NovelToon NovelToon

Kabur Dari Obsesi Hans JANGAN LARI MONA!

AWAL DARI KESENGSARAAN.

Sepulang bekerja hari ini, saya dengan Lisa dan Milu memutuskan untuk makan malam di Kafe dekat Kantor. Karena besok libur, kami menikmati waktu bersama. Tidak ada yang ganjil sebelumnya, hingga saat akan membayar di kasir, saya menemui seorang pria yang sedang berdebat dengan seorang kasir wanita.

"Bentar ya, saya bayar dulu ke kasir," ujar saya sambil berdiri dari kursi.

"Yaudah nanti kita berdua tinggal transfer ke kamu," sahut Lisa sambil menunjuk Milu di sebelahnya.

"Iya tenang saja, aman itu," timpal Milu.

Saya segera pergi ke kasir, karena hari ini Kafe penuh dengan manusia, jadi saya tidak tega harus memanggil pelayan yang sedang sibuk untuk meminta nota pesanan.

"Gak bisa Mas, Mas harus lunasi pesanannya sekarang!" ucap seorang kasir wanita kepada pria yang sedang berada di depan saya.

"Iya Mbak, tapi dompet saya ketinggalan. Saldo ATM saya juga kurang untuk bayarnya. Kan saya sudah bilang, saya akan balik lagi," ujar pria itu terdengar sedikit kesal.

Pria tinggi memakai kemeja hitam dan celana lee hitam itu sepertinya sedang mendapatkan masalah. Untung saja, antreannya hanya saya.

"Gak bisa Mas, sudah banyak yang modus begini. Pokoknya Mas gak boleh pergi dari sini, sebelum melunasi total pesanan Mas!" seru kasir mulai meninggikan suara dengan wajah juteknya.

"Eh! Kamu pikir saya gak punya uang? Sembarangan kamu menuduh saya modus!" marah pria itu.

Saya hanya mendengarkan dan menunggu saja di belakangnya, karena saya juga tidak tahu akar permasalahan mereka. Tidak sopan juga jika saya tiba-tiba ikut campur.

"Memang kenyataannya kamu gak punya uang kok, buktinya rekeningmu saja kosong. Kok pakai alasan dompet ketinggalan!" ucap kasir itu dengan judes dan tidak sopan.

"Eh jaga ya bicara kamu!" bentak pria itu.

Semua mata langsung melihat adegan perdebatan mereka berdua. Kafe yang tadinya riuh seketika hening dan penuh bisik-bisik. Saya juga terkejut mendengar pria ini membentak sang kasir. Mungkin ia merasa harga dirinya terhina.

"Maaf Kak, ada apa ya?" tanya saya gugup berusaha menjadi penengah.

"Ini Mbak, Masnya gak bisa bayar. Padahal yang dia pesan banyak dan mahal. Tapi pakai alasan dompet ketinggalan, saldo rekeningnya gak cukup, terus sekarang mau kabur alasan ambil dompet yang ketinggalan. Padahal juga dia nanti gak balik lagi!" jawab kasir dengan judes dan jutek.

"Eh saya gak bohong ya, dompet saya benaran ketinggalan! Buat apa juga saya kabur!" marah pria itu.

"Alah gak usah mengibul deh!" ketus kasir dengan kasar.

"Panggil Manager kamu sekarang!" perintah pria itu dengan wajah yang sangat marah.

"Manager saya gak ada, dia gak masuk hari ini!" jawab kasir itu sangat ketus.

"Ya kalau begitu panggil ownernya!" marah pria itu.

"Apalagi itu, owner saya sibuk!" jawab sang kasir sangat ketus sambil memutar kedua bola matanya.

Melihat pertikaian mulai memanas kembali, saya segera menengahi. Karena saya juga malu, banyak pasang mata yang melihat ke arah kami bertiga.

"Eh ... Kak, berapa total pesanan Kakak ini? Biar saya yang bayar. Sekalian saya juga mau bayar untuk meja nomor 6 ya," ucap saya pada kasir seraya membuka dompet.

"Untuk meja nomor 6 totalnya 85 ribu Kak," jawab kasir terdengar lebih lembut.

"Oh ... ini uangnya Kak," ucap saya memberikan uang nominal seratus ribu.

"Kalau untuk Mas ini totalnya satu juta tujuh ratus ribu rupiah Kak," ucap kasir setelah memberikan uang kembalian saya.

Mendengar total pesanan pria itu membuat saya langsung melongo dan bertanya dengan tidak percaya,"Ha? Satu juga tujuh ratus ribu rupiah?"

"Iya Kak, itu juga belum termasuk pajak VIVnya 25%. Semua totalnya jadi dua juta seratus dua puluh lima ribu rupiah Kak." Jawab kasir semakin membuat saya mati kutu.

"Apa? Sampai dua juta?" tanya saya sangat terkejut dan diangguki kasir.

Saya langsung melihat ke pria tinggi itu yang tepat berdiri di sebelah kiri saya. Siapa yang mengira satu orang bisa menghabiskan biaya sebesar itu untuk sekali makan. Saya mengira total pesanannya hanya tiga puluh ribu rupiah. Saya bertanya dengan wajah panik,"Makan apa sampai segitu banyaknya?"

Ketika pria itu akan menjawab, tapi langsung dipotong oleh kasir dengan judes,"Bayarin teman-temannya makan Mbak. Tapi gak punya uang. Makannya kalau miskin gak usah sok kaya, banyak gaya sih!"

"Eh mulut kamu ya! Heran kok perempuan judes dan gak sopan seperti kamu bisa diterima di sini!" ujar tajam pria itu dengan mata melotot ke kasir.

Saya melihat isi dompet saya dengan gelisah dan lesu. Rasanya mana mungkin saya membayar segitu banyak, sementara gaji saya saja sebulan hanya satu juta lima ratus ribu rupiah. Di dompet saya hanya ada tiga ratus ribu lagi, itu juga uang pegangan untuk akhir bulan. Terpaksa harus merogoh tabungan di rekening.

"Yaudah Kak, pakai debit saja bisa?" tanya saya dengan lesu.

"Bisa Mbak," jawab kasir.

"Ini Kak," ucap saya memberikan kartu atm saya dengan wajah lemas dan murung.

"Menyesal sekali membantunya, mana sudah terlanjur sok pahlawan mau bayarin. Aduh malu sekali kalau gak saya tepati. Saya gak enak hati, kasihan juga pria ini," batin sesal saya dalam hati.

"Ini Mbak, tolong masukin pinnya," ucap kasir memberikan mesinnya setelah ia gesek.

Saya menekan nomor pin saya tetap dengan wajah tanpa senyum dan murung. Setelah transaksi berhasil, saya segera memasukkan kartu atm saya ke dompet yang menyimpannya ke dalam tas.

"Terima kasih ya, saya akan ganti uang kamu nanti," ucap pria itu tersenyum manis kepada saya.

"Iya sama-sama," jawab saya tersenyum kikuk.

"Awas Mbak, paling juga gak diganti. Modus saja dia itu, aslinya miskin banyak gaya. Awas nanti Mbak jadi korbannya dia, gak akan dibayar juga itu!" ucap ketus kasir wanita itu dengan menatap sinis ke arah pria ini.

"Eh Bangsat! Jaga ya mulut kamu! Awas kamu, saya pastikan ini hari terakhir kamu kerja!" ucap pria itu sangat marah sambil menunjuk sang kasir dengan emosi.

"Sudah jangan dilanjutin debatnya," ujar saya melerai.

"Lain kali dijaga ya Kak mulutnya! Terlalu kasar dan judes ke pelanggan sangat tidak sopan. Minimal beradab Kak." Kritik saya tajam dan menatap kasir sinis membuatnya terdiam setelahnya saya segera pergi.

Saya sebenarnya juga jijik dan ikut emosi melihat kasir wanita itu. Sangat tidak sopan dan kasar, apalagi melihat wajah judes menjengkelkannya itu. Ingin sekali saya jambak rambutnya itu.

Saya segera kembali menemui Lisa dan Milu, mereka menyambut saya dengan wajah tanda tanya.

"Ada apa Mon?" tanya Lisa penasaran ketika saya sampai.

"Langsung pulang saja yuk, saya kesal sekali di sini," ajak saya berdiri dengan wajah masam.

"Kak, saya minta nomor teleponnya ya. Agar saya bisa menghubunginnya nanti," ucap pria tadi yang ternyata mengejar saya.

"Boleh, catat ya," jawab saya simpul.

Pria itu membuka handphonenya dan siap mengetik nomor saya. Kemudian ia bertanya,"Berapa nomornya?"

"087877259575," jawab saya dengan spasi.

"Baik, terima kasih Kak," ucap pria itu tersenyum manis.

"Sama-sama," jawab saya tersenyum simpul.

"Ayo pulang," ajak saya kepada Lisa dan Milu.

Mereka berdua langsung berdiri dan kami bertiga meninggalkan pria itu tanpa berpamitan sedikitpun. Saya benar-benar tidak bergairah berada di Kafe ini, sangat menjengkelkan. Terutama dengan kasir itu.

Kami pulang dengan taxi online yang dipesan oleh Milu, sepanjang perjalanan saya menjelaskan drama dan perdebatan yang terjadi. Hingga kekesalan saya dengan sang kasir. Mereka yang mendengarnya pun ikut kesal, pasalnya kasir itu benar-benar tidak sopan dan kasar.

TANGAN BERBULU.

"Jangan terlalu dipikirin, nanti jadi sakit kepala," saran Milu saat saya sudah turun dari mobil.

"Iya, cuma masih kesal saja," jawab saya.

"Yaudah masuk sana, mandi terus istirahat," ucap Milu pengertian.

"Makasih ya, Lisa ... Milu," seru saya tersenyum.

"Sama-sama Mona," sahut mereka berdua.

Saya langsung masuk ke pekarangan rumah setelah taxi sudah hilang dari pandangan mata. Saya buka pintu pagar besi dan menutupnya kembali.

"Assalamu'alaikum ...," ucap saya saat masuk ke dalam rumah.

Lampu mati, saya segera menekan saklar listriknya. Berlalu ke kamar dan merebahkan diri ke ranjang. Rasanya hari ini sangat melelahkan, niat hati ingin nongkrong bahagia dengan teman. Malah berakhir kesal dan emosi.

"Tok-tok-tok ...,"

Terdengar suara pintu depan diketuk, namun tidak terdengar suara yang memanggil.

Saya langsung terduduk dan bertanya heran dengan diri sendiri,"Siapa ya?"

Saya berjalan membuka pintu dan saat pintu dibuka, betapa terkejutnya melihat siapa yang bertamu.

"Kak?" ucap saya spontan.

"Ada apa ya Kak?" tanya saya kikuk.

"Saya mau mengembalikan uang kamu," jawabnya tersenyum ramah.

Siapa sangka, yang datang bertamu adalah pria yang saya tolong saat di Kafe tadi. Ia juga masih menggunakan pakaian yang sama. Hanya saja perilakunya lebih hangat.

"Oh ... tahu rumah saya dari mana Kak?" tanya saya heran.

"Oh ... em ... saya gak sengaja mengikuti kamu tadi, maaf ya," jawabnya gugup.

"Oh ... iya gak apa," jawab saya sedikit takut.

"Maaf ya Kak, saya gak bisa nawarin masuk. Soalnya orang tua saya lagi pergi," ucap saya.

"Iya gak apa, saya cuma mau mengembalikan uang kamu. Terima kasih ya," serunya tersenyum sambil menyodorkan uang seratus ribuan kepada saya.

"Saya hitung dulu ya Kak," izin saya kepadanya.

Saat menghitung, saya terkejut. Uang yang diberikannya sejumlah tiga juta rupiah, itu terlalu banyak.

"Kak maaf, ini kelebihan," ucap saya sambil mengembalikan uang yang berlebih.

Bukannya menerimanya, pria itu malah tersenyum dan menjawab,"Iya memang. Buat kamu, karena sudah menolong saya. Itu uang terima kasihnya."

"Tapi ini kebanyakan Kak," tolak saya.

"Terima saja ya, itu juga tidak banyak kok lebihnya. Yaudah saya pulang dulu ya," pamitnya langsung pergi tanpa menunggu respon saya.

"Iya ...," sahut saya.

Saya sangat heran, kenapa dia tidak menelpon saya dahulu. Daripada harus mengikuti saya seperti penguntit. Saya terus memperhatikannya dengan teliti, pintu pagar itu di kuncinya kembali. Tanpa menoleh sedikitpun kepada saya yang masih berdiri diambang pintu, ia terus berlalu berjalan dan hilang di kabut kegelapan senja.

Saya menutup dan mengunci pintunya. Saya senang dapat rezeki tidak terduga. Siapa sangka pria itu benar-benar menganti uang saya. Ternyata menjadi orang yang tidak enakan, ada baiknya juga.

Dengan sumringah saya berjalan dan masuk ke kamar. Menyimpan uang tadi ke dalam lemari pakaian dan langsung bergegas mandi. Walaupun badan lelah, seketika langsung segar. Karena suasana hati saya langsung bagus setelah pria itu mengembalikan uang saya ditambah ada bonusnya.

Selesai mandi, saya kembali ke kamar dan segera memakai pakaian. Tapi saat saya sedang memakai celana, tiba-tiba handphone saya berdering. Saya segera memakai celana saya dan mengangkat panggilan telepon itu. Tapi tidak ada nama yang tertera, artinya saya tidak menyimpan nomornya.

Dengan ragu dan hati-hati, saya mengangkatnya. Saya bertanya,"Halo, ini siapa?"

Tidak ada jawaban dari balik telepon, saya ulangi lagi sapaannya. Mungkin yang di sana tidak mendengarnya,"Halo?"

Tapi tetap saja, tidak ada jawaban. Hening dan sunyi. Membuat saya keheranan. Akhirnya saya matikan panggilan telepon itu dengan kesal.

"Apaan sih, iseng sekali jadi manusia. Sudah tahu salah sambung kenapa tidak dimatikan saja?" gerutu saya.

Saya berjalan menuju meja rias, duduk dan menyisir rambut saya. Model rambut yang saya miliki adalah butterfly hair, warnanya asli hitam. Selesai menyisir rambut, saya menggunakan serum untuk wajah dan kulit badan. Sekalian saya mau langsung tidur, kebetulan hari ini saya sedang datang bulan. Jadi bisa langsung tidur.

Sebelum tidur, saya memeriksa pintu dan jendela. Sambil bersenandung saya memeriksa semua ruangan. Rumah minimalis dengan dua kamar peninggalan Ayah dan Ibu ini sudah aman dan terjaga. Tapi saat akan kembali ke kamar, saya mendengar suara langkah kaki.

"Siapa itu?" Lirih saya melihat ke arah jendela ruang tamu. Saya langsung bergegas mengintip dari balik kain jendela, sunyi tak terlihat ada siapapun. Namun saya yakin, itu tadi suara langkah manusia.

"Apa ada yang mengintai? Jangan-jangan maling!" ujar saya takut.

Saya berlari ke dapur dan mengambil linggis. Saya mengambil senter dan membuka pintu depan. Saya menyenteri dengan was-was dan takut, pelataran dan pohon yang ada di pekarangan. Saya memberanikan diri mengelilingi rumah sampai halaman belakang, namun tidak ada yang mencurigakan. Saya segera berlari ke depan dan masuk. Tidak lupa menutup pintunya lagi.

"Untung saja gak ada siapa-siapa. Apa jangan-jangan hantu ya?" ucap saya bergidik ngeri.

"Jangan ganggu ya, saya gak pernah ganggu kalian," ucap saya seolah para hantu mendengarnya.

Saya mengembalikan linggis ke dapur, namun senternya tetap saya bawa ke kamar. Badan saya gemetar, saya ketakutan sekarang. Jelas-jelas tadi saya mendengar suara langkah kaki, tapi bisa-bisa saat di periksa tidak ada. Berarti itu tadi hantu, saya yakin itu.

Biasanya saya tidur dalam keadaan lampu kamar yang mati, namun kali ini saya tidak melakukannya. Saya jadi parno dibuatnya. Saya tinggal sendiri, ditambah kejadian barusan membuat saya ketakutan. Tapi daripada terus kepikiran, saya tutup seluruh tubuh saya dengan selimut dan meringkuk di dalamnya.

Saya benar-benar ketakutan, saya takut tiba-tiba hantu itu muncul dan mengejutkan saya. Saya sudah pasti pingsan dan menjerit sekuatnya. Perlahan tapi pasti, akhirnya saya terlayang dan tertidur. Padahal jam masih menunjukkan pukul tujuh malam. Karena kelelahan dan ketakutan, akhirnya bisa cepat tidur. Ada untungnya juga.

Saat sedang di alam mimpi, saya rasakan tubuh saya geli. Seperti ada seseorang yang sedang menggelitiki perut saya. Namun rasanya, mata saya sulit sekali untuk dibuka. Padahal saya sudah dalam keadaan sadar, namun sangat sulit menggerakkan tubuh dan membuka mata. Saya menyebutnya, ketindihan. Namun rasa geli itu semakin nyata dan terasa. Seperti sebuah tangan sedang memeluk dan membelai saya dari belakang. Saya panjatkan doa dan terus berusaha melawan ketindihan itu. Sampai akhirnya saya bisa terbangun dan langsung menghirup udara dengan tergesa-gesa. Rasa sesak tadi, langsung hilang setelah saya berhasil mengalahkan ketindihan itu. Namun, ini seperti bukan ketindihan biasa, biasanya saat ketindihan semua rasa seperti di pegang, peluk atau yang lainnya juga ikut hilang. Namun kali ini, rasa pelukan itu masih ada. Hanya saja sudah tidak menggelitik.

Dengan napas yang masih ngos-ngosan, saya baru menyadari kamar saya lampunya mati. Padahal saya ingat betul, sebelumnya saya tetap menghidupkan lampunya. Tapi kali ini bukan mati dan remang-remang, melainkan gelap gulita. Rasanya seluruh rumah saya lampunya mati. Tidak ada sedikitpun cahaya yang masuk.

Saya menyentuh perut saya, dan betapa terkejutnya. Tangan yang melingkar di perut saya tadi benar-benar nyata, bahkan tangannya berbulu.

Saya sontak menjerit dan mencampakkan tangan itu,"Akh!"

Saya hendak berlari dan mengambil senter di atas nakas, sebelum akhirnya sebuah tangan menarik tubuh saya. Membuat saya kembali terbaring ke ranjang. Saya menjerit, sebelumnya saya mengira tangan berbulu itu adalah genderuwo. Tapi sekarang saya sadar, itu adalah manusia. Mana mungkin genderuwo bisa menarik tubuh saya. Di kegelapan kamar yang gulita, mulut saya dibekap. Setelah mendengar jeritan yang keluar, sepertinya orang jahat ini tidak akan membiarkan semua orang mendengarnya.

Tubuh saya ditindihnya, membuat saya semakin sesak. Pasalnya gelap gulita sudah membuat napas saya sesak, ditambah ada orang yang menindih tubuh saya semakin membuatnya sesak. Saya berusaha mencakar dan berteriak minta tolong. Berharap tetangga dan siapapun yang mendengarnya dapat menolong saya. Tapi percuma, orang jahat ini tidak memberikan celah sedikitpun.

Tangan saya di pegangnya erat di atas kepala, tidak membiarkan tubuh saya memberontak sedikitpun.

"Diamlah!" ucapnya.

Saya langsung tertegun mendengar suaranya, dan membatin,"Pria?"

SALING MENGANCAM.

"Siapa kamu?" tanya saya dengan panik dan terus berusaha melepaskan diri.

"Diamlah, kamu terlalu berisik," jawabnya lembut.

Deg!

"Suaranya ...," batin saya.

Suaranya mirip dengan suara pria yang tadi sore, sepertinya ini memang dia. Saya yakin itu. Suara berat namun lembut itu sangat identik dengan pria itu. Saya mengenal suaranya, walau tanpa melihat. Walau hanya bertemu dua kali, saya langsung bisa menandainya.

"Lepasin saya!" teriak saya memberontak.

"Diamlah. Jika kamu tenang, maka saya akan melepaskannya," ucapnya.

Demi keselamatan, saya menurutinya. Berharap yang ia ucapkan benar, saya akan dilepaskan. Perlahan tapi pasti, pria itu mulai melepaskan pegangannya dan menjauh. Tidak menindih tubuh saya lagi, membuat saya sedikit lega.

Saya duduk dan bersandar di kepala ranjang, sambil tangan saya-meraba nakas. Namun saya tidak menemukan senter yang saya letakkan sebelumnya.

Mata saya terus bergerilya di gelap gulita, berusaha menembusnya untuk melihat pria itu. Namun nihil, mata saya gagal melakukannya. Saya semakin panik dan membuka laci nakas dengan tergesa-gesa.

Dan tiba-tiba suatu hal mengejutkan...

"Kamu cari ini?" Tanya pria itu disertai cahaya senter yang ia arahkan ke langit-langit kamar dan menyinari wajahnya. Wajahnya tampak seram di bawah remang-remang kamar.

Saya sontak memasang gerakan siaga, kedua tangan dan lutut saya melindungi dada. Dan benar dugaan saya, pria itu adalah pria yang sama. Pria yang tadi sore sedang mendapat masalah dan saya menolongnya. Namun buat apa ia ke sini lagi? Dan mengapa ia bisa berada di kamar saya?

"Mau apalagi kamu?" tanya saya.

"Keluar!" usir saya membentak.

"Saya sudah bilang tenang, jika kamu terus berteriak seperti itu, saya akan berbuat jahat sama kamu," peringatnya namun dengan wajah tersenyum.

Senyumnya itu tidak manis, lebih terlihat mengerikan. Bayangkan saja, ada pria yang sedang memelukmu disaat engkau tidur. Bahkan kamu tidak mengenalnya, siapa namanya, dimana rumahnya. Dan kamu malah terpesona dengan senyumannya? Sangat bodoh! Namun saya berjanji kepada diri saya sendiri, saya harus tenang. Agar selamat.

"Apa maumu?" Tanya saya dengan takut dan waspada, tapi berusaha tidak menunjukkannya.

"Saya hanya berkunjung," jawabnya santai.

"Berkunjung? Apa dia gila!" batin saya tidak percaya.

"Kamu tidak izin dengan saya, dan jam berapa sekarang? Kamu bahkan tidak sopan berada di kamar seorang gadis!" hardik saya mengkritik.

"Maafkan saya, apa saya membuatmu takut?" tanyanya.

"Apa? Masih bisa bertanya seperti itu? Manusia mana yang tidak takut, coba kamu bayangkan!" batin saya menjawabnya.

"Cepat keluar! Urusan kita sudah selesai, jangan ganggu saya!" usir saya.

"Saya tidak berniat membuatmu takut, bahkan saya tidak melakukan hal yang senonoh," ucapnya.

"Tidak melakukan? Terus kamu pikir, dengan kamu masuk rumah orang lain tanpa izin dan berada di dalam kamarnya. Memeluknya disaat tidur, dan melakukan pengancaman. Itu tidak termasuk hal senonoh? Bahkan itu kriminal!" ucap saya berteriak.

Air mata saya tidak keluar, yang ada hanya tubuh yang membeku. Jika saya menangis, mungkin pria ini akan menganggap saya kalah. Saya tidak boleh menunjukkan kelemahan saya.

"Saya masuk bahkan sebelum kamu tidur, tapi kamu yang kurang teliti mengeceknya. Apa itu masih disebut kriminal?" serunya dengan sedikit tertawa.

"Apa!" tanya saya tak mengerti.

"Benar, saya masuk saat kamu memeriksa pelataran tadi. Kamu lupa menutup pintu saat keluar, dan saya masuk. Bersembunyi di kamar sebelah, menunggumu sampai tertidur. Lalu saya mematikan seklar listriknya, dan menemanimu tidur di sini, di kamar ini," jawabnya menjelaskan.

"Kurang ajar!" bentak saya.

"Apa maumu! Kenapa kamu mengganggu saya!" teriak saya langsung menangis ketakutan.

Air mata ini akhirnya luruh, air mata percampuran antara rasa sedih, marah, takut, semuanya menjadi satu.

Saya langsung berlari dan membuka lemari pakaian. Saya ambil uang yang ia berikan tadi sore dan langsung melemparkannya ke depan wajahnya. Uang itu langsung berhamburan, berserak tak beraturan.

"Ambil uangmu itu. Kalau kamu ingin mengambil uangmu kembali, tidak seperti ini caranya!" ucap saya sambil menunjuk dirinya.

Namun ia hanya tersenyum mengejek, kemudian menatap saya yang berdiri dihadapannya. Ekspresi dinginnya itu seperti kriminal dan psikopat.

"Kamu pikir saya maling?" tanyanya.

"Saya masuk ke sini, bukan untuk mencuri uang itu. Saya sudah memberikannya kepadamu, untuk apa saya ambil kembali?" tanyanya dengan senyum yang menyungging ke kiri.

"Siapa tahu kamu tidak ikhlas, ambil uang itu. Dan pergi dari sini!" teriak saya mengusir.

"Atau-" ucap saya.

"Atau apa?" tanyanya memotong.

"Saya akan teriak biar semua warga datang dan menghakimi kamu!" jawab saya mengancam.

Mendengar ancaman saya, ia langsung tertawa sekerasnya. Suara tawanya seperti villain dalam film. Ternyata suara tawa mengerikan seperti itu benar-benar ada di dunia nyata. Dan... apa yang lucu? Mengapa ia tertawa?

"Saya akan bilang sama warga, kalau kita sedang bercinta. Kita berdua akan sama-sama dihakimi kan?" tanyanya balik mengancam.

"Mereka tidak akan percaya kepadamu!" ucap saya menyangkal.

"Kamu yakin?" tanyanya dengan alis kiri yang naik.

"Ayo kita buktikan," tantangnya.

Pria itu mengambil handphonenya di saku kanan celananya, lalu terlihat sedang mencari sesuatu. Dan... apa yang terjadi selanjutnya? Ia menunjukkan sebuah video tubuh telanjang saya, yang ia ambil diam-diam.

Saya yang melihat video itu sontak tertegun dan malu. Saya berusaha mengambil handphone itu dari tangannya,"Berikan!"

Namun pria itu menghalangi saya dari handphonenya, sehingga saya tidak dapat menjangkaunya. Tubuh saya ia dorong dengan kuat, hingga saya terhuyung ke belakang. Untung saja, kaki saya mampu menumpunya.

"Tenanglah, ini masih satu dari banyak video lainnya," ucapnya tertawa.

"Apa kamu memperkosa saya?" tanya saya pesimis sambil memeriksa tubuh saya.

"Apa yang kamu lakukan kepada saya!" bentak saya frustasi.

"Sudah saya bilang tenang, kalau kamu mau tahu semua jawaban atas pertanyaanmu," jawabnya.

"Atau kalau kamu ingin video ini tersebar, silakan berteriak lagi dan meminta tolong kepada semua orang. Kita akan menonton video bugilmu bersama-sama," ancamnya membuat saya semakin merinding ketakutan.

"Apa yang harus saya lakukan, Ya Allah bantu saya," batin saya.

"Pikirkan baik-baik," ucapnya tersenyum sambil menunjukkan video lainnya.

"Hapus video itu!" pinta saya menatapnya tajam.

"Tidak mau," jawabnya tak acuh.

"Apa yang kamu mau? Kenapa kamu melakukan ini?" tanya saya sambil sesenggukan.

"Saya hanya berkunjung, dan menemanimu tidur. Apa masih kurang jelas?" tanyanya datar.

"Keluar sekarang!" usir saya sambil menunjuk pintu.

Melihatnya terus diam sambil tersenyum tiada arti. Saya berlari menuju pintu, lebih baik saya yang keluar dan meminta bantuan kepada tetangga. Namun apa yang terjadi? Pintunya terkunci.

Saya berusaha keras menarik gagang pintunya, sambil mata bergerilya mencari kuncinya ke sekitar.

"Tolong!" teriak saya sambil menggedor-gedor pintu.

Berharap siapapun mendengarnya, dan menolong saya. Saya benar-benar takut sekarang, apa salah saya sampai harus mengalami situasi buruk ini.

"Kuncinya ada pada saya, mintalah baik-baik pada saya," serunya.

"Diam!" bentak saya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!