NovelToon NovelToon

Agensi Detektif Hantu

Chapter 1 - Kasus Pertama

"Ahhh, bosan amat ya. Tak ada uang tak ada duit. Tetaplah hidup meskipun sulit." kata seorang pria muda yang rebahan santai di sofa sebuah ruangan sambil menatap langit-langit.

"Ya gimana lagi. Sepi job begini mau punya duit. Gue juga mau bayar kost bentar lagi." kali ini seorang wanita yang menyaut kebosanan si pemuda.

Pertama-tama mari perkenalan dulu. Si pria yang sedang rebahan disofa adalah owner dari Agensi Detektif Hantu yang telah dibangunnya sejak semester pertama. Namanya adalah Ardian Putra Wirawan, seorang Mahasiswa yang sekarang semester tiga.

Ardian memiliki perawakan yang lumayan tinggi, sekitar 175 cm, dengan berat badan 69 kg, tidak terlalu kurus dan juga tidak terlalu gemuk. Memiliki kulit sawo matang dan berambut sedikit ikal berwarna hitam pekat.

Sementara si wanita bernama Putriani Angga Dewi, seorang wanita dari campuran suku jawa dan china. Dia memiliki tinggi 157 cm dengan berat badan 46 kg. Memiliki rambut hitam lurus yang panjang dan kulit putih seperti salju.

Putriani baru masuk kuliah semester pertama di kampus yang sama.

Gagasan untuk membuka usaha ini untuk membantu orang-orang yang terganggu oleh dunia mistis. Ardian mulai aktif berkecamuk dengan dunia ghaib saat dia masih kelas satu SMA hanya saja sekarang bisnis ini lebih terstruktur karena sudah berstandar S.O.P.

Sedangkan Putriani baru masuk agensi ini sejak dua minggu yang lalu sebagai sekretaris yang menerima panggilan telepon dari para klien.

Banyak yang bilang bahwa agensi ini hampir sama dengan bisnis dukun cuman lebih modern, sedangkan Agensi Detektif Hantu sama sekali tidak menerima permintaan seperti santet dan lain-lain.

Mereka lebih memilih untuk memecahkan permasalahan dunia ghaib yang mengganggu manusia.

"Oh ya, si Rendy kemana? Dari tadi gak keliahatan. Ada kelas kah dia hari ini?" tanya Ardian yang sudah merubah posisi rebahannya sambil menatap si chindo cantik.

"He'em..." sahut Putriani yang sedang menulis sesuatu dikertas. Sepertinya ada tugas dari kelas yang harus dia selesaikan.

"Kalau Nur?" tanya Ardian lagi.

"Ya belum pulanglah. Masih SMA juga. Emang udah lupa sama adik kelas kesayanganmu itu?"

"Cie... ada yang cemburu nih ye."

"Dih, kege'eran..." celetuk Putriani.

"Namanya juga basa-basi, Put, biar gak kelihatan sepi-sepi amat, tapi tetep aja sepi sunyi kayak kuburan aja. Kayaknya gagal nih promosinya."

"Ya gimana mau berhasil, Ar. Elu aja nempelin brosur macam orang promosi sedot WC. Gak menarik sama sekali." ungkap Putriana.

"Ya mau gimana lagi. Gak ada budget gue abis ngurusin semua berkas-berkas buat ini kantor. Gudang satu lantai ini aja dikasih sama Rendy setelah denger ide gila gue. Sekalian juga buat tempat nongkrong kita berempat."

Tidak lama kemudian telepon kantor pun berbunyi. Putriani dengan sigap langsung meletekan pulpennya dan mengangkat panggilan tersebut.

"Selamat siang. Iya, dengan Agensi Detektif Hantu disini. Iya? Oke... Siap pak, agen kami akan ke sana sekarang." setelah menutup telepon, Ardian pun nyengir dan berdiri dari kenikmatan sofa empuknya.

Saat telepon berbunya disitu datang rejeki.

"Domisili?" tanya Ardian sambil berjalan ke arah lemari untuk mengambil pakaian tempurnya.

"Kota Anggara, Desa Tumbularas Rt. 03, Rw. 01. Kediaman rumah Bapak Santosa Wijaya. Estimasi perjalanan sekitar 40 menit dari sini." jawab Putriani layaknya seorang sekretaris handal.

"Permasalahan?" tanya Ardian lagi.

"Klien memberi informasi bahwa rumahnya diteror wanita berambut panjang and berdaster putih lusuh setiap malam. Untuk lebih detailnya Bapak Santoso siap ditemui selama 24 jam kedepan di kediamannya." jelas Putriana.

"Sip. Waktunya kerja." Ardian sudah berganti ke stelan kerja, baju berwana putih, jaket formal berwarna hitam serta berdasi. Tidak pula lupa bersepatu pantofel.

"Dih, macam mau ngelamar kerja kantoran aja kau, Ar. Gak salah pake baju begitu?" tanya Putriani yang melihat Ardian dengan pedenya begaya binaragawan.

"Gaya itu perlu, put. Tanpa gaya kita mati kutu. Gak bisa narik pelanggan kalau pake outfit asal-asalan, yang penting rapi dulu lah, biar dianggap serius sama klien."

"Iya deh, iya, yang penting jangan lupa honor gue kalau berhasil."

"Santai." sahut Ardian sebelum mengambil tas gendongnya dan melangkah kearah pintu depan tetapi berhenti saat memenggang gangang pintu.

"Oh, iya, yakin nih loe masih mau disini? Mau gue tinggal soalnya."

"Gak masalah. Nur bentar lagi juga pulang terus mampir. Kasian kalau nanti cuman dia yang sendirian. Lagian, gue lebih suka bikin tugas disini. Lebih nyaman sama tenang." jawab Putriani yang tetap fokus mengerjakan tugas makalahnya.

"Oke dah..." sahut Ardian pendek.

Ardian pun langsung membuka pintu depan dan menuju motor supra bapak yang diberikan sama Pamannya, memakai helm karena safety itu penting sebelum menstarter motornya dan gas langsung ke TKP.

***********

Di desa Tumbularas, Ardian pun telah sampai di tujuannya, di kediaman bapak Santosa Wijaya. Walaupun dia harus banyak bertanya pada tetangga sekitar untuk sampai disana.

Sesaat melihat rumahnya, memang ada aura negatif yang sukar dideteksi bukan karena kuat lemahnya, tetapi lebih ke besar kecilnya energi.

Untul lebih memastikan, Ardian harus masuk melihat kedalam.

"Permisi! Kulo nuwun! Punten! Sepada... Helloo!" panggil Ardian dari luar pagar dan berharap yang punya rumah ada di dalam.

"Nggeh." sahut Ibu-ibu yang memakai daster panjang keluar dari rumah dan berjalan mendekati Ardian. "Cari siapa ya mas?" Tanyanya langsung.

"Maaf bu, numpang tanya. Apa benar rumah ini kediamannya Bapak Santosa Wijaya?"

"Iya betul. Ada keperluan apa ya?"

"Ini bu, kami dari Agensi Detektif Hantu yang di panggil sama bapak untuk mengatasi masalah mistis di rumah ini. Apa bapak Santosa ada di rumah?"

"Oalah, masnya dari Agensi toh. Iya mas, bapak ada di rumah. Udah ditunggu dari tadi. Silahkan masuk dulu."

"Permisi ya bu."

Si Ibu membukakan gerbang depan sebelum Ardian masuk dan sedikit membungkukkan badannya. Mereka berdua pun berjalan kearah rumah sebelum berhenti diteras depan.

"Masnya tunggu disini dulu ya. Biar tak panggilin bapak." pinta si Ibu sebelum masuk kerumah.

"Iya bu." sahut Ardian sambil menatap lingkungan sekitar. Bermacam-macam makhluk tak kasat mata berlalu lalang tetapi jumlahnya masih terbilang normal.

Ardian sama sekali tidak melihat ada tanda-tanda bahwa desa ini berada dijalur ramai para makhluk astral yang membuatnya berpikir sejenak.

Tetapi pikirannya buyar ketika seorang bapak-bapak yang mengenakan kaos oblong dan sarung Gajah Uduk menghampirinya.

"Masnya dari Agensi ya?"

"Iya pak. Dengan bapak Santosa Wijaya kan? Saya datang untuk memenuhi permintaan bapak."

"Terima kasih sudah datang loh mas. Oh ya, silahkan duduk dulu."

"Ya pak, terima kasih"

Mereka berdua pun duduk di kursi depan teras rumah lalu mengobrol sebentar sebelum pak Santosa melihat penampilan Ardian dari atas sampai bawa dan bertanya. "Masnya ini lucu loh..."

"Kenapa pak?" Ardian keheranan.

"Enggak, masnya ini mau ngusir hantu atau apa? Pakaiannya kok kayak mau ngelamar kerja kantoran. Stelannya lengkap lagi. Gak kayak orang-orang pinter yang datang sebelumnya." kata pak Santosa sambil tertawa lirih.

"Eh buset, Putri juga ngomongnya gitu. Emang ada yang salah sama outfit gua? Padahal keren begini." pikir Ardian sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Ingin tampil beda aja pak. Kalau rapi, di lihat orang juga enak."

"Oh, gitu."

"Jadi bapak sebelumnya sudah pernah manggil orang pinter?" tanya Ardian sambil membetulkan dasinya.

"Sudah mas, cuman gatot alias gagal total. Orang pertama gak bisa nyariin hantunya, yang kedua gak bisa ngusirnya. Jadi masnya yang ketiga ini." pak Santosa menghelai nafas pelan karena susahnya masalah ini diselesaikan.

Ardian yang berpikir sejenak pun tahu, jika aura negatif didalam rumah ini seperti jarum jahit di dalam tumpukan jerami. Alasannya pun masih belum diketahui jika dia belum sepenuhnya masuk kedalam rumah.

Saat Ardian masih termenung di dalam pikiranya, si Ibu berdaster tadi keluar sambil membawa dua cangkir kopi hitam dan menyuguhkannya kepada Ardian dan pak Santosa.

"Mas, ini saya buatin kopi." kata si Ibu sambil menurunkan gelas kopi kepada mereka berdua.

"Waduh bu, tidak usah repot-report." kata Ardian sambil menunduk pelan.

"Gak repot kok mas. Masnya kan tamu disini. Oh iya bu, sekalian ambilin itu toples kacang bawang yang bapak beli kemarin buat cemilan. Bapak masih mau ngobrol sama mas nya."

"Nggeh pak." kata si Ibu sembari melangkah kembali ke dalam rumah.

"Monggo mas. Di minum kopinya. Mumpung masih panas."

"Iya pak terima kasih."

Mereka pun berbincang sebentar sambil meminum kopi sebelum Ardian masuk ke mode profesionalitasnya.

"Baik pak. Sebelumnya perkenalkan, nama saya Ardian Putra Wirawan. Ini kartu nama saya. Kami dari Agensi Detektif Hantu yang sudah bapak panggil tadi."

"Iya mas."

"Langsung aja ini pak. Menurut bapak gangguanya sudah berapa lama?" tanya Ardian yang penuh antusias.

"Sudah dua bulan mas semenjak kami pindah kesini."

"Gangguannya seperti apa pak?"

"Iya, kayak televisi hidup sendiri, trus kalau malam pas jam 12-an kayak ada yang hidupin keran sama kayak ada orang mandi, terus ada yang mondar mandir. Waktu tak cek, eh gak ada orang, ngeri sendiri jadinya kan."

Ardian mendengarkan dengan seksama karena dari informasi yang punya rumah maka dia baru bisa mengambil langkah yang tepat.

"Kalau suara-suara ada tidak pak?"

"Ada mas, pernah waktu saya sama keluarga lagi nonton film komedinya Warkop DKI sama OVJ. Eh pas lagi lucu-lucunya ada suara cewek cekikikan, kenceng lagi. Gak jadi ketawa lah kita mas, yang ada lari tunggang langgang."

"Hmm, sampai begitu ya. Kalau soal penampakan bapak pernah lihat?"

"Kalau itu kayaknya gak pernah deh mas. Cuma waktu malam-malam saya mau rokok kan jadi pengen kopi juga nih. Aku minta tolong Ibu yang buatin dan disuguhi mas tapi waktu itu ternyata si Ibu lagi di rumah tetangga dan gak ngerasa bikinin kopi"

"Buju gile, dia nyamar juga ya."

"Yang kedua nih mas. Pas bapak laper malam-malam pengen nasi goreng, itu kejadiannya sama kayak gitu. Di buatin Ibu tapi ternyata si Ibu lagi tidur pules, ngorok lagi mas, kan bikin heran."

"Gimana pak? Nasgornya enak gak?" tanya Ardian penasaran karenabbelum pernah dimasakin sama hantu.

"Mantap! Lebih enak dari pada buatan Ibu tapi jangan bilang-bilang ya mas, nanti ngambek dianya."

"Santai pak." sahut Ardian pelan sambil mengacungkan jempolnya.

"Hayo, pada ngomongin apa?" Si Ibu datang sambil membawa toples kacang bawang dan bertanya-tanya kepada mereka bedua.

"E... e-engak bu. Gak ngomongin apa-apa, iya kan mas?" pak Santosa gelagapan.

"I-iya bu. Kita cuma ngobrol santai aja."

"Alah, yang bener?" tanya Ibu sambil melirik gelagat aneh mereka bedua.

Ardian dan pak Santosa menganggukan kepalanya dengan cepat karena mereka tahu ras terkuat di jagat raya ini adalah ras Ibu-Ibu. Karena marahnya mereka dapat dengan mudah mengalahkan amarahnya dedemit sejagat.

Jika ada yang mereka takutkan. Itu adalah kemarahan Ibu-ibu.

Untuk mengalihkan pembicaraan Ardianpun batuk pelan-pelan dan mengambil alih topik perbincangan.

"Enggak bu. Ini tadi bapak cerita soal gangguan di rumah ini. Kalau Ibu pernah merasakan hal yang sama?"

"Hmm, gimana ya..." sahut Ibu saat meletakan toples kacang bawan ke atas meja dan pak Santosa mulai membukanya dan ngemil dengan santainya.

"Kalau ibu sih mas, waktu nonton drama Korea, itu ada suara cewek nangis mas, bikin merinding, padahal waktu itu cuma saya sendirian dirumah."

"Terus? Ibu lari?"

"Ya iya lah masa ya iya dong."

"Owalah, kalau yang lainnya bu? Penampakan atau hal-hal yang lain?" tanya Ardian lagi.

"Kalau itu pernah mas, belum lama ini malahan. Tiga hari yang lalu. Waktu bapak kerja sama anak-anak sekolah, ibu kan masak ini, di dapur. Ada yang kelupaan di toko kelontong baliklah ibu ke sana tapi lupa matiin kompor."

"Terus... terus..."

"Pas ibu pulang, ya ampun mas. Itu wajan kebakaran, gede lagi apinya." kata Ibu yang sedikit menghebohkan ceritanya.

"Iya... iya lanjut..."

"Ibu kan panik, langsung ke kamar mandi mau ngambil air. Pas ibu balik ke dapur, itu mas, ada cewek pake baju putih, rambutnya hitam panjang banget sampai tembus ke lantai, lagi liatin tuh api yang gede sampai langit-langit."

"Iya terus... kiri dikit! Kiri dikit... Sip!" lanjut Ardian yang berbicara layaknya seorang tukang parkir.

"Tapi setelah itu dia ngilang aja mas, kayak jadi asep putih gitu dan di saat yang sama, apinya pun langung padam seketika. Aneh banget kan?" jelas si Ibu sambil gemetar menjelaskannya.

"Lah terus ini terornya dimana?"

Ardian merasa sedikit kesal karena dari penuturan keluarga pak Santosa, tidak ada gangguan yang ekstrim ataupun yang dapat menyakiti mereka.

Dengan kata lain, tidak ada bentrokan langsung antara keluarga ini dengan entitas tak kasat mata di dalamnya.

Si Bapak dan Ibu Santosa cuma saling pandang satu sama lain, kebingungan dengan pertanyaan yang di utarakan Ardian. Diapun memahami bahwa reaksi keluarga bapak Santosa ini adalah reaksi yang normal saat di hadapkan dengan hal-hal yang di luar nalar pikiran.

Tetapi ya jangan bodoh aja, itu saja yang diharapkan Ardian.

"Daripada kita duga pra duga soal situasi di rumah ini, lebih baik saya masuk ke dalam aja gimana pak? Mungkin bisa berkomunikasi." ucap Ardian yang meminta izin untuk masuk ke rumah.

"Oh iya, boleh mas. Silahkan." jawab pak Santosa.

"Sebelum saya masuk, boleh tidak semua korden di tutup dulu? Sekalian lampu-lampu dimatikan untuk mengurangi cahaya." pinta Ardian sebelum dapat menjalankan tugasnya.

"Iya mas, bentar ya." si Ibupun masuk kembali ke dalam rumah, menutup semua korden dan mematikan lampu yang sedang menyala.

Hal itu membuat suasana seluruh ruangan agak gelap layaknya menjelang magrib dan seketika suasana menjadi dingin, disertai angin sepoi-sepoi yang membuat istri pak Santosa merinding and langsung beralan cepat keluar untuk menemui suaminya dan Ardian.

"Kenapa bu?" tanya pak Santosa.

"Emm, gak papa, pak." jawab si ibu pendek yang membuat suaminya agak bingung saat melihat istrinya bernapas cepat tetapi tidak dengan Ardian yang berdiri dan melangkah ke depan pintu rumah.

"Permisi ya pak. Saya cek dulu di dalam." Ardianpun masuk ke dalam rumah keluarga bapak Santosa dan terseyum lebar karena ini saatnya...

"Saatnya kerja..."

Chapter 2 - Wanita Bergaun Putih

Sesaat Ardian masuk kedalam rumah pak Santosa, dia disuguhi ruangan yang nyaman dan sederhana. Tidak terlalu besar, tidak pula terlalu kecil. Melihat sofa coklat panjang dan meja kayu jati yang khas, dia berasumsi bahwa ini ruangan tamu.

Foto pajangan pernikahan pak Santosa dan beberapa foto keluarga membujur dan menghiasi dinding rumah, serta beberapa piagam kejuaraan terpajang di dalam lemari kaca yang membuat Ardian mendekat dan melihatnya.

"Juara 1 Qori'ah sekabupaten? Mantap juga anaknya pak Santosa. Salut gue." tukas Ardian saat memandang foto anak perempuan pak Santosa yang sedang memegang piala besar.

Ardian kemudian melangkah pelan sambil berguman, "Anjir, kagak sopan amat, celingak-clinguk di rumah orang. Hadeh, sadar Ar, elu itu tamu."

Sambil memandangi ruangan sekitar, Ardian merasa nyaman dan tenang di sini, tidak seperti saat dia berada di tempat-tempat angker sebelumnya yang dingin, pengap dan mudah membuat bulu kuduknya merinding seketika.

Tetapi hal itu tidak dia rasakan di tempat ini dan sempat membuatnya keheranan karena yang dia sedang rasakan adalah banyaknya energi positif memenuhi rumah ini.

Ardian berasumsi bahwa keluarga pak Santosa adalah keluarga yang baik, harmonis dan rajin beribadah, serta anak-anaknya yang penurut kepada orang tua dan tidak membangkang.

Hal-hal semacam itulah yang membuat tempat ini di penuhi energi positif dan dapat membuat rumah ini terasa tenang dan nyaman.

Meski begitu, kenapa bisa ada gangguan dari makhluk astral?

Pertanyaan itu terus berputar di pikiran Ardian saat dia sedang berjalan menuju dapur sebelum langkahnya terhenti di tengan koridor yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang keluarga dan juga dapur dengan bentuk huruf T, layaknya sebuah pertigaan di jalan.

Ada energi negatif tepat di sisi tengah dengan ukuran seujung jarum jahit yang membuat Ardian menjatuhkan satu dengkulnya dan meletakan telapak tangannya di lantai.

"Pantesan dukun-dukun sebelum gue susah mendeteksi titik ini... kecil amat, ini mah kayak mencari jarum di dalam tumpukan jerami."

Ardian yang menanggap bahwa titik energi negatif ini seperti jarum sedangkan energi positif dirumah ini layaknya tumpukan jerami di dalam pribahasa yang sering dia dengar.

Ardian yang menggunakan teknik penerawangnya dapat melihat bahwa ada pasak baja yang ditanam di bawah rumah di kedalaman 12 meter dan yang membuat dahi berkerut adalah mantra yang digunakan untuk menanamnya.

"Bentar, bukannya ini bahasa Sangsekerta ya? Wanjir, kosakatanya bahasa kuno lagi."

Ardian menggelengkan kepalanya, sebab pasak baja yang tertanam di rumah ini merupakan benda yang sering mereka sebut dengan Buhul.

Buhul adalah media-media magis yang sudah ada sejak jaman Babylonia, kegunaannya pun bermacam-macam tergangtung niat dan tujuan dari si penanam.

Di dalam kasus rumah pak Santosa, Buhul ini digunakan untuk mengikat makhluk astral yang kemungkinan untuk menjaga barang-barang berharga.

Sedangkan mantra yang berasal dari dalam Buhul itu menggunakan bahasa Sangsekerta yang kuno.

Dia berasumsi bahwa Buhul ini telah di tanam sejak lampau, lebih tepatnya di antara zaman kerajaan pada abad 12 hingga 15 karena besarnya pengaruh agama Hidhu/Buddha pada saat itu.

Bagaimana Ardian bisa menyimpulkan hal itu? Jawabannya ada pada Mantranya.

Mantra adalah susunan kata atau kalimat khusus yang mengandung energi, dapat berupa energi positif atau negatif. Mantra dapat berupa puisi yang memiliki rima dan irama. Biasanya mantra ini sering digunakan oleh dukun, atau pawang untuk menandingi kekuatan ghaib.

Sedangkan bahasa yang digunakan pada mantra terdiri dari beberapa macam bahasa.

Diantaranya ada yang menggunakan bahasa daerah atau bahasa arab gundul, karena kedua bahasa itu yang umum Ardian temukan.

Tetapi jika bahasa Sangsekerta itu di bagi menjadi dua, bahasa kuno dan modern. Jika menggunakan kosakata kuno maka besar kemungkinannya itu berasal dari masa kerajaan Singasari hingga kerajaan Demak.

Jika Ardian menganalisa dengan tenang informasi yang telah dia dapatkan di rumah ini, maka umur Buhul ini bisa mencapai 700 tahun lebih lamanya, dengan kata lain makhluk astralnya pun memiliki kekuatan di atas rata-rata.

Saat masih terduduk memeriksa Buhul dengan penerawangnya, bulu kuduk Ardian bediri kaku, reaksi normal tubuh manusia saat makhluk astral memadatkan energinya dan berada di sekitar mereka.

Ardian kemudian berdiri dan membalik badannya 180°.

"Cilukba!"

Sosok wanita berambut kusut bergaun putih dengan bercak darah berdiri di depan Ardian.

Wajahnya yang pucat dengan kulit putih yang mengelupas berjarak hanya beberapa centimeter di depan wajah Ardian. Mata merahnya menyala dan melotot besar, serta mulutnya robek hingga hampir menyentuh daun telinga menambah kengerian bagi siapapun yang melihat sosok ini.

Tetapi Ardian hanya diam dengan wajah datar saat menatap sosok itu yang tepat di depan wajahnya.

"DOR!"

Teriak sosok wanita itu lagi sebelum menjulurkan lidahnya yang panjang hingga sampai ke lantai, tetapi Ardian hanya diam dengan wajah datarnya.

"Ya elah bang, kaget kenapa, diem bae dari tadi. Pingsankah kau sambil berdiri?"

Sosok wanita begaun putih itu melambai-lambaikan tanganya di depan wajah Ardian yang ia kira telah pingsan dan saat dia mencoba berteriak sekali lagi.

"DUAR MEME-!"

Plak!

"Wanjir, gua di gampar!" pekik sosok wanita itu saat mendapatkan tamparan keras dari Ardian di pipinya.

"Jigong lu tuh bau anyir! Gosok gigi atau pake parfum bunga kamboja kek, biar wangi dikit." teriak Ardian pelan sebelum menutup hidungnya.

Sosok wanita itu kemudian melotot tajam marah dan melayang ke arah Ardian sebelum berteriak, "Dasar manusia biadab!".

Brug!

Dengan santainya, Ardian menendang perut sosok wanita itu dan membuatnya tersungkur ke tanah sebelum menangis dan merintih kesakitan.

"Hu... hu... hu... Jahat banget sih bang jadi orang. Tega sekali dirimu berani menyakiti seorang wanita lemah dan tak berdaya ini. Tega kau bang!"

Tangisannya yang sayu dan lirih itu dapat menakuti orang-orang normal yang mendengarkannya tetapi tidak untuk Ardian, yang hanya menghela nafasnya sambil berjalan kearah sosok wanita itu.

"Ya maaf, lagian elu juga sih pake acara ngagetin orang. Reflekkan tangan gue mendarat tepat di pipimu." kata Ardian yang merasa tidak bersalah sama sekali dan melangkah melewati sosok wanita bergaun putih.

"Huhuhu...."

"Udah gak usah nangis, cengeng amat jadi dhemit. Kesini bentar gue mau ngobrol."

Sosok wanita itu perlahan menghilang seperti asap putih kemudian perlahan menampakan wujudnya yang duduk di sofa ruang tamu dan Ardian sudah duduk di depannya.

Sosok wanita itupun menuruti Ardian karena tidak mau di tampar lagi.

"Duh, sakit bang, bengkak kan pipi gua. Hadeh, mana make up gue jadi luntur lagi." katanya merintih kesakitan sambil mengelus-elus pipinya yang merah dan perutnya yang masih sakit.

"Udah, gak usah nangis, atau mau gua gampar lagi?"

"Jangan lah bang, galak amat ya jadi manusia." sahutnya pendek dan masih mengelus-elus pipinya yang bengkak.

"Lah lu juga kurang kerjaan pake ngagetin orang segala. Untung bukan kakiku yang melayang ke kepala kau."

"Ya elah bang, sadis amat."

Ardian menghela nafasnya pelan dan menunggu sosok ini untuk berhenti menangis agar situasi menjadi kondusif.

Sesaat kemudian, setelah sosok wanita sudah berhenti menangis, Ardian pun langsung mengajukan pertanyaan kepada makhluk astral yang duduk di depannya, "Punya nama gak?".

"Hush, ketus amat. Gak mau lah kalau nada bicaramu kayak gitu. Punya sopan santun gak?".

"Waduh merajuk ini. Iya udah deh maaf ya nona cantik." sosok wanita bergaun putih itu tersipu malu tetapi Ardian menghiraukannya sebelum berdehem dan mulai mengajukan pertanyaan.

"Maaf mbak, kalau boleh tau siapakah nama anda?" tanyanya yang dengan nada formal layaknya interview di kantor-kantor perusahaan.

"Nah gini kan enak di dengar, tapi kalau soal nama, maaf nih mas, bukannya gak mau jawab tapi udah lupa. Udah lama juga soalnya."

"Waduh kalau lupa nama susah ini, masa harus di panggil "Kau" atau "Lu" kan gak etis." kata Ardian sembari menghela nafasnya pelan.

"Kalau gitu masnya aja yang kasih saya nama. Gimana?" saran si wanita bergaun putih.

"Oh, kalau gitu... gimana... kalau saya kasih nama Kinanti... Neng Kinanti?"

Sosok wanita itu kemudian berpikir sebelum menganggukan kepalanya berkali-kali, seakan setuju akan nama yang di berikan Ardian.

"Bagus juga namanya, kayak anaknya kang Bahar. Geluis pisan teh atuh, pinter juga kau kasih nama."

Sosok yang bernama Kinanti itu pun menangguk dengan senyum kecilnya.

"Hihihihihihi!"

Sontak Ardian dengan cepat mengambil selembar koran yang ada di meja sebelum membuntelnya menjadi bola kemudian melemparkannya kearah Kinanti dengan sekuat tenaga.

"Aduh! Sakit atuh bang!" pekiknya kesakitan setelah bola kertas itu menghatam kepalanya dengan sangat keras.

"Gak usah pake acara ketawa! Nanti orang-orang bisa terkencing-kencing tuh dengernya!"

"Ya elah, namanya juga lagi seneng masa gak boleh ketawa. Aneh kau ini bang! Hu, dasar lawang!"

"Eh, si anying malah ngatain, dikira kagak tau itu kata artinya apa di bahasa sunda. Yeuh, jangan sampai vas bunga ini melayang juga ke kepala kau ya!" ancam Ardian setelah mengambil vas bunga yang terletak di atas meja.

"Widih, santai bang. Santai, kan cuman bercanda. Peace!" kata Kinanti sambil mengacungkan jari tengahnya, sebelum merubahnya menjadi huruf "V" dengan jari telunjuk, karena panik saat mau di kasih bogem sama Ardian.

"Nih anak ngajakin berantem kali ya?" celetuknya agak emosi.

"Temperamen amat ya jadi orang, di ajak bercanda kagak bisa. Bang, tak kasih wejangan ya. Hidup itu di bawa santai aja kali bang. Selow, biar gak sepaneng." sahutnya yang sedikit meledek.

"Eh, lu udah mati anjir, malah ngasih wejangan tentang kehidupan."

"Iya bener, status gue udah meninggoy di dunia loe bang, tapi di dunia gue kan masih hidup. Kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, jadi wajar-wajar aja ngasih wejangan satu sama lain. Jangan dilihat siapa yang ngasih nasehat tetapi apa yang di nasehatkan."

"Mau bilang benar tapi gak salah juga sih." sahutnya santai sambil meletakan kembali vas bungan ke atas meja.

Ardian hanya geleng-geleng kepala serta menghela nafas sebelum Neng Kinanti menatapnya dengan wajah serius.

"Emang masnya ke sini mau apa? Mau ngusir saya ya?" tanyanya pendek dengan wajah datar tanpa senyuman, menandakan bawah Kinanti sangat waspada.

Biasanya, para makhluk astral akan marah dan murka jika ada yang mau mengusir atau memindahkan mereka, karena tidak terima dan dengan alasan bahwa mereka telah lebih dulu ada di tempat itu.

Menurut Ardian dari punuturan keluarga pak Santosa, Neng Kinanti ini hanya hidup sesuai alurnya dan tidak ada ungsur kesengajaan untuk mengganggu atupun menunjukan wujudnya di hadapan mereka.

Itu terjadi murni kebetulan.

Meskipun ada beberapa hal yang menjadi ungsur kesengajaan, Ardian merasa bahwa sosok wanita ini tidak ada niat buruk untuk mencelakai keluarga pak Santosa.

Tetapi Ardian perlu mencari informasi lebih dalam untuk bisa melangkah ke tahap selanjutnya.

"Sorry aja ini, pak Santosa dan keluarga merasa terganggu dengan kehadiran Kinanti. Kalau saya pribadi sih pengen dua-duanya sama untung, makanya kita ngobrol sekarang, biar tahu niat neng di sini sebenernya apa. Mau ganggu atau gimana?" pancing Ardian untuk melihat reaksi sosok wanita pucat begaun putih di hadapannya.

Neng Kinanti hanya menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Niat saya di sini tidak mengganggu bang. Tugas saya hanya menjaga barang-barang berharga di wilayah saya seperti emas, uang, pedang, perisai, baju zirah dan pusaka-pusaka lainnya".

"Seperti dugaan gue. Mantra yang ada di Buhul itu bertujuan untuk menakuti dan mencelakai orang-orang yang berniat mencuri di wilayahnya." guman Ardian dalam hati.

"Tetapi setelah tuan saya meninggal. Tugas saya menjaga barang berharga pun menjadi subjektif." lanjut Neng Kinanti.

"Maksud loe?"

"Setelah yang menanam saya itu meninggal "barang-barang berharga" yang dimaksud oleh tuanku telah berubah arti." jelas Kinanti mencoba memberi tahu Ardian niatnya.

"Apa yang dimaksud Neng Kinanti ini bahwa deskripsi barang berharga itu bukan emas, pedang, baju zirah, perisai, dan yang lain-lain seperti tugasmu terdahulu? Tetapi subjektif di sini itu menurut anda sendiri?"

Perlahan tapi pasti, Ardian mulai memahami apa yang di maksud oleh sosok wanita ini.

"Iya mas."

"Jadi anda di sini mau menjaga apa?" tanya Ardian pelan.

Neng Kinanti pun tersenyum kecil dengan penuh kasih setelah mendengar pertanyaan itu. Tiada niat buruk yang terpendam di dalam senyum indahnya. Raut pucat wajahnya tidak menunjukan sedikit kengerianpun, hanya perasaan tulus dan ikhlas yang terpajang terang.

"Saya ingin melindungi keluarga ini mas."

Chapter 3 - Kinanti

Ardian tertegun setelah mendengar jawaban Neng Kinanti. Tiada sebiji jambupun ada niat terselubung di dalam senyumannya. Tugas yang diberikan oleh tuannya terdahulu untuk menjaga "Barang Berharga", namun setelah beliau telah tiada arti "Barang Berharga" tersebut pun lambat laun telah berubah.

Dari yang "Menjaga" berubah arti menjadi "Melindungi".

Arti "Barang Berharga"nya tertunjuk kepada "Keluarga" di rumah ini.

Jujur saja, Ardian sedikit terkejut akan niat Neng Kinanti untuk melindungi keluarga pak Santosa.

Niat itu tidak datang dari tuan yang telah menenamnya, melainkan niat tulus dari lubuk hatinya yang terdalam.

"Bentar, bentar, bukannya gue gak nyambung ya, cuma pengen tau aja, alasan Neng Kinanti ingin melindungi pak Santosa dan sekeluarga itu apa?" tanya Ardian karena tidak ingin gegabah dalam urusan ini.

"Mereka orang-orang baik bang. Saya lihat mereka itu senang membantu sesama, rajin beribadah, keluarga yang harmonis, humoris, dan tidak suka neko-neko, serta anak-anaknya pun patuh dan tidak membangkan." jelas Kinanti dengan senyum kecilnya.

Setuju dengan penjelasan Neng Kinanti, Ardian mengangguk pelan. Energi positif di seluruh ruangan di rumah ini sudah cukup menjadi bukti yang absolut.

"Saya menyakini bahwa orang-orang baik seperti pak Santosa dan sekeluarga adalah orang-orang yang harus di lindungi karena ada juga orang-orang yang tidak suka dengan keluarga ini" lanjut Kinanti sambil menyisir rambut panjangnya dengan belaian tangannya.

"Jika pak Santosa merasa terganggu akan kehadiranmu, dan dia ingin mengusirmu. Bagaimana pendapat Neng Kinanti?" tanya Ardian yang masih ingin mengupas reaksi sosok di depannya.

"Saya sih gak ada masalah. Karena Buhul itu, saya juga tidak bisa leluasa pergi begitu saja. Tetapi kalau bisa, saya juga ingin tetap di sini. Udah nyaman mas dengan kondisi sekarang." jawab Kinanti tanpa berhenti menyisir rambutnya.

"Nyaman bagaimana? Apa karena udah lama berada di sini atau-"

"Bukan begitu mas. Saya suka aja melihat kebaikan-kebaikan yang telah di lakukan oleh keluarga pak Santosa, terutama sama si Eneng, anak perempuannya"

"Maksud loe?"

"Saya selalu merasakan ketenangan setiap mendengar dia melantunkan ayat-ayat kitab suci, jadi udah betah aja di sini tetapi kalau pak Santosa tidak berkenan, saya pun rela jika harus pindah."

Neng Kinanti mengingat hari-hari dimana anak perempuan pak Santosa melatunkan ayat-ayat Al-Qur'an di rumah ini yang membuatnya tenang dan damai.

Jujur, kebanyakan makhluk ghaib yang Ardian temui, mereka lebih memilih mementingkan ego mereka sendiri, hanya sebagian kecil yang dia temui bisa dengan lapang dada melepas wilayah yang telah mereka huni.

Ardian berasumsi, energi-energi positif inilah yang berperan penting untuk perubahan Kinanti yang membuatnya yakin, jika sosok ini di usir, dia akan kembali ke sifat awalnya.

Tanpa pak Santosa sadari, mereka itu peran penting dalam kehidupan Neng Kinanti.

"Ya sudah, nanti saya coba berdiskusi dengan pak Santosa. Mungkin ada solusi yang terbaik untuk kalian berdua." ucap Ardian memberi harapan.

"Yang bener mas!?" Kinanti yang kelewat bahagia yang membuatnya berdiri dan membungkuk ke depan, wajah pucatnya yang bagaikan mayat itu hanya beberapa centimeter di depan muka Ardian.

"Iya, nanti keluh kesahmu akan ku sampaikan kepada beliau." Ardian menahan dirinya sekuat mungin untuk tidak memberikan tamparan keras ke muka Kinanti.

"Hihihihihihihi..." tawa Kinanti pecah karena kegirangan tetapi membawa kengerian penusuk hati bagi yang mendengarnya.

Plak!

"Wanjir! Kenapa kau gampar aku lagi bang!? Sakitlah ini!" pekik Kinanti setelah tersungkur ke lantai.

"Udah gue bilang gak usah pake ketawa! Bikin kuping gue sakit aja."

"Ini manusia ringan kali tangannya. Hati-hati kalau udah punya istri sama anak bang. Jangan dikit-dikit main gampar. Kasihan..." kata Kinanti sambil mengelus-elus pipinya yang kembali sakit.

"Iya deh iya." kemudian Ardian berdiri dari tempat duduknya.

"Gue mau ngobrol dulu sama pak Santosa perihal masalah ini. Loe sembunyi dulu dan inget, gak usah pake acara ketawa-ketiwi apalagi nangis. Mereka masih awam soal urusan kayak gini." pinta Ardian sebelum berjalan kearah pintu depan.

"Siap bossku!" sahut Kinanti sambil memberikan hormat dengan tegap layaknya seorang tentara sebelum perlahan menghilang bagai asap putih yang di tiup angin.

Ardian pun melangkah keluar rumah dan menemui pak Santosa yang sedang berpelukan dengan istrinya bagaikan Teletubbies.

"Ada apa pak, bu? Kok kaya ketakutan gitu?" tanya Ardian basa basi meskipun sudah tahu alasannya.

"Lah? Masnya gak denger tadi suara perempuan cekikikan?" Pak Santosa bercerita sambil bergidik setelah mendengar kengerian suara cekikikan Kinanti.

"Iya mas. Suaranya ngeri, pake banget lagi. Masnya gak takut?" tanya si Ibu.

"Maaf ya pak, bu, sudah saya bilangin tuh dhemit jangan ketawa cuman ya, udah kodratnya Neng Kinanti begitu. Mohon dimaklumi." jelas Ardian yang sedikit tertawa karena lucu aja lihat reaksi pak Santosa berserta istri.

"Neng Kinanti?" tanya sepasang suami istri itu serentak.

"Iya pak, bu, itu nama sosok wanita di dalam rumah dan saya sedikit mengerti tentang masalah di sini. Kalau boleh, bisa kita berbicara sebentar?"

Sepasang suami istri itu setuju dan duduk di kursi teras rumah bersama dengan Ardian.

"Jadi gini pak, Neng Kinanti ini sama sekali tidak ada niat untuk jahil dan mengganggu keluarga bapak." ucap Ardian membuka intro untuk diskusi.

"Tapi mas, kalau tidak punya niat begitu kenapa susah di usir. Orang-orang pinter yang kemarin saya panggil tidak ada yang berhasil." sahut pak Santosa memberi keterangan.

"Ada beberapa kemungkinan pak, yang pertama, karena memang sulit sekali untuk menemukan titik di mana sosok ini berasal, yang kedua, orang pinter yang bapak undang tidak memahami bahasa Mantra yang ada di Buhul tersebut."

"Buhul?" tanya Ibu menyaut.

"Buhul itu benda yang di jadikan medan sihir pak, bu. Teknik Buhul sudah ada sejak jaman dahulu, lebih tepatnya di jaman Babylonia. Salah satunya untuk menanam makhluk ghoib." jelas Ardian.

"Jadi maksud mas, ada yang menanam sosok perempuan itu di rumah saya?!" tanya pak Santosa kaget.

"Iya pak, bu. Kalau saya lihat dari jenis Buhul dan Mantranya, kemungkinan Neng Kinanti sudah ada di sini sejak abad ke-12... tetapi ini masih spekulasi saya pribadi."

"Buju buneng. Selama itu!?"

"Pantes susah di usir, orang udah dari dulu dia di sini." ucap si Ibu.

"Maaf ya pak, bu, saya potong. Neng Kinanti tidak keberatan di pindahkan, itu hasil setelah saya berkomunikasi dengan dia, cuman-" Ardian diam tidak melanjutkan perkataannya untuk melihat reaksi suami istri tersebut.

"Cuman apa mas? Butuh darah ayam? Kembang tujuh rupa? Atau sesajen? Tak sudi kalau itu persyarataan mas! Lebih baik saya di ganggu daripada harus berbuat yang tidak sesuai dengan ajaran saya! ucap pak Santosa tegas yang membuat Ibu terbelalak

"Ta-tapi pak, Ibu takut."

"Gak ada tapi-tapi bu! Toh selama dua bulan kita pindah ke sini! Tidak ada yang terluka!"

"Yah, bapak ini gimana. Kan jadi horror rumah kita."

"Gak masalah bu! Asal kita tetap teguh beribadah dan mengingat Allah! Karena hanya pada-Nya kita memohon perlindungan bu."

"Ya udah deh, Ibu nurut bapak aja."

Ardian terkekeh mendengar jawaban pak Santosa yang membuat suami istri tersebut kebingungan.

"Kok masnya ketawa? Ada yang lucu?" tanya pak Santosa yang sedikit marah mendengar tawa ejek Ardian.

"Lucu aja pak, gimana tidak? Bapak ini bisa bilang begitu tapi tetep aja manggil orang pintar buat ngusir itu hantu."

"Saya berikhtiar mas, dan bila orang pintar itu meminta sesuatu yang sudah saya sebutkan tadi. Sayapun tak sudi menurutinya!" jawab Pak Santosa dengan lantang.

Di sisi lain Ardian kagum dengan prinsip pak Santosa yang membuatnya sedikit menundukan kepalanya, menghormati pak Santosa layaknya yang muda menghormati yang tua.

"Mohon maaf atas ketidaksopanan saya pak. Saya sengaja memancing reaksi bapak seperti apa."

"Maksud masnya gimana?"

"Banyak orang yang melenceng dari ajaran agama hanya untuk menuruti keinginan mereka. Seperti minta perlindungan, pesugihan, santet, dan lain-lain. Karena itu, profesi dukun masih eksis bahkan di jaman modern seperti sekarang." Ardian menjelaskan maksud dari memancing reaksi bapak Santosa.

"Orang-orang seperti bapaklah yang bisa menekan profesi dukun. Karena rendahnya rasa percaya kepada Tuhan, manusia mudah di goyahkan oleh hal-hal duniawi."

Ardianpun selesai menjelaskan maksudnya. Dia sangat menghormati orang-orang seperti pak Santosa yang berpegang teguh atas ajaran agamanya.

"Lha terus maksud mas "cuman" itu gimana ya? Kok bapak gak nyambung."

"Maksudnya pak, Neng Kinanti ini sudah betah tinggal di rumah bapak, meskipun begitu, dia berkenan di pindahkan jika bapak tidak suka akan kehadirannya." jelas Ardian.

"Waduh, gimana ini pak? Udah betah katanya. Ibu takut kalau di pindahkan nanti bisa kembali ke rumah atau jadi benci sama keluarga kita." kata Ibu sambil merangkul tangan bapak karena takut hal-hal tak diinginkan terjadi ke depannya.

"Bapak juga gak tau, bu. Ini masnya bikin bingung. Gak ngasih solusi yang sat set sat set, terus beres gitu." ucap bapak yang sedikit mengejek Ardian tetapi dia tidak marah sama sekali.

"Bapak mau solusi?" tanya Ardian.

"Ya jelas lah mas, masa ya jelas dong."

"Ya sudah, mari ke dalam rumah, saya ajak bapak dan ibu untuk musyawarah mufakat dengan Neng Kinanti." ajak Ardian dengan senyum kecilnya.

"Wong edan!"

"Bapak baru tahu ya..." ucap Ardian santai.

Setelah beberapa waktu menolak solusi dari Ardian, pak Santosa berserta istrinya pun akhirnya menyetujui usulannya untuk bermusyawarah dengan Kinanti, tetapi dengan syarat Ardian yang menjadi perantara di antara mereka, yang otomatis keselamatan keluarga pak Santosa menjadi tanggung jawabnya.

Mereka bertiga melangkah perlahan ke arah pintu tetapi pak Santosa dan istrinya masih gemetar ketakutan.

"Bapak yakin mau menemui sosok perempuan itu?" tanya Ibu yang merangkul tangan kanan suaminya.

"Iya, bu, biar semua jelas, kalau gak gini, nanti malah menjadi ketakutan yang berlebihan. Hanya kepada-Nya kita harus takut bu, bukan kepada bangsa Jin." jawab pak Santosa sambil mengumpulkan keberaniannya.

"Tapi tetep aja ngeri pak..."

"Tenang pak, bu, Neng Kinanti bisa di ajak musyawarah dengan baik. Saya tidak mendapati kesulitan yang berarti saat berkomunikasi denganya." ucap Ardian, mencoba menenangkan pasangan suami istri tersebut.

Sepasang suami istri itu menangguk dan berhenti di depan pintu bersama Ardian.

"Mari berdo'a dulu pak, bu, agar di lancarkan urusan kita." pinta Ardian yang di setujui pak Santosa berserta Istra sebelum mereka memejamkan mata dan perlahan membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.

"Good morning people!"

"AAAAAAHHHHH!" pak Santosa dan istrinya teriak sekencang-kencangnya saat Neng Kinanti muncul di hadapan mereka secara tiba-tiba.

"AAAAAAHHHHH!" Ardian kaget akibat teriakan pasangan suami istri tersebut.

"AAAAAAHHHHH!" Kinanti pun ikut kaget mendengar teriakan keras mereka bertiga.

"AAAAAAHHHHH!" dan mereka pun berteriak bersama-sama.

Plak!

"Pantteekkk!" teriak Kinanti yang sudah tertampar dan tersungkur ke lantai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!