NovelToon NovelToon

Clara : Si Pendiam Yang Di Inginkan Banyak Orang

siapa diriku ini

Aku duduk di tepi ranjang, menatap potret kecil yang terlipat rapi di tanganku. Wajah seorang wanita dengan mata cerah, tersenyum kecil. Sulit menafsirkan usia dan suasananya, sekadar bayangan dari masa lalu yang tak pernah aku kenal.

“Ini dia,” bisikku, mengangkat foto itu. Kertasnya hampir sobek di sudut, warna pudar. “Siapa kamu?”

tangan ku bergetar ketika suara ketukan lembut terdengar di pintu.

“Masuk,” seruku, sembari menyimpan foto itu di bawah bantal.

Pintu terbuka, dan Luna, sahabat yang setia, melangkah masuk. Rambutnya tergerai bebas, cahaya pagi menyentuhnya dengan indah, namun tatapan matanya mengaduk kepedihan dalam diriku.

“Pagi, Ria,” ucapnya, mengernyitkan dahi. “Kamu lagi mikirin foto itu, ya?”

Aku mengangguk pelan.

“Segitu pentingnya sih fotonya?”

“Bukan foto itu,” jawabku, mataku tak lepas dari tatapannya. “Tapi hatinya. Rasanya seolah itu segala yang aku miliki.”

Dia menjangkau, berusaha meraih tanganku.

“Ria, kamu harus lihat ke depan. Ada banyak yang bisa kita jalani bersama.”

“Tapi, Luna,” desisku. “Aku butuh tahu siapa mereka.”

Luna menghela napas. Dia tahu aku takkan pernah puas dengan janji-janji begitu.

“Kamu harap bisa temukan mereka? Setelah sekian lama?”

“Entahlah. Mungkin ini hanya… mimpi,” kataku, meremas kalung kuda laut yang melingkar di leherku.

“Kalung itu terus mengikatmu pada masa lalu. Mungkin kamu bisa mencari tahu lebih banyak.”

“Ya, mungkin.” Pandanganku tertuju pada kalung itu.

Dia mengangkat bahu, lalu duduk di tepi ranjangku.

“Kamu tahu, tidak ada yang lebih kuat dari keinginanmu sendiri. Kita bisa mulai mencari lain waktu.”

“Kita?” Suaraku penuh keraguan.

“Ya! Kita. Kami bisa ke perpustakaan, cari informasi. Siapa tahu ada jejak yang bisa kita temukan,” katanya bersemangat.

Aku tersenyum tipis.

“Kalau kamu mau. Bahaya hidup di kota ku, terutama kalau kita harus mencari tahu identitas orang yang tidak bisa ditemukan.”

“Tak ada yang namanya bahaya kalau kita bersatu. Kita harus berani.”

Aku menatapnya, merasakan getaran semangatnya yang menular.

“Baiklah,” ujarku, berusaha membangkitkan harapan. “Kita ke perpustakaan.”

Luna berdiri, menganggukkan kepala. “Ayo buruan, kita bisa menemukan jejak yang lebih nyata.”

Kami melangkah keluar dari rumah kecilku, sejengkal eksplorasi dunia. Suatu keputusan berani setelah bertahun-tahun tenggelam dalam bayang-bayang.

“Apakah ada yang tahu siapa orang tuaku?” seruku, seolah pertanyaanku bisa menjawab kegelapan.

Dari kejauhan, suara anak-anak berlarian mengisi udara pagi. Mereka berteriak, tawa mereka menghantarkan nostalgia.

“Apa kamu ingat saat kamu baru tiba di tempat ini?” Luna melanjutkan, wajahnya keriput dengan senyuman. “Kita melintasi taman, melihat semua orang berlari.”

“Ya, hari itu cerah,” jawabku, mengingat kembali occasion ketika pertama kali menginjakkan kaki di sini.

“Harusnya ada lebih banyak kenangan, Ria,” ucapnya.

Dia cepat-cepat memutar tubuh saat kami sudah hampir sampai ke perpustakaan.

“Hentikan!” teriaknya, terengah-engah. “Lihat itu!”

Di depan pintu perpustakaan, seorang lelaki tua bertopi, dengan mata dalam kacamata hitam, membaca koran. Setidaknya, itu kesan pertamaku.

“Dia nampak seperti seseorang yang mengetahui semua rahasia,” kataku, tertawa kecil.

"Kamu bercanda? Dia pasti kakek yang suka memperhatikan orang."

“Ya, kita bisa bertanya padanya,” aku menunjuk dia, dan Luna menggigit bibirnya.

"Baiklah, kalau gitu, jangan sia-siakan kesempatan."

Kami melangkah mendekat, dan dia menurunkan korannya, memasang senyum di wajah keriputnya.

“Selamat pagi, anak-anak!” sapanya, suasana cerah membuat wajahnya bersinar.

“Ada yang bisa kami bantu?” Luna bertanya, senyum ceria terpasang.

“Ada apa yang menarik, nak?”

“Um, kami ingin tahu lebih banyak tentang orang tua saya…”

Lelaki itu mendengarkan, matanya tampak penuh pengetahuan.

“Mungkin ada baiknya mencari di arsip. Terkadang, buku-buku tua bisa membantu,” katanya, tersenyum bijaksana.

“Apakah ada yang spesifik?” tanyaku. “Mungkin informasi lebih lanjut tentang anak-anak yang hilang?”

Dia mengangguk, kerutan di wajahnya semakin dalam.

"Benar. Kadang, ada catatan yang tersisa."

Kami melangkah lebih dekat ke dalam perpustakaan, aroma kertas dan debu menyambut kami.

“Kau mungkin harus mencoba mencarinya sendiri. Coba lihat di sudut sana,” tantang lelaki itu, menunjuk ke arah ruang arsip.

Luna menggenggam tanganku, semangat membara di matanya.

“Selamat berjuang!” teriaknya, mendorongku maju.

“Terima kasih,” jawabku, melangkah ke ruang yang lebih gelap.

Kisah tumpuk buku-buku nampak tak berujung, menunggu untuk diungkap.

Aku meraba selembar halaman, memindahkannya dengan hati-hati. Di balik tumpukan itu, satu sejarah mungkin tertegun menanti.

Dia yang ku cari adalah misteri yang terasa nyata. Temukan sisa-sisa mereka, pikirku.

“Ria! Lihat ini!” Luna memanggilku dari seberang ruangan.

Aku melangkah lebih dekat, rasa penasaranku meluap, dan mendapati Luna memegang sebuah buku lusuh. Cover-nya terlihat sangat tua, sudah nyaris tak terbaca.

“Ini tentang orang-orang yang hilang!” dia berbisik, matanya bersinar. “Mungkin ada baiknya kita baca.”

Kami duduk bersisian, membolak-balik halaman demi halaman. Rasa harapan terbangun di antara kami.

“Lihat, ini catatan lama dari anak-anak yang menghilang.”

Satu nama muncul, bagaikan gema masa lalu.

“Apakah ini? Tak mungkin ini kebetulan.”

Kami tertegun. Sebuah kebenaran mungkin sudah menunggu lama.

Luna menggenggam tanganku erat, intensitas harapan mengguyur jiwaku.

“Ria, kita mulai menciptakan kisah kita sekarang!”

Aku menatap kuda laut kecil di dadaku. Seketika, rasanya ada harapan yang mendekat.Luna dengan semangat memindahkan lembaran demi lembaran, matanya menyala saat menemukan nama-nama lain.

“Ada begitu banyak cerita di sini,” lirihnya, menatapku penuh harap. “Mungkin ini membuka jalan untuk kita!”

Matahari sore menyelinap melalui jendela, menambah suasana misterius di ruang itu. Aku merasakan detak jantungku meningkat, rasa penasaran semakin membara.

“Kamu lihat, Ria,” Luna menunjuk salah satu nama. “Semua ini… pasti ada hubungan.”

“Namanya,” gumamku. “Sepertinya sudah biasa kita dengar.”

Dia mengangguk, menekankan bahwa ini lebih dari sekadar kebetulan. Semakin dalam kami menggali, semakin tak berujung labirin informasi yang kami hadapi.

“Sini, lihat halaman ini!” serunya, menunjuk dengan jari telunjuknya. “Ada daftar kontak, alamat… mereka semua berasal dari kota ini.”

Kami memperhatikan setiap detil, mengabaikan waktu yang berlalu. Buku itu memancarkan aura misterius, dan kami mulai mengaitkan potongan-potongan puzzle.

“Kalau kita berhasil menemukan salah satu dari mereka,” bisikku, “mungkin kita bisa mendapatkan lebih banyak informasi.”

Luna menyipitkan mata, berlari di antara informasi yang tersaji. “Harus ada cara untuk melacak mereka. Seseorang pasti bisa membantumu menemukan jejak orang tuamu.”

Satu jam kemudian, ada ikatan kerinduan yang tumbuh di dalam diriku. Di tengah cobaan dan ketidakpastian, kami menemukan harapan dalam tumpukan kertas tua.

“Kami akan menjelajah,” kataku, memantapkan hati. “Mungkin mulai dari alamat ini.”

Mata Luna berkilau penuh semangat. “Lihat, rencananya akan segera terwujud!”

Setelah menjelajahi halaman-halaman kuno, kami meninggalkan perpustakaan membawa teka-teki baru. Angin sore menampar lembut wajah kami saat melangkah ke luar.

“Selalu satu langkah lebih dekat,” kataku, sambil meremas kalung kuda laut lagi. Rasanya seolah benda itu berbicara, memberi petunjuk penting pada setiap detik yang berlalu.

“Apakah kamu siap untuk berkeliling kota?” tanya Luna.

Menyusuri jalanan dengan keyakinan baru, kami melintas di antara kerumunan, berusaha menjalin petunjuk. Kompas harapan telah berputar.

“Dari sini kita harus ke Jalan Jenderal Sudirman,” sahutku, menatap peta yang kami cetak. “Kita bisa mencari siapa pun yang mungkin tahu tentang orang tuaku.”

“Tunggu!” Luna terhenti tiba-tiba dan menyentuh lengan bajuku. “Ada yang lebih menarik!”

Di sudut jalan, seorang nenek duduk di bangku taman, tersenyum ramah. Jalan hidupnya sepertinya dipenuhi cerita tanpa hasil yang pasti.

kuda laut sejuta misteri

“Andai aku bisa menemukan jawabannya,” Clara merenung sambil memainkan kalung berbentuk kuda laut di lehernya.

“Orangtuamu pasti memiliki alasan tersendiri. Kami tidak bisa memaksakan apa yang terjadi di masa lalu.” Luna menatap Clara, matanya berkilau penuh pengertian.

“Ya, tapi aku merasa ada yang tidak beres.” Clara menunduk, lembut menggenggam foto pudar itu. Wajah wajah yang samar di dalamnya menyimpan misteri.

Ria yang duduk di sudut ruangan itu menggeleng, rambutnya yang panjang tergerai ke bawah bahu. “Clara, Luna. Kita harus realistis. Mencari kebenaran tidak semudah membalikkan tangan. Bisa jadi semua ini hanya mimpi.”

“Dan jika itu bukan mimpi?” Clara mendongak, suaranya tegas meski hatinya bergetar. “Bagaimana jika aku sebenarnya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar?”

Luna mengangguk, semangat menyala di matanya. “Kau harus tahu tentang Clara yang sesungguhnya”

“Yang berasal dari mana?” Ria memotong, nada skeptisnya tak terbendung. “Kita hanya mendengar nama-nama, desas-desus, bayangan. Itu tidak cukup untuk membangun cerita.”

“Dia bisa saja anak dari seseorang yang sangat berpengaruh,” Luna bersikeras. “Atau bahkan seperti pangeran dari negeri dongeng. Berani bermimpi bukan salah, Ria.”

“Bermimpi dan berurusan dengan kenyataan itu berbeda,” Ria menjawab, suara datar. “Aku tidak mau kembali ke harapan palsu.”

Clara terdiam, kata-kata Ria menggigit. Mimpi tampak begitu jauh, seolah ditakdirkan untuk dilupakan.

“Mami selalu mengajarkan kalau kita harus berusaha, Clara.” Luna mendekat, meraih tangan Clara. “Jika kau tidak berani, bagaimana kau bisa terbang?”

“Terbang untuk apa?” Ria menyentuh foto itu dengan ujung jarinya. “Satu pengharapan yang jatuh mungkin bisa membuatmu terluka lebih dalam.”

“Kalau begitu, kita harus mencari tahu lebih banyak,” Luna memutuskan. “Tapi Ria, kamu harus berdamai dengan ketidakpastian itu. Kita tidak bisa lari dari apa yang menanti.”

Ria menyilangkan tangan, rautnya tegang. “Mudah bagi kalian berbicara. Tapi Clara, kau harus berhati-hati. Siapa Clara sebenarnya bisa berbahaya.”

“Bahaya?” Clara menggigit bibir, terkejut.

“Ya. Dalam bayang-bayang, banyak orang yang inginkan posisimu—jika semua ini benar.” Ria mengecilkan suara. “Mungkin lebih baik kau tetap di tempat yang aman.”

Clara menggelengkan kepala. “Tetap aman, dengan apa? Menunggu kebenaran datang menghampiri?”

“Kalau begitu, kita perlu mencari informasi lebih jauh.” Luna berpijak pada keputusan. “Mungkin ada tanda atau sesuatu yang bisa mengungkap siapa kau.”

“Seharusnya kita mengetahui lebih banyak tentang kalung ini,” Ria menyuarakan harapan. “Dari mana asalnya?”

“Mungkin ada pemilik toko yang bisa memberi petunjuk,” Clara berusaha memunculkan ide.

“Kalau kita ke toko barang antik, bagaimana?” Luna antusias. “Mereka pasti tahu banyak tentang barang-barang unik. Siapa tahu ada yang bisa dihubungkan ke keluargamu.”

“Jadi, kapan kita pergi?” Clara bertanya, semangat tiba-tiba menyala.

“Besok saja,” Ria menjawab sambil menyiapkan rencana. “Kita bisa melihat dan mendiskusikan apa yang kita temukan.”

Clara tersenyum, detak jantungnya berdenyut cepat.

“Lihat? Semangatmu sudah kembali. Kau hanya perlu menemukan jalan.” Luna menatapnya dengan kehangatan.

“Dan mari kita tidak melupakan terlihat nyaman.” Ria memunculkan senyum tipis.

Clara bernapas lega. Mungkin kebenaran tidak seburuk yang dia bayangkan.

Senyumnya kembali merekah. “Oke. Kita pergi besok. Kuda laut ini pasti memiliki cerita.”

“Kita mungkin bisa menemukan jawaban yang kau cari,” Luna menambahkan, mengedipkan mata.

Ria tertawa kecil, ada harapan baru berpadu dengan keraguan.

“Kalau kita beruntung, mungkin saja.” Ria menanggapi.

“Kita pasti beruntung,” Clara mengulangi.

Dan tiba-tiba, dunia terasa lebih cerah.Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui jendela, menciptakan pola sinar di lantai kayu. Clara berdiri di depan cermin, mengamati bayangannya. Kalung kuda laut itu berkilau di lehernya, seolah memberi dorongan terakhir untuk berani melangkah.

Luna memanggil dari ruang tamu. “Clara! Sudah siap belum? Kita harus berangkat sebelum tempat itu ramai.”

“Ya, sebentar,” Clara menjawab, merapikan rambutnya. Ria muncul di ambang pintu, terlihat santai dalam kaos oversized.

“Ini bukan fashion show, Clara,” kata Ria. “Semua orang di toko ini hanya memikirkan barang-barang antik, bukan penampilan.”

“Tapi penampilan juga penting, Ria,” Luna mencela sambil tersenyum. “Kau tidak pernah tahu siapa yang akan kau temui.”

“Lupakan ‘siapa’,” Clara memotong. “Kita pergi mencari tahu lebih banyak tentang kalung ini.”

Ria menyeringai. “Jika kalung itu memiliki salah satu kekuatan magis, seharusnya kau memintanya menjelaskan siapa orang tuamu.”

Clara menggelengkan kepala, mentertawakan keusilan Ria. Dengan langkah lebar, mereka bertiga melangkah keluar, memasuki hari baru yang penuh potensi.

Toko barang antik itu terletak di sisi jalan yang sepi, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang menutupi sinar matahari. Clara merasakan jantungnya berdebar saat melihat papan bertuliskan “Antiques & Curiosities” dengan cat yang sudah pudar.

Di dalam toko, suasana seolah membawa mereka kembali ke masa lalu. Berbagai barang tertata, dari vas keramik hingga lukisan tua yang penuh debu. Clara melangkah lebih jauh, merasakan aura tiap benda.

Seorang pria paruh baya dengan janggut putih muncul dari balik rak. “Selamat datang! Apa yang bisa saya bantu?”

Clara dan Luna bertukar pandang. “Kami mencari informasi tentang kalung kuda laut,” Clara mulai, menyesuaikan suaranya. “Apakah Anda pernah melihat yang serupa?”

Pria itu mengecilkan mata, melirik kalung yang menggantung di leher Clara. “Kuda laut, ya? Barang antik yang menarik. Banyak mitos di sekitarnya.”

“Seperti apa?” tanya Luna, suara bersemangat.

“Konon, kuda laut melambangkan perlindungan, perubahan, dan kerendahan hati. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa kuda laut memiliki ikatan kuat dengan keluarga,” pria itu menjelaskan sambil menggoyangkan tangan.

Clara menelan ludah. “Keluarga? Apakah ada yang tahu di mana ia berasal?”

Pria itu bersandar di meja kayu, terlihat merenung. “Ada tempat yang dikenal di pedalaman yang mungkin terhubung. Pusat kerajinan yang membuat barang-barang ini. Tapi sudah bertahun-tahun sejak saya mendengar tentangnya.”

“Dari mana tepatnya?” Ria mendorong, mencuri perhatian.

“Di hutan, bisa jadi sekitar dua jam berkendara dari sini. Saya tidak ingat nama spesifik tempatnya.”

Clara merasakan semangat menyala di hatinya. “Kami akan mencarinya. Terima kasih!”

“Jika benar-benar menemui pembuatan kalung itu, catat petunjuknya baik-baik,” pria itu memanggil saat mereka beranjak pergi.

“Selamat tinggal! Terima kasih!” Luna teriak sebelum dorongan pintu menutup.

Di luar, ketiganya melangkah dengan lebih percaya diri.

“Jadi, kita pergi ke pedalaman?” Ria bertanya, ekspresi ragu di wajahnya.

“Tentu saja!” Clara menjawab. “Kalau ini adalah kunci untuk menemukan orang tua, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.”

“Dan juga bisa jadi petualangan seru,” Luna mengimpikan.

“Tentu, sampai kita tersesat di hutan,” Ria membalas datar.

Mereka memutuskan untuk menyewa mobil, mencoba berkomunikasi dengan pebisnis lokal. Jalanan membentang di depan, kabut pagi memberi kesan misterius. Clara merasakan embun pagi melayang di wajahnya.

Bunyi mesin terdengar memecah keheningan saat mereka melaju. Clara mengamati pepohonan berjejer, menyaksikan cahaya menerobos celah di antara dedaunan.

“Clara,” Luna mengalihkan perhatian. “Kau yakin tentang keputusanmu nanti" Clara terdiam tak menjawab.

penelusuran yang sia sia

“Clara, lihat!” Ria terengah-engah, melongok ke dalam etalase berdebu. “Kau tahu ini?”

Clara mengalihkan perhatian, menemukan Ria memegang sebuah jam saku tua.

“Sepertinya jam ini berharga. Apakah kau yakin kita hanya untuk berburu gelang?”

“La la la!” Ria menggoyangkan tangannya. “Ini semua berhubungan, kau tidak mengerti? Jam ini mungkin milik seseorang yang mengenal gelang itu, atau—”

“Ria,” Clara menyela dengan sabar. “Kita tidak dalam misi pencarian barang antik. Kita harus fokus.”

Ria menyentuh gelang di tangannya, menunjukkan dengan semangat.

“Fokus? Bagaimana bisa fokus ketika dunia berkilau ini ada di depan kita?”

Clara menggigit bibir, menahan diri agar tidak tertawa. Perilaku Ria yang ceria mendebarkan suasana yang suram.

“Lihat, kita mencari tahu dari mana gelang ini berasal,” Clara menjelaskan dengan hati-hati. “Kalung tersebut adalah satu-satunya kenangan tentang orang tua—”

“Ah, yang kau sebut orang tua,” Ria memotong dengan anggukan. “Hanya secarik foto dan kalung itu. Kau akan menemukan mereka.”

Lengkung bibir Clara meremuk. “Bisa saja. Tapi aku lebih ingin menemukan kakek atau nenek, atau apalah yang bisa menjelaskan siapa diriku.”

“Mungkin kau sudah terlahir di dalam dunia yang terlalu terasing,” Ria berselancar di antara hiasan dan barang-barang antik yang menunggu untuk dikhayalkan kembali.

Clara mencela diri. “Terasing adalah satu kata yang tepat. Rasanya seperti pergi ke tempat asing tanpa peta.”

Ria menurunkan jam saku dan menempatkan sepasang kacamata di jari telunjuk. “Berani taruhan kita bisa melacak asal-usul gelang ini? Dengar, saat tanganku menggenggam ini, segala sesuatu mungkin terjadi! Ada satu tempat yang mungkin bisa membantu, aku mendengar Sky Corp juga terlibat dalam kembangkan aksesori.”

“Apa kau yakin ingin terlibat dengan mereka?” Clara melirik Ria, yang termotivasi lebih oleh semangat daripada akal sehat.

“Karena tidak ada pilihan lain, kita perlu cara untuk menemukan petunjuk. Lagipula, bisa jadi ada lebih dari sekadar gelang di dalam sana,” Ria menyentuh lengan Clara. “Coba saja.”

Clara tetap tidak bergerak. “Sky Corp bukan tempat main-main. Mereka punya jaringan luas dan bisa jadi mereka tidak senang orang luar mencampuri urusan mereka.”

“Lalu?” Ria menyentuh lehernya dengan beban. “Dalam hidup ini, kita tidak bisa terus menunggu. Melangkahlah, Clara! Kita hanya akan duduk dengan melankolis jika tidak mencoba.”

Clara merasakan ketegangan di antara keduanya. Kenangan ribuan rencana yang tak pernah diterima membuatnya merasa sakit. “Baiklah,” katanya. “Kita coba.”

***

Hari itu melingkupi kota dengan nuansa cerah, tapi langkah Clara berhati-hati. Ria seakan tarian penuh percaya diri di sisi kanannya, bersemangat bahkan saat mereka mendatangi gedung megah Sky Corp. Dinding kaca mencerminkan matahari, memberikan kesan dingin seakan dunia belum siap menyambutnya.

“Tuh kan? Sekilas mungkin tampak mengintimidasi,” Ria menuturkan.

“Language of power,” Clara menjawab sembari memandangi lawang depan. “Berbicara dengan suara yang tidak mau diajak bicara.”

Ria memukul lengannya dan menyalakan semangat. “Ayo! Tanya itu soal gelang!”

Mereka bersatu langkah, mengatur napas sebelum masuk. Lobi yang luas penuh dengan perabotan modern. Beberapa pegawai menatap dan mengesankan presisi melangkah, serupa robot.

“Ria…” Clara mengingatkan, menahan temannya yang hampir berlari menuju receptionist. “Ingat, kita tidak di sini untuk membuat goncangan. Kita mencari info, bukan masalah.”

“Yeah, yeah,” Ria menjawab, tetapi senyum cerah tetap menghiasi wajahnya.

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” suara receptionist memecah keheningan.

Ria menggigit bibir, seakan mempersiapkan permainan kata yang licin. “Kami ingin menanyakan tentang—”

Clara menekankan, “Gelang kuda laut.”

“Gelang kuda laut?” receptionist angkat alis. “Tidak begitu umum.”

“Kami menemukan yang ini,” Clara mengeluarkan gelang, menawarkannya.

Tampaknya receptionist meragukan keaslian gelang itu. Dia bergeser sedikit, memandang gelang seakan berusaha melakukan psikometri. “Kami tidak menyimpan riwayat untuk barang-barang individual kecuali mungkin terkait dengan riset atau koleksi.”

“Fakta-fakta yang bernilai,” Ria menambahkan ceria, “tidak pernah ada yang sia-sia. Apakah kalian pernah melakukan colaborasi dengan designer yang berfokus pada aksesori laut?”

Clara mengatur napas, menyetujui Ria dalam benak.

“Sepertinya, kami baru meluncurkan beberapa rancangan yang terinspirasi oleh tema pantai. Saya tidak tahu lebih jauh. Namun, jika Anda ingin mendaftar, kami perlukan berkas-berkas,” receptionist menjelaskan sambil dengan sigap menyiapkan selembar formulir.

“Berkas pekerjaan?” Clara saling lirik dengan Ria.

Ria sudah mengatur rencana. “Disini! Sudah siap!” Dia menepuk bahu dengan semangat, seolah bait bait yang penuh canda.

“Ria, kamu tidak memikirkan ini—”

“Kita harus mendaftar,” Ria memotong. “Ini salah satu cara terbaik untuk mencari tahu! Kita bisa menyusup di dalam.”

Clara pelek otaknya berpikiran cerdas dengan Ria di sampingnya. “Baiklah, tapi kita juga harus menjejaki gelang.”

“Genggaman di tangan kita," Ria menjawab cepat sambil meraih lembaran formulir. "Kau siapkan dokumen kita dan aku akan mengisi formulir ini.”

Clara bisa merasakan semangat disiplin Ria. “Ayo. Sekarang.”

Ketegangan bergetar seiring langkah mereka. Clara meletakkan gelang kuda laut di atas meja, mengamati segalanya dengan waswas; harap-harap cemas membayangi pikirannya.

“Jika kita tidak menangkap kabel ini,” Clara menandaskan fokus, “berita ini bisa hilang begitu saja.”

Ria menoleh seakan sudah tak sabar. “Apa pun yang terjadi, kita akan melakukannya bersama!”

Clara mengangguk, ada semangat yang diciptakan oleh harapan meski ketidakpastian menyelimuti. Seakan jelas dalam hati, mereka harus menemukan jawaban.

Saat jam berdentang, Clara dan Ria melangkah keluar dari gedung Sky Corp, formulir pendaftaran tergenggam erat di tangan Ria. Sirene kebisingan kota menandakan bahwa mereka kembali ke dunia nyata.

“Ini adalah langkah pertama, Clara! Kita akan mencari tahu siapa yang membuat gelang itu.” Ria bersorak, wajahnya bersemangat.

“Tapi kita tidak tahu apa-apa tentang mereka. Apa yang seharusnya kita lakukan dengan formulir ini?” Clara mengamati kertas yang terlipat di tangan Ria.

“Isi, kirim, dan lihat apa yang terjadi! Sementara itu, aku perlu menjelajahi lebih banyak tentang Sky Corp. Mereka mungkin punya rahasia lain yang belum terpecahkan.” Ria tersenyum lebar saat memikirkan strateginya.

“Bagaimana kita bisa menemukan informasi itu?” Clara bertanya, tidak yakin.

“Gampang! Kita cari tahu siapa yang biasa bekerja di sana, lalu kita dapat guakan media sosial atau situs mereka untuk menyelidikinya. Mungkin ada pesan tentang tema aksesori laut yang mereka bahas, atau bahkan acara peluncuran yang bisa kita datangi.” Ria bersikeras, matanya berbinar.

Clara merasa tidak nyaman dengan cara Ria mengalirkan energi. “Kau tahu, mengakses informasi tidak sedemikian mudah. Jika mereka memiliki penyaring yang ketat, kita bisa terpaksa menabrak dinding. Dan itu bisa berbahaya bagi kita.”

“Tapi kau sendiri bilang, ini adalah satu-satu peluang menjelajahi identitasmu. Dan untuk itulah kita harus berjuang!” Ria mengangkat bahu, terlihat ceria meski tantangan menanti.

Clara menghela napas, pikirannya berputar. “Kau benar. mungkin ada orang yang tahu lebih banyak. Paling tidak kita bisa menggali informasi lebih jauh daripada sekadar mendaftar.”

“Yup! Kita harus ke acara peluncuran produk!” semangat Ria menggebu.

“Apakah kita bisa mendapatkan akses?” Clara ragu, meragukan suara mantap Ria.

“Kalau kita bisa masuk, kita bisa jadi bagian dari banyak orang yang ingin tahu!” Ria menepuk bahunya. “Mari kita rencanakan semua ini.”

Clara membayangkan kerumunan di acara peluncuran. Senyuman kolega dan pembicara yang akrab akan muncul di hadapan mereka sementara dia terjepit di sudut ruang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!