PROLOG....
Hidup tidak selalu adil bagi semua orang.
Ada yang selalu merasakan kesenangan, ada yang yang selalu berada di posisi menyedihkan. Ada yang sudah tidak memerlukan apapun selain oksigen di hidupnya, ada yang bahkan untuk bernapas pun rasanya tidak ada.
Seperti hidup Naura yang jauh dari kata sempurna, meski masih bisa tenang untuk bernapas setiap harinya.
Malam itu... Naura tengah berada dalam perjalanan pulang, perjalanan yang cukup panjang dari kampus sampai ke kosannya. Sebenarnya jaraknya cukup dekat, jika ditempuh menggunakan kendaraan. Lain lagi jika jarak cukup dekat itu ditempuh hanya menggunakan dua kaki yang bahkan sudah lelah berjalan seharian ini.
Bukannya tidak ada uang untuk membayar layanan taksi ataupun ojek online, hanya saja Naura memang sengaja memilih untuk berjalan kaki saja malam ini. Dengan alasan malas memesan taksi ataupun ojek online, juga ia yang membutuhkan wajtu tenang seperti berjalan kaki sendirian, malam-malam, di atas trotoar. Naura nekat melakukannya.
Tanpa memikirkan resiko yang akan ia dapat jika saja nasib buruk telah mengikutinya.
Pertengahan jalan, Naura sedikit menambah kecepatan langkah kakinya ketika ia merasa bahwa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang.
Keadaan jalan yang sepi juga pohon-pohon rindang di tepi jalan membuat perasaannya semakin takut, terlebih dengan langkah kaki yang terdengar dari belakang itu semakin jelas di telinganya.
Oh Tuhan... jika beberapa saat setelah ini Naura sudah hanya tinggal nama, tolong berikan keluarganya rezeki yang melimpah agar ia bisa mati dengan tenang.
Semakin mempercepat langkahnya, Naura tidak berani untuk menoleh ke belakang. Dengan mengandalkan sisa tenaga yang ada, ia benar-benar berusaha menyelamatkan dirinya saat itu juga.
Hingga lelah.
Hingga kakinya mulai berlari kencang.
Hingga jalanan semakin sepi.
Hingga ia malah menemukan rumah kosong tak terurus di tepi jalan.
Hingga ia mendengar gelak tawa seorang laki-laki di belakang.
Hingga Naura tidak memikirkan apa pun selain memikirkan bagaimana caranya ia bisa pulang dengan selamat tanpa ada yang kurang.
Napasnya terengah, semakin lelah melangkah. Wajahnya sudah memerah, bahkan bibirnya sudah memucat.
Naura terus berharap, sehingga pada akhirnya gadis itu menyerah dengan pasrah ketika lengannya di tarik dan ia yang tidak menyadari apa yang terjadi selanjutnya.
Semoga, apa yang ia pinta kepada Tuhan, dikabulkan. Karena setelah ini, Naura tidak yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Bab 1 | MIMPI BURUK
"Lepas!" cengkraman di lengannya sangat kuat hingga Naura tidak mampu melarikan diri.
Seorang laki-laki yang penampilannya seperti preman, menahan lengannya dengan sangat kuat, menariknya memasuki rumah kosong dengan senyum menyeramkan yang terbit dari sudut bibir laki-laki yang entah siapa namanya itu. "Lo nggak akan bisa lepas dari gue," ujarnya.
Naura menggelengkan kepalanya cepat. "Gue nggak kenal siapa lo, tolong lepasin gue!"
Namun apa daya, ia tidak bisa melakukan pembelaan selain berteriak meminta tolong. Lengan kekar itu terlalu bertenaga bagi Naura yang bahkan untuk berteriak pun rasanya sudah lelah.
"Jangan pura-pura tidak kenal, sayang, mari kita akhiri semua masalah kita di sini," balas laki-laki itu lagi, yang mana nada bicaranya semakin terdengar mengerikan di telinga Naura.
Beberapa saat yang lalu, Naura sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi kepadanya sekarang. Namun saat ini, ia masih ingin menyelamatkan dirinya, masih ingin lari, masih ingin lepas dari laki-laki jahat itu.
Mendengar kata-katanya, Naura sedikit mengerutkan kening karena merasa heran. Laki-laki itu terlihat seperti tengah berbicara dengan orang dikenalnya, namun demi apa pun, Naura benar-benar tidak mengenalnya. Sedikitpun. Bahkan, ini baru pertama kali dalam hidup Naura, bertemu laki-laki seusianya, yang memiliki wajah lumayan namun berpenampilan urak-urakan. Bahkan tubuhnya dipenuhi dengan gambar-gambar yang entah apa maksudnya.
Lalu, kenapa dia memanggilnya dengan sebutan sayang?
Apa maksud dari kata 'mari kita akhiri masalah kita di sini?'
Selain ketakutan, Naura juga merasa kebingungan.
"Tolong, lepasin gue, gue nggak kenal siapa lo, dan gue nggak ada masalah sama lo," ucapnya lirih. Berteriak sekuat tenaga pun, sepertinya tidak akan meluluhkan laki-laki itu. Suara Naura memelan, bersamaan dengan air mata yang mulai jatuh dari pelupuk matanya.
"Udah gue bilang, jangan pura-pura nggak kenal." Laki-laki itu menggeram, nada bicaranya terdengar penuh kesal.
"Tapi gue emang nggak kenal sama lo!" Naura masih berusaha menjawab, meski sekujur tubuhnya sudah bergetar hebat.
Tidak ada balasan lagi di sana. Laki-laki itu semakin mengeratkan cengkramannya. Hingga sampai di suatu ruangan, ruangan di mana terlihat sangat berantakan, ruangan yang isinya hanya ada kasur yang sudah tak terpakai, juga jendela yang sudah hancur bagian kacanya.
Tuhan apa yang akan terjadi setelah ini?
"Gue mohon, tolong lepasin gue...." Naura terisak, dengan tatapan mata penuh mohon, menyorot mata laki-laki yang menatapnya dengan tajam itu.
Sampai sudut bibir Naura terangkat, ketika laki-laki itu melepaskan cengkramannya. Ia tidak tahu apakah laki-laki itu sudah menyadari kesalahannya, atau sudah sadar bahwa Naura bukan orang yang dikenalnya, atau mungkin karena kasihan melihatnya. Yang pasti, Naura benar-benar bersyukur karena apa yang membuatnya memohon sedari tadi, sudah ia dapatkan.
Laki-laki itu melepaskannya.
Naura sedikit merasa aman.
Dia menyunggingkan senyumnya dengan kaki yang perlahan mulai melangkah mundur.
Sampai tubuhnya kembali terkejut karena hentakan yang begitu tiba-tiba.
Sepertinya Naura salah paham.
Dan laki-laki itu mendorong tubuhnya dengan keras, hingga punggungnya menyentuh kasur, hingga ia meringis kesakitan, hingga ketakutannya semakin meningkat, hingga ia tidak tahu apa lagi yang harus ia jelaskan selain perasaannya yang benar-benar takut.
Tubuhnya semakin bergetar, apalagi ketika melihat laki-laki itu mendekatinya, dengan senyum penuh arti, dan dengan tangan yang mulai mengangkat kaus oblongnya.
"Nggak! Jangan... tolong jangan... NGGAK!!!"
Naura terperanjat. Napasnya terengah-engah. Tubuhnya dibasahi oleh keringat, juga air mata yang mulai mengalir dari pelupuk matanya.
Mimpi buruk itu... datang lagi.
Bayangan kejadian itu... menghantuinya lagi.
Naura menangis, terisak sembari meringkuk memeluk tubuhnya sendiri. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, ia akan melakukan hal itu sampai tubuhnya sedikit tenang, sampai ia dipaksa oleh waktu untuk segera berangkat pergi ke kampusnya.
Setelah kejadian mengerikan itu, setelah kemalangan yang menimpa hidupnya, setelah ia diperkosa sampai dihantui ketakutan di setiap malamnya, Naura... tetap nekat untuk melanjutkan hidupnya. Melanjutkan hidupnya yang sudah hancur, melanjutkan kuliahnya, menjaga tubuhnya yang bahkan sudah tak berharga, dan dengan penuh percaya dirinya, Naura nekat untuk tetap melanjutkan mimpi-mimpinya.
Meski semangat itu sudah lenyap, meski harapan itu kian menyurut, meski sudah tak beralasan, Naura tetap ingin melanjutkannya. Demi dirinya sendiri, demi Ibunya yang jauh di kampung halamannya.
Naura tidak tahu apa yang akan terjadi dalam hidupnya, yang sekarang ia lakukan hanyalah berjalan di atas putusnya sebuah harapan. Sempat ingin mengakhiri hidupnya, tetapi gagal karena sebuah telepon dari ibu tercintanya. Naura berpikir, mungkin itu sebuah pertanda bahwa selain dirinya sendiri, ia juga harus kuat demi ibunya.
Karena semenyedihkan apa pun, seberat apa pun masalah yang ia pikul, sehancur apa pun hidupnya yang sekarang, kehidupan harus tetap berjalan, bukan?
"Hari ini muka lo pucet banget, Ra."
"Iya, gue lagi nggak enak badan."
"Mau ke rumah sakit? Biar gue anterin."
Spontan, Naura menggelengkan kepalanya cepat, pertanda bahwa ia menolak tawaran dari sahabatnya itu. "Nggak usah, gue nggak separah itu buat pergi ke rumah sakit," tolaknya.
Seorang perempuan bernama lengkap Melody Cinta, menghela napas karena Naura- sahabatnya, sangat keras kepala. "Pergi ke rumah sakit nggak harus nunggu parah dulu kali, Ra. Mumpung masih belum parah, harus cepet-cepet diobatin," ucapnya.
"Nggak usah, gue nggak kenapa-napa, besok juga sembuh."
"Terserah, Ra, lo emang keras kepala.'
Keduanya kembali melanjutkan perjalanan, menyusuri koridor kampus menuju pintu keluar. Setelah selesai dengan urusan kuliah, keduanya sama-sama akan langsung pulang ke rumah masing-masing. Ah tidak, lebih tepatnya hanya Melody, karena Naura harus pergi kerja paruh waktu setelah ini.
Sebenarnya, tidak ada alasan lain mengapa Naura tidak mau pergi ke rumah sakit, selain takut biayanya mahal, ia juga takut akan sesuatu yang sudah menghantui mimpinya beberapa hari terakhir ini. Mimpi yang mungkin saja akan terjadi, dengan kemungkinan-kemungkinan dan juga alasan yang sudah sangat kuat. Mimpi yang selalu membuatnya menangis di pagi hari, dan menjadi alasan kenapa ia sering berlama-lama di kamar mandi.
Naura selalu memimpikan hal menakutkan lain, selain mimpi buruk mengenai kejadian itu.
Bagi sebagian orang, mungkin mimpi itu membahagiakan, tetapi bagi Naura, mimpi itu menjadi mimpi buruk yang selalu menjadi gangguan dalam tidur singkatnya.
setiap hari ia selalu berdoa, memohon kepada Tuhan agar apa yang ia takutkan dalam mimpi itu, tidak benar-benar terjadi dalam hidupnya. Seperti melawan takdir, namun ia benar-benar belum siap untuk itu.
"Ra, gue duluan, ya? Paksu udah jemput."
Naura mengangguk seraya tersenyum. "Iya, hati-hati, ya, Mel."
Bersamaan dengan Melody yang mulai menjauh darinya, senyum di bibir kecil Naura mulai luntur seketika. Bukan, tolong jangan salah paham, itu bukan senyum palsu yang menandakan bahwa ia tidak menyukai Melody, sahabatnya sendiri. Itu tidak benar.
Alasan kenapa bisa luntur seketika, karena Naura yang kembali mengingat masalahnya. Kembali meratapi hidupnya yang jauh berbeda dengan hidup Melody.
Dia perempuan yang beruntung, sedangkan Naura sebaliknya. Melody mempunyai hidup yang sempurna, berbeda dengan hidupnya yang serba kekurangan. Dia sahabatnya sejak SMA, gadis judes namun baik hati yang sudah menikah sejak SMA. Iya, Melody sudah menikah, bahkan ketika dia masih SMA dan masih berumur sembilan belas tahun. Kepergian ayahnya membuat Melody harus menerima kenyataan bahwa dia dijodohkan dengan gurunya sendiri.
Itu terdengar mengerikan awalnya, namun ketika melihat bagaimana kehidupan Melody sekarang, rasanya Naura juga ingin berada dalam
posisi yang sama.
Selain kenyataan bahwa dia sahabatnya sejak SMA, Melody juga orang yang sering membantunya dalam keadaan apa pun. Seperti ia yang butuh bantuan biaya, Melody selalu membantunya. Bahkan tidak jarang Melody menolak keras ketika ia akan mengembalikan uangnya. Dia dan suaminya juga sering memberikan tumpangan ketika pulang kuliah, atau dalam urusan lain.
Iya, Melody, suaminya, bahkan keluarga mereka, memang sebaik itu kepada Naura. Terkadang, Naura merasa sungkan dan tak enak hati akibat mereka yang terlalu baik kepadanya.
Setelah diam beberapa saat, Naura kembali melangkahkan kakinya. Menapaki trotoar, menyusuri jalan untuk menuju kontrakan petaknya, lalu setelah itu ia akan pergi ke Toko Kue tempatnya bekerja. Jangan tanya, mengapa ia tidak ikut pulang bersama Melody dan suaminya saja, itu karena Naura yang sudah terlalu sering menumpang hingga ia sedikit sungkan untuk kembali melakukannya. Meskipun Melody sudah memaksa, Naura selalu mencari alasan yang kuat untuk menolaknya.
Jarak kampus ke kontrakannya tidak terlalu jauh, juga tidak begitu dekat. Akan terasa dekat jika naik kendaraan, dan akan sebaliknya jika hanya ditempuh dengan langkah kaki saja. Naura sudah biasa melakukannya, bahkan ketika sesuatu terjadi dan membuatnya trauma sekalipun, ia tetap melakukannya.
Setelah berjalan beberapa menit, Naura tidak sengaja memergoki orang yang tengah memperhatikannya. Seorang laki-laki yang tengah berdiri di ujung sana, yang entah siapa namanya. Naura tidak mengenalnya, juga tak pernah bertemu dengan laki-laki itu sebelumnya.
Bukan hanya sekali dua kali, kemarin, semalam, dan beberapa hari terakhir ini Naura sering melihatnya. Entah di depan kampus, entah di ujung jalan dekat kontrakannya, entah di depan tempat kerjanya, yang pasti, laki-laki itu selalu memerhatikannya dari kejauhan.
Naura sudah mengingat-ngingat, barangkali ia mengenalnya atau mungkin mereka pernah bertemu di mana saja dan kapan saja, namun sekuat ia mengingatnya, Naura tetap tidak menemukan alasan bahwa ia mengenali laki-laki itu.
Kehadirannya memang tidak mengganggu, namun terkadang Naura merasa was-was dan takut. Takut kalau ternyata orang itu orang jahat, dan takut kejadian yang membuatnya trauma beberapa waktu yang lalu, kembali terulang.
Sempat kepikiran akan menghampirinya dan bertanya kenapa dia selalu memperhatikannya dari kejauhan, namun Naura tidak memiliki keberanias sebesar itu.
Lalu, sebenarnya siapa dia?
Kenapa dia melakukan hal yang sama beberapa hari terakhir ini?
Menjadi seorang mahasiswa yang sekaligus menjabat sebagai seorang karyawan itu tentu tidak mudah, selain harus pintar membagi waktu, Naura juga harus menyiapkan ekstra tenaga untuk dua kegiatan itu.
Terkadang ia merasa lelah dan ingin menyerah, namun keadaan mengharuskan Naura untuk tetap melakukannya.
Demi mencukupi kebutuhannya, ia merelakan waktu istirahat dan belajarnya. Dan meskipun melelahkan, itu lebih baik daripada Naura harus menyusahkan ibunya di kampung yang hanya bekerja sebagai tukang cuci saja.
Setelah berganti pakaian dan mengisi perut di kontrakannya, Naura kembali keluar untuk segera menuju tempat kerjanya. Tempat kerja yang jaraknya tidak jauh dari kontrakan, hanya melewati beberapa meter saja. Tempatnya berada di jalan raya, sedangkan kontrakannya masuk ke dalam gang kecil yang tak jauh dari tempat itu.
"Sore, Bu," ucap Naura ketika ia baru sampai dan bertemu dengan Bu Nadia, pemilik toko kue itu.
Wanita yang perkiraan umurnya masih di usia tiga puluh tahun itu tersenyum seraya membalas sapaan dari Naura. "Sore, Naura."
Naura mengangguk, kemudian ia langsung berjalan menuju sebuah ruangan yang ada di belakang. Ruangan yang dikhususkan untuk berganti pakaian, istirahat, dan menyimpan barang. Naura tidak mengganti pakaian di sana- karena ia sudah memakai seragam khas toko itu di kontrakannya ia hanya menyimpan totebag yang ia bawa dan mengenakan apron berwarna coklat yang terdapat gambar logo khas toko ini. Setelahnya, ia kembali keluar untuk segera melaksanakan pekerjaannya.
Bukan toko kue yang besar, namun tidak tergolong ke toko kue kecil juga. Namanya Caked With Care, entah apa arti dari nama itu. Toko yang menyediakan berbagai kue kering, cemilan, berbagai macam donat, dan tentunya kue ulang tahun.
Lima bulan bekerja di tempat ini, Naura telah belajar banyak hal. Dari belajar membuat kue, juga beberapa pelajaran hidup yang sangat penting menurutnya. Seperti sabar melayani pelanggan, disiplin dalam waktu dan bertanggung jawab untuk pekerjaannya. Di sini, Naura bertugas untuk melayani pelanggan, juga sesekali ikut membantu membuat pesanan di bagian dapur.
"Selamat Sore, selamat datang di Caked With Care, ada yang bisa saya bantu? Kakak cari apa?" ucap Naura dengan ramah juga senyum yang merekah ketika ada seorang pelanggan yang masuk.
Seorang gadis yang masih memakai seragam SMA ikut tersenyum membalas senyuman Naura. Ia menyebutkan apa yang ia cari di sana. "Saya mau ambil pesanan saya, Kak. Atas nama Cecilia."
Naura yang masih tersenyum, kini menganggukan kepalanya. "Baik, Kak, mohon ditunggu sebentar," ucapnya.
Naura berjalan menuju sebuah komputer untuk mengecek pesanan atas nama Cecilia yang ternyata pesanannya berupa Collete Lola Chocolate Madness, cake ulang tahun yang ditaburi lelehan coklat juga berbagai hiasan lain di atasnya. Setelah mengecek pesanan, ia berjalan menuju lemari pendingin yang terdapat banyak cake di sana dan mencari cake berlabel nama pemesan. Tidak sampai menghabiskan waktu lama, Naura sudah menemukan cake berlabel Cecilia.
Setelah mengambilnya, Naura segera memasukan cake itu ke dalam sebuah kotak. Ia menarik sudut bibir ketika melihat adanya tulisan 'Happy Birthday sayangku' di atas kue itu. Manis sekali, ia berasumsi bahwa Cake itu untuk kekasihnya. Gadis SMA yang sudah memiliki kekasih, masa remaja yang pastinya menyenangkan, bukan?
"Sudah, Kak?" tanya Cecilia.
Naura mengangguk. "Sudah, ini pesanannya. Struknya ada di dalam, ya. Terima kasih."
Tersenyum seraya mengambil alih pesanannya, gadis SMA itu berjalan keluar, meninggalkan Naura yang masih diam di tempat.
Memiliki pekerjaan seperti ini, mengharuskan Naura untuk menjaga senyumnya di setiap waktu. Pelayan yang ramah dan murah senyum adalah kesenangan para pelanggan, bukan? Meski terkadang harinya sedang buruk dan dirinya dalam keadaan tidak baik-baik saja, ia harus tetap tersenyum di hadapan semua orang. Terasa berat, namun itulah tuntutan dalam pekerjaan.
Tidak mau diam saja, Naura berniat menuju dapur, menghampiri Bu Nadia dan ikut membantu di sana. Namun, saat kakinya akan melangkah, tubuhnya terasa lemas, pusing di kepala juga perutnya yang entah kenapa terasa sangat mual. Padahal, saat pagi dan siang tadi, ia baik-baik saja. Hanya pucat saja, seperti apa yang dikatakan oleh sahabatnya.
Semakin ditahan, rasa mual itu semakin menjadi hingga Naura sudah tidak tahan lagi. Dengan segera, ia sedikit berlari menuju toilet yang ada di dekat ruangan tempatnya menyimpan tas tadi.
Ini tidak seperti biasanya. Ini menakutkan. Ini membuat Naura khawatir dengan tubuhnya. Sampai di toilet, ia memuntahkan apa yang telah ia makan di sana. Cukup lama, bahkan hingga tubuhnya terasa sudah tak memiliki tenaga sedikitpun.
Tuhan... ada apa dengan dirinya?
Apa yang salah?
"Naura? Kamu baik-baik saja?" tanya Bu Nadia dari luar, yang khawatir karena mendengar suara Naura dari dalam toilet sana.
"Aku baik-baik aja, Bu," sahut Naura, yang kini sudah mulai membersihkan mulutnya.
Jangan heran, selain merasa tidak enakan, Naura juga selalu membohongi semua orang atas bagaimana keadaan tubuhnya. Ia selalu berpura-pura untuk tetap terlihat baik-baik saja, meski pada kenyataannya, ia tengah berantakan. Bahkan sangat berantakan. Tidak ada alasan lain selain ia yang tidak ingin terlihat lemah dan tidak mau orang di sekitarnya ikut repot hanya karena dirinya.
Naura memang senaif itu.
"Yang benar? Kedengarannya kamu memuntahkan sesuatu yang banyak dari perutmu. Kamu butuh sesuatu?" tanya Bu Nadia lagi, namun Naura tetap menolak dan bersikeras mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan tidak membutuhkan apa pun.
"Aku baik-baik aja, Bu."
"Baiklah, kalau butuh sesuatu, bilang aja."
Memastikan bahwa Bu Nadia sudah pergi dari depan pintu toilet, Naura baru bergerak membuka pintu dan keluar dari sana. Bersamaan dengan itu, ia mnegelap mulutnya yang basah menggunakan tisu. Tanpa memedulikan rasa pusing dan lemas dari tubuhnya, Naura kembali berjalan ke depan, karena ia melihat ada pelanggan di sana. Pelanggan yang tengah berbincang dengan Bu Nadia.
"Kamu oke, Naura?" tanya Bu Nadia.
Naura menganggukkan kepalanya. "Oke, Bu," jawabnya.
"Kalau begitu, kamu layani dulu Mas ini, saya mau ke dapur, cek oven."
Naura kembali mengangguk. "Baik, Bu."
Melihat Bu Nadia berjalan menuju dapur, Naura beralih menatap seorang laki-laki yang mengenakan masker juga penutup kepala. Kelihatannya sangat misterius, membuat Naura sedikit merasa takut di tempatnya. "Ada yang bisa saya bantu, Kak?" tanya Naura.
"Saya cari cake ulang tahun yang sudah siap, ada?" ucap laki-laki itu.
Pandangan Naura beralih, melihat lemari pendingin dan meneliti setiap kue yang ada di sana. Mencari sekiranya masih ada kue yang belum berlabel di sana. Selang beberapa detik, matanya kembali mengarah ke laki-laki di depannya. "Ada, tapi hanya tersisa dua varian saja, Kak. Blackforest sama Red Velvet."
Naura tidak tahu apakah laki-laki itu dapur, menghampiri Bu Nadia dan ikut membantu di sana. Namun, saat kakinya akan melangkah, tubuhnya terasa lemas, pusing di kepala juga perutnya yang entah kenapa terasa sangat mual. Padahal, saat pagi dan siang tadi, ia baik-baik saja. Hanya pucat saja, seperti apa yang dikatakan oleh sahabatnya.
Semakin ditahan, rasa mual itu semakin menjadi hingga Naura sudah tidak tahan lagi. Dengan segera, ia sedikit berlari menuju toilet yang ada di dekat ruangan tempatnya menyimpan tas tadi.
Ini tidak seperti biasanya. Ini menakutkan. Ini membuat Naura khawatir dengan tubuhnya. Sampai di toilet, ia memuntahkan apa yang telah ia makan di sana. Cukup lama, bahkan hingga tubuhnya terasa sudah tak memiliki tenaga sedikitpun.
Tuhan... ada apa dengan dirinya?
Apa yang salah?
"Naura? Kamu baik-baik saja?" tanya Bu Nadia dari luar, yang khawatir karena mendengar suara Naura dari dalam toilet sana.
"Aku baik-baik aja, Bu," sahut Naura, yang kini sudah mulai membersihkan mulutnya.
Jangan heran, selain merasa tidak enakan, Naura juga selalu membohongi semua orang atas bagaimana keadaan tubuhnya. Ia selalu berpura-pura untuk tetap terlihat baik-baik saja, meski pada kenyataannya, ia tengah berantakan. Bahkan sangat berantakan. Tidak ada alasan lain selain ia yang tidak ingin terlihat lemah dan tidak mau orang di sekitarnya ikut repot hanya karena dirinya.
Naura memang senaif itu.
"Yang benar? Kedengarannya kamu memuntahkan sesuatu yang banyak dari perutmu. Kamu butuh sesuatu?" tanya Bu Nadia lagi, namun Naura tetap menolak dan bersikeras mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan tidak membutuhkan apa pun.
"Aku baik-baik aja, Bu."
"Baiklah, kalau butuh sesuatu, bilang aja."
Memastikan bahwa Bu Nadia sudah pergi dari depan pintu toilet, Naura baru bergerak membuka pintu dan keluar dari sana. Bersamaan dengan itu, ia mnegelap mulutnya yang basah menggunakan tisu. Tanpa memedulikan rasa pusing dan lemas dari tubuhnya, Naura kembali berjalan ke depan, karena ia melihat ada pelanggan di sana. Pelanggan yang tengah berbincang dengan Bu Nadia.
"Kamu oke, Naura?" tanya Bu Nadia.
Naura menganggukkan kepalanya. "Oke, Bu," jawabnya.
"Kalau begitu, kamu layani dulu Mas ini, saya mau ke dapur, cek oven."
Naura kembali mengangguk. "Baik, Bu."
Melihat Bu Nadia berjalan menuju dapur, Naura beralih menatap seorang laki-laki yang mengenakan masker juga penutup kepala. Kelihatannya sangat misterius, membuat Naura sedikit merasa takut di tempatnya. "Ada yang bisa saya bantu, Kak?" tanya Naura.
"Saya cari cake ulang tahun yang sudah siap, ada?" ucap laki-laki itu.
Pandangan Naura beralih, melihat lemari pendingin dan meneliti setiap kue yang ada di sana. Mencari sekiranya masih ada kue yang belum berlabel di sana. Selang beberapa detik, matanya kembali mengarah ke laki-laki di depannya. "Ada, tapi hanya tersisa dua varian saja, Kak. Blackforest sama Red Velvet."
Naura tidak tahu apakah laki-laki itu mendengar ucapannya atau tidak, yang pasti, sampai beberapa saat laki-laki itu tidak menjawabnya. Hanya diam sembari... memerhatikannya. Hey, siapa dia? Kenapa dia melihatnya seperti itu?
"Kak?" tanya Naura lagi.
Laki-laki itu masih diam dengan mata yang masih memerhatikan Naura, yang mana hal itu membuat Naura semakin kebingungan di tempatnya. Apa ada yang aneh dengan penampilannya, atau ada yang salah dengan ucapan atau sikap dan perilakunya?
Naura benar-benar kebingungan, hingga laki-laki itu mnegatakan sesuatu yang membuatnya semakin bingung.
"Saya tahu kamu," ucap laki-laki itu.
Kening Naura mengerut. Dia mengenalinya? Dia tahu tentangnya? Siapa dia?
"Kamu siapa?" tanya Naura memberanikan diri. Senagai pelayan, tentunya itu pertanyaanyang tidak sopan kepada pelanggan, namun Naura benar-benar sudah penasaran.
Alih-alih menjawab, laki-laki itu malah membuka masker putih yang dikenakannya.
Membuat Naura sedikit terkejut dan spontan mundur satu langkah. Naura ingat laki-laki itu. Ia sering melihatnya.
Dia... laki-laki yang sering memerhatikannya dari kejauhan akhir-akhir ini.
Siapa dia sebenarnya?
Kenapa dia menghampirinya kemari?
Dengan niat awal yang entah memang tengah mencari cake ulang tahun atau hanya alibi untuk menghampirinya. Bukannya terlalu percaya diri atau berpikir berlebih seperti itu, Naura hanya berasumsi saja setelah apa yang ia lihat dari laki-laki itu kemarin-kemarin.
"Kamu siapa?" tanya Naura lagi, dengan kening yang mnegerut dalam.
"Saya Bagas," jawab laki-laki itu.
Namanya Bagas. Sekarang Naura harus menanyakan apa maksud dari laki-laki itu.
"Maksud kamu apa?" tanyanya.
"Maksud yang mana? Maksud ucapan bahwa saya tahu kamu aau maksud mengapa saya memerhatikan kamu akhir-akhir ini?"
Nyatanya, Naura penasaran dengan alasan keduanya. Dari mana dia tahu tentang dirinya? Dan kenapa bisa dia melakukan hal yang mencurigakan seperti itu?
"Dua-duanya," jawab Naura. Ia kembali melangkah maju satu langkah, merasa sudah tenang dan ingin mendengar jawaban laki-laki itu dengan jelas.
Berbeda dengan Naura yang mengerutkan keningnya, Bagas malah terlihat biasa saja di tempatnya. Iya, karena tidak ada yang membuat bingung laki-laki itu. Setelah diam beberapa saat, Bagas menghela napasnya pelan. Mulai mengatakan apa yang ingin ia katakan kepada perempuan di hadapannya itu. "Saya tahu kamu, karena saya melihat kamu keluar dari rumah kosong malam itu."
Deg...
Naura menelan ludahnya susah payah. Ia tercekat mendengar ucapan Bagas yang ia sendiri bisa tahu rumah kosong dan malam yang dimaksud cowok itu. Kenapa dia bisa tahu? Padahal, seingat Naura, keadaan sekitar di rumah kosong pagi itu sangat sepi dan ia tidak melihat ada orang di sana. Lalu, kenapa Bagas bisa melihatnya? Apakah ... dia juga tahu tentang kejadian mengerikan itu?
"K-kenapa kamu bisa tahu?" tanya Naura terbata-bata, ia mulai gugup dan ketakutan. Takut karena kembali mengingat kejadian mengerikan itu dan takut kalau ternyata Bagas mengetahui semuanya.
"Sebelumnya saya minta maaf. Saat itu saya memang akan pergi ke rumah di mana tempat kamu keluar, dan saya tidak sengaja melihat kamu keluar dari sana dengan... keadaan yang berantakan."
Kali ini, Naura menahan napasnya. Ia gugup, takut, dan rasa malu mulai menyerangnya. Bagas juga melihat bagaimana penampilannya saat itu yang Naura sendiri pun mengakui bahwa keadaannya memang benar-benar berantakan.
"Naura, perlu kamu tahu bahwa saya ini teman Regan, laki-laki brengsek yang sudah merusak kamu malam itu. Alasan saya memerhatikan kamu akhir-akhir ini, karena ada sesuatu yang ingin saya bicarakan kepada kamu. Bagaimana? Kamu mau bicara dengan saya?"
Ada dua hal yang membuat Naura terbangun pagi ini, di jam yang masih menunjukan pukul empat pagi. Pertama, karena mimpi buruk itu lagi, dan yang kedua karena rasa mual yang kembali datang hingga mengharuskan cewek itu berlari menuju kamar mandi kecilnya. Dan ya, sama seperti kemarin ketika ia berada di toko kue, lagi-lagi Naura memuntahkan isi perutnya.
Tuhan... ada apa dengan tubuhnya?
Kenapa ia bisa mual dan muntah separah ini?
Naura kembali ke kamarnya dengan tubuh yang sama lemasnya seperti kemarin. Ia menyembunyikan diri di bawah selimut, memiringkan tubuhnya dan menjadikan kedua lengannya sebagai bantalan. Pikiran-pikiran negatif yang selalu menghantuinya akhir-akhir ini kembali terbesit, ditambah dengan keadaan tubuhnya yang semakin menandakan bahwa kemungkinan itu memang sudah pasti adanya.
Selain dihantui mimpi kejadian mengerikan itu, Naura juga selalu bermimpi bahwa ia tengah ... hamil. Iya, Naura selalu memimpikannya. Entah mimpi mual dan muntah-muntah, entah mimpi sudah ke dokter dan dinyatakan hamil, entah mimpi Melody mengetahui kejadian itu dan kehamilannya, mimpi perutnya yang tiba-tiba sudah membesar, atau bahkan Naura juga pernah mimpi bahwa ia sudah memiliki anak kecil dalam hidupnya.
Dalam situasi kehidupannya yang sekarang, mimpi yang menurut sebagian orang membahagiakan itu terasa menakutkan bagi Naura. Bukan hanya karena dia belum siap, melainkan faktor-faktor lain juga menjadi alasannya. Seperti hidupnya yang masih serba kekurangan dan ... ia yang belum memiliki seorang suami.
Siapa pun tahu, memiliki anak tanpa seorang suami merupakan sesuatu yang amat mengerikan, bukan? Menyedihkan dan aib bagi setiap orang.
Selain kenyataan mengenai kejadian itu, kejadian di mana Naura diperkosa, kejadian di mana menyatakan bahwa Naura sudah melepas keperawanannya, kejadian di mana bisa saja membuatnya hamil, sampai detik ini Naura juga belum kedatangan tamu bulanan yang mana seharusnya sudah datang sejak dua minggu yang lalu. Itu artinya, Naura sudah telat dua minggu.
Sudah semakin akurat saja, bukan? Semua itu membuktikan bahwa mau tidak mau, siap tidak siap, Naura harus menerima kenyataan kalau ia memang tengah hamil. Entah ketika ia hanya menduganya, atau ketika seorang dokter yang memeriksa tubuhnya yang mengatakan itu.
Naura sadar, sepertinya kenyataan menyedihkan itu tidak bisa ia hindarkan dalam hidupnya. Ia tidak bisa terus terpuruk dalam keadaan seperti ini, di mana pikirannya merasa tidak tenang karena ketakutan itu. Tidak mau terus menerus seperti itu, Naura memutuskan bahwa setelah selesai kuliah siang nanti, sebelum pergi ke toko, ia akan pergi ke dokter terlebih dahulu.
Untuk memeriksa tubuhnya dan demi kepastian dari rasa takutnya.
Masa bodoh dengan apa yang akan ia dengar dari dokter nanti, yang pasti Naura memang harus segera memastikannya. Apa pun itu.
Jam sudah menunjukan pukul lima pagi, Naura beranjak ketika ponselnya berdering, tanda bahwa alarm yang ia pasang sudah waktunya berbunyi. Setelah mematikannya, Naura tidak langsung kembali meletakan ponsel itu, tetapi beralih membuka aplikasi hijau tempat bertukar kabar di sana. Ada beberapa pesan, dari grup kelas, dari Melody, juga nomor asing yang sudah Naura ketahui siapa orangnya.
Pesan yang pertama ia buka adalah pesan dari Melody. Pesan yang diakhiri oleh stiker yang membuat Naura penasaran dengan pesan apa yang Melody kirimkan sebelumnya.
Melody:
Ra? Besok kita sarapan bareng, ya? Biasa, lo harus jadi juri dari hasil masakan gue besok. Gue belajar masak lagi.
Seperti itulah pesan dari Melody. Tanpa berpikir lama, juga kebetulan Naura yang sedikit malas untuk membuat sarapan pagi ini, ia langsung membalas dan mengiyakan ajakan Melody.
Naura:
Siap laksanakan. Tapi gue harus ngasih penilaian jujur atau gimana, nih, sama rasa masakannya?
Sudut bibir Naura terangkat ketika mengirimkan pesan itu. bukan tanpa alasan mengapa ia mengetiknya, pasalnya, terakhir kali Naura merasakan masakan Melody, ia sakit perut bahkan sampai dua hari. Bukan karena tidak enak, melainkan karena terlalu pedas di lidah dan perutnya. Namun meski demikian, Naura tidak pernah menolak jika saja sahabatnya itu memintanya untuk melakukan hal yang sama.
Melody sudah sebaik itu kepadanya, dan Naura tidak boleh mengecewakan sahabat satu-satunya itu.
Setelah mengirim pesan ke Melody, Naura kembali ke beranda utama dan menimbang-nimbang untuk membuka pesan dari nomor tak bernama itu. Satu pesan yang sudah bisa ia baca apa isi pesannya.
083XXXXXXXXX:
Gimana? Kamu berkenan biara dengan saya hari ini?
Sudah pasti tahu, kan, siapa orang yang mengirimnya?
***
"Gimana rasanya, Ra?"
Saat ini Naura dan Melody tengah berada di kantin kampus, membeli minuman seraya menyantap makanan hasil masakan Melody pagi ini. Yang katanya dimasak dengan penuh perjuangan. Naura percaya itu, sebab rasanya memiliki peningkatan dari rasa masakannya sebelumnya. Namun, entah kenapa, entah apa yang salah, setelah memakan beberapa suap, perutnya kembali terasa mual, yang mana hal itu membuat Naura terpaksa menghentikan suapan berikutnya.
Melihat apa yang dilakukan oleh Naura, senyum di bibir Melody luntur seketika. Ia mulai bertanya apa penyebabnya. "Kenapa, Ra? Nggak enak, ya?"
"Enak," jawab Naura cepat.
"Terus kenapa nggak dilanjutin? Punya gue udah mau habis, punya lo masih banyak."
Naura bingung harus menjawab apa. Kalau ia menjawab seadanya, bukankah Melody akan curiga? Sudah pasti dia akan bertanya kenapa dirinya bisa mual dan berujung memaksanya pergi ke rumah sakit seperti kemarin-kemarin. Namun, jika tidak menjawab, Naura takut kalau Melody akan memikirkan yang tidak-tidak.
Perlu diketahui bahwa Naura benar-benar menyimpan masalahnya sendirian. Tidak ada yang tahu persoalan kejadian mengerikan itu, juga tidak ada orang yang ia percaya untuk dikasih tahu. Ibunya, sahabatnya, dan orang sekitar, jangan sampai mengetahui hal itu.
Bukan hanya rasa malu saja, Naura menyembunyikan kesedihan itu juga karena tidak mau semua orang khawatir dengan bagaimana kondisi hidupnya, tidak mau dianggap lemah, juga menganggap bahwa ia juga mampu menghadapi semuanya. Meskipun hanya sendirian.
"Gak tahu kenapa, gue... mual, Mel," ucap Naura pelan. Dari pada membuat sahabatnya memikirkan yang tidak-tidak, lebih baik Naura bicara apa adanya saja. Biarlah, kemungkinan setelah ini Melody akan mengucapkan kata-kata panjang juga omelan mengenai dirinya yang ngeyel tidak mau pergi ke dokter.
Tepat seperti dugaan Naura, Melody berdecak di tempatnya. Dia menarik kotak makan yang ada di hadapan Naura, kemudian kembali menutupnya. "Kenapa lo nggak bilang?" tanyanya.
Gadis yang selalu ngomel-ngomel itu menyampingkan tempat makan yang ia bawa, kemudian matanya fokus dengan sahabat yang ada di hadapannya. Naura si cewek keras kepala
yang selalu menganggap dirinya baik-baik saja. Gue nggak mau tahu, setelah selesai mata kuliah, lo harus ke dokter. Gue yang anter, sama Mas Arsen juga. Dan lo nggak bisa nolak kali ini. Kita periksa, apa yang salah sama tubuh lo. Kenapa akhir-akhir ini lo selalu pucet, terus sekarang ditambah mual juga. Gue juga sering liat, lo akhir-akhir ini sering ke mushola-nya. Tanpa kelewat seharipun. Lo... belum datang bulan?"
Seketika tubuh Naura menegang, dengan ludah yang sangat sulit lepas dari kerongkongan. Bahkan, untuk bernapas saja kesulitan.
Bagaimana ini?
***
Naura semakin deg-degan saja rasanya ketika dosen di mata kuliah terakhir mengakhiri pelajarannya. Ia panas dingin. Kepalanya berpikir secara keras, memikirkan alasan apa yang paling bagus untuk menolak ajakan Melody yang sebenarnya tak menerima penolakan itu. Bagaimana caranya ia memberitahu Melody bahwa ia ingin pergi ke dokter sendirian, tanpa mau ditemani siapa pun. Karena sebelum Melody mengajaknya pun, ia sudah memiliki niat untuk pergi ke dokter dan memeriksa keadaan tubuhnya.
Kalau Melody tahu, itu bisa gawat. Bukan hanya bisa, melainkan sangat gawat.
"Gaskan, Ra, suami tampan gue udah di depan katanya," ucap Melody yang baru saja beranjak dari duduknya.
Naura menelan ludah susah payah. "Gue ada urusan, Mel, kayaknya nggak bisa, deh."
Raut wajah Melody mulai berubah, dari berseri menjadi kesal. "Loh, loh, loh, kok? Tadi, kan, lo udah bilang oke."
"Bu Nadia WA gue, katanya gue harus ke toko habis ini." Naura memberikan alasan asal, namun terdengar masuk akal juga. Semoga Melody mau memahaminya.
Mata Melody menyipit, tanda bahwa ia sedikit curiga dengan alasan yang diberikan oleh sahabatnya itu. "Mana sini, Bu Nadia-nya biar gue telepon. Lo lagi sakit, masa iya mau kerja rodi mulu?"
Masalah pekerjaan, Melody memang sudah mengetahuinya. Bahkan sejak Naura masuk hari pertama. Gadis itu juga tahu kalau Naura sering kecapean akibat bekerja sampai larut malam.
Melody ini memang terlalu pemaksa. Bukannya Naura tidak senang dengan sikapnya yang seperti itu, tetapi di keadaan sekarang, Naura benar-benar tidak bisa menerimanya. mendengar balasan dari Melody membuat Naura berdecak pelan di tempatnya, dengan perasaan yang kembali uring-uringan.
"Nggak bisa, Mel, gue harus tetep ke sana. Lo tau, kan, kebutuhan gue banyak, gue takut dipecat kalau nggak ke sana." Naura masih memberi alasan, namun bukan Melody namanya kalau tidak ada bahan untuk jawaban.
"Gue kasih ganti sesuai gaji lo sebulan, asal lo mau ke rumah sakit sekarang." Melody menarik lengan Naura. "Ayolah, Ra, lo bahkan gak datang bulan sampai selama itu. Takutnya lo ada penyakit serius. Kalo dibiarin malah makin bahaya. Pokoknya kita pergi sekarang."
Naura yang tidak bisa menahan, membiarkan tubuhnya ditarik begitu saja oleh Melody. Napasnya mulai tidak stabil, jantungnya tak kalah berdebar. Naura kehilangan jalan untuk menolak. Naura berada di jalan buntu sekarang. Setelah ini, kalau saja semua kekhawatirannya benar, apakah Melody baik-baik saja jika mengetahui kenyataanya? Apakah Melody bisa percaya dengan dirinya atau malah kecewa?
Naura sudah tidak bisa berpikir lagi.
Hingga keduanya sudah sampai di pintu gerbang depan kampus dan suami Melody sudah terlihat di sana. Berdiri di samping sedan putihnya, menunggu Melody yang sampai detik ini masih menarik Naura dengan paksa.
"Mas, kita ke rumah sakit dulu, ya? Naura sakit," ucap Melody kepada suaminya, membuat Naura semakin mati kutu. Seperti orang bodoh yang sudah tidak bisa berpikir lagi.
Sedangkan laki-laki matang yang berada di hadapan Melody dan Naura, laki-laki bernama Arsena yang tidak lain adalah suami dari seorang Melody Cinta, terlihat kebingungan di tempatnya. "Kamu tidak baca pesan saya?" ucapnya kepada Melody.
Melody mengerutkan keningnya. " Memangnya kenapa?"
Arsena menghela napas. "Kita harus ke Makassar setengah jam lagi, nenek kritis."
Tolong, bukannya tidak memiliki empati sedikitpun atau tidak berprikemanusiaa, namun mendengar ucapan suami Melody membuat Naura menghela napasnya lega. Itu artinya, Melody tidak bisa mengantarnya ke rumah sakit, dan yang paling penting gadis itu tidak akan tahu tentang bagaimana kondisi tubuhnya nanti.
Naura menoleh menatap Melody, yang ternyata tengah melakukan hal yang sama dengan dirinya. "Emang dasarnya lo nggak mau dianter sama gue, ya, Ra," ucap Melody dengan nada lesuh.
"Nggak apa-apa, Mel, keluarga lo juga butuh lo di sana. Lo pergi aja, gue masih sehat dan masih bisa ke rumah sakit sendiri. Percaya sama gue," balas Naura.
Melody diam sebentar, sebelum akhirnya ia menghela napas panjang di sana. Bagaimanapun keluarganya juga tengah membutuhkan Melody di sana. Meskipun nenek yang dimaksud bukan nenek kandungnya melainkan nenek dari suaminya, ia harus tetap pergi ke sana. "Maaf, ya, Ra, lo harus pergi sendirian."
Naura menarik sudut bibirnya karena demi apa pun ia sangat senang dengan hal itu. "Nggak apa-apa, Mel, gue masih bisa sendiri. Gue janji gue bakal ke rumah sakit sekarang."
"Awas, ya, kalau bohong!" tegas Melody.
Naura terkekeh seraya menganggukkan kepalanya. "Iya, Iya, Melody. Gih, nanti lo telat."
Melody menganggukkan kepalanya, setelahnya ia berjalan lebih mendekat untuk segera masuk ke dalam mobilnya. "Gue tepatin soal omongan gue tadi, gue kirim nanti."
Tanpa diberi waktu untuk menjawab, Naura menghela napas ketika Melody sudah memasuki mobilnya. Ia tahu dan ia mengerti maksud ucapan Melody barusan, di mana sesuatu yang akan dikirim nanti adalah uang yang Melody sebutkan ketika mereka masih di dalam kelas.
Itu sangat merepotkan. Naura ingin menolaknya dengan keras.
"Naura, sekali lagi saya minta maaf, ya. Melody tidak bisa mengantar kamu. Semoga cepat sembuh," ucap Pak Arsen sebelum ikut masuk ke dalam mobil.
Naura mengangguk seraya tersenyum. Senyumnya bahkan masih bertahan sampai mobil putih itu melesat jauh meninggalkannya. Naura bisa bernapas lega, namun kekhawatirannya belum juga hilang. Sebab, setelah ini ia akan mengetahui sesuatu yang mungkin dapat membuatnya lebih kepikiran dari sebelumnya.
Naura mulai melangkahkan kakinya, namun belum sampai tiga langkah, ia kembali menghentikan langkahnya ketika ada yang menahan lengannya dari belakang.
Naura menoleh, dan ia melihat Bagas di sana. Laki-laki yang kemarin datang ke toko dan membuatnya kebingungan setengah mati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!