NovelToon NovelToon

Diary Aluna

Tepung Tumpah

Praaang

Sebuah piring berisikan tepung terigu terbalik hingga menyebabkan kebisingan di seluruh ruang dapur. Tanpa sengaja Aluna menginjak sisi kiri piring tersebut karena tak dapat melihat dengan jelas. Pandangannya terhalang oleh kardus besar berisi oven tangkring yang baru saja ia ambil dari gudang atas perintah tantenya.

Bocah SD itu begitu kepayahan karena kotak yang ia bawa bahkan hampir menutupi seluruh tubuh bagian atas gadis kecil itu. Sehingga membuatnya tak dapat melihat dengan leluasa apa yang ada di depan dan di bawah kakinya.

"Hmmm. Bagus! Tumpah semua kan jadinya." omel seorang gadis remaja yang saat itu tengah sibuk menguleni adonan kue.

"Maaf, kak." buru-buru Aluna meletakkan bawaannya dan mulai membersihkan tepung yang berserakan di lantai. Gadis itu meraup dan menempatkan kembali tepung itu ke dalam piring yang tak sengaja ia injak tadi. Ia sapukan dengan kedua telapak tangan kecilnya. Ia begitu takut jika sang kakak dan tantenya akan memukulnya akibat keteledorannya tersebut.

Ketika Aluna sedang fokus membersihkan tumpahan tepung di lantai, tiba-tiba gadis remaja itu menyambar piring tersebut dan melemparkan semua isian tepung itu ke wajah Aluna.

Seketika gadis kecil itu gelagapan. Matanya mengerjap-ngerjap keperihan, mulutnya meludah kecil berusaha mengeluarkan tepung yang tak sengaja masuk ke dalam mulutnya. Hidungnya bahkan terasa sesak akibat tepung yang menyumbat.

"Dasar goblok. Tolol!" maki gadis remaja yang kemudian membanting piring stainless itu ke lantai dan memantul mengenai Aluna. "Ngapain dikerok sampai ke bawah? Kotor semua lah goblok." geram gadis itu.

Aluna hanya tertunduk diam. Matanya mulai berkaca-kaca, sekuat tenaga ia menahan agar tak menumpahkan air matanya saat itu juga.

"Hehehe." kekeh tantenya Aluna yang sejak tadi menikmati adegan yang menurutnya adalah tontonan yang sangat menarik. Tangannya masih terus mencetak adonan telah diuleni oleh keponakannya.

"Heran. Kok bisa-bisanya sih aku punya adik tol*l kayak kamu?" gadis remaja tersebut masih saja mengomeli adiknya.

"Tau nih, terus ngapain masih bengong disitu? Dibersihin dong! Terus beli lagi sana tepungnya!" titah sang tante kemudian.

Aluna segera membersihkan semua kekacauan dengan cekatan. Gadis itu kembali meraup semua tepung yang lebih berserakan dari sebelumnya. Kemudian gadis itu buru-buru ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Apakah ia menangis? Tidak. Aluna tidak punya waktu untuk menangisi yang terjadi padanya saat ini. Ia segera memasuki kamar dan mengambil uang jajannya yang ada di dalam kantung tas ranselnya, kemudian lanjut berjalan ke pasar untuk membeli tepung sesuai perintah sang tante.

Gadis itu melangkah gontai menuju toko sembako tempat langganan tantenya, gadis itu terus mengelus dadanya, menguatkan diri agar tak menangis di tengah keramaian.

Dalam hati ia terus menguatkan diri bak merapalkan mantra yang terus membuat hatinya tegar. Yang kuat Lunaaaa! Yang tegaaaar! Kamu anak kuat. Kamu anak hebat. Kamu pasti bisa!

Betapa ia harus tetap tegar. Harus tetap sabar, ini adalah bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Ingat apa kata nenek! Gak boleh nangis! Gak boleh dendam!  Kata-kata itu terus ia ucapkan berulang-ulang demi membuang jauh rasa marah dan sedih yang sempat menggoyahkan hatinya.

Aluna Mazaya, gadis yang masih berusia 9 tahun itu adalah seorang anak piatu yang selalu ditinggal sang ayah melaut selama berbulan-bulan. Ayahnya merupakan seorang kapten yang mengemudikan kapal pengangkut barang dan penumpang atau yang biasa disebut kapal Ferry. Saat ini ia tinggal bersama nenek dan kakaknya yang bernama Amel. Amel adalah kakak kandung Aluna yang beda ibu. Amel merupakan anak dari istri pertama sang ayah sebelumnya bercerai dan kemudian menikahi ibu dari Aluna.

Ketika Amel masih bayi berusia 6 hari, kedua orang tuanya bercerai karena sang ibu lebih memilih untuk meninggalkan bayi beserta suaminya dan kabur dengan seorang brondong yang tinggal tak jauh dari rumah mereka. Saat Amel berusia 5 tahun, barulah sang ayah bisa kembali membuka hati lalu memutuskan untuk menikah lagi, dan wanita pilihan sang ayah adalah ibu dari Aluna.

Dari pernikahan keduanya, ayah Aluna memiliki dua anak perempuan. Putri pertama dari pernikahan keduanya bernama Alia, saat ini usianya 12 tahun dan tinggal di kampung halaman sang ibu. Sedangkan putri yang kedua adalah Aluna.

Ketika Aluna masih berusia 6 bulan, sang ibu meninggal dunia karena sakit. Oleh sebab itu, dari pihak keluarga sang ibu meminta untuk dapat merawat Alia sang kakak, sedang kan Aluna ikut dan di rawat oleh pihak ayahnya.

Karena terpisah sejak Aluna masih bayi dan sangat jarang bertemu dengan Alia, kakaknya. Jadi bisa dikatakan, Aluna dan Alia tidak terlalu akrab selayaknya saudara kandung pada umumnya. Namun bukan berarti mereka berdua tidak akur dan tidak saling kenal, hanya saja karena jarak dan waktu yang memisahkan, membuat hubungan di antara keduanya sedikit canggung setiap kali berjumpa.

Terlebih perlakuan kasar dari Amel yang kerap kali bersikap selayaknya kakak tiri, membentuk Aluna sebagai pribadi yang lebih pendiam dan takut berinteraksi dengan orang lain, termasuk pada keluarganya sendiri.

***

Aluna tiba di rumah tantenya dengan menenteng sekantong plastik berisi tepung terigu pesanan sang tante. Hari ini Aluna dan Amel diminta oleh tante mereka untuk membantunya membuat kue kering yang akan disajikan pada hari lebaran Idul Fitri minggu depan. Kebetulan nenek Aluna sedang berada di kampung untuk menemui adiknya, dan rencana sang nenek baru akan kembali besok sore.

Sudah hampir 2 bulan lamanya, Aluna, nenek, dan kakaknya diminta oleh sang tante untuk tinggal bersama di rumahnya. Padahal sebelumnya mereka hidup begitu nyaman dan tentram di rumah kontrakan. Akan tetapi, sang nenek langsung saja menuruti putri bungsunya begitu wanita yang sudah berusia lewat kepala empat itu meminta mereka untuk meninggalkan kontrakan dan tinggal bersama dengannya saja.

Hingga akhirnya mereka pindah ke rumah sang tante tanpa sepengetahuan ayah Aluna. Bahkan sampai kini, ayahnya masih belum mengetahui jika ibu dan anak-anaknya sudah tidak lagi tinggal di rumah yang hampir tiga tahun lamanya ia sewa karena memang hampir dua bulan lamanya ayah dari Aluna tersebut sama sekali belum pernah kembali ke rumah. Entah apa yang akan terjadi jika ayahnya pulang nanti dan mendapati mereka sudah tidak lagi ada di rumah tersebut atau bahkan ternyata orang lain lah yang telah menempati rumah itu.

"Beli berapa kilo?" selidik tantenya Aluna ketika gadis itu menghampirinya.

"Cuma 1 kilo tante." jawabnya menyerahkan kantong plastik di tersebut.

"Dapat uang darimana? Nyolong uang tante yah kamu?" tuduh Amel tiba-tiba.

"Enggak kok. Aku beli pakai sisa uang jajan dari nenek." jawab Aluna dengan mulut bergetar. Entah mengapa ia merasa begitu terintimidasi. Padahal ia sama sekali tidak melakukan hal yang dituduhkan.

"Gaya banget sok-sok'an pakai uang jajan sendiri. Udah kaya ya?" cibir sang kakak. Aluna tertunduk diam, tak berani menjawab.

"Sana kamu pergi jauh-jauh! Jijik banget liat kamu lama-lama." usirnya kemudian mengkibaskan tangan seolah sedang mengusir ayam.

"Jangan! Awas kamu kalau berani keluyuran!" Aluna menghentikan langkah mendengar ucapan tantenya. "Gak usah kemana-mana! Mending kamu cuci piring kotor aja sana! Terus abis itu lanjut nyapu halaman belakang rumah!" Aluna mengangguk saja tak menjawab apa-apa. Dalam hati ia merasa dongkol karena selalu saja dilimpahkan pekerjaan rumah yang cukup melelahkan. "Awas ya kalau kamu sampai main sama anak tetangga! Kerjakan dulu semua tugas kamu sampai beres, baru boleh main!" titahnya, yang lagi-lagi hanya diangguki oleh gadis kecil itu dengan lesu.

Aluna berjalan menuju tempat pencucian piring yang letaknya ada di belakang rumah. Perlahan ia mulai mengumpulkan piring-piring kotor bekas sahur keluarga. Namun Aluna terpaksa menajamkan pendengarannya ketika sayup-sayup Aluna mendengar sindiran pedas dari sang tante.

"Asal diajak ngomong gak nyaut. Dibuat tuli sama Allah baru tau rasa kamu!" gertak sang tante dengan suara yang cukup tinggi. Aluna menghembuskan nafas panjang. Sungguh, perlakuan yang ia terima hari ini benar-benar tak sepadan dengan usianya yang masih sangat belia.

Entah mengapa, dirinya tak pernah berani membuka mulutnya meskipun itu hanya sekedar menjawab maupun membela diri atas perlakuan kakak dan tantenya. Jangankan untuk berbicara, bahkan untuk menatap kedua orang itu saja nyali Aluna sudah menciut. Dalam hati Aluna terus mengucap istighfar sambil terus mengingat yang ia alami hari ini. Agar nanti dapat ia rangkai dalam untaian kata untuk ia tulis dalam buku Diary kesayangannya sebelum tidur nanti malam. Untuk sekedar mengadu akan kerasnya hidup yang bocah itu alami setiap harinya.

¤¤¤

Bersambung...

Baju Baru Dari Ayah

"Jadi ini nanti kamu kasih sama kakak kamu, ya!" Aluna menerima amplop berisikan uang dari ayahnya. "Terus ini juga. Ini baju lebaran kakak kamu. Ini juga sendal dan tas buat kakak kamu." lanjut sang ayah menyerahkan beberapa kantong plastik.

Aluna menerima semua itu dengan senang hati. Hari ini, ia dan neneknya mendapat amanah dari sang ayah untuk mengantarkan daging, uang THR, dan pakaian lebaran untuk Alia yang berada di kampung halaman almarhumah ibu mereka. Rencananya mereka akan berangkat pada sore hari nanti, karena mereka akan menginap selama dua hari di sana. Setelah semua ia terima, Aluna menampilkan senyum terbaiknya. Siap untuk menerima jatah miliknya.

Sang ayah kemudian tersenyum mengerti akan apa yang diinginkan sang putri bungsu. Pria yang kini telah berusia 48 tahun itu mengambil dua kantong plastik berisi pakaian, tas, dan sendal untuk putri bungsunya. "Nah, kalau yang ini untuk anak bungsu kesayangan ayah." ucapnya seraya mengusap lembut kepala gadis itu.

"Waaah. Terimakasih ayah sayang." Aluna memeluk erat sang ayah mengungkapkan terimakasihnya. "Warna biru kan, yah? Sesuai yang aku pesan waktu itu?" tanyanya. Gadis itu begitu bersemangat dan tak sabar untuk segera unboxing pemberian dari ayahnya.

"Iya dong. Kan udah di-request, masa ayah beli warna yang lain." jawab ayahnya seraya mengelus-elus kedua sisi kumisnya. Pria itu tertawa melihat tingkah lucu Aluna yang terkagum-kagum melihat baju Blouse lengan pendek berwarna biru model balon pada bagian dada dan bahan karet di bagian perut. Ayahnya seolah tau betul model kekinian untuk bocil SD seperti Aluna. Selanjutnya, Aluna membuka bungkus plastik pada celana ponggol berwarna Navy yang hanya sepanjang lututnya. Aluna sengaja tidak mencoba pakaian barunya, karena ia hanya akan memakainya tepat pada hari lebaran nanti.

Gadis itu kemudian mulai melihat sandal dan tas miliknya yang juga berwarna senada dengan baju barunya. Tas selempang ukuran dompet untuk menyimpan uang THR pada hari lebaran nanti ia kenakan bersamaan dengan sandal Eiger kesukaannya. Ia sengaja meminta sandal merek tersebut agar lebih tahan lama dan bisa ia pakai dalam acara dan keadaan apapun.

Aluna kemudian membuka kantong plastik yang berisikan tas sekolah miliknya. Entah mengapa, Aluna seperti kurang tertarik dengan model tas ransel yang dipilihkan sang ayah untuk dirinya. Ia kemudian memasang wajah memelasnya untuk minta mengganti tas miliknya dengan tas milik sang kakak.

"Aku boleh ganti tasnya sama punya kak Alia gak, yah?" tanya Aluna manja.

Kening sang ayah berkerut mendengar pertanyaan si anak bungsu. "Loh, kenapa? Kan kamu belum lihat model tas punya kakak kamu seperti apa." ujar ayahnya.

"Coba aku buka dulu deh. Kalau aku sukanya yang punya kak Alia, aku tukar aja boleh kan?" pintanya lagi sambil bergelayut manja di lengan kekar ayahnya.

"Boleh dong. Sepatunya juga kalau kamu suka boleh ditukar. Tapi ini ukurannya ayah udah beli sesuai ukuran masing-masing. Jadi kayaknya, udah gak bisa ditukar lagi." terang sang ayah.

Senyum rekah menghiasi wajah manis gadis itu. Buru-buru ia buka kantong plastik khusus untuk perlengkapan sekolah milik kakaknya dan merasa bahwa model dan motif tas milik sang kakak jauh lebih keren daripada miliknya. Kemudian ia tukar miliknya dengan tas yang awalnya akan diberikan pada kakaknya.

"Sudah ya, jangan dibongkar lagi punyanya kakak. Sayang nanti dia sedih, dikira nanti ayah ngasih bekas pakainya Amel."

Aluna mengangguk singkat dan kembali memeluk laki-laki yang begitu mirip dengan kakaknya tersebut. "Makasih ya, yah. Saaaayang ayah." Cup. Tak lupa Aluna mengecup sekilas pipi tirus ayahnya. Membuat pria itu tersenyum senang atas perlakuan manja putrinya.

Dari kejauhan, Amel melihat hal itu dengan tatapan iri. Sejak beranjak remaja dan kini sudah duduk di bangku kelas XII, ayahnya tak pernah lagi membawa oleh-oleh untuk dirinya. Jangankan pakaian untuk hari kemenangan nanti, perlengkapan sekolah sekedar tas dan sepatu saja tak pernah lagi ia dapat. Selalu ayahnya hanya menyerahkan uang tunai untuk kemudian ia belanjakan sendiri dan membeli sendiri barang-barang yang ia butuhkan. Padahal, untuk remaja seusianya, tidak ada salahnya jika sang ayah masih memberikan perhatian walau hanya dengan membelikan sebuah pena sekalipun. Tentu akan sangat berarti bagi Amel.

***

Ketika pagi ini sang ayah melabuhkan kapal di pelabuhan, segera anak buahnya yang berada di daratan memberitahukan bahwa ibu dan kedua putrinya telah diboyong oleh adik bungsunya untuk tinggal bersama di rumahnya yang baru selesai dibangun. Awalnya, pria bernama Aris Pratama tersebut sangat marah. Ia yang cukup tahu bagaimana tabiat asli sang adik, begitu keberatan ibu dan anak-anaknya tinggal di rumah adiknya tersebut, karena wanita itu selalu bersikap Bossy dan kerap kali memperlakukan ibunya sendiri sebagai ART. Ia takut jika kedua putrinya akan diperlakukan serupa, sementara usia mereka masih sangat belia dan masih senang-senangnya untuk menghabiskan waktu bermain dengan teman.

Namun nek Siti, ibu kandung dari pak Aris, sekaligus nenek yang telah membantu membesarkan dan merawat Amel dan Aluna sedari bayi, begitu kekeuh untuk menetap di rumah anak bungsunya. "Biar kamu bisa menabung dan membangun rumah, Ris. Sayang uangnya tiap tahun cuma dipakai buat bayar kontrakan terus." ujar nek Siti memberikan pengertian pada putra sulungnya, ketika akhirnya sang putra langsung menghampiri sang ibu ke kediaman adiknya, Nur.

"Tapi Aris baru saja memperpanjang sewa rumah itu dua bulan yang lalu untuk tiga tahun ke depan, Bu. Kenapa langsung main pindah? Kan sayang uangnya yang sudah Aris bayarkan, mana bisa diambil lagi." nada pak Aris sedikit meninggi pagi itu, ia merasa begitu kecewa atas keputusan ibunya. Namun tak mungkin baginya untuk membawa anak-anaknya kembali ke rumah kontrakan tanpa membawa serta sang ibu. Otomatis tidak akan ada yang bisa membantunya untuk menjaga kedua putrinya yang telah beranjak dewasa itu jika ia kembali bertugas.

"Udah lah, yah. Kan uang ayah banyak. Jadi gak rugi juga lah. Iklas-in aja! Kan nanti rezeki ayah pasti lebih banyak lagi dari sebelumya. Anggap aja sedekah." Amel juga begitu kekeuh membela sang nenek. "Amel lebih suka disini, tinggal sama Tante Nur, Om Nurman, Devan, dan Fera. Lebih rame ya lebih seru tau, yah." jelasnya lagi mencoba meyakinkan sang ayah.

Mau tidak mau akhirnya sang ayah menyetujui saja kehendak ibu dan putri sulungnya. Toh yang akan menetap adalah mereka, sedangkan dirinya akan kembali pada tugasnya esok hari. Dan memang ia sama sekali tak pernah menghabiskan waktu berlebaran bersama keluarganya di rumah. Jadi, mungkin tidak ada salahnya menuruti dua wanita yang disayanginya itu.

***

Aris menghampiri putri sulungnya yang tengah menyetrika pakaian di ruang tamu seraya menonton Televisi. "Amel." sapanya pada gadis remaja itu. Amel menoleh sejenak pada ayahnya, namun mengingat ia tidak dibelikan apa-apa oleh sang ayah, gadis itu mengalihkan pandangan dan kembali fokus pada kegiatannya.

"Ini, kamu beli aja baju lebaran sesuai yang kamu mau ya! Karena ayah gak tau, model dan warna apa yang kamu sukai. Jangan lupa beli perlengkapan sekolah kamu juga. Kan, seminggu setelah lebaran kalian langsung masuk sekolah lagi." ujarnya menyodorkan beberapa lembar uang merah.

"Makasih." jawabnya ketus. Usia yang sudah remaja seolah merenggangkan hubungan antara ayah dan anak itu. Tak ada interaksi manja seperti Aluna tadi, sang ayah segera pergi ke kamar untuk beristirahat. Dan Amel hanya menggeletakkan uang yang baru saja diberikan ayahnya di sembarang tempat. Tak ada tampang antusias sama sekali.

Dalam hati, ia begitu sedih karena seolah sang ayah membeda-bedakan dirinya dengan adik-adiknya. Terlebih Aluna, gadis cilik itu selalu saja mendapatkan apa yang tidak pernah Amel dapatkan. Dan hal itu, cukup membuat Amel semakin memupuk benci dan dendam di hati terhadap adik kecilnya itu.

"Awas aja kamu Luna. Aku gak akan biarin kamu pakai baju lebaran dari ayah tahun ini." geram gadis itu membanting setrika yang ada di tangannya.

¤¤¤

Bersambung

Cuek Tapi Sayang

'Dear diary

Hari ini aku sedih banget. Tadi waktu aku kasih titipan ayah sama kak Alia, dia nolak. Kak Alia gak mau terima amplop dan barang-barang yang aku bawa. Jadinya karena aku kesal, aku remas amplop itu dan aku buang ke pinggir jalan. Aku sedih, sedih banget. 

Padahal aku sama nenek baru aja sampe, tapi kak Alia malah ketus dan langsung pergi gitu aja ninggalin aku yang lagi ngambek. Untung ada kakek, kakek langsung ambil amplop yang udah aku buang dan ngejar kak Alia, terus kakek juga maksa kak Alia untuk terima barang dan amplop yang aku kasih. Kakek marahin kak Alia, kata kakek, kak Alia harus hargai aku dan nenek yang udah jauh-jauh datang buat ngasih itu sama dia. Kak Alia juga harus sayang sama aku dan mau ngajak aku main, jangan ketus dan jangan cuekin aku lagi.

Aku sedih banget, diary. Kenapa yah kak Alia juga sama kayak kak Amel? Kenapa mereka selalu benci dan gak suka sama aku?  Padahal kan, aku ini adik mereka.

 Memangnya aku ini kenapa diary? Aku ada salah ya? Sampai-sampai kedua kakak aku benci banget sama aku.

Tapi gak apa-apa deh. Yang penting kakek Ajis dan nenek Menik masih sayang sama aku. Mereka juga masih manjain aku kayak ayah dan nenek Siti.

Udah dulu ya diary. Aku udah ngantuk. Besok aku harus bangun cepet untuk sahur. Dadaaah.

***

Aluna menutup diarynya dan menyimpan buku itu ke dalam ransel miliknya. Setiap malam sebelum tidur, Aluna selalu menyempatkan untuk menuliskan apa saja kegiatan dan peristiwa yang ia lalui seharian. Seolah mencurahkan segala nya ke dalam diary adalah ritual khusus yang wajib ia laksanakan.

Gadis itu kemudian menaiki ranjang queen size di kamar kakaknya dan memeluk guling yang ada di atas ranjang. Perlahan matanya mulai terpejam karena kantuk yang ia taha sedari tadi.

"Ck. Banguuun!" Alia memasuki kamar dan menepuk pundak adiknya.

"Gak ikut tarawih ke mesjid? Jangan tidur dulu!" ujarnya masih terus berusaha membangunkan sang adik yang baru saja menyelami alam mimpi.

"Hmmm" Aluna bergumam tak jelas. Gadis itu sama sekali tak ada niatan untuk membuka mata.

"Huuu. Dasar pemalas. Diajakin sholat malah tidur." gerutu Alia. Gadis itu kemudian beranjak mengambil mukenah dan meninggalkan kamar dengan perasaan dongkol.

"Nek, aku ke mesjid dulu ya. Teman-teman aku udah pada nungguin di depan." pamit Alia pada nek Menik yang tengah asik mengobrol dengan besannya.

"Loh, Aluna gak diajak?" tanya nek Menik mencari-cari sosok Aluna.

"Dia gak mau. Udah tidur." jawab Alia ketus. Gadis itu bergegas pergi meninggalkan ruang tamu demi bergabung bersama teman-temanya. Kemudian mereka berjalan beriringan menuju mesjid yang ada di desa tempat tinggal mereka untuk melaksanakan sholat isya dan tarawih.

***

"Luuun, bangun! Sahuuuur!" teriak Alia berusaha membangunkan adiknya.

"Hmmm." jawab Aluna. Bocah itu justru kembali memeluk guling dan memperbaiki selimut dan mengabaikan kakaknya.

"Ih. Susah banget sih dibangunin dari semalam." gerutu Alia menyilangkan kedua tangan di dada.

"Eh. Sudah ya, tidak usah dibangunin lagi. Biarkan saja adik kamu tidur! Dia memang biasanya gak makan sahur." ujar nek Siti memasuki kamar. Ia duduk di samping ranjang dan mengelus lembut puncak kepala cucu kesayangannya.

Alia memutar bola matanya kemudian beranjak meninggalkan kamar tanpa memperdulikan nek Siti yang berbicara kepadanya. Nek Siti menatap sinis punggung Alia. Dalam hati ia merasa kesal atas sikap cucunya yang satu itu. Sejak tiba disini pada sore hari tadi, hingga sekarang, Alia terus saja menunjukkan sikap tak sopan dan menyebalkan. Membuat nek Siti merasa tak dihargai dan dihormati oleh Alia. Padahal biar bagaimanapun juga, nek Siti juga tetaplah neneknya Alia juga. Tapi gadis yang tengah menginjak usia remaja itu seolah tak menganggap nek Siti sebagai neneknya, dan hanya menganggap bahwa nek Menik lah satu-satunya nenek yang ia miliki.

Beberapa saat kemudian, sosok Alia muncul kembali. "Kata nenek, ayo sahur dulu, nek." ajak Alia dengan wajah datar. Gadis itu berlalu begitu saja tanpa menunggu nek Siti yang mulai bangkit dan menyusul di belakangnya.

***

Cuaca di siang Ramadhan hari ke 23 ini begitu sejuk. Tidak terik, tidak juga hujan. Cuacanya begitu pas untuk bermain. Setelah sholat Dzuhur, Aluna bermain dengan beberapa anak tetangga di samping rumah neneknya, bahkan Alia juga turut bermain bersama. Perlahan Alia mulai bersikap baik pada Aluna. Mungkin awalnya Alia hanya membutuhkan sedikit waktu untuk bisa lebih akrab dengan sang adik.

Nek Menik dan nek Siti yang tengah asyik duduk dan berbincang di teras begitu lekat mengawasi cucu-cucu mereka yang tengah bermain Gala di halaman rumah.

"Rencananya kami akan pulang nanti sore, besan." ucap nek Siti serai mengunyah daun sirih yang telah dicampur dengan pinang, kapur sirih, dan sedikit gambir. Bibir dan mulutnya tampak memerah, hasil dari sirih yang tengah ia kunyah.

"Loh, kenapa cepat sekali? Apa gak besok saja?" nek Menik memasukkan sirih yang telah ditumbuk halus ke dalam mulutnya. Giginya yang telah ompong mengharuskannya untuk menumbuk daun sirih beserta bahan lainnya karena ia tidak bisa mengunyah jika hanya dengan gusinya saja.

"Karena kan lebaran tinggal menghitung hari, sayang si Nur sama Amel gak ada yang bantuin buat kue lebarannya." ujar nek Siti memberi alasan, sambil sesekali meludahkan ampas sirih ke tanah.

"Yasudah kalau begitu. Bagaimana baiknya menurut besan saja." nek Menik menatap lekat kedua cucunya yang kini tampak tidak canggung lagi. Beliau juga menyayangkan disaat mereka sudah mulai akrab, tapi Aluna justru harus kembali ke kota yang nanti pastinya mereka akan kembali canggung jika bertemu lagi.

"Kalau begitu saya izin ke kamar dulu ya, may beresin barang-barang." pamit nek Siti meninggalkan nek Menik duduk sendirian di teras rumah.

"Aluna!" nek Menik memanggil cucunya tepat saat nek Siti memasuki kamar. Aluna segera berlari menghampiri neneknya.

"Kenapa nek?" tanyanya ngos-ngosan.

"Nenek sedih deh, karena kamu sama nenek kamu mau pulang nanti sore. Sini duduk-duduk sama nenek dulu. Nenek pengen peluk dan ngobrol-ngobrol sama kamu. Pasti bakalan kangen banget." kening Aluna berkerut mendengar penuturan nek Menik.

"Kata siapa kami pulang nanti sore? Perasaan, kata nek Siti kemarin kami baru balik lagi tu besok nek." Aluna merasa heran karena tiba-tiba neneknya berkata demikian. Hatinya merasa sedih jika harus kembali secepat itu. Karena bagaimanapun, tinggal di kampung dengan orang-orang yang menyayanginya jauh lebih menyenangkan, dibandingkan harus tinggal di kota, tapi selalu saja disiksa dan dimaki oleh tante dan kakaknya. Berbeda dengan di kampung, disini orang-orang begitu menyayangi dan memanjakan Aluna. Meskipun Alia sempat bersikap tak ramah padanya, tapi gadis itu tidak pernah memaki maupun memukuli adiknya. Hanya sekedar bersikap tak bersahabat saja.

"Nenek kamu yang bilang. Tuh, nenek kamu di kamar, lagi beresin pakaian untuk persiapan pulang." terang nek Menik membuat hati Aluna semakin cemas.

"Gak mau pulaaaang." rengek Aluna. Gadis itu memeluk erat neneknya. Nek Menik membalas pelukan sang cucu tak kalah eratnya.

Meski sedang asyik bermain, fokus Alia tetap mengawasi adik dan neneknya yang kini tengah berpelukan. Alia penasaran apa yang membuat adiknya merengek manja pada sang nenek. Tapi Alia juga merasa cemas. Cemas jika kasih sayang sang nenek direbut oleh adiknya. Takut jika nanti neneknya hanya menyayangi sang adik, dan tidak menyayangi dirinya lagi. Sebab itu pula lah yang membuat Alia bersikap ketus pada adiknya. Karena nenek, kakek, para tante dan omnya selalu saja membahas Aluna, hingga membuat Alia merasa tersisih dan tak disayangi lagi.

Alia menghampiri adik dan neneknya dengan wajah ditekuk. "Kenapa?" tanyanya.

"Gak apa-apa, ini adik kamu katanya gak mau pulang." terang nek Menik mengelus kepala Aluna. Alia sebenarnya merasa sedih jika adiknya pulang secepat itu. Namun enggan ia tunjukkan pada Aluna.

"Oh, baguslah." ketusnya lalu kembali menghampiri teman-temannya. Ia sama sekali tak menunjukkan keberatan yang membuat Aluna semakin bersedih. Gadis itu semakin mempererat pelukannya pada sang nenek. 'Kenapa sih semua orang benci aku?' batinnya pilu.

¤¤¤

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!