Nur Bahira, seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya hanya berada di rumah, merawat anak dan suaminya.
Sore itu, seperti kebiasaannya, dia tengah menata tanaman hiasnya di depan rumah sembari menunggu kepulangan suami dan anak sulungnya.
Tak seperti biasanya, entah kenapa Nur merasa perasaannya tidak enak sejak pagi tadi. Dia selalu gelisah. Berbagai kegiatan sudah dia lakukan untuk sedikit mengurangi kecemasannya itu, tapi tetap saja tak mau hilang.
Bahkan saking khawatirnya terjadi sesuatu pada adik-adiknya dia sampai menghubungi mereka supaya tahu kedua adiknya baik-baik saja.
Tak lama, suara mobil sang suami terdengar berhenti di depan pagar.
Nur dengan senyum terkembang segera berlari untuk membuka pintu seperti biasanya.
Menyambut kedatangan suami dan juga anak sulung mereka yang sering pulang bersama.
Namun, senyum Nur sedikit memudar kala melihat keberadaan sahabatnya— Sisil yang ikut turun dari mobil suaminya.
Tanpa berpikir buruk dia tetap menyambut ketiganya.
"Sisil?" sapa Nur sembari mendekat. Tak lupa dia juga mencium punggung tangan sang suami seperti kebiasannya.
Namun, lagi-lagi ada yang berbeda, biasanya sang suami akan mengecup keningnya setelah dia menyalaminya, tapi kali ini tidak.
"Hai Nur, sibuk?" balas Sisil dengan senyum manisnya seperti biasa.
"Biasalah," balas Nur lalu menatap putri sulungnya yang terlihat berbeda.
"Manda kenapa sayang?" tanya Nur heran.
"Ngga papa Mah, Manda cuma capai, Manda masuk duluan ya," ucap gadis dua puluh tahun itu.
Nur pun mengangguk dan mempersilakan tamu yang merupakan sahabatnya itu untuk ikut masuk.
"Ridho apa kabar Sil? Udah lama aku ngga lihat dia, terkahir kali beberapa bulan lalu."
Sisil kemudian tersenyum canggung sembari melirik suami Nur— Pamungkas.
Nur memperhatikan sikap keduanya, "ada apa sih?" ujarnya sembari mengernyit heran.
Terlebih lagi saat melihat sang suami ikut duduk bergabung. Tak seperti biasanya, yang meninggalkan dia dan sang sahabat untuk berbincang.
Kali ini sang suami yang baru pulang kerja bukannya membersihkan diri, malah ikut menimbrung dengannya.
"Ridho baik Nur. Emm ... Maaf kalau kedatangan aku yang mendadak ya Nur. Ada yang mau kami sampaikan," ucap Sisil tiba-tiba.
"Ada apa sih, kok aku jadi deg-degan ya," jawab Nur sambil berusaha mengenyahkan pikiran buruknya.
Bohong jika Nur tak melihat gelagat aneh suami dan sahabatnya.
Di dalam benaknya, dia berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu.
Enggak Nur, Astaghfirullah hal adzim.
Nur berulang kali terus menggumamkan istigfar dalam hati.
Dia ingin mengenyahkan prasangka buruknya, meski sulit.
Sisil menunduk, entah kenapa ada rasa sungkan mengatakan sesuatu yang justru sejak tadi dia yakini.
Dia yakin setelah ini sang sahabat yang sudah banyak berjasa pada hidupnya, mungkin akan membencinya.
Melihat Sisil menunduk, Pamungkas yang tadi duduk di antara keduanya lantas mendekati Sisil dan segera menggenggam tangan sahabat istrinya.
Pikiran Nur mendadak kosong melihat apa yang di lakukan sang suami terhadap sahabat baiknya.
"Nur ... Izinkan kami menikah," ucap sang suami tiba-tiba.
Tubuh Nur membeku, lidahnya kelu. Hanya air mata yang tanpa persetujuannya meluncur begitu saja.
Di lantai atas, Amanda yang mendengar obrolan orang tuanya, merasa cemas.
Dia takut.
Nur menunduk lalu beristighfar lagi berulang-ulang demi bisa meredakan gemuruh di dalam dadanya.
"Nur maafkan kami, kami saling mencintai," sela Sisil tak tahu malu.
Lagi-lagi Nur tak mampu menjawab, tangisnya semakin kencang.
Dia tak menyangka rumah tangga yang telah di jalani selama hampir dua puluh dua tahun kini diterpa badai yang sangat kencang.
Dia pernah melihat kata-kata di sebuah media sosial yang mengatakan, sebagai seorang istri jangan terlalu mencintai suaminya.
Karena jika nanti kehilangan, sakitnya akan berkali lipat.
Kita tak pernah tahu, suami akan pergi dengan cara apa. Entah di panggil sang kuasa, atau malah di rebut oleh pelakor seperti Pamungkas.
Tak tega melihat istrinya terisak, Pemungkas lantas mendekati sang istri.
"Nur maafkan mas, mas enggak bisa mengendalikan perasaan ini. Mas harap kamu mau mengerti, lagi pula—"
Pamungkas lantas menatap Sisil dan di balas anggukan oleh kekasih gelapnya itu.
"Sisil kan sahabatmu, mas yakin kalian bisa kompak. Mas janji bakal adil sama kalian Nur," sambungnya.
"Benar Nur, aku hanya minta kesediaanmu untuk berbagi, aku janji tak akan tamak, kita akan menjadi kakak dan adik madu yang akur," sambung Sisil.
Pamungkas tersenyum membalas ucapan Sisil yang dia rasa sangat bijak.
Teringat obrolan keduanya sebelum memutuskan untuk meminta izin pada Nur atas rencana mereka.
Sisil bahkan bersedia hanya mendapat jatah dua hari yaitu setiap akhir pekan, kalau nanti Nur meminta bagian waktu lebih pada Pamungkas.
Dia sadar diri karena Pamungkas memiliki anak-anak dari Nur.
Sisil dan Pamungkas tahu, mungkin Nur akan marah dan kecewa saat ini. Namun keduanya sangat yakin jika Nur lambat laun akan menerima kehadirannya, sebab Nur adalah perempuan baik dan berhati lembut.
Tanpa menjawab, Nur bangkit berdiri dan berlalu meninggalkan keduanya.
Amanda yang sejak tadi mendengar obrolan mereka lantas turun dan mendekati sang ibu.
"Mah, mamah enggak akan pisah sama papah kan?"
.
.
.
Lanjut
Sama seperti tadi, Nur memilih meninggalkan putri sulungnya dan berlalu dari sana.
Pamungkas, bukannya mengejar sang istri, justru malah sibuk menenangkan kekasih gelapnya.
Amanda lantas menatap sang ayah dan sahabat ibunya itu bimbang.
"Pah?" panggilnya yang enggan mendekat.
Gadis itu bingung, harus bagaimana menyikapi masalah keluarganya.
Jujur dia tahu sikap sang ayah itu salah, tapi ia tak bisa menyalahkan sikap lelaki yang dia pikir memang seperti itu.
Menurut Amanda, bagi laki-laki wanita cantik adalah segalanya. Begitulah pemahaman yang ia tahu dari teman-teman lelakinya.
Dia tak bisa menyalahkan sang ayah sepenuhnya jika terpikat dengan sahabat ibunya yang selalu cantik dan berpenampilan modis.
Lelaki mana yang tak tertarik dengan Sisil, pikir Amanda, karena sahabat ibunya itu pandai merawat diri.
Sudah berulang kali Amanda menyarankan sang ibu untuk merawat diri dan merubah penampilannya.
Namun Nur selalu menolak dan mengatakan itu semua hanya pemborosan.
Saat dirinya membandingkan sang ibu dengan Sisil, bahkan ibunya itu menjawab jika sahabat ibunya itu wajar berpenampilan menarik sebab dia wanita karir tak seperti dirinya yang hanya seorang ibu rumah tangga.
Jujur bukan hanya sang ayah, bahkan dirinya juga malu dengan penampilan sang ibu yang amat sangat sederhana.
Sungguh tak mencerminkan selayaknya seorang istri Manager.
Bahkan Amanda pernah sangat malu saat teman-temannya mengira ibunya seorang pembantu.
Oleh sebab itu Amanda sudah tak mau lagi membawa teman-temannya ke rumah, karena tak ingin mendengar ejekan teman-temannya tentang sang ibu.
"Manda, maafkan tante ya," ucap Sisil sambil mendekati putri sulung kekasihnya.
Umur Amanda tak jauh berbeda dengan putra sulungnya— Ridho.
Sejak dulu Sisil berharap bisa memiliki seorang anak perempuan agar bisa ia ajak bersenang-senang.
Sayang Tuhan tak mempercayakan hal itu padanya saat bersama suami pertamanya dulu.
Bahkan menurut pandangan masyarakat, memiliki anak lelaki lebih sempurna dari dari pada anak perempuan.
Sisil tak setuju dengan pendapat itu. Menurutnya memiliki anak perempuan adalah sebuah keberkahan.
Jadi, ia sangat menyayangi Amanda karena memang keinginannya untuk memiliki anak perempuan belum juga kesampaian.
Lagi pula memiliki anak laki-laki nyatanya tak bisa membuat suaminya dulu bertahan dengannya dan justru selingkuh dan meninggalkannya.
Sisil sendiri pernah merasakan sakitnya di selingkuhi tapi kini dia melakukan hal itu pada sahabat baik yang sejak dulu selalu menolongnya.
Namun Sisil berdalih jika dia berbeda dengan selingkuhan suami pertamanya.
Dia tak akan merebut kasih sayang dan perhatian Pamungkas pada sahabatnya itu.
Justru dia datang untuk melengkapi kebahagian mereka, pikirnya yang tak masuk akal.
"Tolong jangan buang kami tante," lirih Amanda yang kini terisak takut akan nasib masa depannya.
Sisil yang memang menyayangi Amanda lantas memeluk gadis itu.
"Enggak sayang, justru kita akan melengkapi keluarga kita," jawab Sisil yakin.
Pamungkas juga ikut mendekati keduanya dan memeluk mereka.
"Kita akan jadi keluarga besar sayang, kamu jangan khawatir, kasih sayang dan perhatian papah ke mamah juga ke kamu dan adikmu enggak akan pernah berkurang," sela Pamungkas percaya diri.
"Tapi mamah?" lirih Amanda begitu mereka melepaskan pelukannya.
Sisil mengusap air mata di pipi calon anak tirinya dan menggenggam tangannya.
"Dengarkan tante, kita semua harus membujuk mamah kamu supaya mau membuka hati. Tante tahu saat ini pasti sulit buat mamah kamu terima tante, tapi tante yakin dia akan luruh saat menyadari dampak baik kedepannya," bujuk Sisil.
Amanda tersenyum tipis dan mengangguk. Entah kenapa asal jangan di buang dan di usir sang ayah, dia akan melakukan apa pun.
Ia tak mau seperti temannya yang broken home karena ayah dan ibunya berpisah.
Amanda tak mau keluarganya tercerai berai. Ia yakin sang ibu juga pasti tak mau keluarganya hancur.
Meminta sang ayah meninggalkan Sisil jelas tidak mungkin karena dirinya tahu sang ayah sedang tergila-gila dengan wanita itu.
Lalu pilihan apa lagi yang ia punya selain pasrah dan berharap sang ibu juga mau menerima takdir ini.
.
.
Nur masih menangis tersedu-sedu di dalam kamarnya.
Hatinya sakit bukan main, mendengar permintaan suami dan sahabatnya tadi.
Dia tak mengerti apa yang salah dengannya. Apa kurangnya sebagai seorang istri, pikirannya berkecamuk.
Suara adzan maghrib sayup-sayup terdengar, dengan tubuh yang lemah, dia bangkit dan berniat berwudhu.
Hanya kepada Tuhan ia bisa mengadu. Selama sholat, sekuat tenaga Nur berusaha untuk khusyu.
Setelahnya, tak kuasa dia kembali menangis dan memohon ampunan pada sang pemilik hidup.
Dia mengadukan segala rasa sakitnya. Dia memohon ampun atas segala dosa yang mungkin tak sengaja telah ia lakukan, seperti mencintai sang suami lebih dari pada Tuhannya.
Bahkan dia tak mendengar suara pintu terbuka saking khusunya berdoa.
Pamungkas yang melihat keadaan sang istri tampak kacau pun ikut merasa sedih.
Ia tahu luka yang dia torehkan pada sang istri sangatlah dalam, tapi ia tak mungkin mundur lagi.
Ia tak mau jadi pecundang yang mengingkari janjinya pada Sisil.
"Mah," panggilnya setelah melihat sang istri selesai berdoa.
"Kenapa pah? Apa salah mamah pah? Apa kurangnya mamah?" lirih Nur dengan dada yang terasa sesak.
Pamungkas bersimpuh di depan sang istri dan ikut terisak.
Dia menggeleng, "enggak, mamah wanita sempurna. Papah bangga memiliki mamah yang bahkan mau menemani papah dari nol. Papah yang ngga tahu diri yang tak bisa menjaga hati."
"Maafkan papah mah, tolong terima Sisil. Papah janji akan bersikap adil pada kalian," pinta Pamungkas tak menghiraukan perasaan Nur yang sangat terluka.
"Kalau mamah menolak? Apa papah bersedia meninggalkan dia?" lirih Nur menatap suaminya sendu.
.
.
.
Lanjut
Ketukan di pintu membuat keduanya terdiam. Pamungkas berinisiatif bangkit untuk mengetahui siapa yang mengetuk pintu kamarnya.
"Pah?" panggil putra bungsunya— Bisma.
"Adek? Ada apa?"
"Bisma lapar, mamah mana Pah?"
Pamungkas lantas menoleh kebelakang. Dia bingung hendak mengatakan apa pada putra bungsunya itu.
Nur yang mendengar suara putra bungsunya yang mengeluh kelaparan, segera menghapus air matanya dan mendekati keduanya.
"Adek maaf, ayo mamah siapkan makanan!" ajak Nur sambil merangkul putranya.
Pamungkas sedikit bernapas lega melihat sikap Nur. Dia sungguh sangat kagum dengan Nur yang pandai menyembunyikan perasaannya.
"Mata mamah kenapa sembab? Mamah nangis?" ucap remaja tiga belas tahun itu menatap sang ibu heran.
Nur kemudian tersenyum lalu mengangguk, tak mungkin dia membohongi anak remajanya itu.
"Mamah kangen sama mbah kakung dan mbah uti," dustanya.
"Mamah mau pulang kampung?" pekik Bisma senang.
Mereka menghentikan langkahnya. Terlihat sekali mata remaja itu berbinar saat berpikir jika mereka akan pulang kampung.
"Kan Adek sekolah, gimana sih!" jelas Nur yang membuat senyum putra bungsunya memudar.
"Yah ... Terus mamah mau pulang sendirian gitu? Ngga mau ah," keluhnya.
Nur kembali menggandeng tangan sang putra menuju dapur.
"Belum mamah pikirkan," jawab Nur gamang.
"Nanti aja mah, kalau Bisma sama kakak liburan ya? Kita juga kangen kampung tau!"
Langkah Nur terhenti kala melihat pemandangan di dapur yang kembali menyayat hatinya.
"Nur, Bisma, ayo sini! Aku udah siap-in makan malam loh, maaf, seadanya ya," ucap Sisil tak merasa bersalah.
Sahabat Nur itu bersikap seperti tak terjadi sesuatu pada mereka tadi.
Bisma yang memang mengenal Sisil lantas mendekat menuju meja makan. Remaja itu memang tidak mengetahui masalah orang tuanya tadi sebab dia sibuk bermain game di kamarnya.
"Mah ayo, Sisil udah susah-susah masak buat kita loh!" bujuk Pamungkas.
Pandangan Nur nanar menatap sahabatnya yang sibuk menata makanan di meja makan.
Nur merasa harga dirinya terinjak-injak saat ini. Dia merasa jika Sisil dan sang suami tak menghargai perasaannya.
"Kenapa kamu mengacak-acak dapurku?" tanya Nur dingin.
Mendengar ucapan Nur yang terkesan tak bersahabat, gerakan Sisil terhenti karena terkejut.
"Mah! Apa-apaan sih kamu!" tegur Pamungkas yang tak suka dengan sikap sang istri.
Seperti tadi, Nur pun kembali berbalik dan meninggalkan mereka semua.
Dia pikir Sisil sudah kembali pulang, tapi ternyata tebakannya salah.
Sahabatnya itu justru sudah menunjukan sikap bahwa bisa menggantikannya.
Nur membanting pintu kamarnya lumayan keras. Sesuatu yang tak pernah dia lakukan sejak dulu.
Semarah-marahnya Nur, wanita itu hanya akan menangis dan mengurung diri.
Namun kali ini, karena rasa sakit yang begitu dalam, tanpa sadar dia melakukan sesuatu yang tak pernah dia lakukan.
Pamungkas dan anaknya terkejut bukan main dengan sikap Nur yang tiba-tiba berubah drastis.
"Pah mamah kenapa?" tanya Bisma bingung.
"Bisma, makan dulu ya sama kakak. Biarin mamah tenang dulu," bujuk Sisil yang berusaha mengambil hati anak bungsu sahabatnya.
Dia tahu di antara Amanda dan Bisma, Bisma-lah yang paling dekat dengan Nur.
Sisil tak mau mendapat rintangan dari Bisma jika anak remaja itu kelak menolaknya.
"Mas ayo makam dulu!" ajak Sisil kemudian.
Setelah menghela napas, Pamungkas mengikuti permintaan Sisil untuk mengisi perutnya.
Berhubung dirinya saat itu juga merasa lapar.
"Loh kok tante duduk di situ? Itukan kursi mamah," tegur Bisma tak terima.
Sisil kalang kabut mendengar ucapan anak bungsu kekasihnya itu.
"Cuma masalah duduk Bis, jangan diributin. Lagian mamah juga belum tentu mau makan," sambar Amanda kesal.
"Mamah ngga makan?"
"Bisma, ini cobain deh masakan tante, kata mamah ini makanan favorit Bisma kan?" bujuk Sisil yang tak ingin suasana makan malam mereka semakin buruk.
Terlebih lagi dia sudah sudah susah payah menyiapkan makanan untuk mereka, jadi Sisil tak ingin ada orang lagi yang mengacaukan acara makan malamnya.
"Tapi mamah?" lirih remaja itu cemas.
"Bisma, makan dulu, harga-in dong tante Sisil!" pinta Pamungkas tegas.
Sisil lantas menepuk tangan lelaki itu dan menggeleng, ia tak suka dengan sikap pamungkas yang seperti itu sebab bisa membuat putranya nanti tak suka dengan mereka.
"Bisma makan dulu ya, nanti kita datengin mamah ya?" bujuk Sisil gigih.
Meski merasa aneh dengan sikap papah dan sahabat ibunya, Bisma lantas pasrah dan menurut.
Baru saja makanan itu masuk ke dalam mulutnya, Bisma segera melepehkan lagi makanannya.
"Enggak enak!" ucapnya jujur.
Wajah Sisil memerah menahan malu. Amanda juga mencoba masakan calon ibu tirinya itu dan menghentikan kunyahannya, karena dia setuju dengan sang adik yang mengatakan masakan Sisil memang tak enak.
"Aku ngga mau makan! Aku mau makanan masakan mamah pah!" seru Bisma.
.
.
.
Lanjut
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!