertemuan dengan pria yang sangat ingin ia hindari. **Jangan sampai...** pikirnya cemas.
Di dalam gedung, Luna berusaha menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kegugupan yang tak kunjung reda. Hatinya berdebar kencang, bukan karena terpesona oleh kemegahan gedung, tetapi karena bayangan pria yang kini menjadi pusat kecemasannya. Saat mereka melangkah masuk, tiba-tiba seorang wanita muncul, lebih tua dari mereka dan tampak di penghujung usia dua puluhan. Penampilannya rapi dan auranya memancarkan profesionalisme yang hangat. Dia berdiri di depan mereka dengan sikap percaya diri.
**"Selamat datang, saya Sandra, asisten manajer di sini. Saya akan menjadi mentor kalian selama masa magang di perusahaan ini,"** katanya dengan senyum yang membuat suasana menjadi lebih tenang. **"Ikuti saya, saya akan menunjukkan kalian ke berbagai divisi di kantor ini,"** tambahnya dengan nada formal namun ramah.
Luna mengikuti langkah Sandra dengan penuh perhatian, mencoba mengingat di mana ia pernah melihat wajah itu sebelumnya. Tiba-tiba, ingatan itu muncul: **"Sandra... ya, dia hadir di pernikahan Kak Elise dan Kak Damon,"** pikir Luna dengan cepat. Untungnya, Sandra tampaknya tidak mengenalnya, dan bagi Luna, itu adalah kabar baik yang sangat melegakan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!