“Baiklah, ujian dimulai!”
Serentak setelah guru di depan kelas memberi aba-aba bahwa ujian telah dimulai. Murid-murid di kelas membalik lembar soal. Beberapa wajah nampak memucat, ada yang putus asa, ada pula yang biasa saja, lebih banyak yang pasrah dan menjawab asal-asalan.
Apalagi saat melihat semua soal adalah esai, meski mereka tak tahu jawabannya, harus tetap diisi demi mendapat sekedar satu poin. Beruntung saja ini hanya UH, jadi banyak murid berpikir tak perlu berusaha terlalu keras karena nilai UH tak berpengaruh banyak untuk nilai akhir dalam rapor.
Duduk di sudut kanan belakang kelas, Lail tampak mengerjakan soal dengan santai. Baginya, ini seperti membalikkan telapak tangan. Mudah sekali. Materi ini sudah dia pelajari di SMP. Level soal ini terlalu mudah untuk dirinya. Dia percaya diri bisa mengerjakan semuanya dan dapat nilai sempurna.
Sepuluh menit telah berjalan sejak UH dimulai, Lail telah menjawab semua soal. Ia menaruh kembali bolpoin ke dalam kotak pensil. Matanya berpendar, baru Lail yang selesai. Prinsipnya, dia tidak akan mengumpulkan lembar jawaban miliknya terlebih dahulu sebelum orang lain. Karena meski dia yakin akan mendapat nilai sempurna, entah kenapa sebagian dari dirinya selalu berhasil membuatnya ragu.
Ini soal yang mudah sekali, kenapa mereka tampak kesulitan?
Grek!
Suara kursi yang bergeser. Mata Lail tertuju ke paling depan, di mana siswi itu sudah bergerak ke depan untuk mengumpulkan jawabannya. Lail belum bisa ingat namanya sejak sebulan lalu awal tahun pelajaran dimulai.
Lail sudah menduga kalau siswi itu akan selesai dengan cepat. Dugaannya benar, gadis itu lumayan pintar jika dibandingkan dengan teman sekelas yang lain.
Lima menit setelah siswi itu mengumpulkan selebaran jawaban miliknya, yang lain tampak mengikuti secara paralel. Lail adalah salah satu siswi yang mengumpulkan lembar jawabannya paling akhir. Setelah duduk kembali ke mejanya, Lail menatap siswi di sebelah kirinya yang belum selesai. Padahal sudah lewat setengah jam, dan soal yang diberikan hanya lima, namun gadis di sebelahnya tak kunjung selesai.
Lail merotasikan bola matanya malas, napas kasar keluar dari mulutnya.
Selagi guru mapel sibuk dengan para siswi yang bergerumul di mejanya untuk mengumpulkan jawaban, Lail menghampiri gadis di sebelahnya.
“Jawaban mana yang belum?” bisik Lail.
Gadis itu menatapnya bingung, dia berkedip berkali-kali sampai akhirnya tersadar. “Oh, nomor lima.” Lail tak peduli jika jawaban lain gadis itu salah. Dia hanya akan membantunya menjawab soal nomor lima karena hanya itu yang tersisa.
Perintah soal nomor lima adalah menyebutkan kata yang berimbuhan prefiks, infiks dan sufiks. Tanpa basa-basi, Lail langsung memberikannya jawaban yang benar. Selepas menulis semua jawaban yang dikatakan Lail, gadis itu tergopoh-gopoh mengumpulkan jawabannya karena hanya dia yang tersisa. Gadis itu berterimakasih pada Lail.
“Siapa namamu? Aku lupa.” Tanya Lail sopan.
“Aku Azara.” Jawab gadis itu dengan senyum lebar.
...****...
Kembali ke satu bulan sebelumnya, hari di mana awal masuk sekolah. Lail berdiri menatap kertas yang tertempel di mading, itu adalah pengumuman pembagian kelas. Lail ber’oh ria saat menemukan namanya ada di urutan terakhir kelas 1-7, kelas paling ujung. Dibanding enam kelas lainnya yang berisi 20 murid, Lail hanya melihat 15 nama saja termasuk dirinya yang akan menjadi bagian dari kelas 1-7.
Lail membenarkan rambutnya yang tergerai sepanjang bawah telinga, dia tidak bisa mengikat rambutnya karena terlalu pendek. Akhirnya dia hanya mengikat rambut yang ada di samping telinganya supaya tidak menghalangi.
“Kenapa kelas 1-7 cuma punya 15 murid?” tanya salah seorang murid.
“Enggak tau, kayaknya sekolah kita lagi krisis pendaftar, deh. Kurang lima lagi padahal buat nyamain kelas lain yang isinya 20.” Timpal teman di sebelahnya.
“Sekolah ini lagi di masa-masa kritis, tau! Ada murid yang berulah, akhirnya nama baik sekolah dipertaruhkan. Orang tua jadi kurang percaya sama sekolah ini lagi, deh.”
“Bener juga, yah. Yakin deh kalau tahun depan bakal menurun lagi angka pendaftarnya.”
Lail diam menyimak percakapan kedua siswi baru itu. Memang apa yang dikatakan oleh mereka 99% benar. Awalnya juga Lail ragu untuk masuk ke sini, tapi dia juga enggan bersekolah di sekolah negeri yang cukup dekat dengan rumahnya. Alasannya karena orang-orang di sana kebanyakan dari SMP yang sama dengannya. Dia malas kalau ketemu yang itu-itu saja.
Akhirnya Lail nekat ke sekolah ini, padahal waktu yang ditempuh dengan menaiki angkot saja bisa setengah jam. Poin plus sekolah ini adalah ini sekolah khusus perempuan. Di seberang gedung sekolah ini barulah sekolah khusus laki-laki.
Setelah mengetahui dia berada di kelas mana, Lail segera melangkah menuju kelas barunya. Dalam perjalanan itu, tatapannya beredar ke seluruh sudut lorong. Banyak dari mereka berasal dari satu SMP yang sama. Lail bisa tahu karena hari ini mereka masih memakai pakaian SMP asal. Dan kebetulan ini hari Kamis, biasanya memakai seragam khas sekolah masing-masing. Ada yang batik dengan berbagai warna berbeda, ada juga yang kotak-kotak coraknya seperti seragam Lail.
Seragam yang paling dominan adalah batik biru dan batik oranye. Mereka benar-benar mendominasi. Berbanding terbalik dengan Lail, yang satu SMP dengannya dan masuk ke sini bisa dihitung jari, mungkin hanya sepuluh orang. Sepi peminat sekali. Rata-rata murid SMP-nya akan masuk ke SMAN yang dekat dengan rumahnya itu.
Lail mengernyit.
Terlalu banyak warna biru dan oranye...
Ketika memasuki kelas 1-7, suara riuh terdengar sejak dari pintu masuk.
Bola matanya menelisik sekitar, ada enam siswi di sini yang pakai seragam batik oranye, sisanya berasal dari sekolah yang berbeda-beda. Mereka duduk memenuhi dua baris meja.
Pasukan oranye.
Lail memutuskan duduk di pojok belakang sebelah kanan. Karena hanya ada 15 murid, sekolah hanya menyediakan 16 kursi khusus kelas ini. Ada empat baris ke samping dan ke belakang. Itu artinya akan ada satu kursi kosong. Dan kursi kosong itu berada tepat di depan Lail. Lail mulai khawatir jika ada guru yang masuk dan meminta para siswi mengisi kursi depan dahulu.
Sepuluh menit setelah bel masuk berbunyi, seorang guru pria masuk ke kelas 1-7. Lail menebak dari fisiknya kalau guru itu berusia pertengahan tiga puluh.
"Selamat pagi!” sapa sang guru dengan semangat.
“Pagi, Pak!” para siswi membalas sapaan guru tersebut tak kalah semangat.
“Baiklah, karena ini adalah hari pertama kalian di sini. Bagaimana kalau kita perkenalan dulu? Nama saya Juan, kalian bisa panggil saya Pak Juan. Saya adalah wali kelas kalian untuk tahun ini, semoga kalian bisa bekerja sama selama satu kedepan dengan saya.” Jelas Pak Juan, beliau menulis namanya di papan tulis dengan besar, di sana tertulis Juan Prayoga.
Ini adalah sesi yang paling Lail benci, perkenalan. Dia tidak suka jika harus berdiri menjadi pusat perhatian kelas sambil memberitahu identitas dirinya. Maksudnya, perlahan-lahan juga mereka akan saling kenal dengan bantuan waktu. Tak perlu melakukan hal melelahkan seperti ini.
“Kalian nanti sebutkan nama dan asal sekolah, oke?”
“Oke, Pak.” Lagi-lagi mereka serempak menjawab.
Sesi memperkenalkan diri dimulai dari barisan paling depan sebelah kanan. Kalau ditarik memutar, maka Lail akan menjadi yang paling terakhir memperkenalkan diri. Lail mengumpat, seharusnya dia pindah ke depan sebelum Pak Juan masuk ke kelas.
“Selamat pagi, semuanya! Nama saya Bening Nawasena, tapi kalian bisa panggil saya Bening atau Ning. Saya dari SMP Reka Karya.” Siswi yang duduk paling depan di barisan Lail memperkenalkan dirinya. Lail baru tahu kalau nama asal sekolah pasukan oranye adalah SMP Reka Karya.
Satu persatu dari mereka mulai memperkenalkan diri dengan wajah riang, ada yang malu-malu, ada juga yang cengengesan. Lail memaksa otaknya untuk mengingat setiap nama teman sekelasnya sekaligus wajah mereka agar dia tidak salah panggil. Bisa malu tujuh turunan kalau Lail salah memanggil nama teman sekelasnya sendiri.
Ketika tiba bagian Lail, dia berdiri dengan ekspresi setengah malas dan setengah muram. Dia menarik sudut bibirnya yang kaku untuk tersenyum lebih lebar.
“Selamat pagi, nama saya Lail Erya Ruzain dari SMP Budi Luhur.”
Hening menyelimuti ruang kelas. Lail mengenalkan dirinya dengan nada terlalu datar sampai teman-teman sekelasnya tidak tahu harus merespons apa. Saat Lail kembali duduk, barulah pusat perhatian kembali ke Pak Juan. Tidak ada materi sepanjang hari pertama sekolah. Lail menyia-nyiakan seluruh tenaga yang dia habiskan untuk membawa alat tulis beserta buku kosong, khawatir ada yang perlu dia tulis.
Selama periode awal masuk sekolah. Semuanya tampak normal. Mereka yang tidak punya kenalan di kelas akan bertingkah malu-malu sebelum akhirnya menjadi tidak tahu malu. Lail juga seperti itu, dia masih banyak diamnya. Berbeda dengan pasukan oranye yang selalu berisik sepanjang waktu bertukar informasi terbaru. Bahkan yang tidak mereka kenal seperti selebram pun akan mereka gosipkan kalau beritanya hot.
Lail melirik ke sampingnya, sudah seminggu sekolah berjalan, tapi dia lupa siapa nama cewek itu saat perkenalan di hari pertama mereka sekolah. Tapi Lail juga terlalu gengsi untuk bertanya siapa namanya. Akhirnya Lail memilih untuk tetap diam dan mencoret-coret halaman belakang buku yang masih kosong.
Lagi pula Lail percaya kalau waktu akan mendorongnya untuk berteman dengan mereka. Dia hanya berharap kelas ini lebih baik daripada kelas yang dia dapatkan ketika di SMP. Karena rumornya, tidak akan ada kelas yang diacak muridnya pada tahun kedua dan ketiga. Itu artinya, Lail akan bersama dengan mereka selama tiga tahun ke depan.
Semoga saja aku bisa akrab dengan mereka.
...****...
“Kita sudahi pelajaran hari ini. Oh ya, jangan lupa belajar karena di pertemuan selanjutnya akan diadakan UH.”
Ekspresi semua yang ada di kelas mendadak pucat pasi ketika guru Bahasa Indonesia, Bu Petris mengumumkan UH di pertemuan selanjutnya.
Baru juga mereka masuk sekolah dua minggu, eh minggu depan sudah ada UH saja. Ketidakadilan macam apa ini? Ayolah, bahkan Lail belum berkenalan dengan teman di sampingnya. Masa dia sudah harus berkenalan dengan UH?
Setelah Bu Petris keluar dari kelas. Riuh rendah keluhan penghuni kelas mulai mencuat satu-persatu, terutama dari pasukan oranye yang sudah tidak oranye lagi semenjak seragam sekolah sudah dibagikan.
“UH? Apaan anjir?! Baru juga nulis dua lembar masa udah UH aja?” “Iya. Apa coba? Sok asik nih Bu Petris.”
“Gila. Gue nulis ya cuma nulis doank, kagak ada yang nyangkut di otak. Gimana nih?”
“Lah? Lo aja gak nyangkut di otak, apa kabar gue?”
“Mati gue...”
Begitulah kira-kira keluhan mereka. Aneh. Padahal materi yang diberikan cukup mudah menurut Lail. Kecuali kalau mereka memang malas belajar, apalagi orang-orang yang otaknya selalu ketinggalan. Otaknya rajin ikut ke mana-mana kecuali ke sekolah. Yah, meski mengeluh juga UH akan tetap menerjang mereka.
...****...
Minggu depan, tepat di hari Selasa. UH Bahasa Indonesia pun dilaksanakan. Mau tak mau, suka tak suka. Lail masuk ke kelas setelah istirahat pertama selesai. Dia berjalan sambil sesekali menatap barisan paling kiri.
“Lihat nih! Aku nulis materi yang kemungkinan bakal keluar UH nanti!” ucap salah satu siswi, dia adalah salah satu dari enam murid yang masuk kategori pasukan oranye di awal masuk sekolah.
Lail mengernyit, dia anak yang rajin. Sampai menulis di kertas selembar pula untuk seluruh soal dan jawaban yang dia pikir akan keluar saat UH nanti. Sepertinya dia menulis sambil mempelajarinya. Karena metode termudah untuk mengingat sesuatu adalah dengan menulisnya.
Dia bahkan lebih niat daripada aku.
Lail menanggapi santai keenam orang itu. Dia berjalan menuju kursinya, membuka buku Bahasa Indonesia, membaca lagi sebelum Bu Petris masuk. Dia tak perlu membaca dengan serius, karena Lail memang sudah paham. Ia hanya mengulang membacanya seakan sedang me-refresh informasi di otaknya menyerupai cara kerja website.
Lima menit kemudian, Bu Petris datang. Beliau meminta semua murid menyiapkan selembar kertas untuk menulis soal beserta jawabannya. Setelah mendikte soal dan memastikan semua murid sudah menulis soal. Bu Petris mempersilahkan mereka mulai mengerjakannya.
Lail mengerjakan soal dengan lancar. Begitu juga dengan siswi yang barusan memamerkan lembar kertas berisi kemungkinan soal yang akan keluar.
Tidak ada kendala bagi mereka yang mampu. Berbanding terbalik dengan sebagian lainnya, ekspresi cemas menghiasi wajah mereka. Apalagi waktu pengerjaan hanya 40 menit karena hanya ada lima soal meski beranak.
Lail menghela napas berkali-kali saat tahu kalau dia yang selesai pertama. Dia menunggu yang lain mengumpulkan duluan sembari memutar bolpoinnya.
Alasan kenapa waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal 40 menit agar bisa dikoreksi Bu Petris saat itu juga. Beliau enggan kalau harus membawa tumpukan kertas itu ke ruang guru. Takut khilaf mengira itu sampah dan tak sengaja membuangnya.
Setelah semua murid mengumpulkan termasuk Azara, gadis yang duduk di samping Lail. Butuh waktu sekitar lima menit bagi Bu Petris mengoreksi semua jawaban. Lalu, Bu Petris pun membagikan hasil koreksi kembali pada murid-murid. Satu-persatu nama dipanggil, tapi Lail belum mendengar namanya.
Kayaknya aku gak ngumpulin paling terakhir deh...
“Lo dapet berapa?”
“75. Lo sendiri?”
“Hehe, gue dapet 80.”
Terdengar percakapan paling ideal di telinga Lail. Tentu saja mereka akan saling menanyakan nilai masing-masing setelah ujian. Itu seperti setting standar semua orang di Indonesia. Entahlah, mereka seperti itu karena ada dua alasan, karena penasaran atau mau pamer saja jika ternyata nilai mereka lebih tinggi daripada yang ditanyai.
Lail makin curiga saat namanya belum dipanggil juga bahkan ketika 14 murid lain sudah saling tahu nilai masing-masing. Seketika Lail dilanda perasaan cemas.
Bu Petris berdiri di depan kelas sambil memegang satu lembar kertas jawaban tersisa.
“Beri tepuk tangan untuk Lail yang mendapat nilai sempurna. Lihat! Dia dapat 100, kalian harus mencontoh Lail.” Ujar Bu Petris mengumumkan nilai Lail sebagai nilai sempurna.
Satu kelas memberi Lail tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi mereka. Lail tak bisa menyembunyikan senyum sepanjang jalannya maju ke depan untuk mengambil lembar jawabannya. Bu Petris memberikan Lail sebuah pulpen, hadiah karena mendapat nilai sempurna.
Suasana itupun berlalu cepat. Bel pulang berbunyi nyaring memekakkan telinga. Lail bergegas memasukkan semua barang ke dalam tasnya. Karena dia yang terakhir keluar, dia bertanggungjawab untuk menutup pintu kelas.
Lail melewati lorong kelas yang dipadati ratusan siswa. Mereka buru- buru keluar gerbang sekolah. Ada yang dijemput, ada yang bawa motor sendiri, ada juga yang naik angkot. Lail adalah salah satu dari siswi yang pulang dengan angkot.
Sedetik setelah dia mendudukkan diri di dalam angkot, seseorang menyapanya.
“Lail ‘kan?”
Lail menoleh menatapnya.
Dia adalah siswi rajin yang mendapat 95 untuk UH Bahasan Indonesia. “Ning?” Lail mencoba menebak namanya.
Gadis itu terkikik geli.
“Nama aku Bening, tapi gak apa-apa sih kalau mau panggil Ning, lebih singkat!” jawabnya dengan nada setengah ceria.
“Kamu pulang ke mana?” tanya Bening.
“Perumahan Cempaka.”
“Ouh, pantesan naik angkot ini. Searah kita, tapi aku turun duluan. Rumahku di Pondok Kelapa Indah.”
Pondok Kelapa Indah? PKI– eh?
Tidak ada obrolan lagi setelah itu. Tapi Bening pamit duluan saat angkot sudah sampai di depan gang Pondok Kelapan Indah. Tarif yang dikenakan untuk anak sekolah hanya 3.000 rupiah tak peduli jarak dekat ataupun jauh.
Ekor mata Lail tak henti mengawasi Bening ketika angkot bergerak menjauh. Bukannya apa, dia hanya merasa aneh. Biasanya Bening akan pulang bersama dengan empat anggota pasukan oranye lainnya ‐satu lainnya pulang naik motor. Tapi hari ini, dia naik angkot sendirian.
Perasaan tadi pagi masih normal. Istirahat pun bareng. Tapi kenapa pulang sendiri? Kayaknya yang lain naik angkot duluan, apa dia ditinggalin?
Lail menggelengkan kepala. Bukan urusannya juga. Kenapa dia harus peduli? Terlibat dengan hal merepotkan akan merusak kehidupan sekolahnya.
Atau... itulah yang seharusnya dia pikirkan.
Pasti ada apa-apa.
TBC
Sejak awal masuk sekolah, pasukan oranye atau mereka yang alumi SMP Reka Karya selalu mendominasi kelas. Semuanya terlihat dengan jelas, apalagi ketika pemilihan perangkat kelas. Semua yang menjadi perangkat kelas adalah para pasukan oranye. Lail tidak ambil pusing, sebab sejak awal dia tidak tertarik menjadi perangkat kelas. Menjadi siswi biasa sudah cukup baginya.
Ke mana-mana mereka selalu bersama. Mau ke kantin atau sekedar nongkrong di gazebo sekolah, takkan ada satu pun yang ketinggalan. Begitu juga saat pulang, lima dari mereka naik angkot bersama kecuali satu yang memang beda arah dan punya motor sendiri.
Makanya ketika kemarin Lail memergoki Bening pulang sendiri, deteksi dramanya menyala. Pasti ada sesuatu di antara mereka. Lail menyadari kalau Bening jadi agak penyendiri setelah nilai UH Bahasa Indonesia tempo hari. Lail jadi menduga kalau permasalahannya di mulai dari sana.
Tapi yah, kenapa Lail harus peduli kalau dia punya opsi untuk mengabaikan masalah Bening?
“Lail, ke kantin yuk!”
Lail mengangguk menyetujui ajakan Azara. Berbeda dengan Bening, sejak UH Bahasa Indonesia, Lail menjadi lebih dekat dengan Azara karena ia membantu temannya itu menjawab soal nomor lima. Ini adalah kemajuan untuk Lail sendiri.
Suasana kantin tak akan luput dari keramaian. Banyak sekali jenis makanan yang dijajakan. Ada siomay, batagor, pecel, nasi bakar dan banyak lagi lah. Menu wajib di kantin sekolah tetap bakso dan mi instan.
“Kamu mau jajan apa, Lail? Aku kayaknya lagi pengen nasi bakar. Lapar soalnya, maklum belum sarapan.” Azara nyengir sembari menunjuk perutnya yang bergemuruh sejak periode keenam dimulai.
Sekolah ini ada dua kali jam istirahat. Yang pertama pukul 10:00 sampai 10:40, yang kedua ketika waktu makan siang dengan durasi 40 menit juga. ada beberapa yang mengeluh karena 40 menit tampak tidak cukup. Apalagi mereka pulang pukul tiga tepat kecuali Senin dan Jumat pulang lebih cepat.
“Kayaknya aku mau batagor.”
“Batagor mulu perasaan, sampe mamang penjualnya kenal.” Azara menatap datar Lail saat gadis itu lagi-lagi memilih untuk membeli batagor dari sekian banyaknya makanan yang dijual. Padahal mamang penjualnya juga tidak ganteng sampai membuat Lail bolak-balik setiap hari membeli itu.
Lail nyengir kuda. Justru kalau dia pusing mau beli apa, dia akan main aman dengan membeli makanan yang sudah pernah dia coba. Apalagi rasanya enak dan harganya murah, itu nilai plus dari Lail untuk mamang batagor. Oh, harusnya Lail bertanya siapa nama mamang batagor supaya mereka lebih akrab.
“Mang, yang biasa.” Pesan Lail pada mamang batagor.
“Siap, neng Lail.” Mamang batagor mengiyakan, saking seringnya beli batagor, mamangnya sampai ingat nama Lail.
“Nama mamang siapa sih?”
“Panggil aja Mang Pundi.” Jawab Mang Pundi sambil menyiapkan batagor pesanan Lail.
“Mang Pundi? Pundi uang?”
“Yah, si eneng malah ngelawak.”
“Hehe...” Lail tertawa hambar.
Setelah pesanan Lail siap, dia membawa piringnya ke meja di mana Azara duduk dengan piring nasi bakar tersaji di depannya.
“Lamaaa. Mamangnya gak ganteng tapi diapelin terus.” Cibir Azara. “Enak tau batagornya! Kamu disuruh nyoba gak mau.”
“Aku ‘kan sukanya siomay, batagor skip dulu.”
Lail merotasikan bola matanya malas. Dia meletakkan piring berisi batagor ke atas meja, duduk berhadapan dengan Azara yang mulai menyendokkan nasi bakarnya. Belum satu suap dia rasakan, Lail menangkap sosok Bening berjalan berdua dengan seseorang yang bukan berasal dari pasukan oranye.
“Zar, kamu tau gak itu siapa yang sama Bening?” Lail menoel Azara yang nyaris menumpahkan sendok berisi nasi bakarnya.
Azara mendelik, menoleh ke arah yang sama dengan Lail, “Itu Jelika. Tumben Bening sama Jelika.”
“Iya ‘kan?! Biasanya juga dia sama pasukan oranye.” Timpal Lail.
“Pasukan oranye?” Azara menaikkan sebelah alisnya.
Lail tersenyum lebar, “Batik SMP mereka ‘kan oranye menyala.”
“Batik kita sekarang juga oranye. Cuma kotak-kotak aja.”
Lail mengangguk, kemudian melanjutkan memakan batagornya. Harusnya dia tidak peduli pasal Bening yang mendadak menjauh dari pasukannya. Itu juga hak Bening untuk punya teman baru dari sekolah yang berbeda. Tidak ada yang salah. Dia pun begitu. Yah, Lail sih karena tak punya teman sekelas dari SMP yang sama. Buktinya sekarang dia berteman dengan Azara.
“Nanti kamu pulang telat?” tanya Azara.
“Iya. Aku mau piket dulu biar besok gak usah piket pagi banget. Takutnya mobil susah lewat.”
“Ouhhh...” Azara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sesuai perkataannya, Lail akan piket dulu sebelum pulang. Lagi-lagi dia yang terakhir di kelas. Lail dengan telaten menyapu kelas sambil membersihkan kolong-kolong meja yang biasanya dijadikan sarang sampah oleh mereka yang malas membuangnya ke tong sampah.
“Hm?”
Saat memeriksa kolong meja Bening, ternyata kertas bekas kemarin masih ada di sini. Kertas yang isinya soal dan jawaban UH prediksinya sendiri. Tapi kertasnya sudah rusak, mungkin karena dia mengoyaknya terlalu kuat.
Lail melempar gumpalan kertas itu ke tong sampah, dia selebrasi saat lemparannya berhasil masuk di percobaan pertama. Selepas menyapu seluruh kelas, Lail menaruh sapu kembali ke tempatnya lalu menutup pintu kelas.
Lail melangkahkan kakinya keluar gerbang sekolah. Lagi dan lagi. Matanya selalu menangkap sosok Bening meski dia tak ingin. Gadis itu berdiri di trotoar menunggu angkot atau bis lewat. Prediksi Lail dia ketinggalan angkot.
Dia ngapain aja sampe ketinggalan angkot? Aku sih piket.
“Ning–!” Tenggorokan Lail tercekat kala matanya menemukan hal ganjil. Sorot netranya tak henti menatap pergelangan tangan Bening yang memiliki banyak goresan. Kalau kata anak-anak zaman sekarang, itu namanya barcode.
Ada dua kemungkinan mengapa orang-orang mengiris pergelangan tangannya sendiri. Pertama karena sedang trend di media sosial, mengiris nama di tangan atau sekedar garis saja. Dan yang kedua, depresi. Dia tak punya cara lain untuk melampiaskan rasa tertekannya selain melukai diri sendiri.
Namun lagi-lagi, Lail yang seorang pengecut takkan bertanya pada Bening kenapa dia mengiris pergelangan tangannya sendiri. Pertama, dia takut ditolak, takut Bening menghindari pertanyaannya dan malah mengatakan baik-baik saja. Yang kedua, jikapun Lail berhasil membuatnya bercerita, dia tak punya kata-kata yang bisa menenangkan orang lain. Menenangkan orang adalah hal sulit baginya, karena dia terlalu sarkas untuk mengucapkan hal-hal baik.
Jadi, mari tinggalkan Bening dan masalahnya sendiri.
“Belum pulang, Ning? Ketinggalan angkot, ya?” Lail bertanya basa-basi.
Bening menengok ke belakang, terdapat Lail berdiri di ambang pintu gerbang sambil memegangi tas punggungnya. “Iya. Kamu sendiri?”
“Aku piket.”
Bening ber’oh ria. Matanya kembali menatap jalanan. Jam sehabis pulang memang jarang sekali angkot lewat. Karena faktor jumlah angkot yang sedikit, ditambah mereka hanya narik ketika jam rawan karyawan dan anak sekolah pulang.
Aku gak mau pulang sore...
Esok harinya, saat Lail baru memasuki kelas. Dia merasa atmosfer pagi ini sangat berbeda. Sepertinya ada berita hangat. Biasanya yang paling cepat soal berita adalah pasukan oranye.
Lail hanya bisa mengela napas berat saat tak ada siapapun yang bisa dia tanyakan. Azara belum datang. Gadis itu spesialis masuk siang. Dia alergi untuk datang tepat waktu. Bukan hanya itu, belum sebulan sejak tahun ajaran baru dimulai, tapi dia sudah absen lima kali. Lail mulai merasa kalau dia memulai tali pertemanan dengan orang yang salah.
“Gue mah dari awal gak niat ikut ekskul apa-apa.”
“Kayaknya gue tertarik sama silat, deh.”
“Silat? Wah, entar lo jago debus donk.”
“Gak ada ekskul Bahasa Jepang ‘kah? Inggris doank mah gue juga udah bisa.”
“Gak ada kocak! Guru yang bisa Bahasa Jepang juga udah keluar.”
Samar-samar Lail mendengarkan percakapan mereka sambil pura-pura membaca buku. Dari sana Lail tahu kalau mereka membicarakan tentang ikut ekstrakuliler di sekolah. Di sekolah ini ada lebih dari sepuluh ekskul. Peraturan sekolah ini tidak begitu ketat, jadi setiap siswi tidak diwajibkan mengikuti ekskul.
Lail sendiri tertarik dengan ekskul Desain Grafis dan Fotografi. Itu bukanlah dua ekskul yang berbeda. Keduanya sengaja disatukan dalam satu ekskul karena guru yang ahli dan mau menjadi pembimbing ekskul hanya satu.
Semoga saja di kelas ini ada juga yang satu ekskul denganku.
Azara datang bersamaan dengan bel masuk. Dia dengan santainya menaruh tas di kursi dan duduk di samping Lail yang berwajah masam. Seharusnya sebagai siswi teladan, Azara bisa datang lebih awal. Ini juga agar Lail punya teman mengobrol. Tidak lucu jika yang dia lakukan hanya planga-plongo seperti orang idiot.
“Zar, udah denger belum?”
“Kenapa?”
“Pendaftaran ekskul udah dibuka.”
“Ouh... aku udah denger dari kemarin.”
Lail memperbaiki posisi duduknya menghadap Azara, “Terus kamu mau masuk ekskul apa?”
“Silat. Biar keren.” Singkat, padat, biar keren.
Lail melengos. Alasan yang tidak masuk akal. Tapi tak apa, setidaknya bocah pembolos ini berada satu tingkat di atas mereka yang memilih ekskul ‘langsung pulang’.
“Kalau silat jadwal ekskulnya hari apa aja?”
“Selasa sama Kamis.”
“Ouh...”
“Terus Lail milih ekskul apa?” Azara bertanya balik.
“Desain Grafis & Fotografi.”
“Hari apa?”
“Hari ini sama Jumat.”
Azara mengangguk paham. Percakapan terputus saat guru mata pelajaran sudah menyapa. Pembelajaran pun dimulai hingga bel tanda istirahat pertama berbunyi.
Semua murid berhamburan keluar kelas. Tujuan mereka macam-macam, ada yang ke kantin, lapangan, gazebo, perpustakaan, ada juga yang menyelinap keluar sekolah hanya karena menu jajanan di luar lebih beragam.
“Gak ke kantin, Lail?” tanya Azara saat Lail melangkah ke arah yang berlawanan dari kantin.
“Hari ini gak dulu.”
“Gak kangen mamang batagor ‘kah?”
“Besok ke sana. Tapi aku boleh nitip?”
“Nitip apa?” Azara menaikkan sebelah alisnya.
“Lemper sama risol. Masing-masing dua, entar sisa kembaliannya buat kamu.” Ucap Lail sambil memberikan selembar uang lima ribuan.
“Oke. Tapi aku makannya di kantin, jadi gak langsung ke kelas. Gak apa- apa ‘kan?” Azara bertanya memastikan.
Lail mengangguk, tak apa.
Lail dan Azara berpisah di lorong yang bersimpang. Azara terus melambaikan tangannya sampai dia berbelok ke arah kantin. Lail tersenyum tipis, kemudian memandang papan nama di atas pintu yang ada di hadapannya.
Ruang BK.
Tok! Tok! Tok!
“Permisi,” Lail mengetuk pintu, berharap kalau ada seseorang di dalam ruangan.
Hening. Namun itu hanya sebentar. Daun pintu berputar searah jarum jam. Pintu terbuka, memperlihatkan sesosok wanita paruh baya. Katanya usia Guru BK sudah sampai 40 tahun-an, tapi wajahnya seperti wanita di pertengahan usia 30 menurut Lail pribadi.
“Kamu datang lagi, Lail? Padahal tak apa jika orang lain yang melakukannya.” Ujar Bu Dea, Guru BK khusus siswi tahun ketiga.
Sudah menjadi rutinitas tetap Lail untuk mendatangi Ruang BK setiap Rabu dan Jumat untuk membantu Bu Dea mengorganisir dokumen- dokumen yang di sampulnya terdapat nama siswi-siswi bermasalah. Bukan hanya yang terlibat kasus, tapi juga yang curhat masalah keluarga. Bu Dea bersedia mendengarkan keluh kesah para siswinya.
Awal mula rutinitas ini adalah sebuah ketidaksengajaan. Lail pernah sakit dan ingin berbaring di UKS, tapi UKS saat itu tengah penuh. Bu Dea menawarkannya berbaring di sofa Ruang BK. Sehari setelahnya, Lail berniat berterima kasih karena kebaikan hati Bu Dea dan membalasnya dengan membantu beliau mengorganisir tumpukan dokumen yang berantakan di laci.
Dan karena ada banyak dokumen di laci, Lail tak bisa menyelesaikannya dalam sehari. Juga, kasus selalu ada setiap minggunya, tentu saja pekerjaan itu tak kunjung usai. Akhirnya Lail menawarkan diri pada Bu Dea agar ia bisa membantu di hari Rabu dan Jumat. Lail tak meminta balasan, dia hanya senang merapikan sesuatu yang tidak pada tempatnya.
“Ada kasus baru ya, Bu?” tanya Lail saat ia melihat ada tumpukan dokumen baru dalam laci.
“Iya, baru selesai Senin lalu.”
Untuk informasi, tumpukan yang ada di dalam laci berisi kasus-kasus yang sudah selesai. Sedangkan yang ada di atas meja Bu Dea sendiri adalah kasus yang belum selesai. Untuk guru BK lain yang menangani kasus kelas 1 dan 2, ruangannya tetap di sini, tapi mereka tak punya meja sendiri. Karena di sini hanya ada satu meja, tiga kursi dan satu sofa. Perabotan sisanya adalah dispenser, dan beberapa rak di mana dokumen yang sudah selesai dan terorganisir diletakkan. Yang di dalam laci ‘kan belum diorganisir, nah, rak-rak itu adalah destinasi terakhir para dokumen.
Dokumen berisi kasus-kasus diurut sesuai tahun, bulan, dan tanggalnya. Ini seharusnya pekerjaan mudah. Masalah Lail hanya satu. Ada satu baris rak yang dokumennya tidak diurut sesuai tahun, bulan dan tanggal karena waktu itu awal-awal ruangan ini dibangun. Guru BK saat itu tak tahu kata mengorganisir, jadinya Bu Dea sendiri yang merapikan semua kekacauan itu. Beruntung Lail datang membantu layaknya pahlawan kesiangan.
“Tidak banyak siswi yang mau membantu di sini. Tidak. Mereka bahkan terlalu takut untuk sekedar masuk ke sini walau tak terlibat kasus apa pun.” Curhat Bu Dea.
“Padahal jika mereka mau curhat, Ibu siap mendengarkan. Dan informasi itu takkan pernah bocor.”
Itu benar. Tidak sembarang orang bisa menjadi guru BK. Hanya mereka yang taat terhadap kode etik yang mampu. Menutupi aib orang lain adalah poin penting bagi mereka. Karena itulah awalnya Lail tak boleh membantu di sini. Boleh saja dia membaca dokumen itu, tapi menyebarkannya adalah kasus lain.
Untung saja Lail tak pernah comel. Tapi kalau kasusnya memang harus disebarkan, dia takkan segan-segan berbagi cerita dengan Azara. Barang bagus tak boleh disimpan sendiri, begitu kata para ahli.
“Hari ini kamu ada ekskul ‘kan?”
“Iya, Bu. Hari pertama.” Lail menjawab, tapi matanya tak teralihkan dari kertas yang ditempel di rak-rak bertuliskan tahun dan bulan kasus dimulai (tanggal hanya tertulis di sampul dokumen).
“Kamu harus serius.”
Lail mengangguk mendayu, dia tahu.
... ****...
Di saat kebanyakan murid sudah pulang. Lail duduk di ruangan ekskul sambil memandangi siapa saja yang ikut. Mungkin saja akan ada wajah yang dia kenali di sini. Dan benar saja, ada satu. Dari kelas yang sama dengannya. Gadis itu duduk di sebelahnya, melemparkan senyum tipis pada Lail.
“Siapa nama kamu? Aku Nylam, kita ini sekelas. Aku ingat wajah kamu.” Tanya gadis itu ramah, tangannya terjulur untuk menjabat tangan Lail.
“Lail.” Lail membalas jabatan tangan itu, juga mengulas senyum manis. Dia telah mendapatkan teman lain yang satu kelas dengannya selain Azara. Setidaknya meski sering masuk bersamaan dengan bunyi bel masuk, gadis ini belum pernah absen.
Pertemuan pertama, tak ada materi. Tujuh murid yang masuk ekskul ini saling berkenalan. Hanya ada dua kakak kelas yang membimbing mereka bersama seorang guru pria. Materi akan mulai diajarkan di pertemuan kedua.
Di esok harinya, hari Kamis, aroma weekend sudah mulai tercium meski masih samar. Kali ini Lail datang paling pertama –tidak, ada Bening yang sudah duduk. Dia terlalu fokus dengan ponselnya sampai tak menyadari kehadiran Lail.
Perlahan langkah kaki Lail menghampiri meja Bening. Saat sosok Lail berdiri tepat di depan Bening, gadis itu baru sadar. Dia mendongak cepat.
“Ap–”
“Kamu mau ikut ekskul denganku, tidak?” Lail memotong pertanyaan Bening dan malah mengajukan pertanyaan lain.
Bening terdiam, informasi belum mencapai otaknya.
“HUH???”
TBC
“Aku ke Mang Pundi dulu, key?”
Azara melongok ke luar jendela, di sana Lail sudah siap pergi kantin. “Tungguin! Ini satu paragraf lagi!” sahut Azara panik, takut ditinggal Lail ke kantin duluan.
Lail tersenyum penuh kemenangan. Tangannya menyilang di depan dada sambil menunggu Azara menyelesaikan catatannya. Hingga sebuah tangan menggapai bahunya.
“OY!” Lail tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, nyaris saja dia mengumpat.
Ternyata orang yang menyentuh pundaknya adalah Bening. Raut wajahnya yang senang berubah signifikan, dia merasa bersalah karena membuat teman sekelasnya nyaris dijemput bawahan Hades.
“Maaf,” cicit Bening, dia sungguhan tak berniat mengagetkan Lail. “Oh? Ente?” Lail mengernyitkan keningnya.
“Ente?” beo Bening.
“Bukan apa-apa.”
“Nunggu siapa?”
Lail tidak menjawab, tapi dagunya menunjuk ke dalam kelas di mana Azara dengan panik dan buru-buru menulis materi pelajaran barusan. Dia diracuni oleh Lail untuk menyelesaikannya hari ini atau mereka takkan ke kantin bersama lagi untuk selamanya.
“Gitu yah. Aku boleh ikut, gak?”
Lail melirik sekejap ke arah Bening, “Boleh-boleh.”
Bening terdiam, dia tak tahu topik apa lagi yang harus dia angkat sampai Azara selesai. Dia tak suka hanya diam tanpa berbuat apa-apa dengan Lail. Ini terlalu canggung buatnya.
“Soal ekskul... aku mau gabung!”
Kali ini Lail benar-benar memusatkan perhatiannya pada Bening. Dia tak menyangka kalau Bening tertarik. Sepertinya menghampiri Bening dan mengulurkan tangan padanya ketika dia sudah tak mampu terus tenggelam adalah ide cemerlang.
Lail mencuri pandang pergelangan tangan Bening yang masih menyisakan guratan bekas luka.
Setidaknya dia gak bakal ngelakuin itu lagi 'kan?
Gadis ini perlu ditarik ke atas permukaan.
Azara telah menyelesaikan catatannya dan bergegas menghampiri Lail yang berdiri di ambang pintu bersama Bening. Ekspresi Azara mengisyaratkan rasa penasaran, karena beberapa hari ke belakang ini Bening nampak akrab dengan Jelika, si alim yang duduk di pojok kelas itu.
“Dia mau bareng kita ke kantin.” Tanpa perlu Azara bertanya, Lail langsung menjawab rasa penasarannya.
Azara mengangguk paham.
Lail mengintip ke dalam kelas sebelum mereka menuju kantin. Di kelas tersisa Nylam saja yang serius bermain gim. Dilihat dari gelagat Nylam, gadis itu pasti bermain gim tipe RPG yang isinya 70% baku hantam dan 30% sisanya lore game. Kebanyakan dari mereka takkan terlalu memperhatikan cerita yang disuguhkan developer.
“Nym, ke kantin gak?” Lail setengah berteriak, mengajak Nylam ke kantin juga. Sejak pertemuan pertama ekskul, keduanya menjadi sedikit lebih dekat.
Nylam menoleh, “GAK!” kemudian melanjutkan menyerang musuh dalam gim.
Lail bergumam, “Maniak.”
...****...
“Kalian dari kelas 1-7 juga ‘kan?”
Lail, Azara dan Bening menengok ke asal suara. Seorang gadis dengan kawat gigi tersenyum ke arah mereka. Rambutnya panjang sepunggung, dia biarkan tergerai dengan indahnya. Melihat betapa indahnya rambut gadis itu, Lail jadi penasaran perawatan macam apa yang dia lakukan sampai bisa seindah itu.
Di samping itu semua, Lail masih menebak-nebak nama gadis ini. Lail tahu kalau mereka sekelas, tapi Lail lupa dengan namanya. Pokoknya gadis ini adalah yang tercantik di kelas. FYI, dia dinobatkan sebagai peserta MOS terbaik.
“Var?” Bening yang bertanya.
Gadis itu menatap Bening, matanya membulat sempurna kala mengenali wajah Bening. Mungkin saat MOS mereka cukup dekat, tapi gadis yang dipanggil Var ini melupakannya.
“Bening ‘kan?” Var langsung duduk di samping Bening, mengabaikan tatapan bingung Lail dan Azara yang menyorotnya.
“Ke sini ngapain?” tanya Bening, senyum cerah pun terpampang di wajahnya.
“Jajan lah, emang mau ngapain lagi? Aneh kalau ke kantin padahal mau berak.” Jawab Var asal ceplos.
Lail nyaris membuka lebar mulutnya saat mendengar kata kotor itu. Terlepas dari wajah cantik dan senyum lebarnya, Var adalah gadis dengan mulut tak terkendali. Sepertinya kamus kata kotornya jauh lebih luas seiring Lail mengenalnya.
“Oh ya, Lail, Zar. Ini Isvara. Isvara, mereka Lail sama Azara.” Bening akhirnya memecah dinding keempat dan memperkenalkan ketiganya. Isvara tersenyum lebar pada Lail dan Azara.
Lail mengangkat sebelah alisnya. Menurutnya Isvara itu aneh. Bagaimana tidak? Mereka seperti sudah saling kenal semenjak masa orientasi sekolah. Tetapi sejak hari pertama mereka tidak saling bicara. Meninggalkan Bening pada keputusasaan karena saat ini dia dijauhi pasukan oranye.
Bruk!
Di tengah percakapan, hal tak mengenakkan pun terjadi. Ada kakak kelas yang tidak fokus saat berjalan dan asyik bercanda sehingga dia menyenggol Isvara. Tidak sampai di sana, mangkuk bakso yang dipegang kakak kelas itu pun tumpah, berhambur mengotori seragam Isvara.
Hening. Tidak ada kata maaf keluar dari mulut si kakak kelas. Isvara terlihat dongkol, alisnya berkedut tak karuan, dia benar-benar marah. Isvara mengibaskan kuah bakso yang mengalir membasahi hampir setengah badannya. Dia berdiri, menghadap kakak kelas itu dengan memelotot.
“Maaf, ya?” ucap kakak kelas itu dengan nada mengejek.
“KON**L!” Isvara berteriak kesal.
Kali ini Lail tidak terkejut.
Isvara menarik kerah si kakak kelas, mencengkeramnya dengan kuat. Bening dan Azara yang panik berusaha menghentikan Isvara sebelum terjadi kekacauan. Kedua teman si kakak kelas itu seperti hendak mencakar wajah Isvara, yah, wajahnya yang cantik.
Dalam sekejap mereka menjadi pusat perhatian seisi kantin. Pertengkaran nampak akan meletus. Karena wajah Isvara dan ketiga kakak kelas itu memerah, menahan emosi yang semakin memuncak. Kedua teman si kakak kelas mulai mencakar tangan Isvara, Azara mencakarnya balik. Sedangkan Bening terus berupaya melepaskan cengkeraman Isvara pada kerah si kakak kelas. Keadaan makin pelik, para pedagang yang penasaran pun mulai mendekati TKP.
Di tengah kekacauan itu, Lail masih sibuk mengunyah batagor yang belum sempat dia kunyah karena situasi terlanjur kacau. Dia menelan batagornya susah payah, terasa menyangkut di tenggorokan karena drama di depannya.
Baru masuk udah ada musuh. Biasanya kalau bukan salah satunya yang resek, dua-duanya yang resek.
Baru saja Lail punya ide bagus menghentikan drama tak berguna ini. Mendadak ada piring rotan bekas makan nasi uduk terlempar melewati banyak orang dan mendarat tepat di wajah si kakak kelas. Saat piring terjatuh ke tanah, terlihat ada sisa sambal dan kecap orak-arik tempe memenuhi wajah juga seragamnya. Jangan lupakan nasi uduk yang bertengger sempurna di helai rambutnya.
Lail mencari pelaku pelemparan itu. Tapi tanpa dicari pun dia akan menemukannya. Karena si pelaku berlari menuju Isvara dengan cepat. Bukan hanya satu, tapi lima orang. Lail tak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika tahu kalau kelima orang itu adalah pasukan oranye (tanpa Bening).
“VAR!” Teriak gadis yang paling depan. Badannya tinggi besar, nah kalau boleh body shaming, dia bisa masuk kategori obesitas. Badannya memang tinggi, tapi beratnya melebihi rata-rata yang harus dia miliki dengan tinggi segitu. Kalau kata cewek zaman sekarang, namanya gemoy. Ada dua di antara lima personil anggota oranye yang gemoy.
Si kakak kelas melepaskan cengkeraman tangan Isvara dengan kasar. Dia kemudian mengajak kedua temannya untuk meninggalkan kantin sebelum mereka ditangkap oleh pasukan oranye. Bisa berbahaya, mungkin takut dimakan hidup-hidup.
Lail meringis, drama ini memang selesai, untuk yang hari ini. Tapi pasti akan berlanjut di lain hari jika masalah kedua orang yang bersangkutan belum menemukan titik terang.
Isvara digiring oleh kelimanya ke kelas atau ke UKS untuk mengganti seragam. Kasus ini harusnya segera dilaporkan ke BK dan keduanya akan dipanggil dalam waktu dekat. Para pedagang yang menonton pun kembali ke gerobak dagangannya masing-masing.
Azara menghampiri Lail sambil setengah menangis, ternyata adegan cakar-cakaran itu melukai lengannya. Ada bekas guratan memanjang dari siku sampai pergelangan tangan. Lail bisa melihat darah menetes dari celah gurat bekas cakaran.
Lail menghela napas panjang, “Ayo ke UKS.”
Sepanjang jalan menuju UKS, yang terdengar di telinga Lail dan Bening ialah rintihan Azara. Ingin sekali Lail menyeletuk kalau itu hanyalah luka kecil, tapi dia diingatkan dengan masa kecilnya di mana dia menangis tersedu-sedu karena kakinya dicakar kucing. Memang pelakunya berbeda, tapi luka yang didapat tetap luka cakar.
Saat memasuki UKS, bisa ia dapati ada Isvara di sana. Guru UKS memberikannya kaos polos selagi seragamnya dicuci di mesin cuci khusus guru. Ternyata benda itu ada gunanya juga di situasi pelik ini.
Kelima pasukan oranye itu memandangi Lail, Azara dan Bening yang berjalan melewati mereka. Hanya Lail yang membalas tatapan mereka. Azara terlalu sibuk dengan lukanya. Sedangkan Bening? Sepertinya dia tak mau melihat wajah orang-orang yang sudah putus hubungan dengannya.
“Oh, sayang. Lenganmu terluka! Sini Ibu bantu cuci bekas lukanya.” Guru UKS berlari kecil mendekati Azara kemudian membimbingnya ke wastafel untuk membersihkan luka.
Lail kembali memandang mereka berenam, ternyata beberapa dari mereka masih ada yang menatapnya. Karena canggung, Lail langsung membuang muka. Tak ada yang menyadari Bening terus menunduk dalam sampai luka Azara selesai dirawat oleh Guru UKS.
... ****...
Esok harinya, selesai jam istirahat pertama.
“Gue dapet kertas bimbingan dari Guru BK.”
Lail dan Azara yang sedang asyik bergosip pun berhenti. Mereka berdua mencuri pandang pada siswi terpendek di kelas ini. Wajahnya dihiasi riasan tebal meski baru duduk di tahun pertama SMU. Bukan itu yang menarik perhatian Lail, melainkan fakta kalau yang mendapat kertas bimbingan BK bukanlah Isvara yang terlibat cekcok kemarin. Melainkan siswi yang duduk di belakang Bening.
Semua siswi di sekolah ini tahu jika kertas bimbingan adalah kertas legendaris dari Guru BK yang diperuntukkan kepada mereka yang melanggar peraturan sekolah. Yang paling ringan adalah bolos sekolah, sampai kasus berat seperti tawuran, hamil di luar nikah, punya pekerjaan sebagai pelac*r dan kasus berat lainnya.
Jangan kaget hamil di luar nikah dan BO tertulis dalam peraturan, itu karena ada siswi yang pernah melakukannya. Kebanyakan dari siswi tahun ketiga. Seperti sudah menjadi tradisi setiap tahunnya, beberapa bulan sebelum kelulusan, akan ada siswi yang dikeluarkan karena kedua kasus itu. Lail mendengar banyak gosip sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini.
“Lo kenapa bisa dapet?” tanya siswi yang duduk di samping Giselle, yang mendapat kertas bimbingan.
“Gue bolos kemarin.” Jawabnya dengan nada santai.
Luar biasa, Lail takkan bisa bereaksi seperti itu kalau diberi kertas legendaris. Capnya sebagai anak normal akan terganti menjadi pembuat onar. Lail lebih memilih bunuh diri daripada terkenal sebagai siswi pembuat onar.
Aku gak bakal mau sekolah lagi kalau Bu Dea ngasih tuh kertas legend. Mending pindah sekolah!
Terdengar suara derap langkah kaki yang sangat ribut. Seolah disengaja agar mengganggu siapapun yang mereka lewati. Itu adalah geng kakak kelas yang kemarin nyaris baku hantam dengan Isvara, mereka tergelak dengan suara keras, mengganggu kenyamanan seisi kelas.
Ketua pasukan oranye, si gemoy nomor 1 pun dongkol. Dia menggebrak jendela yang dilewati para kakak kelas sampai salah satunya menggebrak jendela balik.
Wajah Lail terlanjur masam melihatnya.
Ini antara mereka yang resek atau temen sekelasku yang emosinya pendek.
Lail merasa jika kehidupan sekolahnya tidak akan seindah yang dia lihat di sinetron dan drama. Ini kelas terburuk yang pernah dia masuki seumur hidupnya. Parahnya lagi, mereka tidak akan mengacak kelas sampai lulus.
Aku masih berharap...
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!