Namaku Halimah.
Seorang gadis biasa yang tumbuh besar di sebuah kampung terpencil yang jauh dari hebatnya dunia kota.
Aku terlahir dari keluarga kecil yang Sederhana.
Dikampung tempat tinggalku adat istiadat dan Agama masih sangat di pegang teguh oleh semua masyarakat.
Hari ini semua cita-cita dan harapanku hancur tak bersisa.
Keinginan untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi kini tinggal cerita saja.
Aku sudah berulang kali memohon pada Ayah agar mengizinkanku untuk berangkat ke kota.
Tapi tentu saja penolakan besar yang Aku terima dari Ayah.
" Ayah.. Halimah janji akan menjaga nama baik keluarga... Halimah ke koa hanya untuk melanjutkan sekolah Ayah.. Halimah mohon... Izinkan Halimah.. Halimah janji tidak akan merepotkan Ayah dan Ibu.. Halimah akan berjuang sendiri disana untuk memenuhi kebutuhan hidup Halimah.. Halimah sudah di terima dan sudah mendapatkan beasiswa gratis biaya kuliah sampai dengan selesai Ayah.." pintaku memohon kepada Ayah agar di beri izin untuk berangkat ke kota mengejar cita-cita ku menjadi seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi yang telah menerima dan memberikan beasiswa berprestasi padaku.
"Tidak Halimah.. Berhentilah memohon.. Sudah berulang kali Ayah tegaskan padamu. Kamu tidak boleh melanjutkan sekolah mu ke kota. Jalanilah kodratmu sebagai seorang Wanita yang tugas utama nya di dapur, sumur dan kasur. Wanita itu tempat nya di rumah. Menjadi seorang istri yang baik dan sholeha yang menurut kepada orangtua dan suami.... Cukuplah sekolah sampai di jenjang SMU saja" ucap Ayah berapi-api padaku.
Aku cuma bisa menangis mendengar ucapanya yang begitu kolot. Ayahku memang masih memegang teguh adat lama nya. Bagi Ayah pendidikan tidaklah penting untuk wanita. Wanita itu kodratnya hanyalah menjadi istri dan Ibu bagi anak-anak nya kelak. Jadi tidaklah perlu bersekolah dan bercita-cita terlalu tinggi sehingga melupakan kodrat sebagai seorang wanita.
Aku benar-benar telah berputus asa.
Tidak ada lagi harapanku untuk bisa melanjutkan sekolah.
Cita-citaku telah habis terkubur jauh tak bersisa.
Tidak akan pernah mungkin dapat mewujudkan.
Ivu pun tidak mampu berbuat apapun untuk membantuku menjelaskan pada Ayah tentang pentingnya pendidikan saat ini.
Aku semakin hancur ketika Walikelasku bersama Kepala sekolah datang kerumah mencoba meyakinkan Ayah tentang prestasiku yang menjadi siswa terbaik di sekolah.
"Halimah adalah anak yang cerdas Pak, Dia menjadi siswa terpilih yang mendapatkan Beasiswa gratis kuliah sampai lulus tanpa Biaya sedikitpun" Ujar Ibu Nurul walikelasku.
Ayah hanya diam dengan wajah memerah seperti akan marah besar.
Aku sangat gugup melihat reaksi nya.
"Sekali lagi saya ucapkan terimakasih untuk kedatangan Ibu dan Bapak Kepala sekolah. Tapi keputusan Saya sudah bulat tidak memberi izin kepada Halimah untuk melanjutkan sekolahnya ke kota. Halimah akan segera Saya nikahkan dengan anak Kyai Rifa'i pemilik pondok pesantren Darussalam kampung sebelah" jawab Bapak mengagetkan ku.
"Tapi Halimah belum mau menikah Ayah.. Halimah masih muda.. Baru 18 tahun Ayah.. Halimah belum siap jadi istri.. " ujarku menolak perjodohan dari Ayah.
"Siap tidak siap, mau tidak mau, Kamu harus menikah dengan lelaki yang sudah Ayah jodohkan dengan mu. Ingat Halimah, kalau kamu ingin selamat dan tidak menjadi anak durhaka turuti perintah Ayah.. Ayah tau persis yang terbaik untuk kamu.. Ayah ingin kamu jadi anak sholeha dan istri yang sholeha juga.. Mengerti! " bentak Ayah padaku di depan walikelas dan Kepala sekolah yang bertamu.
Aku begitu malu sekali rasanya.
Aku berlari masuk kedalam kamar dan menangis sejadi-jadinya.
Cita-citaku benar-benar akan terkubur.
Ayah benar-benar Serius dengan semua ucapannya. Dia benar-benar berencana menjodohkanku dengan seorang pemuda dari kampung sebelah. Anaknya Kyai Rifa'i, teman pengajian Ayah yang memiliki pondok pesantren Darussalam.
"Halimah.. Nanti malam kamu tidak perlu ke masjid untuk mengajar mengaji.. Ibu sudah telepon Wida untuk menggantikan mu" Ucap Ibu padaku yang baru saja selesai mengerjakan shalat ashar.
"Tamu siapa Buk? " tanyaku bingung.
"Kyai Rifa'i beserta keluarga nya.." jawab Ibu singkat lalu beranjak pergi menuju dapur.
Aku begitu kaget mendengar ucapan Ibu tentang kedatangan Kyai Rifa'i.
"Apa Ayah dan Ibu Serius akan menjodohkanku dengan anak Kyai? " tanyaku dalam hati.
"Buk.. Kyai Rifa'i kan tamu Ayah dan Ibu, kenapa Halimah harus libur mengajar mengaji?" tanyaku menyusul Ibu kedapur.
"Sudah gak usah banyak tanya.. Ayo bantu Ibu menyelesaikan masakan ini.. Nanti malam mereka akan datang untuk makan malam bersama dengan keluarga kita.. " jawab Ibu lagi sambil sibuk mengurus semua masakan nya.
Aku tidak bertanya lagi.
Aku tidak berani membantah lebih jauh.
Aku turuti perintah Ibu membantunya menyelesaikan masakan spesial untuk menyambut kedatangan Kyai Rifa'i beserta keluarganya nanti malam.
Selesai shalat magrib, Ibu bergegas kekamarku menyuruhku mengenakan pakaian yang bagus dan sedikit berhias.
"Kamu harus terlihat cantik, anggun dan sopan.. Ingat untuk jaga etikamu di depan keluarga mereka nanti.. " ujar Ibu lagi padaku sambil mengoleskan tipis lipstik di bibir mungilku.
Aku terus saja menurutinya kemauan Ibu tanpa bisa menolaknya.
Perasaanku benar-benar kacau dibuatnya.
Aku sudah dapat menduga dengan jelas kedatangan Kyai Rifa'i beserta keluarganya tentu saja karena ingin menjodohkanku dengan anaknya.
"Bismillah.. " ucapku dalam hati sebelum keluar dari kamar untuk menemui para tamu.
Ayah kemudian memperkenalkan ku pada Kyai Rifa'i dan Istrinya Ustazah Nurul.
Kyai Rifa'i pula memperkenalkan ku pada Anaknya yang bernama Hafiz.
"Namanya Hafiz.. Biasa di pondok di panggil ustad Hafiz.. Alhamdulillah baru selesai kuliahnya dan langsung Saya minta untuk pulang mengabdi di pondok saja... Dan syukurnya Dia bersedia.." cerita Kyai Rifa'i dengan bangga nya.
Aku melirik sekilas kearah lelaki itu.
Wajahnya cukup lumayan tampan dengan kulit sawo matang dan rambut cepaknya yang rapi.
Pakaian nya juga sangat sopan.
Iya mengenakan kemeja batik lengan pendek yang berwarna hijau lumut sangat pas dengan gesture tubuhnya yang terbilang tinggi.
"Lumayan.. " bisik hatiku dalam hati.
"Astagfirullah.. " ucapku lagi segera ketika menyadari diriku telah menilai lelaki itu tanpa sadar.
Jamuan makan malam pun berlangsung hangat.
Kyai Rifa'i tanpa basa basi langsung menyatakan kepada kedua orangtuaku niat mereka yang ingin mengkhitbahku untuk Hafiz anak mereka.
Dan tanpa meminta persetujuan, Ayahpun langsung menerima permintaan Kyai Rifa'i.
Aku dan Hafiz hanya diam tanpa bisa membantah sedikitpun.
Semua perasaab berkecamuk di dalam hatiku.
Aku menangis di dalam kamar tanpa seorangpun yang tau.
Ku ambil air wudhu dan mengerjakan shalat hajat untuk meminta petunjuk dari ALLAH.
Kuadukan semua keluh kesahku dalam temaramnya lampu kamar di atas sajadah kecil yang membimbingku untuk meluahkan semua kegalauan hatiku.
"Beri Aku petunjukmu ya ALLAH.. " bisikku lirih berdoa.
"Sesungguhnya Aku masih belum siap untuk menjadi seorang istri.. Betapa besar cita-citaku untuk bisa melanjutkan sekolah ku di perguruan tinggi.. Tapi Aku tak mungkin mampu melawan perintah Ayah.. Aku tidak ingin jadi anak durhaka.. Jika memang lelaki itu jodoh pilihan untukku.. Bukalah pintu hati ini ya ALLAH.. Ikhlaskan Aku menjalani semua suratan yang sudah engkau tentukan untukku.. " doaku lagi dalam tangisan yang tertahan.
"Bantu Aku... Beri Aku petunjukmu.. Aamiin" ucapku lagi menutup doa.
"Kringg.. " suara teleponku berbunyi.
Aku segera bangkit dari tidurku lalu meraih telepon genggamku yang terletak di atas Nakas.
Sebuah nomor telepon asing yang tidak kukenal terpampang di layar HP ku.
"Assalamualaikum.. " ucapku mengangkat telepon.
"Waalaikumsalam.. " jawab seorang lelaki dari seberang telepon.
"Maaf.. ini siapa? " tanyaku pada nya penasaran karena tidak mengenal suara orang yang meneleponku ini.
"Saya Hafiz.. Maaf jika saya Mengganggu.. Saya dapat nomor HP kamu dari Om Aziz" Ucapnya memperkenalkan dirinya.
"Oh.. " jawabku singkat dan bingung tidak tau harus berkata apa.
"Sudah tidur? apakah Saya mengganggu mu? " tanya nya lagi dengan sangat sopan.
"Tidak.. Saya belum tidur.. Baru selesai shalat" jawabku seadanya.
"Masalah pertemuan tadi.. Apa kamu benar-benar menerima khitbah yang Abi ucapkan pada Ayahmu?" tanya nya tanpa basa-basi.
Aku terdiam bingung.
Sejujurnya Aku ingin sekali mengatakan Kalau Aku belum siap untuk menikah.
Tapi ucapan hati dan fikiranku bertolak belakang.
"Saya tidak punya alasan untuk menolaknya.." ucapku pelan.
Lama dia terdiam mungkin mencerna jawabanku.
"Baiklah.. Kita serahkan saja pada ALLAH SWT.. Selamat malam.. Assalamualaikum" balasnya kemudian lalu menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban salam dariku.
"Waalaikumsalam.. " ucapku tertahan.
Aku duduk di tepi ranjang tidak bergeming.
Lama Aku larut dalam rasa yang berkecamuk.
"Ya ALLAH.. " bisikku lirih.
Lalu Akupun tertidur dalam tangisan.
"Halimah.. Bangunlah.. sudah subuh.. " ucap Ibu mengagetkanku.
Aku bangkit bangun dari tidurku lalu menuju kamar mandi, lalu mengerjakan shalat subuh.
Selesai shalat Aku bergegas membantu Ibu menyiapkan kue-kue buatannya untuk di bawa ke pasar.
Ibu memiliki sebuah toko kue kecil di pasar tradisional yang berada tidak jauh dari rumah kami.
Kue-kue buatan Ibu cukup terkenal di kampung kami.
Setiap hari nya Ibu menjual berbagi macam Jenis kue-kue tradisional yang sangat enak.
Aku sendiri tidak pernah bosan untuk menikmatinya.
"Kamu kan sudah selesai sekolah nya.. Jadi mulai hari ini bantu Ibu berjualan di pasar ya.. " Ujar Ibu padaku.
Aku mengangguk menyetujuinya.
Ayah masuk ke dapur dan Ikut sarapan bersama kami.
Sepertinya iya mendengar dengan jelas percakapan antara Ibu dan Aku.
"Selama di pasar jangan berbuat yang aneh-aneh.. Jaga mata.. Jaga hati.. Dan jaga prilaku.. Ingat kamu itu sekarang sudah di khitbah oleh anak nya Kyai Ma'aruf yang tidak lama lagi akan menikahimu" Ujar Ayah dengan tegas padaku.
Seketika nafsu makanku langsung menghilang.
Kue serabi yang begitu manis berubah jadi pahit di tenggorokanku.
Aku begitu kesal mendengar ucapan Ayah.
"Akhir minggu nanti, Ayah dan Kyai sudah membuat janji pertemuan untuk menentukan tanggal pernikahan kalian pada bulan depan" ujarnya lagi mengagetkanku.
"Bulan depan? Apakah itu tidak terlalu terburu-buru Ayah? " tanya Ibu pula yang tampak Ikut kaget mendengar ucapan Ayah.
"Niat baik itu tidak perlu di tunda lama-lama.. Lebih cepat lebih bagus" jawab Ayah sambil terus menyeruput kopi hitamnya.
"Tapi Ayah.. Halimah dan Abang Hafiz belum saling kenal.. Bagaimana kalau kami menjalani masa Ta'aruf dulu agar kami bisa saling kenal satu sama lain sebelum melangkah lebih jauh" ujarku mencoba berdiskusi dengan Ayah.
"Tidak perlu.. Kalian kan sudah bertemu kemarin malam.. Ayah sudah cukup mengenal Hafiz dengan baik. Dia anak sholeh yang begitu patuh kepada kedua orangtuanya. Ibadahnya bagus.. Prilaku nya sopan dan paras nya cukup tampan. Sangst cocok untukmu" jawab Ayah menatapku.
Aku terdiam tidak balas menjawab lagi.
Apapun yang ku ucapkan pasti percuma.
Jika Ayah sudah mengambil keputusan, maka tidak satupun orang dari kami yang mampu menggoyahkan keputusannya.
termasuk Ibu.
Dan akhirnya dengan terpaksa Aku menjalani status baruku sebagai seorang gadis yang telah di khitbah dan akan segera menikah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!