Tara Azhara Putri Mahendra melangkah cepat di trotoar yang padat, menghindari lalu lintas kota yang tidak pernah tidur. Hari ini, seperti biasa, dia terlambat lagi. Jam tangan di pergelangan tangannya terus berteriak mengingatkan bahwa waktu tidak pernah berhenti, bahkan untuk sekejap saja. Namun, Tara bukan tipe orang yang panik. Baginya, hidup di kota besar memang selalu menantang, dan itu membuatnya merasa hidup. Selalu ada sesuatu yang lucu di balik setiap kesulitan.
Sambil mempercepat langkahnya, Tara mendengar dering telepon dari tasnya. Ia mengeluarkan ponsel dan melihat nama Nadia Radhika Suryaningrum di layar. “Halo, Na! Gimana?” sapa Tara dengan nada ceria meski napasnya sedikit terengah.
“Tara, lu di mana? Kita ada meeting dalam lima belas menit lagi!” suara Nadia terdengar cemas di seberang sana.
“Aduh, gue baru aja nyampe di pintu kantor, kok. Sabar, ya!” Tara berbohong dengan santai. Kenyataannya, dia masih harus melewati dua blok lagi sebelum sampai di kantornya. Tapi, dalam situasi seperti ini, kebohongan kecil tidak apa-apa, kan?
“Gue udah bilang sama lu dari dulu, jangan suka telat, Tar. Ini kan meeting penting banget,” ujar Nadia sambil menghela napas panjang.
“Gue tahu, gue tahu. Sumpah, abis ini gue langsung lari kayak Usain Bolt deh, biar cepet sampe!” Tara mencoba menenangkan Nadia dengan candaan, berharap sahabatnya itu tidak terlalu stres.
Setelah menutup telepon, Tara segera mempercepat langkahnya. Kantor tempatnya bekerja sebagai event planner tidak jauh dari sini. Terletak di gedung tua dengan arsitektur modern, tempat itu selalu memberi energi tersendiri bagi Tara. Begitu dia tiba, dia langsung masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai lima. Napasnya sudah mulai teratur lagi saat pintu lift terbuka, dan dia melangkah keluar dengan senyum kemenangan di wajahnya.
“Gue nggak telat, kan?” tanya Tara pada Nadia yang sudah menunggunya di depan ruang meeting.
“Telat lima menit, tapi masih mendingan daripada biasanya,” jawab Nadia dengan senyum kecil. “Ayo masuk, yang lain udah pada nungguin.”
Mereka masuk ke ruang meeting, dan di sana sudah ada Santi Anggraini Pramuditha dan Yuni Safira Maharani, dua sahabat sekaligus rekan kerja Tara. Santi, dengan rambutnya yang selalu diikat ke atas dan wajah serius, sedang mencatat sesuatu di laptopnya. Yuni, dengan gayanya yang selalu modis, sibuk membolak-balik majalah fashion yang dibawanya.
“Eh, Tara! Akhirnya lu dateng juga,” kata Yuni dengan nada setengah bercanda.
“Gue kan selalu dateng, cuma kadang waktunya agak... fleksibel aja,” balas Tara sambil duduk di kursinya.
Meeting dimulai, dan Tara langsung beralih ke mode serius. Mereka membahas acara besar yang akan datang, sebuah gala dinner untuk klien penting. Tara dan timnya harus memastikan segalanya berjalan sempurna, dari dekorasi hingga hiburan. Seperti biasa, ide-ide brilian mulai bermunculan dari pikiran Tara, dan dia tidak segan-segan untuk berbagi dengan yang lain.
“Gimana kalau kita bikin tema ‘Malam Bintang’? Jadi kita bisa dekor ruangannya dengan langit-langit yang penuh bintang, dan lampu-lampu kecil yang menggantung di mana-mana,” usul Tara penuh semangat.
“Itu ide yang keren, Tar! Gue bisa bayangin suasananya bakal romantis banget,” kata Santi sambil mengetik cepat di laptopnya.
“Tapi gimana dengan kliennya? Mereka suka nggak dengan ide yang terlalu dreamy kayak gitu?” tanya Yuni, yang selalu lebih skeptis tapi realistis.
“Tenang aja, gue bakal presentasiin ini dengan cara yang bikin mereka nggak bisa nolak,” jawab Tara dengan percaya diri.
Sementara meeting berlangsung, Tara tidak bisa tidak merasa bangga dengan pekerjaannya. Meski sering kali stress, dia mencintai setiap bagian dari pekerjaannya ini. Merancang acara dari nol, melihatnya terwujud, dan melihat wajah puas klien adalah kepuasan tersendiri bagi Tara. Selain itu, bekerja dengan teman-temannya juga membuat segalanya terasa lebih ringan dan penuh canda tawa.
Setelah meeting selesai, mereka semua berkumpul di pantry untuk mengisi perut yang mulai keroncongan. Santi sibuk membuat kopi, sementara Yuni mencari camilan di dalam lemari.
“Jadi, gimana kabar love life lu, Tar?” tanya Yuni tiba-tiba, membuat Tara hampir tersedak kopinya.
“Duh, jangan bahas yang itu, deh. Masih nol besar,” jawab Tara dengan cengiran. “Tapi ya, gue santai aja. Masih ada banyak waktu buat mikirin yang begituan.”
Nadia, yang selama ini diam sambil menatap ponselnya, tiba-tiba mengangkat kepala. “Tar, lu tahu nggak, gue nemu akun Instagram yang kayaknya cocok banget buat lu.”
“Akun Instagram? Buat apa?” tanya Tara bingung.
“Ini akun seorang cowok, Adrian Darmawan Nugraha, dia pengusaha muda yang lagi hits. Kayaknya dia tipe lu banget, Tar. Ganteng, sukses, tapi kayaknya cool abis.”
Tara menatap Nadia dengan skeptis. “Seriusan, Na? Gue nggak pernah percaya sama yang namanya ‘dikenalin lewat Instagram’. Ntar malah jadi awkward.”
“Eh, coba aja dulu, siapa tahu cocok,” bujuk Santi sambil menyeruput kopinya.
Yuni, yang selalu up-to-date dengan segala sesuatu yang trendi, langsung mencari akun Instagram Adrian di ponselnya. “Nih, Tar, liat. Ganteng, kan?”
Tara melihat foto-foto di layar ponsel Yuni dan tidak bisa menahan senyum. “Hmm, ya, lumayan sih... Tapi gue kan nggak nyari pacar cuma karena ganteng.”
“Yaelah, Tar, masa iya lu mau selamanya jomblo? Coba aja dulu, siapa tahu cocok,” Nadia masih bersikeras.
Tara hanya tertawa kecil. “Oke, oke, nanti gue liat-liat. Tapi nggak janji ya, Na.”
Hari itu berlalu dengan cepat. Setelah selesai dengan pekerjaannya, Tara pulang ke apartemennya yang kecil tapi nyaman. Di sana, dia duduk di sofa dan membuka Instagram, mencoba mencari akun yang tadi disebutkan Nadia. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya dia menemukannya.
Tara mengklik profil Adrian Darmawan Nugraha dan mulai melihat-lihat foto-fotonya. Dia terkejut melihat betapa karismatiknya pria itu. "Hmm, lumayan juga," gumam Tara pada dirinya sendiri.
Tapi kemudian, dia menutup ponselnya dan tertawa kecil. "Ah, udahlah, nggak usah mikirin yang begituan dulu. Fokus sama kerjaan aja dulu, Tar."
Namun, dalam hatinya, Tara tahu bahwa pertemuan dengan Adrian—meski hanya lewat Instagram—bisa jadi adalah awal dari sesuatu yang tak terduga dalam hidupnya. Tanpa disadari, kehidupan Tara akan segera berubah, dan tawa yang selama ini menjadi penguatnya mungkin akan diuji dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Pagi itu, Tara Azhara Putri Mahendra kembali disambut oleh suara bising kota yang tidak pernah tidur. Dia menarik napas dalam-dalam saat berdiri di jendela apartemennya, menikmati pemandangan kota yang selalu sibuk. Hari baru, tantangan baru. Tapi, hari ini, ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya—perasaan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Tara meraih ponselnya dan kembali membuka akun Instagram Adrian Darmawan Nugraha. Ada sesuatu yang menarik dari pria itu, meski Tara tidak bisa menjelaskan apa. Dia tidak biasanya terpengaruh oleh penampilan seseorang di media sosial, tapi Adrian memiliki aura yang berbeda. "Kenapa gue jadi penasaran, ya?" gumamnya sambil mengerutkan kening.
Ponsel Tara berdering, membuyarkan lamunannya. "Ya, halo?" sapanya sambil melirik nama di layar. Ternyata itu Santi Anggraini Pramuditha, sahabat sekaligus rekan kerjanya.
“Tar, udah siap belum buat ketemu klien pagi ini?” suara Santi terdengar ceria di seberang sana.
“Pasti dong, gue udah siap dari tadi! Lu sendiri gimana?” balas Tara dengan semangat palsu. Dia sebenarnya belum sepenuhnya siap, tapi siapa yang peduli? Tara selalu berhasil keluar dari situasi sulit dengan improvisasi.
“Gue udah di jalan nih, bentar lagi nyampe kantor. Jangan lupa ya, kita harus bikin presentasi yang keren buat klien kali ini. Mereka katanya agak rewel, jadi kita harus bisa bikin mereka terpukau,” kata Santi dengan nada serius.
“Tenang aja, San. Kita udah sering kok menghadapi klien yang lebih rewel dari ini. Gue yakin mereka bakal suka sama konsep kita,” jawab Tara sambil tersenyum. Meski ia berbicara dengan percaya diri, di dalam hatinya, Tara tahu kalau proyek kali ini adalah salah satu yang paling menantang.
Setelah menutup telepon, Tara segera bersiap-siap. Mengenakan blazer hitam kesayangannya dan sepasang sepatu hak tinggi, dia merasa siap menghadapi dunia. Saat tiba di kantor, Santi sudah menunggunya di depan pintu.
“Wah, lu keren banget hari ini, Tar! Siapa nih yang mau dipikat?” goda Santi sambil tersenyum lebar.
“Ya elah, San, gue emang selalu keren kok,” balas Tara sambil tertawa. “Ayo, kita siap-siap, kliennya udah di ruang meeting.”
Mereka berdua berjalan menuju ruang meeting, di mana Nadia dan Yuni sudah menunggu. Di atas meja, laptop dan proyektor sudah siap menampilkan presentasi yang telah mereka susun semalam.
“Kliennya baru aja datang, mereka kelihatan serius banget,” bisik Yuni saat Tara dan Santi masuk.
“Oke, kita harus kasih yang terbaik. Let's nail this!” ucap Tara dengan penuh semangat.
Presentasi pun dimulai. Tara memimpin dengan karisma dan gaya khasnya yang percaya diri. Konsep "Malam Bintang" yang ia usulkan sebelumnya diterima dengan baik oleh timnya, dan sekarang saatnya meyakinkan klien. Dengan penuh semangat, Tara menjelaskan bagaimana mereka akan mengubah ruangan menjadi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang, menciptakan suasana yang romantis dan magis.
“Jadi, bayangkan ketika para tamu masuk, mereka akan langsung merasa seperti berada di bawah langit malam yang penuh bintang. Lampu-lampu kecil yang menggantung akan memberikan efek kilau yang indah, dan suasana akan terasa begitu intim dan mempesona,” jelas Tara dengan senyum lebar.
Para klien, yang awalnya terlihat kaku dan tegang, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan. Mereka saling berpandangan, mengangguk setuju, dan Tara bisa merasakan ketegangan di ruangan mulai mencair.
“Ini adalah ide yang sangat menarik. Kami suka dengan konsepnya,” kata salah satu klien dengan senyum puas. “Tapi, bagaimana dengan hiburannya? Apa yang akan kalian suguhkan untuk para tamu?”
Tara sudah siap dengan jawaban itu. “Untuk hiburan, kami akan menghadirkan band akustik yang akan memainkan lagu-lagu romantis sepanjang malam. Mereka akan menyesuaikan repertoar dengan suasana, membuat malam semakin sempurna.”
Nadia dan Yuni, yang duduk di sebelah Tara, ikut menambahkan detail-detail lainnya, sementara Santi menunjukkan visualisasi konsep melalui slide yang mereka siapkan. Presentasi berlangsung lancar, dan Tara merasa puas melihat klien mereka semakin tertarik.
Setelah presentasi selesai, klien mereka berdiri dan mengucapkan terima kasih. “Kami akan mempertimbangkan tawaran ini, dan mungkin kita bisa bekerja sama untuk acara berikutnya,” kata salah satu klien sebelum mereka meninggalkan ruangan.
Begitu pintu tertutup, Santi langsung melonjak dari kursinya. “Yes! Mereka suka banget, Tar! Lo bener-bener jago!”
Tara tersenyum lega. “Gue bilang juga apa, kita pasti bisa. Thanks buat kalian semua yang udah kerja keras.”
“Sekarang saatnya kita merayakan kemenangan kecil ini,” kata Yuni sambil merapikan dokumen di atas meja. “Kita makan siang di tempat biasa?”
“Setuju! Gue udah laper banget,” jawab Nadia sambil menggandeng Tara keluar ruangan.
Mereka berjalan keluar kantor dan menuju kafe kecil di sudut jalan, tempat biasa mereka menghabiskan waktu istirahat. Di sana, mereka memesan makanan favorit mereka dan mulai bercanda satu sama lain, menikmati momen tanpa tekanan pekerjaan.
Sambil menikmati makanannya, pikiran Tara tiba-tiba melayang kembali ke akun Instagram Adrian. Sejak pagi tadi, dia tidak bisa berhenti memikirkan pria itu. Ada sesuatu tentang Adrian yang membuatnya penasaran, meski dia tidak tahu apa itu. Tapi Tara bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama, atau dalam hal ini, pada pandangan pertama di Instagram.
“Eh, Na, gimana si Adrian yang lu omongin kemarin? Masih kepikiran sama gue?” tanya Tara tiba-tiba, membuat Nadia yang sedang minum kopi hampir tersedak.
Nadia tertawa kecil. “Gue tahu lu pasti penasaran! Gue sih yakin dia bakal tertarik sama lu kalau lu coba ngobrol sama dia.”
Tara mengerutkan kening, berusaha menyeimbangkan antara rasa penasaran dan keengganannya untuk terlibat dalam sesuatu yang tidak pasti. “Gue nggak tahu, Na. Gue nggak biasa ngedeketin cowok lewat Instagram. Terlalu aneh aja rasanya.”
“Eh, zaman sekarang, banyak kok yang ketemu jodoh lewat sosmed. Lu jangan terlalu skeptis,” timpal Santi sambil mengunyah sandwich-nya.
Yuni, yang sedari tadi diam, tiba-tiba ikut bicara. “Tar, kadang lo harus coba sesuatu yang baru. Gue nggak bilang lo harus langsung serius, tapi coba aja kenalan. Nggak ada ruginya, kan?”
Tara mengangguk pelan. Mungkin benar, sesekali mencoba hal baru tidak ada salahnya. “Oke, gue bakal coba kenalan. Tapi gue nggak janji apa-apa ya, ini cuma iseng aja.”
Senyum lebar terukir di wajah Nadia dan Santi. Mereka tahu Tara bukan orang yang mudah tertarik pada seseorang, jadi ini adalah langkah besar baginya. Namun, bagi Tara, ini lebih seperti eksperimen—sebuah cara untuk melihat bagaimana hidup bisa menjadi sedikit lebih menarik.
Hari itu, setelah kembali ke kantor dan menyelesaikan pekerjaannya, Tara pulang ke apartemennya. Dengan perasaan campur aduk, dia membuka Instagram lagi dan mencari akun Adrian. Setelah beberapa detik ragu, dia memutuskan untuk mengikuti akun tersebut.
“Yah, apa salahnya mencoba,” gumam Tara sambil menekan tombol ‘Follow’. Perasaan aneh menggelitik hatinya—campuran antara penasaran, gugup, dan sedikit antusias.
Setelah itu, dia menutup ponselnya dan memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Hidup di kota besar sudah cukup sibuk tanpa menambahkan drama cinta ke dalamnya. Namun, Tara tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang semakin besar. Ada sesuatu dalam diri Adrian yang menarik perhatiannya, meski dia tidak bisa menjelaskan apa itu.
Tanpa disadari, kehidupan Tara mulai berubah sejak hari itu. Dunia yang selama ini hanya berputar di sekitar pekerjaan, teman-teman, dan mimpinya, kini mulai membuka pintu baru—pintu yang mungkin akan membawa tawa baru, tantangan baru, dan mungkin juga, cinta yang selama ini dia anggap remeh.
Hari Sabtu datang dengan awan kelabu yang menggantung rendah di langit Jakarta. Tara Azhara Putri Mahendra, yang biasanya menyukai hari hujan untuk merenung, justru merasa gelisah hari ini. Ia merapikan rambut panjangnya yang tergerai lalu melirik arloji di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul 10.00 pagi. Hatinya berdebar aneh sejak pagi, dan dia tidak tahu apakah ini firasat buruk atau hanya perasaan gugup yang belum selesai dari tadi malam.
Sore kemarin, Adrian Darmawan Nugraha, pria yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya, akhirnya membalas pesan Tara di Instagram. Sederhana saja, hanya sapaan singkat dan obrolan ringan tentang hobinya. Namun, ada sesuatu di antara kata-kata itu yang membuat Tara merasa bahwa percakapan ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar.
Dia menyalakan ponsel dan melihat pesan dari Santi Anggraini Pramuditha di grup chat mereka. “Tar, lu beneran mau ketemuan sama Adrian hari ini? Wah, gue nggak sabar dengar ceritanya nanti! Semoga seru ya!”
Tara menarik napas panjang sebelum mengetik balasan, “Iya, doain aja nggak aneh ya. Kayaknya sih dia orangnya asik.”
Tak lama setelah membalas pesan itu, bel apartemennya berbunyi. Tara dengan cepat merapikan dirinya di depan cermin sebelum menuju pintu. Dia membuka pintu dan di sana berdiri Adrian, mengenakan jaket kulit hitam dan jeans, dengan senyum yang menggoda.
“Hei, Tara. Siap untuk hari ini?” sapanya dengan nada santai namun penuh perhatian.
“Siap banget, kita kemana nih?” balas Tara, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
“Gue udah pesan tempat di kafe kecil di daerah Kemang. Ada sesuatu yang gue pengen tunjukin ke lu. Siap?” Adrian melirik ke arah Tara dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Apa ya? Bikin penasaran aja, deh,” kata Tara sambil mengikuti Adrian menuju mobilnya yang terparkir di depan apartemen.
Selama perjalanan menuju Kemang, mereka berbicara tentang banyak hal. Adrian ternyata sosok yang sangat berpengetahuan, dengan wawasan luas tentang berbagai topik, mulai dari musik, film, sampai filsafat. Namun, Tara merasa ada sesuatu yang disembunyikan Adrian, sesuatu yang tersembunyi di balik senyumnya yang ramah dan suaranya yang lembut. Tara tidak bisa melepaskan perasaan bahwa pertemuan ini lebih dari sekadar obrolan ringan.
“Ini tempatnya,” ujar Adrian saat mereka tiba di sebuah kafe yang terlihat klasik namun nyaman, dengan interior bergaya vintage dan suasana yang tenang. Mereka mengambil tempat duduk di sudut ruangan yang agak tersembunyi dari pandangan orang lain.
Adrian memesan dua cangkir kopi hitam dan sepotong kue cokelat untuk dibagi. Setelah pelayan pergi, ia menatap Tara dengan serius. “Tara, gue punya sesuatu yang penting buat dibicarain sama lo.”
Tara merasa hatinya mulai berdegup lebih cepat. “Apa itu, Ad? Kayaknya serius banget.”
Adrian menghela napas, seolah-olah sedang menimbang-nimbang kata-katanya. “Tara, gue bukan cuma ngundang lo buat ketemuan hari ini tanpa alasan. Gue pengen lo tahu sesuatu tentang gue, sesuatu yang nggak banyak orang tahu.”
“Ya ampun, lo bikin gue penasaran banget, nih. Katakan aja, Ad. Apa yang lo sembunyiin?” tanya Tara, mencoba tetap tenang.
“Gue… gue terlibat dalam sebuah proyek yang sangat rahasia, dan gue butuh bantuan lo,” ucap Adrian dengan nada yang lebih rendah, seolah takut ada yang mendengar.
Tara mengerutkan kening. “Proyek rahasia? Maksud lo apa, Ad? Proyek apa?”
Adrian melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengarkan sebelum melanjutkan. “Gue nggak bisa ngomong banyak di sini. Tapi lo harus tahu, ini menyangkut sesuatu yang lebih besar dari yang bisa lo bayangin.”
“Lo bercanda, kan? Maksud lo, lo kerja buat semacam organisasi rahasia gitu?” Tara setengah bercanda, meskipun rasa penasaran dan kekhawatirannya terus meningkat.
“Gue serius, Tara. Ini bukan main-main. Gue butuh seseorang yang gue percaya, dan gue lihat lo punya potensi buat bantuin gue,” Adrian menatap Tara dengan penuh kesungguhan.
“Gue? Kenapa harus gue? Gue cuma cewek biasa yang kerja di dunia event organizer. Apa yang bisa gue lakuin buat lo?” tanya Tara dengan skeptis.
“Justru karena lo biasa, Tara. Lo nggak ada dalam radar siapapun. Itu yang bikin lo jadi sempurna untuk ngebantuin gue,” jawab Adrian.
Tara terdiam. Ini sudah melampaui apa yang dia bayangkan. Awalnya dia berpikir ini hanya akan menjadi pertemuan santai dengan pria yang baru dia kenal lewat media sosial. Tapi sekarang, dia justru merasa seperti terperangkap dalam plot film thriller.
“Gue nggak tahu, Ad. Ini terlalu tiba-tiba. Gue nggak yakin gue bisa bantu lo,” ucap Tara pelan, tapi matanya masih menatap Adrian dengan penasaran.
“Gue ngerti kalau lo ragu, dan gue nggak nyalahin lo. Tapi sebelum lo ambil keputusan, biar gue tunjukin sesuatu,” kata Adrian sambil mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari tasnya. Dia menyerahkannya kepada Tara dengan tangan yang sedikit gemetar.
Tara menerima amplop itu dengan hati-hati. Dia membukanya dan menemukan beberapa dokumen dan foto-foto di dalamnya. Foto-foto itu menunjukkan sekelompok orang yang sedang berpose di depan gedung yang tampak seperti fasilitas rahasia. Di salah satu foto, Tara melihat wajah yang dikenalnya—salah satu klien besar dari perusahaan tempat dia bekerja.
“Ini… ini nggak mungkin,” bisik Tara. “Apa yang terjadi di sini?”
“Itulah yang harus kita cari tahu, Tara. Dan gue butuh lo buat bantuin gue masuk ke dalam dunia mereka,” kata Adrian dengan nada serius.
Tara merasakan dadanya berdebar-debar. Dia selalu menyukai tantangan, tapi yang satu ini benar-benar di luar dugaan. Dia melihat ke arah Adrian yang menatapnya penuh harap. Dalam sekejap, hidupnya yang tadinya biasa-biasa saja berubah menjadi misteri yang penuh dengan teka-teki.
“Jadi, lo ngajak gue buat ikut dalam investigasi ini?” tanya Tara akhirnya, berusaha merangkai logika dari semua informasi yang baru saja diterimanya.
“Ya, Tara. Gue nggak bisa ngerjain ini sendirian. Dan lo satu-satunya orang yang gue rasa bisa gue percaya untuk hal ini. Lo mau bantuin gue?” Adrian bertanya dengan nada memohon.
Tara menatap ke luar jendela kafe. Hujan mulai turun dengan deras, menciptakan irama yang konstan di atas atap kafe. Di dalam pikirannya, berbagai pertanyaan dan kemungkinan berkecamuk. Ini bukan hanya tentang membantu seorang teman baru. Ini adalah keputusan yang bisa mengubah hidupnya selamanya.
Tara menutup matanya sejenak, mencoba mendengar suara hatinya. Ada sesuatu dalam diri Adrian yang membuatnya ingin percaya, meskipun bagian lain dari dirinya berteriak untuk mundur. Namun, rasa penasaran dan keinginannya untuk keluar dari rutinitas yang biasa membuatnya ingin tahu lebih banyak.
“Gue nggak bisa janji apa-apa, Ad. Tapi gue mau coba,” jawab Tara akhirnya, dengan nada yang tegas meski di dalam hatinya masih penuh keraguan.
Adrian tersenyum lega. “Gue janji, lo nggak akan nyesel. Terima kasih, Tara. Ini awal dari sesuatu yang besar.”
Dan dengan itu, pertemuan mereka diakhiri dengan kesepakatan yang tidak terduga—sebuah janji untuk menggali lebih dalam ke dunia yang penuh dengan rahasia dan misteri. Tara tahu, sejak saat itu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!