Hari ini Winda dan Windi diwisuda untuk gelar S1 mereka. Keduanya memang kuliah di kampus yang sama, namun Fakultas yang berbeda. Winda yang mengambil jurusan komunikasi, sedangkan Windi mengambil jurusan desain grafis.
Mereka berdua sudah siap dengan memakai setelan kebaya modern. Winda memakai warna maroon, sedangkan Windi warna pink. Keduanya juga memakai selempang nama. Meski mereka sudah dimane up dan susah dibedakan, namun ada yang menjadi ciri khas keduanya. Windi badannya lebih langsung daripada Winda.
Sebelum acara Wisuda dimulai, seorang pria muda yang berstatus sebagai asisten dosen menghampiri Windi dengan membawa bucket bunga. Pria tersebut bernama Reno. Pria dengan pembawaan dewasa, sabar dan berwibawa menjadi idaman banyak mahasiswi di kampus tersebut.
"Windi, selamat sudah mau wisuda."
"Terima kasih, kak."
"Iya, sama-sama."
"Ini untukmu."
"Untukku?"
"Iya. Em.... kalau kamu ada waktu aku mau ajak kamu jalan."
"Duh, maaf Kak. Nggak mungkin diizini sama Abi."
"Kalau begitu aku minta nomor handphone mu saja. Kamu kan sudah lulus, berarti aku boleh simpan nomor handphone-mu?"
"Oh iya, nanti aku chat Kakak kalau begitu."
"Oke, aku tunggu."
"Iya kak. Bay the way, Terima kasih bunganya."
"Iya, sekali lagi selamat karena sudah lulus."
"Iya kak."
Hati Windi seperti taman yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran. Bagaimana tidak? Pria yang selama ini ia dambakan, Tiba-tiba memberinya bucket bunga.
Mengetahui sang adik didekati seorang pria, Winda pun menahan diri untuk menghampirinya. Ia memperhatikan mereka dari kejauhan. Ada sedikit nyeri di hatinya, namun ia berusaha untuk menetralisir rasa itu, karena ternyata pria yang mendekati Windi adalah Pria yang ia suka.
Suara protokol memanggil para wisudawan dan wisudawati untuk segera memasuki ruang wisuda .Mereka berbaris dan duduk di kursi masing-masing sesuai latihan gladi bersih. Tentu saja Winda dan Windi duduk terpisah. Mereka menjalani prosesi wisuda sampai kurang lebih empat jam. Windi berhasil mendapatkan nilai tertinggi dalam fakultasnya. Tentu saja hal tersebut membuat keluarganya bangga. Meski begitu, keluarganya tetap bangga pada keduanya. Karena baik Winda maupun Windi sudah berusaha menjadi yang terbaik.
Setelah wisuda selesai, mereka mencari keluarga masing-masing.
"Dek selamat untukmu." Ucap Winda seraya memeluk kembarannya.
"Selamat juga untukmu, Mabok. Akhirnya kita lulus bareng."
"Ehem... Mbak kamu punya janji lho sama aku. Nanti aku tagih. Aku juga nanti bakal cerita kok. Jadi kita satu sama, Ok?"
Deg
Hati Winda mendadak gelisah. Ia baru ingat janjinya kepada Windi. Ia berjanji akan memberitahukan pria idamannya kepada Windi. Namun setelah melihat Reno dan Windi tadi, ia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya kepada Windi.
"Mbak, woy! Kok ngelamun sih?
"Winda... Windi.... " Panggil Bunda Salwa. Ibu mereka.
"Bunda... "
"Dari tadi dicariin, kalian malah di sini. Selamat ya sayang."
"Makasih, Bunda."
"Abi... "
Mereka berdua juga mendapatkan pelukan hangat dari Abi Tristan, Ayah mereka. Disusul saudara dan kakak ipar mereka yang lain beserta keponakan juga ikut menghadiri wisuda tersebut.
Mereka langsung mampir ke restoran untuk merayakan kelulusan putri bungsu Abi Tristan.
"Terus setelah lulus rencana mau ke mana, dek?" Tanya abang Fatan, Kakak pertama mereka.
"Kalau aku sih, mau kerja bang. Di salah satu perusahaan produk luar negeri." Ujar Windi.
"Tidak bisa!" Sahut Abi Tristan.
"Lho, kenapa bi? Bukannya aku kuliah untuk mengembangkan kemampuanku. Jadi agar ilmuku bermanfaat aku harus bekerja dong bi."
"Iya, tapi kamu tidak perlu bekerja di perusahaan luar. Perusahaan almarhum Kakekmu juga ada untuk mengembangkan bakatmu itu."
"Yah, masih dalam kandang dong aku, bi?"
"Di perusahaan Kakek atau tidak sama sakali?"
Windi tertunduk lesu.
Sedangkan Winda masih belum menjawab pertanyaan abangnya.
"Kamu gimana, dek?"
"Hah, apa?"
"Ya salam... ngelamun dia." Sahut Bang Fadil, Kakak kedua mereka.
"Em... aku belum ada rencana apa-apa kok."
"Lanjutkan nanti di rumah ngobrolnya. Sekarang makan dulu!"
"Iya, Bunda."
Mereka pun akhirnya melanjutkan makan. Setelah selesai makan mereka pulang ke rumah masing-masing.
Malam harinya.
Setelah selesai makan malam, Windi mengintip pintu kamar Winda.
"Mbak... "
"Iya."
"Boleh masuk?"
"Tumben nanya, biasanya main nyelonong saja kamu dek."
"Hehe... soalnya takut mengganggu."
Windi masik dan duduk di tempat tidur bersama Winda.
Melihat wajah bahagia adiknya, Winda dapat menebak apa yang dirasakannya saat ini.
"Em... kamu lagi seneng ya dek?"
"Kok tahu?"
"Wajahmu nggak bisa bohong."
"Ish, tapi aku juga kesel, Mbak."
"Kenapa?"
"Denger sendiri tadi kata Abi, kan?"
"Ya sudah, turuti saja!"
"Ah Mbak mah gitu! Aku kan ingin berkembang di luar sana Mbak Bukan di perusahaan sendiri."
"Memangnya kamu bisa menentangnya?"
Windi menggelengkan kepala.
"Ya sudah dek, nurut saja!"
"Aku ke sini mau nagih janji lho, mbak."
"Janji apa?" Winda pura-pura lupa.
"Siap Mr R yang kamu maksud, hem?"
"Eh, aku kebelet... "
Winda buru-buru masuk ke kamar mandi. Ia memang sedang sakit pertama dan ingin buang air besar.
Tidak sengaja Windi melihat buku diary Winda yang sedang terbuka di atas meja belajarnya. Sebenarnya ia tida berniat untuk membacanya. Namun matanya langsung tertuju pada satu nama yang tertulis dalam buku tersebut
"Reno"
Rasa penasarannya pun lansung hilang, saat ia membaca isi hati seindah yang tertera di lembaran buku tersebut.
Ceklek..
Pintu kamar mandi terbuka
Blug...
Buku diary terjatuh.
"Dek... kamu.... "
"Maaf... maaf Mbak."
Winda langsung memungut buku diary-nya.
"Dek, kamu tidak punya hak untuk membaca buku ini."
"Maaf Mbak, aku tidak sengaja tadi."
"Sengaja atau tidak, seharusnya kamu tidak perlu membacanya."
Emosi Winda lebih kepada sedih bukan marah. Ia takut jika adiknya mengetahui isi diary tersebut, maka adiknya akan merasa tidak enak hati. Dan hal tersebut sudah terjadi saat ini. Windi benar-benar tidak menyangka, jika pria yang selama ini Winda sukai adalah Reno. Sosok yang sama dengan pria yang ia idamkan selama ini.
"Mbak, maafkan aku." Windi menggenggam tangan Winda.
"Dek, maaf bukan maksudku marah. Tapi.. "
"Iya, iya aku tahu."
"Dek maaf, jangan hiraukan buku itu. Semua sudah berakhir. Aku hanya menyukainya belum mencintainya. Lagi pula belum tentu dia menyukaiku juga. Buktinya tadi dia ngasih kamu bunga, kan?"
"Kok Mbak tahu?"
"Hem... maaf tadi aku lihat kalian."
"Iya, bunganya aku titipkan ke temanku. Aku takut dimarahi Abi."
"Terus bagaimana, apa dia mengatakan sesuatu?"
"Ck... kenapa kita harus menyukai orang yang sama Mbak?"
"Mungkin karena kita pinya type yang sama."
Windi tidak mau menceritakan yang sebenarnya kepada Winda karena ia tidak ingin melukai hati Winda lebih dalam lagi. Sekarang ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.
Bersambung....
...****************...
Satu minggu kemudian.
Winda dan Windi sedang di perjalanan menuju ke kampus untuk mengambil ijazahnya. Mereka berangkat ke kampus menggunakan satu mobil, dan Windi yang mengendarainya.
Sampai di kampus mereka langsung menuju ke fakultas mereka. Sudah banyak mahasiswa dan mahasiswi lain yang sedang menunggu untuk pengambilan ijazah.
"Dek, aku mau ke toilet dulu."
"Iya, Mbak."
Sementara Windi menunggu giliran, ada seseorang yang memanggilnya.
"Windi... "
"Nina... ah kangen banget satu minggu nggak jumpa."
Mereka berdua berpelukan.
Rupanya Nina baru saja keluar dan selesai menerima ijazahnya.
"Windi, ada yang nanyain kamu." Bisik Nina.
"Siapa?"
"Kak Reno."
"Di mana orangnya?"
"Di dalam kantor tadi."
"Oh... "
"Kok kayak nggak semangat gitu sih? Bukannya kamu sangat mengharapkannya."
"Huft... nggak jadi."
"Eh nggak jadi gimana maksudnya?"
"Nin, sudah giliranku masuk, nanti kita ngobrol lagi."
"Maaf Windi, aku mau langsung pulang karena ada acara di rumah Nenek."
"Ah ya, kalau begitu nanti aku telpon saja!"
Mereka pun berpisah.
Windi segera masuk ke dalam kantor bersama dua orang lainnya. Dan benar saja, Reno berada di kantor mendampingi dosen. Perhatian Reno tertuju kepada Windi.
"Ini ijazahnya, selamat untuk kalian."
"Terima kasih, prof."
Setelah menerima ijazah tersebut, Windi dan dua orang lainnya keluar dari kantor.
"Dek, sudah?"
"Sudah Mbak."
Windi duduk kembali menemani Winda. Tidak lama kemudian Winda pun masuk karena sudah gilirannya. Windi mencari tempat duduk di lain, yaitu di pinggir taman.
Keadaan sudah mulai sepi. Winda masuk dengan urutan terakhir.
Reno menghampiri Windi yang saat ini sedang duduk sendirian di pinggir taman.
"Windi!"
"Kak Reno... "
Windi langsung menundukkan wajahnya.
"Windi, sudah seminggu ini aku menunggu chat dari kamu. Bahkan aku minta nomor HP ke temanmu tapi mereka tidak ada yang memberi."
"Eh, iya maaf kak."
"Windi, aku tidak berniat macam-macam. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu yang harus aku sampaikan. Hampir saja aku nekat datang ke rumahmu."
"Eh jangan-jangan! Memang Kakak ada perlu apa sama aku?"
Reno pun duduk di samping Windi. Namun Windi langsung berdiri.
"Maaf kak, tidak enak dilihat yang lain. Kita cuma berdua."
Windi tahu, Kata-kata Abinya pasti sedang ada di sekitar kampus. Lagi pula ia juga tidak biasa berbicara sedekat itu dengan seorang laki-laki dalam keadaan sepi.
"Kalau begitu kamu duduk saja, biar aku yang berdiri."
"Hem.. "
Windi hanya menunduk dan memainkan ujung pashmina yang dia pakai.
"Windi, aku rasa kamu sudah bisa menebak maksud perhatianku selama ini. Sudah lama aku menyukaimu. Dan aku tahu kamu tidak boleh pacaran sebelum kamu lulus kuliah."
"Setelah lulus pun tidak boleh berpacaran, kak. Kecuali langsung menikah."
"Kalau begitu izinkan aku melamarmu."
deg
Hati Windi menjadi dilema. Di satu sisi ia sangat ingin mengiyakan ucapan Reno, di sisi lain ia tidak ingin melukai hati Winda.
"Windi... aku serius."
"Kakak yakin akan menikahiku? Bukannya kakak juga suka ngasih perhatian sama Mbak Winda?"
"Winda?"
"Iya."
"Aku bahkan sangat perhatian kepada mahasiswa dan mahasiswi lain. Tapi perhatianku sama kamu itu beda. Apa kamu tidak dapat merasakannya?"
"Ya Allah... tolong hamba." Batin Windi.
Winda baru keluar dari kantor. Ia membawa ijazah di tangannya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Windi. Namun ia tidak menemukannya. Winda pun mengambil handphone di dalam tasnya. Ia hendak menghubungi Windi. Namun ternyata Windi mengirim chat kepadanya bahwa saat ini Windi berasa di taman belakang kantor fakultasnya.
Winda pun segera berjalan menuju taman.
Namun langkahnya ia urungkan saat melihat Reno sedang berdiri di depan Windi. Winda bersembunyi di balik tembok.
"Windi, aku tidak main-main. Aku mencintaimu Windi. Aku ingin menikah denganmu. Mungkin aku tidak pantas bersanding denganmu karena keluargaku hanya dari kalangan menengah. Tapi aku tidak ingin putus asa, aku ingin berjuang untuk mendapatkan cintaku. Karena aku tahu banyak laki-laki yang lebih dari aku sedang berusaha mengejarmu."
Windi ingin sekali melihat ekspresi wajah Reno yang biasanya terlihat wibawa namun saat ini mengiba di hadapannya. Windi tidak kuasa, ia ingin membunuh perasaannya saat ini juga. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya perasaan Winda jika sampai ia berjodoh dengan Reno. Meski Winda berkata baik-baik saja, namun Windi tahu yang sebenarnya.
"Kak maaf. Aku tidak bisa."
"Kenapa? Apa karena aku hanya seorang asisten dosen?"
"Tidak, bukan itu."
"Padahal aku sudah shalat istikharah. Dan jawabannya adalah kamu." Ujar Reno seraya mengusap wajahnya dengan sebelah telapak tangannya.
Winda masih bersembunyi di tempatnya. Ia dapat mendengar pembicaraan mereka, meski tidak terlalu jelas.
"Windi, apa yang kurang dariku?"
"Tidak ada kak, bahkan kamu sudah masuk kriteria suami idaman. Dan menantu idaman Abiku. Tapi sayang sekali kedua anak Abi sama-sama menyukaimu. Dan pantang bagiku untuk bahagia di atas penderitaan orang lain, terlebih orang itu adalah kembaranku." Batin Windi.
"Windi, jawab! Apa kurangku kalau memang kamu tidak memandang harta?"
"Aku sudah dijodohkan dengan orang lain. Jadi aku minta maaf, Kak. Semoga Kakak bisa bertemu dengan wanita yang lebih baik dari aku. Sekali lagi aku minta maaf kak." Windi menangkup kan kedua tangannya sebelum ia pergi dari hadapan Reno.
Windi terpaksa berbohong karena ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Ia berjalan cepat pergi dari taman tersebut. Namun langkahnya terhenti saat Winda memanggil namanya.
"Dek... "
Windi menoleh.
"Mbak... kamu di sini?"
Winda mengangguk.
"Dari tadi?"
"Iya."
"Ish, curang."
Winda menggandeng tangan adiknya untuk segera pergi ke parkiran dan masuk ke dalam mobil.
"Kenapa kamu menolaknya, hem? Bukankah kamu menyukainya?"
"Tidak, aku tidak menyukainya. "
"Jangan bohong! Kamu tidak bisa membohongiku."
"Mbak juga bohong sama aku."
Winda menundukkan wajahnya kalau menarik nafas dalam-dalam.
"Dek, aku memang pernah menyukainya. Tapi hanya sebelah pihak. Kenyataannya dia mencintaimu bahkan dia serius sama kamu. Aku tidak apa-apa, dek."
"Mana bisa tidak apa-apa? Sudah, jangan diperpanjang! Aku sudah menolaknya."
"Tapi kamu sudah membuatnya patah hati debgan kebohonganmu."
"Aku lebih memikirkan kamu mbak, bukan orang lain. Lebih baik aku tidak berjodoh dengannya. Biarlah kita sama-sama patah hati."
Winda menggenggam tangan adiknya. Keduanya pun berpelukan sebelum akhirnya Windi melajukan mobil untuk pulang ke rumah.
Sementara Reno kembali masuk ke dalam kantor. Ia tertunduk lesu di meja kerjanya. Ia tidak menyangka cintanya kayu sebelum mekar.
"Tuan, nona kembar baik-baik saja. Mereka sedang menuju pulang ke rumah."
"Oke, Terima kasih. Pantai terus mereka."
"Baik Tuan."
Orang tersebut menutup telponnya.
Bersambung....
...****************...
Jangan lupa supportnya ya kak, Terima kasih.
Reno benar-benar patah hati. Ia tidak menyangka jika perempuan yang dicintainya sudah dijodohkan dengan orang lain.
Saat ini Winda dan Windi baru saja sampai di rumah. Mereka berdua menunjukkan ijazahnya kepada Abi Tristan dan Bunda Salwa.
"Jadi kapan kamu akan mulai masuk kerja, Windi?"
"Abi sudah bilang sama Ammu Ricky?"
"Sudah, jadi nanti kamu akan sekantor dengan Noval. Karena di kantor cabang, Noval yang pegang kendali."
"Wow hebat ya? Dek Noval usia masih 20 tahun tapi sudah lulus kuliah dan jadi Direktur. keren sih dia. Baguslah, aku bisa belajar banyak dengannya, bi."
Noval putra pertama Ricky dan Tita memang menyandang Sarjana muda. Ia menjalani pendidikan secara akselerasi di tingkat SMP dan SMA. Jadi di usianya yang ke 20 tahun, ia sudah lulus kuliah.
"Iya, anak itu memang sangat berpotensi."
"Tapi aku kerja di bidang ku kan, bi?"
"Iya, sebagai desain grafis. Karena perusahaan yang dipegang Noval memang khusus desain grafis. Banyak perusahaan yang memakai jasa perusahaan itu. Jadi nanti bukan kamu saja yang akan menjadi desain grafis, ada juga yang lain. Kamu bisa sharing dengan seniormu."
"Tapi dengan satu syarat bi."
"Apa?"
"Jangan kasih tahu identitas ku. Aku ingin bekerja seperti karyawan yang lain tanpa diistimewakan."
"Boleh saja. Abi akan menyuruh seseorang untuk meng-take down seluruh berita tentang profil keluarga kita."
"Dan, satu lagi bi."
"Apa?"
"Aku mau naik motor."
"Huft... baiklah."
Abi Tristan memaklumi putri bungsunya yang memang sedikit bar-bar dibandingkan kembarannya yang pendiam itu.
"Ah Abi memang yang terbaik."
Windi memeluk dan memberi kecupan pipi Abinya.
"Lihatlah! Bundamu cemburu."
"Apaan sih by? Nggak ada ceritanya aku cemburu dengan anak sendiri. Kalau Abi sih, iya. Fadil dicemburui."
"Haha.... "
Winda dan Windi masuk ke kamar masing-masing. Mereka hendak shalat Ashar.
Setelah kepergian mereka, Abi Tristan menceritakan tentang kejadian di kampus mereka tadi siang kepada Bunda Salwa, berdasarkan informasi sang mata-mata. Bunda Salwa kasihan mendengar cerita Reno yang ditolak oleh putrinya. Namun ia juga, salut kepada Putrinya yang lebih mementingkan perasaan saudaranya daripada perasaannya sendiri.
"Jadi ceritanya putri kembar kita sedang patah hati, bi?"
"Ya, begitulah."
"Kasihan sekali mereka."
"Belum waktunya, Bun."
"Iya, aku berharap mereka menemukan jodoh yang baik yang bisa menerima mereka apa adanya."
"Amin... "
Sementara di kamar Winda dan Windi mereka saat ini sedang berdo'a. Yang paling sakit saat ini sebenarnya adalah Windi. Ia harus merelakan perasaannya dan ia juga rela berbohong untuk menjaga hati Winda. Meski begitu ia tetap meminta yang terbaik kepada Allah. Winda pun sama, ia berharap adiknya tidak salah dalam mengambil keputusan. Ia berharap yang terbaik untuk dirinya dan adiknya.
...----------------...
Dua hari kemudian.
Winda sudah rapi dengan pakaian kantor. Rok plisket warna hitam dengan blazer warna pink dan pashmina dengan warna yang sama dengan blazernya.
"Mbak, gimana penampilanku?"
"Sudah oke, selamat bekerja ya dek."
"Mbak kapan nyusul?"
"Nanti dulu. Aku mau santai dulu."
"Ya sudah, aku berangkat dulu."
"Iya, Hati-hati. "
Windi pun berpamitan kepada Bunda Salwa dan Abi Tristan. Setelah itu, ia mengambil motornya yang ada di garasi. Sebelumnya motor itu sudah dicuci oleh Pa Kesel, asisten rumah tangga mereka.
"Non, sudah mau berangkat?"
"Iya, Pak. Makasih sudah bikin si pink kinclong ya pak."
"Iya Non, Sama-sama. Hati-hati, ini helmnya. "
Windi melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Jalanan cukup macet di jam sekarang, karena memang jam berangkat kerja. Beruntung Windi menggunakan mitor, jadi ia bisa menyelinap dan menghindari macet yang berkepanjangan.
Akhirnya ia sampai di perusahaan. Memang baru kali ini, Windi datang ke kantor tersebut.
"Selamat pagi, Mbak."
Security menyapa dan membukakan untuk untuk Windi.
"Pagi, Pak. Terima kasih."
"Iya, Sama-sama."
Windi tetap menghadap resepsionis seperti karyawan baru pada umumnya.
"Maaf Mbak, saya mau ke ruangan Direktur."
"Apa, anda sudah membuat janji?"
"Iya, sudah."
Setelah menanyakan nama Windi, Resepsionis tersebut menelpon ke sekretaris direktur.
"Silahkan naik. Ruang direktur ada, di lantai 7."
"Baik, Terima kasih."
Hanya Noval dan Andre selaku asisten pribadi Noval yang tahu jati diri Windi.
Windi langsung menuju ke lift. Ia menunggu lift terbuka dan masuk ke dalam lift. Namun saat pintu lift akan tertutup, Tiba-tiba terbuka kembali karena ada seseorang yang mau masuk.Seorang laki-laki dengan pakaian rapi, namun terlihat santai dan bersahaja. Laki-laki tersebut terpaku saat melihat sosok wanita berhijab di depannya.
"Hei, Mas! Anda mau masuk apa tidak?"
Laki-laki tersebut tersentak mendengar suara Windi. Ia segera masuk ke dalam lift.
"Cantik, tapi galak." Batinnya.
Saat ini mereka hanya berdua di dalam lift. Saat Windi akan mau memencet tombol lantai, saat itu juga laki-laki tersebut juga mengulurkan tangannya untuk memencet tombol yang sama. Alhasil ia tidak sengaja menyentuh jari telunjuk Windi. Windi menoleh kepadanya. Pandangan mereka pun bertemu.
"Maaf." Ujar laki-laki tersebut seraya memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celananya.
"MasyaAllah matanya indah sekali, tampan juga dia. Astagfirullah... kan, jadi ngawur." Batin Windi.
Windi kembali berdiri ke tempatnya. Mereka diam dengan pikiran masing-masing. Akhirnya lift berhenti di lantai 7. Mereka keluar dari lift. Lagi-lagi tidak sengaja mereka keluar bersamaan.
"Nona Windi!" Panggil Andre, asisten pribadi Noval.
"Lho, Tuan Javier. Rupanya anda juga sudah sampai.
"Iya, Pak Andre. Apa Tuan Noval sudah datang?"
"Iya, Tuan. Anda juga sedang ditunggu."
"Pak Andre, saya tunggu di luar. Silahkan bawa Tuan ini masuk dulu."
"Baik, Nona."
"Ya ampun ternyata dia tamunya Noval, jadi malu tadi udah galak sama dia. Manggil Mas pula."
Andre membawa Tuan Javier masuk. Sementara Windi duduk di sofa yang ada di depan ruang direktur.
Setelah 10 menit berlalu, Windi dipanggil untuk masuk.
"Nona, Tuan Noval memanggil anda."
"Bukannya masih ada tamu?"
"Justru ini berkaitan dengan anda."
Tidak ingin membantah, Windi pun akhirnya masuk ke dalam.
"Nah Mbak, eh maksud saya Nona Windi perkenalkan ini Tuan Javier."
Windi menangkup kan kedua tangannya. Javier pun membalasnya.
Noval menjelaskan, bahwa Javier ingin mendesain produk barunya dengan desain yang unik. Noval mempromosikan Windi sebagai orang yang akan bertanggung jawab mendesain label produk sehingga produknya bisa laku keras di pasaran. Produk yang akan dikeluarkan Tuan Javier kali ini adalah minuman berstamina.
"Maaf, Pak Noval. Saya masih baru lho."
"Tapi saya yakin dengan kemampuan anda."
Keduanya bersikap profesional di hadapan orang lain.
"Bagaimana Tuan Javier? Kalau anda ingin memakai yang lain, anda harus menunggu sekitar satu bulan lagi. Karena mereka sedang ada job juga."
"Baiklah, kalau menurut Tuan Noval, Nona Windi ini berkompetensi saya mau mencoba."
"Oh, tentu saja. Saya jamin itu."
Noval melirik ke arah Windi.
Setelah membicarakan panjang lebar, akhirnya mereka menandatangani surat kerja sama.
"Noval, awas saja kamu ya! Baru juga hari pertama dan baru sampai di kantor, sudah dikasih kerjaan berat." Batin Windi.
Bersambung....
...****************...
Maaf ya Kak, belum stabil up nya. Author beberapa hari ini kehilangan semangat. Semangatin author dong kak 😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!