Malam itu, kota Harapan Senja terasa lebih sepi dari biasanya. Jam menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit, dan hanya suara jangkrik serta angin yang berhembus pelan mengisi keheningan. Jalanan kota yang biasanya ramai oleh aktivitas warga kini lengang, menyisakan cahaya lampu jalan yang redup menyinari aspal yang dingin.
Di sebuah gang kecil di sudut kota, seorang pria berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket kulit hitamnya. Wajahnya tersembunyi di balik topeng yang menutupi hampir seluruh bagian atas kepalanya. Topeng itu bukanlah topeng biasa. Bukan sekadar topeng balap atau topeng Halloween yang bisa dibeli di toko. Ini adalah topeng buatan khusus, dengan detail yang canggih, membuat pemakainya terlihat seperti hantu modern yang keren sekaligus mengerikan.
Pria itu adalah *Zedrick Alessio Valenstein Zafiero Radithya*, alias Zed, tapi malam ini, dunia mengenalnya sebagai "Sang Brandal." Sang Brandal tidak muncul di sembarang tempat, dan tidak untuk sembarang urusan. Dia muncul hanya ketika keadilan tidak bisa ditegakkan oleh hukum atau ketika ada seseorang yang benar-benar membutuhkan bantuan dengan cara yang nggak biasa.
Suara langkah kaki yang teredam terdengar dari kejauhan, semakin mendekat. Zed berbalik, menghadap sumber suara. Dari bayangan muncul dua pria dengan wajah penuh keringat dan mata yang tampak gelisah. Mereka adalah target Zed malam ini.
"Kita harus cepet, sebelum ada yang ngeliat," bisik salah satu pria, sambil terus memandang sekeliling. Temannya hanya mengangguk setuju, tak berani membuka mulut. Di tangannya, tergeletak sebuah kantong besar yang tampak berat dan berisi sesuatu yang berharga.
Zed menyeringai di balik topengnya. “Kayaknya kalian buru-buru banget, ya?” ucap Zed dengan suara yang diubah, dalam dan menggema, membuat kedua pria itu berhenti mendadak.
"A-apa-apaan tuh?!" Salah satu pria menoleh panik, matanya melebar saat melihat siluet Sang Brandal yang berdiri tegap dalam kegelapan.
“Yah, cuma mau kasih saran aja,” lanjut Zed, suaranya tenang tapi menusuk, “Kalian sebaiknya mikir ulang soal ngerampok. Apalagi di daerah gue.”
Pria yang lebih besar dari keduanya langsung panik, tangannya gemetar saat hendak mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Tapi, Zed sudah lebih dulu bertindak. Dalam satu gerakan cepat, dia melompat ke depan, menangkap tangan pria itu dan membantingnya ke tembok gang.
Pria itu meringis kesakitan, kantong besar yang tadi dipegang jatuh ke tanah dengan suara keras, isinya berserakan—tumpukan uang tunai! Sementara itu, pria satunya berusaha melarikan diri, tapi baru beberapa langkah, Zed sudah menyusul dan menendangnya hingga jatuh tersungkur.
"Udah, nyerah aja deh," kata Zed santai sambil berdiri di atas kedua pria yang kini merintih kesakitan. "Gue nggak suka berlama-lama buat urusan kayak gini."
Kedua pria itu terdiam, wajah mereka pucat pasi. Mereka terlalu takut untuk bergerak. Zed mengeluarkan ponselnya, menyalakan kamera, dan mengambil foto mereka berdua. "Buat jaga-jaga aja, siapa tau kalian lupa wajah gue," ucapnya dengan nada menggoda.
Setelah itu, Zed mengambil kantong uang dan menatapnya sejenak. "Yah, uang hasil nyolong ini kayaknya lebih baik balik ke yang punya, ya?" Dia pun memasukkan kantong itu ke dalam jaketnya, sebelum dengan satu lompatan, menghilang ke dalam kegelapan malam.
***
Beberapa blok dari tempat kejadian, di sebuah kamar kos kecil, Zed membuka topengnya dan menghela napas panjang. Rambut hitamnya yang biasanya rapi sekarang berantakan, wajahnya berkeringat. Meski terlihat tenang saat beraksi, dalam hatinya selalu ada ketegangan setiap kali dia memakai topeng itu. Tapi dia tahu, ini adalah satu-satunya cara untuk melakukan apa yang harus dilakukan.
Dia menatap topeng di tangannya. “Hari pertama yang lumayan,” gumamnya, sebelum meletakkan topeng itu di atas meja, tepat di sebelah laptop yang terbuka. Di layar laptop tersebut, ada sebuah artikel berita tentang dirinya: *"Sang Brandal: Pahlawan atau Musuh Baru di Harapan Senja?"*
Zed tersenyum kecil. “Let the games begin,” bisiknya sambil mematikan lampu kamar, membiarkan kegelapan malam menyelimuti dirinya.
Begitu Zed berbaring di tempat tidurnya yang sempit, pikirannya melayang pada apa yang mungkin terjadi besok. Kota ini penuh dengan masalah, dan Sang Brandal hanya baru memulai. Apa yang akan terjadi jika ada yang mengenalinya? Atau lebih buruk lagi, bagaimana kalau rahasianya terbongkar?
Namun sebelum rasa khawatir itu semakin mendalam, kelelahan mengambil alih, dan Zed pun tertidur dengan tenang, siap untuk petualangan berikutnya.
***
Di tempat lain, di rumah mewah yang luas, *Cassandra Evelyne Mahendra Putri* alias Cassie sedang menatap layar komputernya dengan dahi berkerut. “Sang Brandal... siapa sebenarnya kamu?” gumamnya pelan. Dia merasa tertantang, penasaran sekaligus tergelitik oleh sosok misterius ini. Dan dia tahu, ini baru permulaan.
Cassie mengklik sebuah artikel yang baru saja dipublikasikan oleh seorang jurnalis lokal, sambil matanya berbinar penuh semangat. “Besok, aku harus mulai cari tahu lebih banyak,” tekadnya, sambil menutup laptop dan meraih jurnal kecilnya. “Mungkin ada sesuatu yang bisa aku temukan dari semua ini.”
Dengan senyum di bibir, Cassie mematikan lampu kamarnya dan berbaring, membiarkan malam membawanya pada impian yang penuh teka-teki.
*Di balik topeng Sang Brandal, ada rahasia yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan siapa pun.*
***
Keesokan harinya, di kampus Harapan Senja, suasana kampus masih lengang ketika Zed sampai. Matahari belum sepenuhnya muncul dari balik gedung-gedung, dan udara pagi yang sejuk membawa aroma embun segar. Zed, dengan penampilan yang sangat berbeda dari malam sebelumnya, berjalan santai memasuki gerbang kampus. Jaket kulit dan topeng misterius kini tergantikan dengan hoodie abu-abu dan kacamata hitam yang menutupi matanya yang sedikit mengantuk.
Seperti biasa, Zed menyelinap ke kelas pagi, berusaha tidak menarik perhatian. Namun, hari ini sedikit berbeda. Beberapa mahasiswa yang lewat mulai membicarakan sesuatu dengan antusias. Sepintas, Zed mendengar nama yang membuatnya hampir tersedak kopinya: *Sang Brandal*.
"Gue dengar semalam Sang Brandal beraksi lagi, kali ini di dekat pasar," kata seorang mahasiswa kepada temannya saat mereka berjalan melewati Zed. "Katanya dia nyelametin seorang nenek dari rampokan! Keren, kan?"
Temannya mengangguk dengan semangat. "Iya, gue penasaran banget siapa sebenarnya dia. Kayaknya dia deket banget sama kita-kita, ya nggak sih?"
Zed tersenyum tipis mendengar percakapan mereka, namun berusaha untuk tetap tenang. Dia tahu, semakin banyak orang yang tertarik pada Sang Brandal, semakin besar risiko identitasnya terbongkar. Tapi ada juga rasa puas yang ia rasakan—aksi-aksinya tidak sia-sia, dan efeknya mulai terasa.
Saat Zed masuk ke kelas, dia langsung mencari tempat duduk di pojok ruangan, seperti biasa. Tidak lama kemudian, Cassie datang dan duduk di kursi di depannya. Mereka sering satu kelas, namun tidak terlalu dekat. Tapi hari ini, Cassie tampak lebih bersemangat dari biasanya.
“Hei, Zed,” sapa Cassie, membalikkan badan dan menatapnya. “Dengar-dengar ada berita seru nih tentang Sang Brandal. Kamu tahu nggak?”
Zed berusaha terlihat acuh tak acuh, meski di dalam hatinya ia sedikit cemas. “Ah, gue nggak terlalu ngikutin berita kayak gitu. Lagian, siapa sih yang percaya sama pahlawan bertopeng kayak gitu?”
Cassie tertawa kecil. “Yah, gue sih penasaran banget. Bayangin aja, seorang cowok yang nggak dikenal, pake topeng, terus tiba-tiba muncul buat nyelametin orang. Keren, nggak sih?”
Zed hanya mengangkat bahu. “Mungkin dia cuma cari perhatian.”
Cassie mengernyitkan alisnya, lalu tersenyum. “Mungkin. Tapi gimana kalo dia emang pahlawan sejati? Coba bayangin, seorang mahasiswa biasa yang punya kehidupan ganda. Pasti seru banget, kan?”
Dalam hatinya, Zed tertawa mendengar perkataan Cassie.
Cassie mengernyitkan alisnya, lalu tersenyum. “Mungkin. Tapi gimana kalo dia emang pahlawan sejati? Coba bayangin, seorang mahasiswa biasa yang punya kehidupan ganda. Pasti seru banget, kan?”
Zed hanya tertawa kecil, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Ya, mungkin. Tapi kalau gue sih lebih milih hidup normal aja daripada harus repot-repot ngejar penjahat tiap malam.”
Cassie mengangguk, walau terlihat masih penasaran. “Bener juga sih. Tapi tetap aja, gue nggak bisa berhenti mikirin dia. Gue jadi pengen nyari tahu lebih banyak tentang Sang Brandal. Siapa tahu ada petunjuk di sekitar kita.”
Zed merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Jangan-jangan dia mulai curiga?” pikirnya. Namun, dengan tenang ia menjawab, “Well, kalau kamu mau jadi detektif, gue yakin kamu bakal nemuin sesuatu. Tapi hati-hati, Cass. Jangan sampai kamu malah bikin masalah.”
Cassie tersenyum, matanya berbinar penuh semangat. “Tenang aja, gue nggak bakal gegabah. Gue cuma penasaran, itu aja.”
Kelas segera dimulai, dan percakapan mereka terhenti. Namun, pikiran Zed tidak bisa lepas dari Cassie. “Gawat, kalau dia terlalu dalam nyari tahu tentang Sang Brandal, dia bisa aja ngeh siapa gue sebenarnya,” batin Zed. Sementara itu, Cassie tampak sibuk dengan catatannya, meski di balik tatapan seriusnya, ia jelas sedang merencanakan sesuatu.
***
Siang itu, setelah kelas berakhir, Zed duduk sendirian di taman kampus, mencoba menikmati ketenangan yang jarang ia dapatkan. Langit cerah, dan sinar matahari terasa hangat di kulitnya. Namun, pikirannya terus-menerus terganggu oleh kemungkinan-kemungkinan buruk. “Kalau Cassie beneran mulai investigasi, apa yang harus gue lakuin? Gue nggak bisa terus-terusan sembunyiin ini, tapi juga nggak bisa biarin rahasia gue kebongkar.”
Di saat Zed sedang tenggelam dalam pikirannya, suara riuh tawa sekelompok mahasiswa yang sedang berjalan di taman menarik perhatiannya. Mereka membawa koran kampus, dan salah satu dari mereka membacakan dengan keras.
"Ini dia, berita terbaru tentang Sang Brandal! Kayaknya dia beneran pahlawan rakyat, deh. Nih, liat judulnya, ‘Sang Brandal: Harapan Baru atau Masalah Baru?’"
Zed menghela napas panjang. “Lagi-lagi tentang gue,” pikirnya. Rasanya ada beban yang semakin berat di pundaknya setiap kali mendengar namanya disebut-sebut sebagai Sang Brandal.
Tanpa disadari, Cassie muncul dari belakang dan duduk di samping Zed. “Gue tadi liat kamu di taman, sendirian banget. Lagi mikirin apa?” tanyanya dengan senyum yang penuh rasa ingin tahu.
Zed tersentak kaget, namun berusaha tetap tenang. “Nggak ada, cuma lagi menikmati suasana aja.”
Cassie menatapnya dengan mata yang tajam, seperti berusaha membaca pikiran Zed. “Aneh aja, biasanya kamu nggak pernah kelihatan kayak gini, Zed. Ada yang salah?”
Zed menggeleng, mencoba menghindari tatapan Cassie. “Nggak, gue beneran nggak ada masalah. Mungkin cuma capek aja karena kuliah.”
Cassie terlihat tidak puas dengan jawaban itu, tapi dia memilih untuk tidak mendesak. Sebagai gantinya, dia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari tasnya. “Kamu tahu nggak? Gue udah mulai nyari informasi tentang Sang Brandal. Dan menurut gue, dia nggak cuma sekedar urban legend atau tokoh fiksi. Gue yakin dia beneran ada, dan gue bakal buktiin itu.”
Zed berpura-pura tertawa. “Wah, kamu bener-bener serius, ya? Tapi Cass, bukankah lebih baik kita fokus sama kuliah aja? Sang Brandal itu cuma fenomena sementara, nanti juga orang-orang lupa.”
Cassie menatapnya dengan penuh tekad. “Gue nggak setuju. Sang Brandal ini lebih dari sekadar fenomena. Dia jadi simbol buat orang-orang yang merasa nggak bisa ngandelin hukum. Gue nggak tahu gimana pandangan orang lain, tapi buat gue, dia penting. Dan kalau gue bisa tau siapa dia sebenarnya, itu bakal jadi sesuatu yang besar.”
Zed terdiam, merasa terpojok. “Cassie nggak bakal berhenti sampai dia tau siapa gue,” pikirnya dengan cemas. “Gue harus cari cara buat ngelindungi rahasia ini.”
Cassie menutup bukunya dan berdiri. “Gue harus pergi sekarang, Zed. Tapi gue yakin kita bakal ngobrol lagi tentang ini. See you around!” Cassie melambai sambil berjalan pergi, meninggalkan Zed yang masih terpaku di tempatnya.
“Ini nggak bisa dibiarkan,” Zed berpikir keras. Dia tahu, cepat atau lambat, Cassie akan menemukan sesuatu. Dan jika itu terjadi, semua yang sudah ia bangun sebagai Sang Brandal bisa hancur dalam sekejap.
***
Malam harinya, Zed kembali ke gang sempit yang menjadi tempat persembunyiannya. Di dalam sebuah gudang tua yang sudah lama ditinggalkan, dia menyimpan semua peralatan yang ia gunakan sebagai Sang Brandal. Topeng, jaket kulit, dan berbagai alat bantu seperti tali pengait dan senter kecil yang dirancang khusus.
Zed duduk di atas sebuah kotak kayu, memegang topengnya dengan pandangan yang kosong. “Ini semakin sulit,” gumamnya pelan. “Gue nggak pernah nyangka jadi pahlawan itu bakal ngerusak hidup gue yang tenang.”
Dia ingat saat pertama kali memutuskan untuk menjadi Sang Brandal. Semua bermula dari rasa frustasi yang ia rasakan terhadap ketidakadilan yang sering terjadi di kotanya. Hukum seringkali tumpul ke atas, dan tajam ke bawah. Banyak orang tidak mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan, dan itu membuat Zed marah. Awalnya, dia hanya ingin membantu, tapi lama-kelamaan, identitas Sang Brandal semakin lekat dengan dirinya.
Namun sekarang, dia sadar bahwa tindakan-tindakannya bisa membawa risiko besar, tidak hanya bagi dirinya, tapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. “Apa gue harus berhenti? Tapi kalau gue berhenti, siapa yang bakal gantiin peran ini?”
Zed menggenggam topengnya lebih erat. Di satu sisi, dia ingin melepaskan beban ini dan kembali menjadi mahasiswa biasa. Tapi di sisi lain, ada rasa tanggung jawab yang besar, bahwa dia tidak bisa begitu saja meninggalkan apa yang sudah ia mulai.
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan, memecah keheningan malam. “Zed... lo nggak sendiri, kan?”
Zed langsung berdiri, menatap ke arah suara itu berasal. Ternyata itu adalah sahabatnya, *Kai, atau lengkapnya Kaivan Oliver Arkhan* yang sudah lama mengetahui rahasia Zed. Kai adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa Zed adalah Sang Brandal.
“Gue tahu lo lagi galau, bro,” kata Kai sambil melangkah mendekat. “Tapi gue mau lo inget, apa pun yang lo putusin, gue bakal tetap dukung.”
Zed menghela napas panjang. “Kai, gue nggak tahu harus gimana lagi. Gue nggak bisa terus-terusan kayak gini. Sekarang Cassie mulai curiga, dan kalau dia tahu...”
Kai menepuk bahu Zed dengan keras. “Lo jangan terlalu ngerasa bersalah. Cassie emang cewek yang pintar dan penasaran, tapi dia juga tahu batasnya. Kalau lo perlu, gue bisa bantu ngejauhkan dia dari penyelidikan ini.”
Zed menatap Kai, merasa sedikit lega. “Thanks, Kai. Gue butuh bantuan lo, serius.”
Kai tersenyum lebar. “Tenang aja, bro. Kita udah kayak saudara. Gue nggak bakal biarin lo jatuh sendirian.”
Zed mengangguk, merasa sedikit beban di pundaknya terangkat. Tapi dia tahu, ini baru permulaan dari masalah yang lebih besar. Dan kali ini, dia harus lebih berhati-hati. Apa pun yang terjadi, dia harus melindungi identitasnya sebagai Sang Brandal, sekaligus menjaga orang-orang yang ia sayangi.
Namun, di balik tekadnya, ada satu hal yang terus menghantui pikiran Zed: “Berapa lama lagi gue bisa menyembunyikan rahasia ini?”
Malam itu, Zed dan Kai merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Mereka tahu, permainan ini semakin rumit, dan setiap langkah yang salah bisa berarti kehancuran. Tapi di balik kekhawatiran itu, Zed masih merasakan semangat yang membara dalam dirinya. Semangat untuk terus melawan ketidakadilan, meskipun itu berarti dia harus mempertaruhkan segalanya.
Di balik topeng Sang Brandal, ada jiwa yang bergolak antara kebenaran dan kebohongan. Antara harapan dan keputusasaan. Dan malam ini, Zed menyadari, tidak ada jalan kembali.
Pagi yang cerah di Harapan Senja terasa seperti biasa bagi kebanyakan orang. Namun, di dalam hati Zed, awan gelap terus bergelayut. Meskipun malam tadi dia dan Kai sudah membahas rencana untuk menghadapi situasi yang semakin rumit, perasaan waswas tetap tak bisa hilang.
Kampus mulai ramai saat Zed tiba dengan hoodie abu-abu yang sama seperti biasanya. Matanya bergerak waspada, mengamati sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan dia terlalu dekat. Namun, ada sesuatu yang aneh pagi ini. Cassie, yang biasanya selalu ceria dan penuh semangat, kini tampak sibuk dengan ponselnya, alisnya berkerut seolah membaca sesuatu yang serius.
Zed berusaha bersikap biasa saja saat Cassie mendekatinya. "Pagi, Cass," sapanya ringan. Namun, Cassie hanya mengangguk pelan, tanpa senyuman yang biasanya selalu hadir.
Zed mencoba menahan rasa ingin tahunya, namun akhirnya menyerah. “Lo keliatan beda hari ini, ada apa?”
Cassie berhenti sejenak, menatap Zed dengan mata yang penuh dengan pemikiran. "Zed, gue nemu sesuatu yang aneh."
Jantung Zed berdetak lebih cepat. "Apa itu?"
Cassie mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah artikel. “Gue nemu ini pas lagi browsing pagi ini. Ini artikel dari blog investigasi kecil, dan mereka bilang kalau ada bukti baru soal siapa sebenarnya Sang Brandal.”
Zed merasakan darahnya berdesir. “Buk... bukti? Maksud lo, bukti kayak gimana?”
Cassie menatap layar ponselnya dengan serius. “Gue nggak tahu seberapa valid ini, tapi katanya mereka punya rekaman CCTV yang nunjukin seseorang yang mencurigakan, keluar dari gang tempat Sang Brandal terakhir kali muncul. Dan...”
Cassie menghentikan kalimatnya, terlihat ragu untuk melanjutkan.
“Apa, Cass? Terusannya gimana?” tanya Zed dengan nada yang mencoba tenang, walau hatinya cemas setengah mati.
Cassie akhirnya menatap Zed dengan penuh kekhawatiran. “Orang itu pake hoodie abu-abu... kayak punya lo.”
Zed merasakan dunia seakan berputar lebih cepat. “Sial!” batinnya. “Mereka udah nemu jejak gue.”
Namun, Zed berusaha tetap tenang di hadapan Cassie. “Banyak orang yang pake hoodie abu-abu, Cass. Itu kan warna yang umum. Gue yakin orang-orang di kampus ini juga banyak yang punya hoodie kayak gini.”
Cassie mengangguk, meskipun terlihat tidak sepenuhnya yakin. “Iya sih, mungkin cuma kebetulan. Tapi tetap aja, gue nggak bisa berhenti mikirin ini. Kalau bener ada bukti kayak gitu, kita harus hati-hati.”
Zed mencoba tertawa, meskipun terdengar sedikit dipaksakan. “Cass, lo terlalu mikirin ini. Lagian, kita nggak punya alasan buat khawatir. Bukannya lo juga bilang kalau lo nggak bakal gegabah?”
Cassie tersenyum lemah. “Iya, bener juga. Mungkin gue cuma terlalu banyak mikir.”
Mereka berdua berjalan menuju kelas, namun pikiran Zed terus-menerus teralihkan oleh kemungkinan terburuk. “Kalau rekaman CCTV itu beneran ada, bisa gawat. Gue harus gerak cepat.”
***
Sepulang kuliah, Zed langsung menemui Kai di tempat biasa mereka nongkrong, sebuah kafe kecil yang tidak terlalu ramai di pinggir kota. Kai sudah menunggu di sana, dengan secangkir kopi hitam di tangannya.
“Bro, lo harus liat ini,” kata Zed tanpa basa-basi, sambil menunjukkan artikel yang ditunjukkan Cassie pagi tadi.
Kai membaca cepat, kemudian mengangkat alis. “CCTV? Mereka beneran udah punya rekaman?”
Zed mengangguk. “Itu yang bikin gue khawatir. Kalau beneran ada rekaman yang nunjukin gue keluar dari gang itu, semua bakal hancur.”
Kai terdiam sejenak, merenungkan situasi mereka. “Kalau gitu, kita harus nyari cara buat ngilangin rekaman itu sebelum mereka bisa ngecek lebih jauh.”
Zed menatap Kai dengan serius. “Tapi gimana? Blog itu bilang mereka nggak punya akses langsung ke rekamannya, cuma dapat info dari sumber anonim. Berarti rekamannya masih di tangan orang lain.”
Kai mengangguk pelan. “Kemungkinan besar rekaman itu ada di tangan pemilik CCTV atau mungkin udah dikasih ke polisi. Kita harus tau siapa yang punya rekaman itu dan gimana cara kita ngilanginnya.”
Zed menunduk, merenung dalam-dalam. “Kalau gue samperin tempat itu sekarang, gue bisa ketahuan. Tapi kalau kita nggak ngelakuin apa-apa, risiko gue terbongkar makin besar.”
Kai tersenyum tipis. “Gue punya ide, tapi lo harus percaya sama gue.”
Zed menatap Kai dengan pandangan penuh harap. “Apa itu?”
“Kita lacak sumber info yang bocorin soal rekaman itu. Kalau kita bisa nemuin orang yang nge-blog ini, kita bisa dapet petunjuk soal siapa yang punya rekaman sebenarnya. Setelah itu, kita atur strateginya.”
Zed merasa ada sedikit harapan. “Lo bener. Tapi gimana caranya kita bisa ngelacak orang yang nge-blog ini? Dia pasti jaga anonimitasnya rapat-rapat.”
Kai tersenyum licik. “Gue tau beberapa trik buat ngelacak jejak digital. Biar gue yang urus bagian itu. Lo tetap tenang aja, oke?”
Zed mengangguk, merasa lega memiliki Kai di sisinya. “Oke. Gue percayain ini ke lo.”
Kai segera mengeluarkan laptopnya dan mulai bekerja, sementara Zed duduk di seberang, memandangi layar laptop Kai dengan cemas. Waktu terasa berjalan lambat, dan Zed terus-menerus merasa gelisah, takut kalau sewaktu-waktu polisi bisa datang menjemputnya.
Setelah beberapa jam, Kai akhirnya berhenti dan menatap Zed dengan senyum puas. “Gue nemu sesuatu. Blog ini ternyata diurus oleh satu orang yang cukup aktif di forum-forum gelap. Namanya… *Rico Feraldino Arkanes*. Dia suka nulis artikel investigasi, tapi lebih sering nyebarin gosip liar.”
Zed menatap Kai dengan penuh antusias. “Lo tau di mana dia tinggal?”
Kai mengangguk. “Ya, gue tau. Dia tinggal di apartemen di pusat kota. Kalau kita buru-buru, mungkin kita bisa samperin dia sebelum dia nyebar lebih banyak informasi soal rekaman itu.”
Zed segera berdiri. “Ayo kita kesana sekarang.”
Mereka berdua segera bergegas keluar dari kafe dan menuju pusat kota. Perjalanan yang biasanya terasa biasa saja kini dipenuhi ketegangan, seolah setiap detik adalah penentu antara keselamatan dan kehancuran.
***
Matahari sudah hampir terbenam ketika mereka sampai di apartemen tempat Rico tinggal. Zed dan Kai memandang bangunan tua itu dengan waspada, berusaha memastikan bahwa mereka tidak menarik perhatian.
Kai menatap Zed. “Gue masuk dulu, lo tunggu di sini. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, lo kabur aja.”
Zed menggeleng. “Nggak, gue ikut lo. Ini juga urusan gue.”
Kai tersenyum tipis, mengangguk. “Oke, kita masuk bareng.”
Mereka melangkah masuk ke dalam gedung, menaiki tangga yang berderit, dan berhenti di depan pintu apartemen Rico. Kai mengetuk pintu dengan tenang, namun tidak ada jawaban. Dia mengetuk lagi, kali ini lebih keras.
Setelah beberapa detik, pintu akhirnya terbuka sedikit. Seorang pria kurus dengan rambut acak-acakan dan wajah lelah muncul di balik pintu. “Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak.
Kai langsung berbicara. “Kami butuh bicara soal blog lo, Rico. Tentang artikel yang lo tulis tentang Sang Brandal.”
Mata Rico membesar, dan dia segera mencoba menutup pintu. Namun Zed dan Kai dengan cepat menahan pintu itu dan mendorongnya masuk ke dalam apartemen.
“Lo nggak bisa kabur, Rico,” kata Zed dengan suara rendah. “Kita cuma mau ngomong.”
Rico terlihat panik, namun tidak punya pilihan selain membiarkan mereka masuk. Apartemennya berantakan, dengan kertas-kertas berserakan dan beberapa monitor komputer yang menyala di sudut ruangan.
“Kalian mau apa? Gue cuma nulis artikel, itu aja,” Rico mencoba membela diri.
Zed menatap Rico dengan tajam. “Kita tahu lo dapet informasi tentang rekaman CCTV yang nunjukin seseorang mirip gue. Gue perlu tahu siapa yang kasih info itu ke lo dan gimana caranya kita bisa dapet rekamannya.”
Rico menelan ludah, tampak semakin gugup. “Gue… gue dapet info itu dari seorang informan anonim. Dia ngirimin gue email, bilang kalau ada rekaman CCTV yang nunjukin seseorang mirip Sang Brandal keluar dari gang itu. Tapi gue nggak tahu siapa dia, sumpah!”
Kai menghela napas panjang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!