"Kara, perkenalkan ini Alfaro. Dia yang akan menjadi guru pembimbing kamu yang baru, pengganti saya." Ucap tante Rosaline, begitu selesai mengajar les seperti biasa.
Kulirik sekilas lelaki jangkung berkaos hitam dan celana jeans biru tua. Dia nampak masih sangat muda, mungkin umurnya tidak akan terlalu jauh berbeda denganku.
"Alfaro." Ucapnya, memperkenalkan diri.
"Kara." Jawabku, membalas jabat tangannya.
Aku masih menatap bingung ke arah tante Rosaline. Seakan menyadari tatapanku, tante Rosaline tersenyum dan mengelus lenganku.
" Faro , anaknya pintar. Dia bakalan gantiin tante, kamu ga perlu hawatir tante sudah lama mengenalnya dengan baik."
Kembali kulirik Faro, raut wajahnya datar tanpa expresi. Terlihat kaku, bahkan tatapannya tajam nampak kurang bersahabat.
"Kenapa mendadak?" Aku berbalik menatap tante Rosalin
"Tante sudah bilang sejak minggu kemarin. Tante harus pulang ke Bandung, sodara tante sakit keras."
Sebenarnya aku tau tante Rosaline akan mengundurkan diri, tapi aku tidak menyangka akan secepat ini. Bahkan awal nya aku sempat mengira guru pembimbingku yang baru adalah seorang perempuan, sebaya tante Rosaline. Tapi justru malah lelaki muda bahkan hampir seumuran denganku.
Aku dan tante Rosaline sudah cukup lama saling mengenal, bahkan aku masih ingat pertama kali dia menjadi guru pembimbingku sejak aku kelas empat SD dan bisa bertahan sampai sekarang aku kelas tiga SMA.
Akan terasa aneh jika kini posisi tante Rosaline di gantikan oleh sosok baru yang sama sekali belum aku kenal. Aku tau sebelum memperkenalkan Faro padaku, tante Rosaline terlebih dulu memperkenalkan nya pada Ayah, seakan percaya dengan orang yang di pilih tante Rosaline, Ayah langsung menyetujui dan mengijinkan Faro menjadi penggantinya.
Satu minggu berlalu setelah tante Rosaline resign, setiap pulang sekolah Faro akan datang ke rumah tepat waktu. Tidak ada pembicaraan selama belajar dan akupun malas berbicara dengannya. Dia hanya akan menjawab iya dan tidak ,setiap kali aku bertanya di luar mata pelajaran. Faro irit sekali berbicara bahkan aku pernah mencoba pura-pura tidak mengerti dengan materi yang ia berikan, dan dengan sigap dia akan berbicara panjang lebar dan cepat menjelaskan sedetail mungkin. Itu sangat lucu , membuatku tak henti-hentinya tersenyum sepanjang pelajaran.
"Bagaimana guru pembimbing kamu yang baru?" Ayah datang, mengelus rambutku dan duduk di meja makan bersama. Sarapan bersama menjadi agenda wajib setiap pagi, sebelum memulai aktifitas masing-masing.
"Baik, Yah." Ayah mengangguk samar, menyesap kopi hitam miliknya.
"Habiskan sarapannya, setelah itu Ayah antar ke sekolah,"
"Iya," Kuhabiskan roti bakar isi selai kacang dan satu gelas susu coklat hangat hingga habis. Lalu bergegas menyusul Ayah yang sudah terlebih dulu berjalan menuju mobil.
"Ibu belum pulang,Yah?"
"Belum." Sekilas Ayah melirik ke arahku, membagi fokus dengan jalanan yang sedikit macet.
"Kenapa? Kangen Ibu?" Aku menggeleng samar, terlalu berlebihan rasanya jika aku mengatakan itu. Pada kenyataan nya sejak kecil aku memang lebih sering menghabiskan waktu dengan pengasuh atau asisten rumah tangga, jarang sekali Ibu menemaniku meski hanya untuk sekedar melihat pentas seni ataupun nilai sekolahku.
Ibu lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah, di kantor atau bahkan di luar negri. Ibu dan Ayah sama-sama menjadi direktur utama di perusahaan besar yang berbeda. Aku tidak pernah kekurangan materi semua kebutuhanku di fasilitasi dengan sangat baik. Tapi bukan itu yang aku butuh, aku sangat merindukan hangatnya sebuah keluarga yang tak pernah aku rasakan sejak kecil. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing- masing , bahkan aku sempat bertanya bagaimana aku bisa hadir di antara mereka berdua, sedangkan Ayah dan Ibu jarang sekali menghabiskan waktu bersama.
Mereka berdua sama-sama sibuk, tapi Ayah masih sering menyempatkan waktu luang nya untuk mengantarku berangkat sekolah. Aku lebih dekat dengan Ayah, aku merasa Ayah jauh lebih menginginkan kehadiranku dibandingkan Ibu.
"Sekolah yang rajin ya, nanti siang di jemput pak Rahmat." Ayah mengecup dahiku, sebelum aku turun di gerbang sekolah. Perlahan mobil Ayah melaju meninggalkan sekolah, hingga tak terlihat lagi di balik tikungan jalan.
"Karaaa," Teriak seseorang . Aku menoleh mendapati Nadira berlari kecil menghampiriku.
"Sarapan belom? Gue bawa bekal banyak nih. Mau?" Nadira menggandeng tanganku.
Nadira satu-satunya teman yang aku punya, aku mengenalnya sejak SMP, sewaktu Ayah membawaku ke acara ulang tahun perusahaan Om Dito, Ayahnya Nadira. Dan sejak itu aku menjadi dekat dengan Nadira , karena kebetulan setelah masuk SMA kita satu sekolah yang sama, sebelum nya Nadira sekolah di Surabaya di kota kelahiran Ibunya, tante Marva.
Mencari teman di lingkungan sekolah seperti ini sangat sulit, kebanyakan dari mereka hanya berteman karena orang tuanya satu rekan bisnis atau mereka hanya akan mengaku sebagai teman jika ada perlunya saja. Tapi berbeda dengan Nadira, dia pengecualian dari orang-orang yang aku maksud tadi.
"Sarapan yo,,, nih liat gue bawa nasi goreng favorit lo." Ucap Nadira, memperlihatkan isi tas nya yang berisi satu kotak pink berisi nasi goreng.
"Gue udah sarapan, Nad."
"Yah..." Nadira memasang wajah kecewa, menggembungkan pipinya.
"Eh lihat, " Nadira mendadak menghentikan langkahnya, membuatku ikut berhenti.
" Kenapa sih, berhenti mendadak kaya angkot aja." Gumamku.
"Lihat tuh si Ayu, di anterin pacar barunya." Aku melirik ke arah yang di maksud Nadira. Terlihat Ayu, siswa paling cantik di sekolah ini turun dari sebuah mobil mewah berwarna merah menyala. Itu bukan hal baru yang perlu ditanggapi berlebihan, karena satu sekolah ini pun tau siapa Ayu dan lelaki yang membawa mobil sport itu.
Aku melengos meninggalkan Nadira yang masih setia memperhatikan dua sejoli itu.
"Ih,,, Tungguin gue, lo ko malah pergi gitu aja." Gerutu Naria, berlari mengimbangi langkah kakiku.
"Ngapain sih liatin orang pacaran?"
"Lo belom pernah pacaran sih, jadi lo ga tau sensasi di anterin pacar sekolah itu kaya apa." Nadira tersenyum jahil menatapku.
"Dan lo tau kan si Jupiter itu ganteng maksimal?" Lanjutnya.
Aku menatap jengah ke arah Nadira. Temanku ini paling antusias jika tentang lelaki tampan, tentu saja tampan menurutnya.
" Lo kenal kan Jupiter, jangan bilang lo ga tau." Nadira masih berceloteh hingga kini kita sama- sama masuk kelas.
"Gue ga kenal."
"Sumpah ?! Gila lo . Masa gak kenal sih. Bokap lo pernah kan di undang ke acara perusahaan milik Jupiter?"
Aku mengangkat bahuku, membuat Nadira semakin gemas dan justru aku tertawa melihatnya kesal.
"Gue ke sekolah mau belajar, jadi gue kudet banget soal gituan. Nadira Ku sayang,,,," Aku mencolek dagu Nadira. Menggoda nya menjadi hal menyenangkan untukku, karena Nadira mudah marah jika aku tidak merespon ucapannya.
"Ck,, lo jadul banget sih Kar, ngapain lo susah-susah belajar. Lo udah kaya, perusahaan bonyok lo di mana-mana, ga mungkin lo miskin gara-gara nilai pelajaran lo jelek." Decak Nadira.
"Gue cuman pengen jadi anak kebanggan Ibu."
"Dan Ibu lo ga peduli soal itu. Mending lo nikmatin hidup lo seperti gue." Nadira menaik turunkan alisnya.
"Jika aja gue bisa." Lirihku
Alfaro kenan
" Woy ! Mau kemana lo?" Rony menepuk pundakku begitu dia menghampiri di parkiran yang di sediakan kampus.
" Mau cabut." Jawabku
" Masih siang gini? Ga nongkrong bareng anak-anak dulu?"
" Engga. Gue ada kerjaan baru."
Kutepuk balik pundak Rony, bergegas memakai helm dan pergi meninggalkan area parkir husus motor.
Hari ini aku memang sengaja pulang lebih awal dari biasanya, mengendarai motor kecintaanku menuju tempat kerja.
Perlu kalian tau, aku memang kuliah sambil kerja. Mengingat kondisi keuangan keluargaku yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari- hari, jadi aku harus memutar otak mencari pekerjaan sampingan selain sekedar menjadi seorang mahasiswa.
Aku tinggal dengan Ibu dan seorang adik perempuan berusia sepuluh tahun. Soal dimana Ayahku, akupun tidak tau . Karena Ibu tidak pernah membahas apapun tentang siapa Ayahku dan juga aku tidak terlalu tertarik dengan segala sesuatu yang sudah menjadi bagian dari masa lalu. Buatku masa lalu hanya kisah lama yang harus di lupakan.
Tidak ada keahlian yang aku miliki selain otakku yang sedikit lebih encer dari teman- temanku yang lain, dan karena otakku juga yang menjadi alasan aku bisa menerima beasiswa di Universitas ternama Ibu Kota.
Akhirnya aku memilih menjadi guru pembimbing, dan hampir satu tahun ini aku menjadi guru privat seorang anak lelaki berusia delapan tahun bernama, David.
Berawal dari menjadi guru pembimbing juga akhirnya aku bertemu dengan wanita cantik yang kini menjadi kekasihku, Dea. Karena Dea dan David kakak beradik akhirnya aku menjadi dekat dan kebetulan juga kita satu Universitas.
Menjadi guru pembimbing untuk anak seumur David, tidak terlalu merepotkan dan juga David anak pintar dan penurut, aku tidak membutuhkan waktu lama untuk mengajarinya.
Penghasilan yang aku dapat dari kerja sampingan menjadi guru pembimbing tidak terlalu besar, hanya cukup untuk memenuhi keperluanku dan sedikit membantu keperluan Alma. Aku tidak ingin terus menerus menggantungkan diri pada Ibu yang hanya bekerja sebagai tukang jahit. Sebenarnya bisa saja aku mencari pekerjaan sampingan yang lainnya, hanya saja setiap kali aku mencoba tidak ada yang cocok dengan jadwal kuliah.
Untuk saat ini aku memang membutuhkan pekerjaan tambahan, mengingat adikku Alma, yang di diagnosis Dokter mengidap gagal ginjal semenjak satu tahun terakhir ini.
Alma, gadis periang dan banyak bicara. Tapi kini berubah menjadi gadis pendiam dan sulit sekali melihat senyum di wajahnya. Keceriaan nya hilang, bahkan sekarang Alma lebih sering mengurung diri di kamar. Sulit berinteraksi dengannya, bahkan dia tidak ingin bertemu dengan siapapun kecuali denganku, Ibu dan Dea. Di usia nya yang masih sangat muda seharusnya Alma menikmati masa- masa menyenangkan bersekolah, belajar dan bermain. Tapi tiga bulan terakhir aku dan Ibu memutuskan menghentikan kegiatan Alma di sekolah, karena Alma akan kesakitan jika terlalu banyak gerak dan mudah lelah.
Aku pikir keputusanku memilih Alma di rumah adalah keputusan tepat. Ternyata sebaliknya, Alma justru lebih sering mengasingkan diri di kamar dan hanya akan keluar kamar di waktu tertentu. Dan yang paling membuatku tak tega, dua hari lalu tidak sengaja aku lewat di depan kamarnya, dan mendengar isak tangisnya begitu pilu dan menyayat hati. Aku tau dia pasti merasa sedih, terkurung di dalam rumah tanpa batas waktu yang pasti.
Biaya menjadi kendala terbesar dalam pengobatan Alma, dia harus melakukan donor ginjal dan itu memerlukan biaya ratusan juta. Sedangkan penghasilanku dan juga Ibu tidak bisa mencukupinya. Aku sempat berfikir untuk berhenti kuliah dan memilih mencari pekerjaan , fokus mencari uang untuk pengobatan Alma.
Tangisan Alma hari itu menjadi pemicu untuk terus berusaha mencari uang tambahan. Salah satu teman Dea, menawariku bekerja di salah satu minimarket milik orang tuanya. Aku tak mungkin menolak, setelah selesai menjadi guru pembimbing aku langsung bergegas menuju minimarket tempat keduaku bekerja.
Lokasi mini market yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku menjadi lebih flexibel dalam membagi waktu. Meski bekerja sampai malam hari aku bisa cepat sampai ke rumah, yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Bekerja di minimarket tidak seburuk yang aku pikir, di sela-sela waktu luang menunggu pelanggan datang, aku bisa menggunakan waktu untuk mengerjakan beberapa tugas kuliah.
"Permisi, saya mau bayar." Suara seorang wanita membuyarkan konsentrasiku.
"Ah,, maaf," aku segera memasukan beberapa buku secara asal kedalam tas dan segera menscan belanjaan wanita tadi.
"Sedang belajar?" Matanya melirik ke arah tas yang aku taruh asal di bawah meja kasir.
"Iya."
"Kuliah sambil kerja?" Aku mengangguk menanggapi pertanyaan wanita paruh baya di depanku. Dia tampak seumuran dengan Ibu, hanya saja dia terlihat lebih segar dan modis.
" Saya mau menawarkan pekerjaan sampingan. Kalau minat bisa hubungi saya." Wanita paruh baya itu menyodorkan kartu namanya. Dia bernama Rosaline.
" Ibu seorang guru pembimbing?" Dia tersenyum dan mengangguk.
"Betul, saya guru pembimbing. Kamu terlihat pandai dan juga rajin, bahkan masih menyempatkan waktu untuk belajar. "
"Itu,saya lagi buru-buru harus mengerjakan tugas. Jadi terpaksa saya kerjakan di sini."
" Saya punya satu murid bimbingan dan kebetulan saya tidak bisa lagi mengajar, karena saya harus mengurus keluarga saya yang sedang sakit." Aku mendengarkan penjelasannya, meski sebenarnya aku masih bingung dengan tawarannya yang begitu mendadak.
"Kalau boleh saya tau, anak bimbing nya umur berapa?" Tanyaku, aku malas harus membimbing anak di atas dua belas tahun. Selain semakin sulit pelajaran yang akan aku berikan, mereka juga akan semakin sulit untuk diajak belajar mengingat anak jaman sekarang lebih tertarik bermain gadget dibanding belajar.
"Dia sudah besar. Sudah kelas tiga SMA." Aku tersenyum mendengarnya.
"Saya tidak bisa mengajar anak di atas dua belas tahun. Saya belum berpengalaman." Tolakku
"Yakin? Tidak ingin mencoba terlebih dulu?" Ibu Rosaline mencoba meyakinkanku. Dia pasti tau tampang seperti aku, terlihat jelas di raut wajah butuh uang. Tapi aku tidak bisa menerimanya, menjadi pembimbing anak sebesar itu, bahkan mungkin usia nya tidak akan terlalu jauh berbeda denganku.
"Maaf, saya tidak bisa." Aku menolaknya dengan halus.
"Gajinya besar"
" Maa__,"
" Tujuh juta ,satu bulan."
" Maaf. Berapa?!"
Aku tidak mungkin salah dengar bukan?
Itu lebih besar dari penghasilanku mengajar David digabung dengan bekerja sebagai kasir mini market.
"Tapi,,, itu,,,,. Bagaimana ya." Aku menggaruk kepalaku, bingung sendiri.
"Kamu tidak perlu khawatir, dia anak baik dan penurut. Kalau kamu berminat , kamu bisa langsung menghubungi nomor saya yang ada di kertas tadi." Kulihat nomor yang tertera di kertas. Aku ragu tapi tawarannya sungguh menggiurkan.
****
Setelah dua hari berlalu, akhirnya aku memutuskan menghubungi Ibu Rosaline, menerima tawarannya. Hari ini aku berjanji bertemu dengannya di salah satu cafe terkenal di jakarta pusat.
Bu Rosaline mengajakku bertemu guna membahas pekerjaan dan juga dia meminta beberapa biodata diri. Tapi kali ini tidak hanya ada Bu Rosaline, dia juga mengajak bertemu dengan orang tua calon murid baruku.
Kini di hadapanku ada Bu Rosaline dan seorang lelaki paruh baya bertubuh tinggi, kekar dan berwibawa. Berpakaian lengkap dan rapi khas pengusaha kaya. Aku tidak mungkin salah lagi, calon muridku ini anak seorang pengusaha kaya raya, pantas saja mereka mau membayar mahal.
"Ini guru pembimbing baru," suara Bu Rosaline memulai pembicaraan. Tatapan lelaki paruh baya di hadapanku ini meneliti penampilan dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Saya Alfaro." Aku mengulurkan tangan
"Fathur." Jabatan tangannya begitu mencengkram di tanganku, dan terkesan ingin mengatakan jika dia mengawasiku.
"Umur kamu berapa?"
"Sembilan belas, Pak." Dia mengangguk, memperhatikan biodataku di kertas yang aku bawa.
"Aku sudah kenal lama dengan nya. Jadi kamu ga perlu khawatir. Percaya sama Faro, dia bisa mengajari Kara dengan baik." Aku cukup terkejut dengan ucapan Bu Rosaline begitu menyebut nama anak yang akan menjadi muridku.
Namanya Kara ?
Jadi dia perempuan?
Salahkan diriku yang tidak teliti bertanya terlebih dulu. Pantas saja jabatan tangan Pak Fathur terasa begitu mencengkram. Ternyata aku akan menjadi guru pembimbing anak gadisnya.
Tapi tunggu dulu, tadi Bu Rosaline mengatakan jika kita sudah lama saling kenal dengan baik, padahal kita baru bertemu dua hari yang lalu. Aku tidak sempat berkata apapun karena pembicaraan di dominasi Bu Rosaline dan Pak Fathur. Sepertinya mereka cukup dekat dilihat dari cara mereka berinteraksi,mereka seperti berbicara layaknya teman. Bukan seperti bawahan dan atasan.
Tidak berselang lama Pak Fathur undur diri,menyisakan aku dan Bu Rosaline.
"Hari ini jika kuliahmu sudah selesai, kamu temui saya di alamat ini. Kita akan bertemu langsung dengan Kara." Ucapnya memberi secarik kertas bertulisan alamat rumah.
Aku segera pamit, mengingat ada dua mata kuliah yang harus aku hadiri.
Kupandang rumah besar dan megah yang kini ada di hadapanku, sekarang aku berada di depan rumah Kara yang menjadi tempat janji bertemu dengan Bu Rosaline. Rumah besar berlantai tiga, bergaya eropa modern dengan pagar besi menjulang tinggi mengelilingi seluruh rumah. Aku hanya berdiri di samping motorku dekat pos security, tidak berselang lama Bu Rosaline muncul dari balik pintu besar berwarna putih.
"Baru sampai? Apa sudah lama?
"Baru sampai." Aku memang sempat mengirim pesan kepada Bu Rosaline, karena aku tertahan di pos security. Mereka tidak membiarkan aku masuk sebelum menjelaskan tujuan dan identitasku.
"Motornya bisa di simpan di sana." Bu Rosaline menunjuk lahan luas di sebelah pos security, dekat patung anak kecil yang menyemburkan air dari mulutnya.
Aku mengekori Bu Rosaline, menyusuri rumah yang jauh lebih mewah dari perkiraanku. Aku dibawanya menaiki tangga menuju lantai dua, menghampiri seorang gadis yang masih fokus menatap layar laptop di hadapan nya.
"Kara, perkenalkan ini Alfaro. Guru pembimbing kamu yang baru." Gadis berambut panjang itu melirik ke arahku, menatap bingung ke arahku dan Bu Rosaline.
Dia berdiri,tubuhnya kecil dan sedikit kurus. Dia terlihat bingung sekaligus terkejut , sebenarnya aku pun tak kalah terkejutnya. Aku sempat berfikir , aku akan menjadi guru pembimbing dari seorang gadis gaul khas Ibu Kota. Tapi begitu aku melihatnya secara langsung, dia justru berbeda. Penampilannya sederhana, tatapannya tenang meski terlihat canggung, rambutnya hitam asli tanpa ada warna, dan wajahnya putih merona.
Cara berpakaiannya yang cukup biasa untuk gadis sekaya dirinya, Kara hanya mengenakan celana bahan panjang dan kaos besar berwarna putih. Aku tau bagaimana penampilan anak-anak kaya. Karena kekasihku Dea, berasal dari keluarga kaya dan Dea cukup modis dengan segala kemewahan yang ia miliki ,meski hanya sekedar di rumah pun Dea akan berpenampilan modis.
"Kara"
"Alfaro." Aku menerima jabat tangannya.
Hari ini aku menerima dua jabat tangan dari dua orang berbeda dan rasanya pun berbeda. Jabatan tangan Pak Fathur yang terkesan memperingatkan dan jabatan tangan dari putrinya Kara, yang terasa lembut dan hangat. Aku bersikap setenang mungkin, bahkan aku tidak banyak bicara hanya sesekali melirik ke arah Kara yang nampak salah tingkah. Dia lucu dan cantik.
Hari ini hanya perkenalan singkat dan akan mulai bimbingan esok harinya. Aku berharap Kara bisa bekerja sama dengan baik, dan dia benar- benar baik seperti yang diceritakan Bu Rosaline.
Begitu aku keluar dari pekarangan rumah mewah milik Kar, ponselku berdering.
Dea calling.....
"Iya, De."
"Kamu dimana, Far. Anak-anak bilang kamu langsing cabut begitu kelas bubar." Suara Dea dari seberang sana.
"Iya, aku lagi ada urusan."
"Cari pekerjaan lagi? " Dea sudah paham dengan konisi kehidupanku.
"Iya."
"Kenapa berhenti dari minimarket milik bokapnya Tari?"
Dea sempat protes karena aku membatalkan kerja di minimarket milik orang tuanya Tari, sahabat Dea.
"Aku ga mau ngerepotin kamu terus." Jujur saja selama ini Dea sudah banyak membantu. Jadi kali ini aku tidak ingin terus-menerus melibatkan nya.
"Kamu dimana sekarang?"
"OTW pulang."
"Oke, aku tunggu di rumah kamu ya?"
"Mmm," Aku memutus sambungan, bergegas memakai helm dan pulang. Dea memang sudah dekat dengan Ibu dan juga Alma, jadi tidak heran jika dia akan kerumah begitu dia tidak menemukan keberadaanku dimanapun.
KARA KAISARA
Pak Rahmat selalu standby, di depan gerbang sekolah begitu jam sekolah usai. Aku memilih langsung pulang, mengabaikan celotehan Nadira yang memaksa ikut pergi belanja buku di toko langganannya.
"Kara, beneran ga mau ikut gue?" Nadira masih mengekori aku sampai pintu gerbang.
"Ga bisa, lain kali aja . Oke?"
Nadira nampak kesal, ia menggembungkan pipinya. Berdecak kesal sambil menghentakan kakinya.
"Lain kalinya itu kapan? Tiap di ajak pasti lain kali."
"Janji, lain kali aku ikut." Ku Cubit pipi gembulnya. Tubuh Nadira lebih berisi di bandingkan denganku, mencubit pipinya yang gembul menjadi kesukaanku. Apalagi kalau dia sedang merajuk, persis anak kecil.
Perlahan mobil melaju membawaku keluar dari gerbang sekolah. Hari masih siang, biasanya anak-anak seumuranku tidak akan langsung pulang kerumah. Mereka pasti pergi ke tempat tongkrongan favorit atau sekedar jalan-jalan di mall, berbelanja.
Sebenarnya aku pun ingin seperti mereka, tapi aku lebih memilih belajar daripada membuang waktu seperti itu. Dalam kehidupanku hanya satu yang ingin aku lakukan, yaitu membuat Ibu dan Ayah bangga. Aku ingin berprestasi tanpa menggunakan kekuasaan yang Ayah miliki.
Mobil berhenti begitu sampai di halaman rumah , kulihat Alfaro tengah duduk bersandar di kursi depan. Matanya masih mengamati layar ponsel yang ada di tangannya, hingga dia tidak menyadari kedatanganku. Aku berdiri persis di hadapannya, begitu dia menyadari kedatanganku kepala nya mendongkak
" Kamu sudah pulang?"
"Iya"
Melangkah masuk ke dalam rumah diikuti Alfaro dari belakang. Alfaro langsung duduk di kursi yang sengaja Ayah sediakan untuk keperluan belajar. Setelah mengganti pakaian aku langsung turun ke lantai satu dimana Alfaro berada, karena kamar tempatku berada di lantai dua. Berhubung guru pembimbingku laki-laki, Ayah memindahkan tempat belajar yang awalnya berada di lantai dua dekat kamar, kini menjadi di lantai satu bersebelahan dengan ruang keluarga.
Seperti biasa Faro tidak banyak bicara, dia hanya mengeluarkan beberapa kertas soal yang harus aku isi. Sesekali aku melirik wajahnya, dia tampan. Aku tidak pernah memanggilnya dengan sebutan kakak, dan aku rasa umurnya tidak jauh berbeda denganku. Dan juga Faro tidak keberatan aku panggil namanya tanpa sebutan kakak.
Kali ini ada yang aneh dengan sikap Faro, dia terlihat gelisah. Berkali-kali dia membuka ponsel, seperti tengah membalas pesan, bahkan berulang kali juga dia melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tidak biasanya dia seperti itu.
"Sudah selesai?" Tanyanya begitu aku menyerahkan kertas jawaban.
"Ada yang kurang dipahami?" Tanyanya lagi.
"Enggak, kamu boleh langsung pulang,"
"Kita masih punya waktu lima belas menit. Kalau ada yang kamu ga ngerti, bisa saya jelaskan."
"Aku mau bertanya, tapi jawabannya pasti lebih dari lima belas menit. Kamu lagi buru-buru ,jadi lain kali aja." Faro nampak mengerutkan dahinya, memperhatikanku yang mulai merapikan peralatan tulis kedalam tas.
"Kelihatan banget kamu lagi buru-buru, jadi hari ini cukup sampai di sini aja." Lanjutku.
Mungkin saja ada hal penting yang harus Faro lakukan, jadi aku memilih menyudahi jam bimbingan lebih cepat.
Raut wajahnya nampak bingung sekaligus ragu, mungkin dia merasa tak enak hati karena aku bisa membaca expresi nya dari tadi.
Faro selalu disiplin dalam membimbingku, dia datang tepat waktu dan akan selesai tepat waktu juga. Bahkan Faro lebih sering datang terlebih dulu, menunggu kepulanganku dari sekolah. Belum pernah sekalipun aku yang menunggunya datang.
"Udah , ga apa-apa . Besok masih ada waktu."
"Ada urusan penting yang harus aku hadiri , jadi aku minta maaf. Kalau ada yang tidak kamu mengerti, kamu bisa langsung hubungi aku."
Itu kalimat terpanjang yang pernah diucapkannya selama bimbingan belajar yang hampir berjalan dua minggu ini.
Aku mengangguk menyetujui. Faro memang memberiku kontak pribadinya, hanya untuk jaga-jaga jika suatu saat ada perlu, tapi sampai saat ini aku tidak pernah sekalipun menghubunginya,meski ada banyak pelajaran yang ingin aku tanyakan.
Aku beranjak terlebih dahulu meninggalkan Faro yang masih sibuk merapikan beberapa buku yang dibawanya.
Kupandangi punggungnya yang mulai menjauh dan hilang di balik pintu. Dari kaca jendela nampak dia mengendarai sepeda motor besar berwarna hitam, memakai helm dengan warna yang sama. Perlahan ia meninggalkan pekarangan rumah, kepalanya mengangguk begitu melewati pos security, membuatku tiba-tiba tersenyum untuk hal yang tidak aku tau alasannya.
Suasana rumah kembali sepi, aku seperti hidup sendiri di rumah sebesar ini. Semua asisten rumah tangga berada di bangunan belakang, terpisah dengan bangunan utama. Mereka hanya sesekali berkeliling rumah, memastikan kondisi rumah dan juga memastikan apa aku ada di rumah atau tidak.
Tidak ada penjagaan khusus seperti yang di fikirkan orang-orang. Tidak juga ada bodyguard yang akan mengikutiku kemanapun aku pergi, aku cukup bebas melakukan apapun asalkan harus izin terlebih dulu. Biasanya kalau aku merasa sangat bosan para asisten rumah tangga akan mengajakmu berkeliling jalan kaki, menyusuri kawasan perumahan dan membeli cemilan abang-abang yang sengaja mangkal tak jauh dari rumah.
Waktu menunjukan pukul delapan malam, aku baru selesai membersihkan diri sebelum istirahat. Belum ada tanda-tanda Ayah dan Ibu pulang, karena rumah masih terasa sepi.
Kubuka layar ponsel. Rasa kecewa kembali ku rasakan begitu pesan yang aku kirim pada Ibu masih centang satu berwarna hitam. Aku tidak tau persis dimana Ibu sekarang, yang aku tau saat ini dia tengah berada di Malaysia untuk proyek pekerjaannya yang baru, itupun aku tau dari tante Mala, asisten pribadi Ibu.
Aku tidak ingat sejak kapan Ibu mulai berubah seperti sekarang. Dia jarang bicara denganku, bahkan dia tampak semakin mengabaikan keberadaanku. Ibu lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah sekalipun dia punya waktu luang, dia hanya akan berdiam diri di kamar, sibuk dengan pekerjaanya.
Kembali ku letakkan ponsel di meja rias. Mematikan lampu dan hanya membiarkan satu lampu kecil menyala dekat tempat tidur. Baru aku hendak membaca buku, ponsel kembali berdering. Aku terlonjak dan segera meraih ponsel,berharap itu Ibu.
Aku menghela nafas begitu melihat panggilan masuk.
"Iya kenapa,Nad."
"Lo di rumah?" Suara Nadira terdengar nyaring dari seberang sana.
"Nggak, gue lagi semedi di goa."
"Karaaaaaa," lengkingan suara Nadira membuatku menjauhkan ponsel dari telinga. Aku terkekeh mendengarnya.
"Di rumah lagi ada acara ulang tahun kaka gue, Nadia. Gue lupa ngasih tau lo tadi di sekolah."
"Dasar pikun!" Cibirku.
"Gue beneran lupa, Kara. Gue aja di telpon bokap saking keasikan di toko buku. Lo kesini ya, kakak gue ngundang lo."
Kulirik jam yang ada di atas nakas, masih pukul delapan malam lewat lima belas menit.
"Gimana ya,," aku mempertimbangakan ajakan Nadira.
"Ayolah. Sebentar aja, nanti sebelum jam sepuluh juga udah balik lagi. Mau ya?" Aku masih bingung, karena tidak ada persiapan apapun. Bahkan aku sudah mengenakan baju tidur.
"Ayolah Kara, kali ini aja.
Lo udah sering banget menolak ajakan gue. Masa undangan kakak gue juga lo tolak sih."
Aku cukup mengenal ka Nadia dengan baik, beruntung sekali Nadira memiliki kakak perempuan sebaik ka Nadia. Terkadang aku iri dengan interaksi mereka berdua,sifat dewasa kak Nadia di tambah dengan sifat manja Nadira, menjadi satu hubungan yang harmonis antara kakak beradik.
"Oke gue kesitu satu jam lagi." Terdengar seruan Nadira dari seberang sana. Aku tak enak hati jika harus menolak undangan ka Nadia.
Sebelum berangkat ke rumah Nadira, aku terlebih dahulu meminta izin Ayah. Untungnya Ayah dan om Dito, papa nya Nadira berteman baik, jadi Ayah langsung mengijinkan aku datang ke acara ulang tahun ka Nadia.
"Karaaa,,"
Sambut Nadira antusias begitu melihat kedatanganku. Nadira segera menghampiriku dan langsung mengapit lengan dan menyeretku ke dalam rumahnya.
"Akhirnya princes Rapunzel keluar kandang juga." Ejeknya
"Apaan sih," aku melepaskan gandengan tangan Nadira.
Acara ulang tahun ka Nadia ternyata di rayakan di belakang rumah dekat kolam renang, bertema garden party. Semua bernuansa putih, dari mulai hiasan , bunga dan balon. Semua warna putih.
"Kara."
Ka Nadia datang menghampiriku dan Nadira. Kami berpelukan sesaat. Ka Nadia nampak cantik mengenakan dress putih sebatas lutut dengan tali kecil di pundak. Memperlihatkan bahu nya yang putih dan mulus.
"Selamat ulang tahun ka," ucapku,mengecup kedua pipi ka Nadia.
"Makasih udah datang." Aku mengangguk, memberi paperbag berisi kado yang sengaja aku siapkan dari rumah.
"Aku ga tau ka Nadia suka atau engga kadonya."
"Wahhh makasih banyak ya, Kara. Kalau gitu nikmati pesta nya ya. Kakak mau nyapa tamu yang lain dulu."
Ka Nadia pergi,menghampiri beberapa tamu undangan yang baru datang. Semua tamu sepertinya teman kuliah atau teman tongkrongannya, karena mereka terlihat seumuran.
"Jadi, lo maksa gue dateng cuman karena lo ga ada temennya. Karena semua tamunya orang gede?"
Nadira langsung tersedak
""Bukan gitu, emang kakak gue ngundang lo, ko. Beneran." Aku masih menatap tajam ke arah Nadira. Aku tau dia pasti sengaja memaksaku datang karena dia merasa sendirian berada di tengah-tengah acara orang dewasa seperti ini, dan Nadira menjadikan aku sebagai tumbal agar dirinya tidak terlihat menyedihkan.
"Kue nya enak." Nadira mengalihkan pembicaraan,aku pun tak ingin melanjutkan perdebatan, karena sudah terlanjur aku berada di acara ini . Jadi lebih baik aku menikmati acara dan pulang begitu acara selesai.
Aku dan Nadira memang sengaja mengasingkan diri di pojokan dekat lampu taman, berjarak beberapa meter dari keramaian acara ulang tahun. Aku sedikit merasa tidak nyaman berada di antara orang-orang yang sama sekali tidak aku kenali.
Hingga mataku menangkap sosok yang begitu familiar, dia mengenakan kemeja biru muda dan celana jeans biru tua. Aku butuh beberapa detik untuk memastikan nya,karena penampilannya begitu berbeda ketika dia datang ke rumah.
Begitu dia tersenyum, aku langsung tahu dan yakin jika itu Alfaro, guru pembimbingku. Tapi apa yang dia lakukan di sini? Bahkan dia datang dengan seorang perempuan cantik.
"Mau minum lagi ga?" Aku mendengar tawaran Nadira, tapi mataku masih fokus menatap dua orang yang saling bergandengan mesra di depan sana.
"Karaaa. Oyyyyy." Kini suara Nadira begitu nyaring di telinga. Begitu aku menoleh, dia memang sengaja meneriaki namaku persis di dekat telinga.
"Ihhhh apa sih ! Sakit telinga aku denger suara kamu!" Decakku.
"Lagian gue ngomong dari tadi dicuekin mulu. Liatin apa sih?" Mata Nadira menelusuri semua tempat, mencari apa yang menjadi pusat perhatianku.
"Eh lihat tuh yang di sana." Dagu Nadira menunjuk kerumunan orang yang tengah asik berpesta.
"Siapa?"
"Itu cewe yang pake dres biru navy." Kini telunjuk Nadira menunjuk seorang wanita berparas cantik yang tengah asik bercengkrama dengan ka Nadia.
"Dia itu model. Nama nya Dea, dan itu cowo ganteng yang di sebelahnya yang pake kemeja biru ,pacarnya. Namanya Alfaro." Jelas Nadira.
Aku masih menatap ke arah Faro berada, melihat bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain berbeda ketika dia berinteraksi denganku. Aku bisa melihat Faro dengan sikap nya yang ramah, selalu tersenyum saat berbicara. Dia begitu berbeda ketika bersamaku yang hanya seperti robot, kaku dan jarang bicara.
"Ganteng dan cantik ya? Keduanya sahabat baik ka Nadia. Mereka sering ko maen kerumah." Aku masih mendengarkan Nadira berbicara, tapi mataku masih menatap diman Faro berada.
Tanpa aku duga Faro menoleh, tatapan kita bertemu. Dia sedikit terkejut melihat kehadiranku, aku tidak berniat memutus tatapanku hingga wanita di sebelahnya menarik lengan Faro dan tatapan kami terputus.
Apa mungkin ini urusan yang dia maksud?
Menemani kekasihnya ke acara ulang tahun?
Aku tau itu hak nya, hanya saja entah mengapa ada sedikit rasa tidak terima mengganjal di hatiku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!