...Mall Indonesia....
Gadis itu melangkah perlahan memasuki pusat perbelanjaan, seakan menari-nari di atas lantai marmer yang mengkilap. Rambut panjangnya berkilauan seiring langkahnya, mencuri perhatian semua orang yang ada di sekitarnya. Mata gadis itu begitu indah dan menawan, membuat siapa saja yang menatapnya terpaku.
Seiring berjalannya waktu, kerumunan orang mulai mengelilingi gadis itu. Beberapa orang mencoba berbicara dengannya, mengajaknya mengobrol atau bahkan menawarkan bantuan untuk membawakan tas belanjaannya. Namun, gadis itu hanya tersenyum lembut dan menolak dengan sopan.
Sementara itu, di seberang pusat perbelanjaan, ada sekelompok remaja yang terpesona oleh kecantikan gadis tersebut. Mereka saling berbisik, berdiskusi tentang siapa gadis itu, dari mana asalnya, dan mengapa dia begitu cantik. Salah satu dari mereka mencoba mendekati gadis itu, namun sebelum sempat mengajak bicara, ia langsung gugup dan mundur.
Di antara kerumunan orang yang terpesona, ada pula beberapa wanita yang berbisik-bisik, merasa iri dengan kecantikan gadis itu. Mereka merasa tidak senang karena perhatian orang-orang teralihkan dari diri mereka, dan mulai berbicara buruk tentang gadis tersebut.
Namun, gadis itu tetap tenang dan anggun, tidak terpengaruh oleh pandangan mata atau bisikan orang di sekitarnya. Ia melanjutkan langkahnya, mengunjungi berbagai toko dan mencoba pakaian serta aksesori yang Ia sukai. Setiap kali Ia keluar dari toko, orang-orang semakin terpesona dengan penampilan barunya, dan kerumunan semakin membesar.
Tak lama kemudian, pusat perbelanjaan itu hampir seperti tempat wisata, dengan orang-orang yang datang hanya untuk melihat gadis itu. Kecantikannya memang tidak wajar, membuat mereka bertanya-tanya apakah Ia benar-benar manusia, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dari itu.
Mandalika adalah seorang gadis kecil berusia tujuh tahun yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di luar rumah. Ia berjalan dengan hati berdebar, menatap dunia yang begitu luas dan asing baginya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama, saat Ia tiba di sekolah dasar, seorang guru menculiknya dengan alasan kecantikannya yang memikat.
Kedua orang tua Mandalika, terguncang dan trauma atas peristiwa tersebut. Mereka berdua memutuskan untuk melindungi Mandalika sebaik mungkin dengan tidak membiarkan gadis kecil itu keluar rumah lagi. Mereka memilih untuk memberikan pendidikan homeschooling, agar Mandalika tetap mendapatkan pendidikan yang layak tanpa harus menghadapi dunia luar yang penuh bahaya.
Mandalika tumbuh dewasa dalam lingkungan yang terbatas, hanya berinteraksi dengan keluarga dan guru privat yang datang ke rumahnya. Namun, di balik pintu rumahnya, Ia merasa terkurung dan merindukan kebebasan untuk menjelajahi dunia yang belum sempat Ia rasakan.
Setiap hari, Mandalika menatap dunia luar melalui jendela kamarnya, memperhatikan anak-anak seusianya yang bermain dan tertawa bahagia. Hatinya merasa iri, ingin merasakan kebahagiaan yang sama. Namun, Ia tahu bahwa dunia di luar sana bukanlah tempat yang aman baginya, dan Ia harus tetap berada di balik tembok rumah yang melindunginya.
Dalam hati kecil Mandalika, Ia berharap suatu hari nanti akan dapat melangkah keluar dari rumahnya, menyentuh dunia yang penuh warna dan rasa, dan merasakan kebahagiaan yang selama ini Ia dambakan.
Dan inilah tiba saatnya Mandalika dapat keluar dari rumah untuk kedua kali dan merasakan dunia luar.
...***...
Sejak saat itu, aku diberi kebebasan dari kedua orangtuaku.
Tidak sedikit Pria tampan yang mendekat dan mengungkap perasaannya.
Aku pun menjadi sedikit nakal, menikmati permainan cinta, lalu meninggalkan mereka saat bosan.
Satu tahun berlalu begitu cepat, melewati suka tanpa duka di kehidupan baru yang bebas. Begitu banyak Pria yang menjadi korban ketidak jelasannya. Manda menerima setiap cinta yang datang, dan dengan seenaknya memutuskan hubungan tersebut, tanpa alasan yang masuk di akal.
Hingga awal dari kisah Mandalika pun di mulai, sejak Ia melakukannya lagi.
"Kita putus!"
...To be continued....
Dering panggilan masuk dari ponselku tak berhenti berbunyi, mengganggu ketenangan. Suara itu seperti paku yang terus-menerus dipalu ke dalam kepalaku. Dengan perasaan muak, aku akhirnya menerima panggilan tersebut.
"Siapa?!" tanyaku dengan nada ketus.
"Ini Kevin," suara di seberang terdengar serak dan penuh emosi.
"Apa alasanmu mutusin aku? Padahal aku masih sayang sama kamu."
"Jangan hubungi aku lagi! Nomormu sudah ku blokir!" bentakku, kesal. Tanganku gemetar, mencengkeram ponsel terlalu kuat.
"Izinkan aku menanyakan satu hal," pinta Kevin, suaranya hampir berbisik.
"Tidak! Aku tidak punya waktu untuk itu!" jawabku dengan nada tajam.
"Aku memenuhi semua keinginanmu... tapi, kau memutuskan ku tanpa alasan. Kenapa?" Pertanyaannya terdengar putus asa.
"Kamu terlalu baik!" bentakku, lalu memutuskan telepon dengan kasar. Hawa panas memenuhi ruangan, napasku terasa berat.
...***...
"Manda! Kamu di mana?!" panggil Mama dari arah luar.
"Ada apa sih, Ma? Teriak-teriak begitu! Aku denger 'kok," sahutku dari dalam, membuka pintu dengan gerakan cepat.
"Siapa lagi yang nyariin kamu? Banyak banget yang datang ke rumah hari ini... kamu buat masalah apa lagi sih?!" bentak Mama dengan tatapan penuh curiga.
"Aku nggak ngapa-ngapain kok. Lagian Mama kenapa nggak usir aja mereka, ribet banget!" ocehku, kesal.
"Mama nggak mau tau! Temui mereka!" perintahnya, nada suaranya tegas.
"Yaudah... temenin!" jawabku, meski dengan nada malas.
"Lagian kamu ini genit banget sih, pacaran kok nggak cukup satu orang!" omel Mama sembari berjalan ke arah pintu.
"Ya 'kan Manda cantik," sambungku, berjalan ke arah pintu dengan langkah yang penuh amarah.
Aku membuka pintu dengan kasar dan menatap orang-orang di depanku satu per satu.
"Ada apa lagi?!" bentakku.
"Mereka siapa?" tanya Jihan dengan mata menyipit.
"Harusnya aku yang menanyakan itu!" bentak Vino kepada Jihan, suaranya keras.
"Aku pacarnya, kami sudah berpacaran selama satu bulan... Kamu siapanya Manda?" Jihan berkata sembari memegang kerah baju Vino.
"Kalian semua pergi! Aku harus bicara dengannya!" usir Dafa, melangkah ke arah Manda dengan langkah tegas.
"Sayang, jelaskan semuanya! Mereka semua ini siapa?" tanya Arka dengan wajah memelas, suaranya serak.
"Pergi!" sergahku, lalu membanting pintu dengan kuat. Suara benturan kayu membuat jantungku berdebar kencang.
Mama yang melihat itu pun terkejut dengan kelakuanku. Matanya membesar, mulutnya sedikit terbuka.
"Menyebalkan sekali!" gerutuku saat ingin kembali ke dalam kamar, menggigit bibir bawahku dengan keras.
"Mama udah pusing banget, kamu mending jangan pacaran lagi! Mama udah gak bisa menghadapi orang-orangmu itu lagi. Mama heran deh sama kamu!" decaknya kesal, tatapannya tajam menembus diriku.
"Mama tidak mau mendengar alasan apapun lagi, Manda... Mama akan kirim kamu ke luar negeri!" lanjut Mama, nadanya tak terbantahkan.
"Mama mau ngebuang aku? Mama nggak sayang Manda lagi?" tanyaku, terkejut dengan kedua mata yang berbinar, suara menggigil.
Mama mencubit pipi Manda, seraya berkata, "Kamu harus dewasa, Manda. Umurmu sudah 23 tahun... Kamu sudah dewasa, sayang. Mama Papa nggak mau lihat kamu gini terus," menghela napas, menatap wajah putrinya yang cantik, tetapi selalu membuatnya mengelus dada atas kelakuan Manda.
"Mama tunggu negara mana pilihanmu, jangan membantah!" tegasnya di akhir ucapan.
"Mama!" bentakku, kesal dengan menghentakkan kedua kakiku.
"Bersikap dewasalah!" balasnya, matanya memancarkan ketegasan.
Dengan perasaan kesal, aku pun beranjak pergi, dan membanting pintu kamar. Suara benturan pintu menggema di seluruh rumah, seperti cerminan kekacauan yang ada di dalam hatiku.
"Aku harus melakukan sesuatu, mereka benar-benar membuatku kesal!" gerutuku sembari menggigit kuku jari tanganku.
Malam pun tiba, di ruang keluarga.
"Papa... pinjam mobil," pintaku, duduk di dekatnya dengan tatapan memohon.
"Gak usah dikasih, Pa! Itu pasti mau keluyuran!" sahut Mama yang kebetulan ada di sana juga.
"Mama kok gitu ih! Papa, pinjam Pa!" rayuku, memelas, sembari memeluk lengan Papaku.
"Nih, tapi Manda harus pulang cepat ya!" ujar Papa, tersenyum lembut.
"Terima kasih, Papa sayang!" ucapku mencium pipinya dan meraih kunci mobil tersebut, lalu beranjak pergi dengan langkah cepat.
"Kalau pulang larut malam, Mama kunciin pintu!" ancam Mama.
Aku berbalik ke arah Mama. "Aku pulang cepat kok," ucapku pelan sembari tersenyum penuh arti, bibirku melengkung tipis.
Aku meraih ponsel yang ada di dalam tasku dan menghubungi Caca, temanku. "Ca? Lu di mana? Gua udah di jalan nih!"
"Ke rumah aja, Gua udah nungguin di depan."
...Setibanya di kediaman Caca....
"Lu tadi ngomong apaan? Balas dendam? Balas dendam ke siapa?"
"Jadi gini, pria-pria brengsek itu datang ke rumah dan protes karena Gua putusin. Mama marah, dan mau kirim Gua ke luar negeri. Mereka menempatkanku dalam masalah kali ini," ujar Manda kesal, bibirnya mengerucut.
"Jadi gimana? Gua harus apa?" tanya Caca, matanya membulat dengan rasa penasaran.
"Begini, Lu panggil pacarmu, gih!"
"Oke, aku hubungin Angga dulu," jawab Caca, meraih ponselnya.
Beberapa saat kemudian.
"Pacar Lu lama banget sih, Ca?!" tanyaku, berdecak, mataku melirik ke arah jalan.
"Itu dia! Lama banget sih, Ga?" tanya Caca sembari berjalan ke arah Angga yang baru tiba.
"Aku tadi beli martabak dulu buat kalian, nih!" jawab Angga, tersenyum sambil mengangkat bungkusan martabak.
"Aduh sayang, kamu manis sekali," ucap Caca, dengan mencubit pipi Angga.
Pria itu langsung tersenyum melihat sikap pacarnya, matanya berkilau.
"Cie... kalian manis sekali. Angga, kali ini kamu harus bantu aku," selaku ketika dua orang itu sedang terkekeh bersama.
"Apa itu? Aku akan melakukannya dengan senang hati," Angga bertanya dengan antusias, wajahnya penuh semangat.
"Emm, karena mereka tidak mengenalmu. Bagaimana kalau kamu berpura-pura jadi pacarku untuk malam ini saja. Aku ingin mengunggahnya di sosial media... dengan begitu, mungkin mereka nggak akan berani gangguin aku lagi, gimana?" jelasku dengan nada serius.
"Wah, mau banget! Aku mau, Manda. Kamu serius kan?" jawab Angga kegirangan, takutnya aku hanya menggoda Angga saja.
"Eee, kamu oke 'kan, Ca? Please, Ca!" tanyaku, memelas.
"Hmm, tapi untuk malam ini aja ya?!" jawab Caca masih dengan perasaan campur aduk, matanya menyipit sedikit.
"Tenang aja, karna semuanya sudah sepakat, ayo kita langsung ke kafe saja!"
...Café XYZ....
Suasana ramai dengan suara obrolan dan alunan musik lembut di latar belakang.
"Aku mau dua jus, satu kopi, dan tiga steak," pesanku kepada pelayan.
"Baik, silakan menunggu pesanannya. Terima kasih," jawab pelayan dengan sopan.
"Tadi gua lihat mantan lu di parkiran deh... kalau nggak salah, dia itu yang namanya Kevin," ujar Caca tiba-tiba.
"Biarin aja, Ca. Aku juga nggak peduli," jawabku acuh tak acuh.
"Apa aku juga harus pergi untuk lebih merealisasikan rencanamu?" saran Caca kemudian.
"Sepertinya memang harus begitu, Ca. Kamu tunggu kami di pojok sana ya," ucapku sambil menunjuk ke arah pojok Café.
"Oke, sukses ya!" ucap Caca, menyemangatiku sebelum beranjak pergi.
Aku mengedipkan sebelah mataku ke arah Caca, lalu melihat ke arah Angga. "Kau harus melakukannya dengan baik, oke!" ucapku antusias.
Beberapa saat kemudian, Kevin menghampiri meja kami. Matanya menyala penuh kemarahan.
"Dia siapa?" tanya Kevin, suaranya memotong keheningan.
Angga pun langsung menoleh ke arah orang yang bertanya itu.
Aku mencoba tidak memperdulikan pertanyaan dari orang itu dan mengabaikan kedatangannya.
"Manda, jawab aku!" bentak Kevin, nadanya penuh emosi.
Seketika aku melihat ke arah Kevin. "Kenapa membentakku?!" tanyaku dengan suara yang tak kalah meninggi, hingga beberapa pengunjung Café melirik ke arah kami.
"Aku tanya dia siapa?!"
"Dia pacarku, Kau seharusnya menghargai pacarku dan jangan pernah mengusikku lagi!" jawabku tegas, lalu mengalihkan pandangan ke arah Angga.
"Mengusikmu? Hey, Kita baru putus semalam! Apakah secepat itu melupakanku?!" Kevin benar-benar tersulut emosi melihat aku dan Angga.
"Jangan ganggu aku lagi, Pergilah!" Usirku, dengan wajah datar.
Kevin melihat ke arah Angga dan Manda, "Kamu akan menyesal telah membuatku seperti ini, Manda!"
"Aku tidak perduli." Tukasku, tersenyum tipis. Kevin pun pergi meninggalkan mereka dengan kekesalannya.
"Tampan sekali, mengapa menyia-nyiakannya?" Tanya Angga.
Malam itu, di sebuah restoran elegan dengan suasana temaram, aku memotong steak di piringku sambil melirik Angga yang duduk di seberangku. Aku menghela napas, sedikit merasa tidak nyaman dengan situasi ini, namun berusaha untuk tetap tenang.
"Dia hanya pelampiasanku, ini bukan kali pertama aku melakukannya... hal seperti ini sudah biasa. Aku tidak benar-benar mencintai mereka," ucapku, memecah keheningan sembari menikmati potongan steak yang lembut.
Angga menatap Manda dengan mata yang penuh kekaguman. "Ngedapetin kamu sulit banget ya? Aku tidak bisa mempertanyakan, itu karena Kamu terlahir sangat cantik," ujarnya, suaranya terdengar tulus namun aneh di telingaku.
Aku mengerutkan kening, merasa sedikit terganggu dengan pujiannya yang terlalu berlebihan. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Caca yang duduk sendirian di meja sebelah.
"Em, kamu panggil Caca gih! Kasian Caca sendirian," ujarku, mencoba mengubah topik pembicaraan.
Angga menaikkan suaranya sedikit. "Caca!" panggilnya, melambai.
Caca menghampiri kami dengan langkah cepat. "Gimana? Berhasil?" tanyanya antusias.
Aku tertawa kecil. "Dia benar-benar terlihat sangat kesal," jawabku, mencoba menahan tawa.
Caca ikut tertawa. "Terus, sekarang gimana?"
Aku memberikan ponselku pada Caca. "Gua mau, Lu fotoin Gua sama Angga. Gua mau mengunggahnya di sosial media untuk memperingati mereka agar tidak mengganggu lagi!" kataku tegas.
Caca mengambil ponselku. "Oke! 1 2 3... Cisss," serunya sambil memotret kami.
Di parkiran, aku berterima kasih pada mereka. "Makasih untuk hari ini, kalian berdua udah ngebantu aku banget!"
"Semoga rencanamu berhasil," kata Angga, tersenyum.
"Aku harus pulang, sampai jumpa," pamitku, melambaikan tangan ke arah Caca dan Angga sebelum masuk ke dalam mobilku.
Sesampainya di kediaman Caca, suasana berubah menjadi lebih tegang. Angga mendekati Caca dengan ekspresi serius.
"Ca, mari bicara..."
Caca menatap Angga dengan senyum tipis. "Apa Sayang?"
"Sebelumnya, aku ingin minta maaf, karena... aku ingin mengakhiri hubungan ini," ucap Angga pelan namun tegas.
Darah Caca seolah berhenti mengalir dan jantungnya berdegup kencang. Ia terdiam, mencoba mencerna kata-kata yang terucap dari Angga.
"Apa kamu sadar dengan ucapanmu ini, Angga?!" bentaknya, air mata mulai menetes di pipinya.
"Aku menyukai temanmu, Aku ga bisa membohongi perasaanku lagi, tolong mengertilah!" Angga memohon sambil mencoba memegang tangan Caca, namun wanita itu menepisnya.
Dengan marah, Caca menampar Angga. "Dasar pria brengsek! Pergi!" sergahnya, menunjuk pintu keluar dengan tegas.
...***...
Di rumah, aku langsung menuju kamar dan melemparkan tubuhku ke ranjang. Aku memainkan ponsel, melihat foto-foto yang baru saja diambil.
"Hmm, aku unggah yang mana dulu ya," gumamku.
Dering panggilan masuk dari ponsel Manda membuatku mengernyitkan kening. "Eh, Caca?" tanyaku dalam hati, lalu menerima panggilan tersebut.
"Hai, Ca. Ada apa?"
"Sialan! Angga mutusin aku gara-gara kamu!" bentak Caca, suaranya terdengar parau dan penuh emosi. Aku yakin Caca pasti habis menangis karena Angga.
Seketika, aku pun terkejut mendengarnya. Mataku melebar, perasaan campur aduk menyelimuti pikiranku.
...To be continued....
"Lho, Ca! Gua salah apa?"
Suara Manda terdengar serak dan putus asa. Tetapi, jawab Caca tak memberikan penghiburan, malah menambah luka.
"Kamu nggak salah, tapi aku yang salah... Karena ngenalin Angga ke kamu!" Bentaknya. Suara itu keras dan tajam, seperti pisau yang menyayat telinga Manda. Tanpa menunggu balasan, Caca menutup telepon dengan kasar. Membuat Manda seketika terdiam.
"Ca! Hallo, Ca!" Teriaknya, memanggil dalam keputusasaan. Tapi tidak ada jawaban.
"Argh! Pria sialan!" Kemarahan meledak, dan ponselnya terbang menuju cermin. Suara kaca pecah mengisi ruangan, serpihan kecil berserakan di atas meja rias, berkilauan di bawah cahaya lampu.
"Ck! Hidup lebih lama di sini akan membuatku gila!" Geramnya kesal, tangan terkepal dan napas tersengal.
Keesokan harinya, aroma masakan Mama menyapa dari dapur. Manda berjalan dengan langkah berat, pikirannya masih diselimuti amarah dan kesedihan.
"Manda sudah memikirkannya," ucapnya pelan, membuka lemari dan meraih gelas. Air es dingin mengalir ke gelas, berharap dapat mendinginkan kepalanya yang hampir meledak.
Mama menoleh, matanya penuh kasih sayang namun khawatir. "Apa? Ke luar negeri?"
"Iya lah, ke mana lagi?! Manda udah mutusin buat pergi ke Korea. Karna Manda sedikit memahami bahasanya," jawab Manda tegas, duduk di kursi meja makan, menatap Mamanya dengan penuh tekad.
Mama Manda menghela napas panjang. "Baik, Kamu akan menempuh pendidikan kuliahmu di sana. Mama berharap kamu dapat merubah kelakuanmu itu," ucapnya lembut namun tegas.
Manda mengangguk, merasa sedikit lega. "Its okay, aku setuju itu!" serunya, meskipun hati masih bergolak.
"Mama akan mengurusnya. Kau harus bersiap!" Mama melanjutkan memasak, sementara Manda kembali ke kamarnya, membawa beban pikiran yang masih berat.
Dua minggu kemudian, di bandara, suasana haru dan cemas terasa kental. "Sudah siap? Ada yang terlupa?" tanya Mama, matanya penuh perhatian.
"Tidak, Mama Papa nanti jenguk Manda kan?" Suara Manda hampir tak terdengar, getar emosinya jelas.
"Tentu saja, Papa Mama jenguk kamu kok. Kamu belajar yang giat di sana ya, Nak!" Papa mengelus rambutnya, mencoba menenangkan.
"Jaga kesehatanmu, Nak!" Mata Mama berkaca-kaca, dan Manda merasa sesak melihatnya.
"Baik, Manda pergi dulu, sampai jumpa," pamit Manda, melambaikan tangan dengan perasaan campur aduk.
...Bandara Incheon, Korea....
Setelah sepuluh jam perjalanan yang melelahkan, Manda tiba di Bandara Incheon. "Haduh, jemputannya lama banget sih!" keluhku, mata ini sibuk mencari sosok yang ditunggu.
Beberapa saat kemudian, seorang supir taksi datang tergopoh-gopoh. "Bapak dari mana aja? Aku udah di sini satu jam loh, Pak!" Ocehnya, nada suaranya tak bisa menyembunyikan kesal.
Supir taksi itu tampak terpesona sesaat, kemudian cepat-cepat memasukkan koper Manda ke bagasi. "Maafkan saya, saya pergi ke suatu tempat," ucapnya terbata-bata.
"Tolong bawa saya ke alamat ini, udah capek banget nih!" Manda duduk dengan nyaman di kursi penumpang, berharap segera sampai ke tempat tujuan.
Sesampainya di Apartemen, Gangnam, Korea. Manda langsung melempar tubuhnya ke ranjang setelah memasuki kamar tidurnya. "Capek banget, aku harus tidur," gumamnya, dan seketika jatuh dalam tidur yang dalam.
Pagi berikutnya, pukul 09.18, Manda terbangun dengan rasa lapar. "Sepertinya, aku harus keluar. Tidak ada stok makanan di tempat ini," gumamnya, bersiap untuk keluar.
Di perjalanan menuju swalayan terdekat, Manda merasa tatapan orang-orang tertuju padanya. Rambut panjangnya terurai, badan tinggi dan langsing, kulit putih bersih—dia tahu, penampilannya menarik perhatian.
Di swalayan, seorang pria mendekatinya. "Permisi, bisakah saya mendapatkan nomor telepon Anda?" tanyanya sopan, mengulurkan ponsel.
Manda berpura-pura tidak mengerti. "Maaf, saya tidak mengerti, permisi," katanya, dan pria itu mundur dengan wajah malu.
Manda menyelesaikan belanjanya secepat mungkin dan bergegas kembali ke apartemen, merasa tidak nyaman dengan tatapan orang-orang.
Di perjalanan pulang, tanpa sengaja Manda menabrak seseorang. Ia terjatuh, dan pria yang ditabraknya cepat-cepat mengulurkan tangan. "Apa kau terluka? Kenapa terburu-buru? Seseorang mengganggumu?" tanyanya khawatir.
Manda mencoba bangkit sendiri. "Tidak apa-apa," katanya singkat, lalu segera pergi.
Satu minggu kemudian, di taman Universitas Korea pukul 08.00 pagi, Manda duduk termenung. "Membosankan sekali," keluhnya.
Segerombolan mahasiswa menghampirinya. "Permisi, apa kau kebingungan?" goda salah satu pria.
"Tidak!" jawab Manda ketus, tanpa menatap mereka.
"Mungkin kau membutuhkan teman?" tambah yang lain.
Manda menatap mereka tajam. "Mau apa?!" bentaknya, merasa terganggu.
"Berikan nomor teleponmu, maka kami akan pergi!" bujuk pria pertama.
"Cih! Tidak punya!" jawabnya sambil mengalihkan pandangan.
"Kau bercanda?" pria lain seloroh, duduk di dekat Manda.
Manda berdiri marah, menatap Pria pertama yang menyapanya. "Dasar geng ga jelas! Ketuanya juga sama-sama ngga jelas!" Bentaknya dan berlalu pergi.
Pria yang dipanggil Gyumin mengejarnya. "Hei, Tunggu! Ah, kenapa wanita itu sombong sekali!" keluhnya.
Salah satu teman menarik tangannya. "Sudahlah, Gyumin. Kau takkan bisa mengejarnya," ujarnya sambil tertawa.
Jun ki menepuk bahu Gyumin. "Sepertinya, kau sudah tidak menarik lagi." selorohnya.
"Hah?! Kau serius? Sudahlah. Ayo, makan!" Gyumin mengajak teman-temannya ke Restaurant kampus.
Beberapa saat kemudian, Manda memasuki kelas tanpa mendongakkan kepalanya, dan duduk bersebelahan dengan tempat Gyumin, karena hanya kursi itulah yang tertinggal.
"Gyu! Lihat, gadis itu!" bisik Jun ki, saat Gyumin tengah bergurau bersama dengannya.
Gyumin menoleh ke arah gadis yang di maksud, matanya tak bisa lepas. Manda menyadarinya dan merasa tidak nyaman, Ia dengan segera mengenakan masker.
"Selamat pagi," sapa Dosen Kim, memasuki kelas.
"Pagi, Pak!" jawab semua mahasiswa.
"Kita kedatangan mahasiswi baru di kelas ini. Harap berdiri dan perkenalkan diri!" ucap Dosen Kim.
Dengan perasaan malu, Manda bangun dan melepas maskernya. Semua mata tertuju padanya, terpesona oleh kecantikannya.
"Tolong perkenalkan diri kamu," kata Dosen Kim.
"Selamat pagi, perkenalkan, saya Mandalika. Kalian bisa memanggilku dengan nama Manda. Dan saya berasal dari Indonesia, terima kasih," ucap Manda, melukis senyuman indah di bibirnya.
Seisi kelas pun bersorak, pujian dan godaan datang dari segala penjuru, terkecuali Gyumin yang hanya diam, menatap Manda dengan penuh cinta.
Jun ki yang menyadari keanehan dari Pria di hadapannya, Ia dengan sengaja menggebrak meja Gyumin, yang membuatnya seketika terkejut dan kesal. Dengan spontan Gyumin mengumpat kepada Jun ki yang cekikikan menertawakannya.
"Sudah cukup, harap tenang. Silakan duduk kembali, mari kita lanjutkan," titah Dosen Kim.
...♡(> ਊ <)♡...
Setelah kelas berakhir, Dosen Kim memanggil Manda yang hendak melangkah keluar dari ruangan tersebut.
"Manda, ayo, ikut dengan Bapak!" Panggilnya, berjalan menghampiri Manda dan mengulurkan tangannya.
Gyumin tiba-tiba menggapai tangan Manda dari arah belakang. "Kau berjanji pergi denganku, ayo tepati!" Tatapannya penuh harap. Manda terdiam, terkejut dengan keberanian Gyumin.
...To be continued....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!