Chris bergegas di antara kerumunan orang yang sibuk di kota Reksa, berusaha menyusul sahabatnya, Toni. Sinar matahari sore membuat siluet bangunan-bangunan tinggi yang menjulang, membuat kerumunan orang tampak bagai bayangan yang bergerak tanpa henti. Suara klakson mobil dan desingan sepeda motor menambah keramaian kota yang sibuk.
"Toni!" teriak Chris, sambil meliuk-liuk di antara para pedestrian. Namun suara nya tenggelam oleh deru suara jalanan. Sahabatnya itu sepertinya tidak mendengarnya, terus berjalan ke depan dengan santainya, sementara Chris berjuang untuk mengejar.
Toni berhenti sebentar, memandang jendela toko yang dipenuhi berbagai barang, memberi Chris kesempatan untuk menyusul. Dengan cepat ia berlari menyusuri trotoar yang padat, menghindar di antara orang-orang, matanya tetap fokus pada sosok Toni yang tinggi dan kurus. Saat Chris hampir menyusul, Toni tiba-tiba belok ke dalam sebuah toko kelontong yang ramai, pintu bergeser menutup di belakangnya.
Chris mengumpat pelan. Ia mendorong pintu toko tersebut, masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi aroma roti panggang dan rempah-rempah yang menggoda. Toko ini kecil dan sempit, dipadati oleh para pembeli. Chris memindai setiap lorong, mencari sosok Toni yang khas dengan rambut merah terangnya.
"Hei, hati-hati!" seru seorang wanita saat Chris hampir menabraknya saat berusaha menyusuri lorong.
"Maaf, Bu," kata Chris, sebelum melanjutkan pencariannya.
Akhirnya, di lorong paling belakang, ia melihat rambut merah Toni yang tidak mungkin salah lagi. Chris menghampiri dengan berhati-hati, meliuk-liuk di antara para pembeli, hingga berdiri tepat di belakang Toni.
"Toni!" panggilnya, meletakkan tangan di bahu sahabatnya.
Toni meloncat kaget dan berbalik, matanya melebar saat melihat Chris. "Chris? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, alisnya berkerut bingung. "Aku pikir kamu akan menemuiku di danau."
Chris merasa sedikit bersalah karena lupa janji mereka sebelumnya. "Aku, ehm, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja," katanya, berusaha bersikap santai.
Ekspresi Toni melunak, dan ia memberikan senyum kecil pada Chris. "Aku baik-baik saja, bro. Hanya membeli beberapa barang untuk perjalanan." Ia menunjuk keranjang di tangannya yang berisi beberapa makanan dan perlengkapan.
Chris mengangguk lega melihat sahabatnya ini aman. "Baiklah, kalau begitu biarkan aku membantu," katanya sambil meraih keranjang dari tangan Toni.
Toni ragu sebentar sebelum akhirnya menyerahkan keranjangnya. Bersama-sama, mereka menuju ke kasir, sementara rencana awal mereka untuk pergi ke danau sejenak terlupakan.
Saat mereka berdiri di antrean, Chris merasa gelisah. Ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Toni, dan ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi, mengubah hidup mereka selamanya.
"Kamu yakin kamu baik-baik saja?" tanya Chris, memperhatikan sahabatnya dengan saksama.
Toni mendongak, terkejut oleh pertanyaan itu. "Ya, aku baik-baik saja. Memang ada yang aneh?"
Chris menggeleng, mencoba mengabaikan perasaan tidak enaknya. "Tidak, tidak ada. Hanya saja, aku merasa seperti ada sesuatu yang ingin kamu katakan padaku."
Toni terdiam sejenak, matanya memandang ke bawah, sebelum akhirnya ia kembali menatap Chris. "Aku hanya berpikir tentang danau itu," katanya pelan. "Ada sesuatu yang tidak beres, Chris. Aku bisa merasakannya."
Chris merinding mendengar nada serius dalam suara Toni. "Apa yang kamu maksud?"
"Kau ingat saat kita memancing di Danau Elips minggu lalu?" Toni memulai. "Saat air mulai surut dengan aneh itu?"
Chris mengerutkan kening, mengingat kembali sore yang tenang itu. "Ya, aku ingat. Angin bertiup kencang dan kemudian air mulai surut, menunjukkan tanah lumpur di dasar danau."
"Ya, dan ingatkah kamu makhluk aneh yang kita lihat?" nada suara Toni menjadi lebih serius. "Makhluk itu terlihat seperti campuran antara ikan dan ular, sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya."
"Ya, aku ingat," kata Chris, perasaan tidak enak dalam perutnya semakin kuat. "Tapi para ilmuwan masih menganalisis sampel DNA-nya, kan? Mungkin itu hanya mutasi lokal atau sesuatu seperti itu."
Toni menggeleng, ragu. "Aku tidak tahu, Chris. Ada sesuatu yang tidak beres. Aku bisa merasakannya dalam tulangku. Dan sekarang, semua penduduk kota sepertinya mempersiapkan diri untuk sesuatu."
Chris memperhatikan sahabatnya, melihat ketegaran dalam matanya. "Kamu pikir akan terjadi sesuatu yang buruk?"
"Aku tidak tahu," jawab Toni, suaranya terdengar putus asa. "Tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Dan aku tidak berpikir kita harus menunggu para ilmuwan untuk memberi tahu kita apa yang terjadi. Kita harus mengambil tindakan, Chris."
Chris merasa jantungnya berdebar kencang saat ia menyadari keseriusan situasi ini. "Ya, mungkin kamu benar. Kita harus waspada dan mempersiapkan diri juga. Tapi mari kita tidak melompat ke kesimpulan yang buruk, ya?"
Toni tersenyum tipis, mengangguk. "Ya, kita harus tetap tenang dan rasional. Tapi tetap waspada."
Saat mereka melanjutkan perjalanan pulang, matahari mulai tenggelam, mencelupkan langit dalam jingga dan ungu yang indah. Sinar hangat memantul dari jendela-jendela gedung-gedung tinggi, memberikan kilasan kehidupan yang sibuk di dalam.
"Kamu pikir para penduduk mempersiapkan diri untuk apa?" tanya Chris, memecah keheningan di antara mereka.
"Aku tidak tahu," jawab Toni, suaranya terdengar khawatir. "Tapi aku mendengar desas-desus tentang persediaan makanan dan air, dan beberapa orang bahkan mulai berkemas untuk meninggalkan kota."
Chris merasa kakinya melemah saat membayangkan skenario terburuk. "Kamu pikir kita dalam bahaya?"
"Aku harap tidak, bro. Tapi kita harus siap untuk segala kemungkinan. Mari kita pastikan kita memiliki persediaan yang cukup dan tetap waspada terhadap berita terbaru."
Saat mereka berbelok ke jalan yang menuju apartemen mereka, Chris menyadari betapa cepatnya sore itu berubah. Yang awalnya hanya rencana santai untuk pergi memancing, kini telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih serius dan mengkhawatirkan.
"Kita harus tetap bersama-sama," kata Chris, merasa lebih baik saat mengatakan hal itu dengan tegas. "Kita akan saling menjaga dan menghadapi apa pun yang terjadi."
Toni tersenyum padanya, ekspresi penuh kasih sayang. "Ya, kita akan saling menjaga. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama."
Matahari telah sepenuhnya terbenam saat mereka tiba di gedung apartemen mereka, meninggalkan langit dalam bayangan biru malam yang gelap. Kota Reksa terlihat hidup, jutaan cahaya berkedip seperti bintang-bintang di langit buatan.
"Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang danau itu," kata Chris, sementara mereka naik ke apartemen mereka di lantai sepuluh. "Ada sesuatu yang terjadi di sana, dan kita tidak bisa mengabaikannya."
Toni mengangguk, matanya dipenuhi tekad. "Besok kita akan memulai penyelidikan kita sendiri. Kita akan menemukan jawaban, apapun risikonya."
Dengan hati yang berat, mereka memasuki apartemen yang nyaman, cahaya hangat dari lampu menerangi ruangan. Malam itu, ketika mereka bersiap untuk menghadapi hari esok, tidak ada dari mereka yang tahu bahwa hidup mereka akan berubah selamanya, dan rahasia Danau Elips akan mengancam tidak hanya kota mereka, tapi juga seluruh dunia.Chris terbangun dari tidurnya, sinar pagi menembus jendela, membuat pola cahaya di dinding kamarnya. Ia memandangi langit-langit sebentar, pikiran-pikiran tentang hari sebelumnya kembali padanya. Perasaan gelisah masih ada, mengganjal di dadanya.
"Kamu sudah bangun?" suara Toni terdengar dari kamar sebelah, membawa secangkir kopi ke dalam kamar Chris. "Aku membuat kopi. Aku pikir kita akan membutuhkannya hari ini."
Chris duduk, menerima cangkir dari sahabatnya. "Terima kasih," katanya, merasakan kehangatan menyenangkan di tangannya. "Aku tidak bisa tidur semalam. Terlalu banyak hal-hal aneh yang terjadi."
Toni duduk di tepi ranjang, matanya tajam. "Ya, aku juga merasakannya. Seperti ada sesuatu yang besar akan terjadi, dan kita tidak bisa hanya duduk dan menunggu."
Chris mengangguk, mengambil minum dari kopinya. "Kita harus mulai mencari tahu tentang danau itu. Mungkin ada laporan atau penelitian yang bisa kita akses, sesuatu yang mungkin tidak tersedia untuk masyarakat umum."
"Ya, dan kita harus mulai berbicara dengan penduduk setempat," sambung Toni. "Mereka mungkin memiliki informasi atau rumor yang bisa membantu kita. Kita tidak bisa bergantung hanya pada sumber resmi."
Chris tersenyum, merasa lebih baik saat mereka mulai mengambil tindakan. "Baiklah, mari kita mulai. Kita akan menjadi detektif dan ilmuwan sipil."
Toni tertawa, sebuah suara yang hangat dan menenangkan. "Ya, tim penyelidik paling hebat yang pernah ada! Tidak ada misteri yang bisa tersembunyi dari kita."
Mereka menghabiskan pagi itu dengan mendalami semua informasi yang mereka kumpulkan tentang Danau Elips. Mereka menyelidiki laporan ilmiah, berita lokal, dan bahkan mencari tahu tentang legenda dan mitos yang terkait dengan daerah tersebut. Petunjuk-petunjuk mulai bermunculan, mengungkapkan kisah yang lebih gelap dan lebih misterius dari yang mereka duga.
"Lihat ini," kata Toni, menunjuk ke layar laptopnya. "Ada laporan tentang aktivitas seismik aneh di sekitar danau beberapa bulan yang lalu. Beberapa ilmuwan menduga ada hubungan dengan perubahan tingkat air."
Chris membulatkan matanya. "Aktivitas seismik? Kamu pikir ada hubungannya dengan makhluk aneh yang kita lihat?"
Toni mengerutkan kening. "Mungkin. Laporan ini menyebutkan bahwa ada beberapa pembacaan aneh, tapi tidak ada yang bisa menjelaskan penyebabnya. Kita harus menyelidiki lebih lanjut."
Mereka memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan kota, tempat yang menyimpan banyak arsip dan laporan ilmiah. Di tengah tumpukan buku dan manuskrip yang berdebu, mereka mencari petunjuk yang bisa membantu memecahkan misteri Danau Elips.
"Ini menakjubkan," kata Chris saat mereka menemukan laporan lama yang mendetail tentang ekspedisi ilmiah ke danau beberapa dekade yang lalu. "Laporan ini mendokumentasikan berbagai temuan aneh, termasuk spesies tumbuhan dan hewan yang tidak diketahui."
Toni menyela, "Dan lihat ini, ada peta danau dengan beberapa lokasi yang ditandai. Mungkin ini tempat-tempat yang dianggap penting oleh tim ilmiah."
Mereka menghabiskan berjam-jam mengorek informasi, membuat catatan, dan menandai petunjuk potensial. Semakin banyak mereka gali, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang sangat misterius dan mungkin berbahaya yang terkait dengan Danau Elips.
"Kita sepertinya sedang menyelidiki sebuah novel misteri," komentar Chris saat mereka istirahat sebentar untuk makan siang.
Toni tersenyum tipis. "Iya, dan aku merasa kita baru mengupas lapisan pertama. Ada sesuatu yang besar di sini, Chris. Sesuatu yang mungkin mengubah pemahaman kita tentang dunia ini."
Siang hari, mereka keluar untuk berbicara dengan penduduk setempat, berharap bisa menemukan informasi yang tidak ada dalam arsip resmi. Mereka mulai dengan pemilik warung kopi kecil yang selalu ramah kepada mereka.
"Toni, Chris! Apa kabar, anak-anak?" sapa pemilik warung, seorang wanita berusia pertengahan lima puluhan bernama Bu Ratih. "Dengar, aku rasa kalian berdua mahasiswa pintar, mungkin bisa membantu menjelaskan sesuatu untukku."
Toni dan Chris saling bertukar pandang, mengetahui ini mungkin petunjuk. "Tentu, Bu. Ada apa?" kata Toni.
"Nah, aku dengar banyak desas-desus belakangan ini tentang Danau Elips," kata Bu Ratih, menurunkan suaranya seolah berbagi rahasia. "Orang-orang berbicara tentang perubahan aneh, dan beberapa nelayan yang melihat hal-hal yang tidak bisa dijelaskan."
Sinar matahari perlahan meredup di balik pepohonan, menciptakan bayang-bayang panjang di sepanjang jalan setapak menuju Danau Elips. Chris melangkah cepat, menggandeng tas pancingnya, sementara Toni berjalan di sampingnya dengan raut wajah penuh tekad.
“Ini bukan waktu yang tepat untuk jemur pancing, Toni,” kata Chris, melirik ke arah danau yang tenang. “Kita seharusnya pulang saja.”
“Chris, kita butuh jawaban,” balas Toni, matanya berbinar dengan semangat. “Banyak yang aneh di sini. Kita harus menyelidiki!”
Chris menggigit bibirnya. Beberapa jam lalu, makhluk aneh yang mereka lihat masih menghantui pikirannya.
“Kalau kita menemukan sesuatu yang menakutkan lagi?” Chris bertanya, berhati-hati.
“Kalau tidak berani, kita tidak akan tahu,” Toni bersikeras, melanjutkan langkahnya. Keduanya berhenti di tepi danau, menatap air yang tampak makin surut. Tanah berlumpur terbuka, memperlihatkan cerita kelam yang belum terungkap.
“Lihat,” Chris berkata sambil menunjuk ke arah air. “Tingkat airnya lebih rendah dari sebelumnya.”
Toni mengerutkan dahi, memperhatikan bagian tanah yang terpapar. “Semakin cepat.”
Malam mulai menjelang, Toni mengambil keputusan. “Kita harus mendirikan kemah di sini. Mungkin kita bisa melihat makhluk itu lebih dekat.”
“Bisa saja kita menjadikannya sebagai sasaran. Terus, apa rencananya?” Chris bersikeras, kegelisahan terpancar dari wajahnya.
“Cubalah berpikir positif! Ini kesempatan kita. Kita tidak akan tahu jika kita tidak mencoba,” kata Toni dengan mata penuh harapan.
Chris mengangguk pelan meski dalam hati masih ragu. Mereka mulai merapikan perlengkapan kemah dengan gerakan cepat. Saat mereka menancapkan tiang, angin malam ikut berbisik, menambah kesan mencekam di sekitar mereka.
“Malangnya tenang, kan?” ucap Chris sambil mencari kayu bakar.
“Kita bisa lihat lebih jelas nanti. Ayo, siapkan api unggun!” Toni menjawab penuh semangat.
Cahaya jingga dari api unggun mulai menghangatkan suasana, setidaknya bagi Chris. Namun, kegelapan masih menyelimuti danau dengan sirene kesunyian yang berat.
“Dengar, Chris,” kata Toni sambil menggenggam lengan sahabatnya. “Kadang-kadang, hal yang kita takutkan itulah yang memiliki jawaban.”
Chris terpaku, mulutnya bergetar. “Tapi bagaimana jika makhluk itu datang lagi? Kita tidak siap.”
“Kita harus siap. Tidak ada jalan keluar dari ini. Kita harus menghadapi ketakutan kita,” tegas Toni.
Mereka duduk berhadapan di depan api, memandangi permukaan air yang gelap. Dalam keheningan yang berat, Chris melihat bayangan melintas. Detak jantungnya menggebu.
“Saya merasa seperti kita sedang diawasi,” bisik Chris, matanya menyusuri permukaan danau.
Toni mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita tidak sendirian di sini. Tahan rasa takutmu.”
Derak kayu membuat Chris melompat, sementara Toni hanya mengerutkan dahi. “Dengar itu?”
“Ya,” Chris berbisik, menahan napas. Suara aneh menggema, seolah berasal dari kedalaman danau.
“Seram. Mau lihat dari dekat?” tantang Toni dengan nada antusias.
Chris menatap sahabatnya, menggelengkan kepala. “Kita tidak bisa. Itu… itu mengerikan.”
Tetapi rasa ingin tahunya bergelora, dan dia bergerak perlahan menuju tepian.
“Chris!” seru Toni, tapi Chris sudah terlalu dekat dengan air.
Kedua mata mereka tiba-tiba berbinar saat melihat cipratan di kejauhan. Chris menahan napas, merasakan ketegangan.
“Adakah sesuatu di sana?” bisik Toni, berusaha menahan kegembiraannya.
Chris mengambil napas dalam-dalam. “Sesuatu bergerak… di bawah permukaan.”
“Tunggu, aku ambil senter!” Toni melompat, berlari ke arah tas mereka.
Chris tetap fokus pada air yang beriak, harap-harap cemas.
Toni datang dengan senter, menerangi area gelap. “Siap…”
Sinar terang menembus kegelapan, memperlihatkan bayangan muncul dari dalam air. Gumpalan yang bercampur, seolah makhluk aneh itu bergerak lambat.
“Ah!” Chris melompat mundur, tangan menutupi mulutnya.
“Tidak! Jangan mundur! Kita perlu melihat lebih jelas!” Toni memanjangkan leher, tiada tanda ketakuan.
Makhluk itu, gabungan antara ikan dan reptil, mendekati cahaya. Mata besar berkilauan memandang mereka, seolah juga menyelidiki.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang,” Chris menggenggam tangan Toni. “Kita… kita harus pergi dari sini!”
Toni menghadapi makhluk itu, rasa ingin tahunya mengalahkan naluri pelarian. “Tidak, kita tidak bisa pergi. Ini informasi yang kami butuhkan!”
Beberapa detik berlangsung seperti selamanya. Lalu, Chris menyadari gerakan lain di air. Sebuah kerumunan makhluk kecil menyerupai belut, tampak gelisah di samping makhluk besar itu.
“Yang ini… banyak…” suara Chris bergetar, menggenggam lengan Toni lebih erat. “Kita benar-benar tidak sendirian.”
Toni tidak menjawab, fokus pada bayangan di permukaan. Dalam sekejap, si makhluk dengan cepat berputar, terhalang cahaya.
“Chris,” bisik Toni, wajahnya tanpa ekspresi, “kita harus kembali ke kemah.”
Keduanya mundur, kembali ke zona aman di belakang tenda. Toni mengunci ritsleting, menatap dalam kegelapan.
Mereka duduk dalam diam yang mencekam, jantung keduanya berdetak cepat.
“Malam ini tidak akan diingat dengan baik,” gumam Chris.
“Cukup dua orang untuk menggali rahasia ini. Siapa yang tahu makhluk itu bisa mengajari kita lebih banyak?” Toni mengangkat wajah penuh harapan, meski ketakutan menggulung.
Chris memandangi Toni, merasakan kehangatan sahabatnya. “Kalau kita membawa pulang informasi ini...”
"Akan berkali-kali lipat lebih baik," sahut Toni, semangat kembali menyala.
Tetapi rasa lelah menggeser semangat mereka, membuat obrolan mereda. Keduanya berusaha tidur, meski suara dari luar kian menarik perhatian mereka.
“Mendengarkan suara itu bikin tambah ragu. Apa yang sebenarnya kita temukan?” Chris akhirnya bertanya.
“Hal aneh pasti memiliki alasan. Kita harus cermat,” jawab Toni.
Mereka berdiskusi sambil mengingat sembari merenungi misteri danau malam itu.
Rasa penat mengalahkan rasa ingin tahu, keduanya terlelap. Hanya nyala api yang menyisakan kehangatan perangai malam.
Saat fajar mulai menjelang, cahaya pertama menyelinap ke bawah tirai tenda. Chris dan Toni membuka ritsleting, merasakan dinginnya udara pagi.
“Wow, kita hampir tidak tidur sama sekali,” Chris berkata dengan nada lelah.
“Ya, tapi sekurangnya kita mengetahuinya,” Toni menjawab, matanya berbinar meski wajahnya tampak letih.
Mereka melangkah keluar, melihat Danau Elips yang kembali tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, benak keduanya dipenuhi banyak pertanyaan. Keanehan lainnya menanti mereka, dan perjalanan ini baru saja dimulai.Di luar tenda, embun pagi mendinginkan udara, menambah kesegaran suasana. Chris menghela napas dalam-dalam, aroma tanah basah dan air danau menyentuh inderanya.
“Apakah kamu melihat ke permukaan?” tanya Toni sambil memandang ke arah danau. “Aura itu terasa berbeda, bukan? Sejak kemarin.”
“Mungkin hanya tipuan mata,” Chris menjawab pelan, namun hatinya meragukan ucapannya sendiri.
“Mari kita periksa lagi,” ajak Toni, bergegas menuju tepian danau, langkahnya mantap. Chris mengikuti, meski jantungnya berdegup kencang.
Di tepi danau, air yang tenang kembali memantulkan langit biru, tetapi bayangan kemarin masih menyelimuti pikirannya.
“Apakah kamu merasa tenang di sini?” tanya Toni, menaruh tangannya di samping, bersandar pada batu besar.
“Entah kenapa, segala sesuatu terasa aku ditonton,” Chris berbicara jujur. “Semestinya kita pergi ke kota reksa saja.”
“Tidak. Seseorang perlu tahu apa yang terjadi di sini. Siapa tahu ada yang bisa kita selamatkan?” wajah Toni bersinar, penuh semangat.
Chris menoleh, memeriksa area sekeliling. “Maksudmu, untuk melaporkan makhluk itu? Toh, jika kita bilang yang sebenarnya, mereka pasti menganggap kita gila.”
“Belum tentu,” jawab Toni. “Bagaimana jika kita menemukan lebih banyak bukti? Kita bisa merekam dan membawa kembali ke kota.“
Kesunyian kembali melingkupi mereka. Chris berdebat, mempertimbangkan risiko dan ganjalan. “Toni… kita harus lebih berhati-hati.”
Sebuah suara dari belakang mengejutkan mereka. “Kalian berencana untuk menjelajahi lebih jauh, ya?”
Keduanya berpaling. Seorang perempuan tua muncul, menatap penuh waspada. Rambutnya putih, dan wajahnya dipenuhi keriput seolah menyimpan banyak rahasia.
“Kamu siapa?” Chris bertanya, mencurigai.
“Saya Petua, penduduk di sekitar Danau Elips,” jawab perempuan itu. “Banyak yang berusaha menjauh dari tempat ini. Namun, kalian terlihat seperti ingin mencari sesuatu.”
“Bisa dibilang begitu,” Toni
Senyum Toni menghilang saat dia melangkah ke jalan setapak kota Reksa. Kota ini tampak normal, seolah-olah tak ada yang terjadi setelah hari panjang di danau elips. Namun, saat dia berjalan lebih jauh, jantungnya berdetak lebih kencang.
“Bisa kamu lihat itu?” Toni menunjuk ke arah sekelompok orang yang berkumpul di depan balai kota.
“Apa?” Chris menempelkan telunjuknya di pelipis, berusaha menangkap pandangan Toni.
“Orang-orang ini… mereka tidak seperti biasanya,” kata Toni sambil mengerutkan dahi.
Chris menatap lebih dekat. “Mereka biasa berkumpul di sini untuk rapat mingguan. Apa yang kau maksud?”
“Mereka tampak… cemas. Kupikir, setelah perubahan iklim yang parah, semua orang mulai terbiasa. Tapi ini berbeda,” ucap Toni, suaranya bergetar pelan.
Chris menggelengkan kepala. “Kau berlebihan. Mungkin berita buruk tentang musim hujan lagi.”
“Coba dengar! Mereka membicarakan sesuatu dengan serius.” Toni melangkah lebih dekat, hampir menyentuh kerumunan itu.
“Keseluruhan dunia berantakan, Toni. Tak ada yang aneh dengan sedikit kecemasan.”
Toni tiba di tepi kerumunan. Dua orang, satu dengan jas terlipat dan lainnya berbaju petani, berdebat. Suara mereka menggema.
“Penghiasan hutan sudah mulai menghilang,” pria bercelana pendek itu menjelaskan. “Danau elips tidak lagi menjadi sumber yang bisa diandalkan!”
“Apa yang harus kita lakukan?” teman itu menimpali, wajahnya pucat.
“Penduduk harus bersatu. Kita perlu mempersiapkan diri. Ini bukan masalah biasa!” suaranya seperti sirene yang menarik perhatian.
Chris menggigit bibirnya dan menatap Toni. “Kepala mereka bersih. Mungkin mereka hanya berlebihan.”
“Tidak, Chris. Ada sesuatu yang salah di sini. Aku bisa merasakan getaran ini,” kata Toni, matanya terfokus pada kumpulan itu.
Pria dalam jas menatap kerumunan. “Jika kita tidak segera bertindak, Kota Reksa akan hancur. Kita tidak bisa berharap perubahan cuaca ini berhenti hanya karena keinginan!”
“Oh, ayolah! Berhentilah menakut-nakuti orang-orang!” teriak seorang pemuda dengan kaos robek, tampak genit. “Kita semua tahu bahwa kita butuh rencana berkelanjutan, bukan hanya teriakan kosong tentang keadaan darurat!”
“Tapi kita sudah kehabisan waktu!” pria dalam jas itu menimpali, gertakannya membara. "Banjir dan kekeringan, berurutan. Ini sudah bukan lelucon."
“Apa yang bisa kita lakukan?” tanya pemuda itu.
Semua orang terdiam, menunggu jawaban. Toni merasakan napasnya sendiri, berat.
“Kita butuh informasi. Kita harus menghubungi semua pemimpin daerah, memikirkan cara.” Pria dalam jas itu melanjutkan, sorot matanya tajam.
“Tapi siapa yang mau mendengar?” gerutu seorang ibu sambil mengelus anaknya. “Mereka pasti sudah hilang akal.”
Chris mengembalikan pandangan ke Toni. “Dengar, ini bukan urusan kita. Ayo cabut saja.”
Toni menggigit bibir bawahnya, bingung. “Tapi Chris…”
“Aku tahu, kau khawatir. Tapi kita sudah melewati badai ini setiap tahun. Ini tak beda jauh.”
“Kadang-kadang, Chris, kau suka terlalu meremehkan. Perubahan bisa lebih cepat dari yang kita kira.” Ucap Toni dengan kesegaran nada.
Chris mengedipkan mata dan melangkah mundur. Dari jauh, mereka melihat kerumunan mulai berpecah. Masing-masing membawa ide dan ketakutan ke rumah.
“Apakah kau akan ikut mereka pulang?” Chris mencoba bercanda, walau bibirnya meringis.
“Aku tidak tahu.” Toni merasakan bunyi detak jantungnya cepat. “Ada sesuatu yang membuatku gelisah.”
Chris melangkah lebih dekat, suaranya menjadi lebih halus. “Kalau begitu, kita harus menyelidikinya.”
“Tapi bagaimana? Kita tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.”
“Kita cari tahu. Tanya penduduk lain. Teman-teman kita di sini.” Chris teliti meninjau sekitar.
“Baiklah,” ucap Toni, mengangguk. Wajahnya bertekad. “Bisa jadi, kita akan menemukan bukan hanya rasa putus asa. Mungkin ada harapan.”
Mereka melangkah lebih jauh. Kerumunan itu menghilang di belakang mereka, membiarkan kesunyian kota menyelimuti kembali.
“Lihat!” Chris menunjuk sebuah meja di sisi jalan, di mana beberapa pedagang menjual sayur dan buah.
“Itu dia!” Toni melihat sekelompok nenek yang berkerumun di dekat meja.
“Mungkin mereka tahu sesuatu,” kata Chris, bersiap mendekat.
“Yuk!” Di sana, di bawah bayang-bayang, mereka menemukan seorang nenek dengan kerudung menghampiri mereka.
“Permisi, nenek,” kata Chris, “apa yang terjadi di sini? Kami mendengar ada yang aneh.”
Nenek itu berhenti, menatap mereka lekat-lekat. “Kota ini… ada sesuatu yang tidak beres. Danaku sudah mengering,” jawabnya pelan.
“Penghiasan hutan itu benar, hmm,” ujar nenek itu. “Kami di sini merasa kehilangan… tidak tahu apa yang akan datang.”
Toni merasakan galau. “Apa langkah selanjutnya?”
Nenek itu mengambil napas dalam-dalam. “Kami harus waspada. Kita harus bersiap.”
“Bersiap untuk apa?” tanya Chris, suara menegangkan.
“Untuk yang terburuk,” jawab nenek.
Sejenak, suasana sunyi. Toni menatap wajah nenek itu, mencaritahu cara berpikirnya.
“Ya, kita bisa menyatukan semua kekuatan,” Toni akhirnya bersuara. “Mungkin kita bisa membuat sesuatu, entah itu untuk bersatu dalam tim.”
Nenek itu tersenyum miris. “Harapan tidak akan merusak kita, nak. Mungkin… jika kita semua berkumpul, kita bisa melakukan sesuatu.”
Chris menggigit kuku, lalu meraih tangan Toni. “Bagaimana kalau kita bawa semua orang ke sini? Ajukan pemimpin bertanggung jawab untuk berbicara.”
“Betul,” kata Toni, semangatnya membara. “Satu suara bisa mempengaruhi ratusan lebih.”
“Ratusan lebih?” jerit nenek. “Kau yakin, nak? Semua ini menyedihkan.”
“Kami akan melakukannya!” Chris bergeming penuh keyakinan.
“Kalau begitu, ayo lakukan sekarang!” Toni menantang. “Kita bisa mulai di sini.”
Mereka bertiga bergerak, suara mereka mengalir bersama kembali ke kota Reksa. Waktu berlalu, tapi harapan baru menyusup. Di antara gemuruh kekhawatiran, mereka menemukan kekuatan bersama.“Kita perlu menentukan tempat berkumpul yang strategis,” Chris berkata, kembali bersemangat.
“Bagaimana kalau di alun-alun? Itu tempat yang selalu ramai,” usul Toni, berusaha memikirkan setiap detail.
“Setuju. Ajak semua orang untuk bertemu,” kata nenek, sorot matanya berkilau. “Kota ini butuh pemimpin yang mampu berbicara untuk kita.”
“Saya bisa membuat pengumuman di pasar besok pagi,” janji Chris. “Aku bisa memanfaatkan jaringan teman yang ada.”
“Nanti, kita butuh semangat. Ada baiknya membawa makanan untuk menarik perhatian orang,” tambah Toni, wajahnya bersinar. “Makanan selalu jadi magnet.”
Nenek itu mengangguk, senyumnya merekah. “Anak-anak muda, semangat kalian sungguh menyegarkan. Ingat, bersatu kita teguh.”
“Kan kita tidak bisa hanya menunggu jawaban dari kekuatan yang lebih besar. Kita bisa menciptakan perubahan sendiri,” ucap Chris, keyakinan menggelora.
“Betul! Kita bisa membagi tugas,” sambung Toni, pandangannya memindai kerumunan kecil. “Aku bisa urus papan pengumuman dan flyer. Kita butuh informasi yang jelas agar orang-orang tidak ragu.”
Nenek mengusap lengan Toni. “Kalian tidak akan percaya betapa pentingnya suara kalian. Kekuatan ada di tangan orang-orang muda seperti kalian.”
Chris merasa jantungnya berdebar kencang, tekad menyebar di sekujur tubuhnya.
Malam menjelang dan mereka bertiga merencanakan langkah selanjutnya. Saatnya mereka bertindak!
***
Keesokan harinya, Chris berdiri di pasar. Arus lalu-lalang penduduk membuatnya merasa bersemangat dan sekaligus gugup. Namun, dia tahu ini adalah langkah yang tepat.
“Toni! Pastikan semua persiapan siap,” Chris berteriak di tengah hiruk-pikuk, melambai-lambaikan tangan.
Toni muncul dari kerumunan, menggandeng beberapa pemuda lainnya. “Kita sudah mempersiapkan semua poster dan spanduk. Semuanya betul-betul sudah siap!”
“Bagus! Kita bisa mulai menjelaskan,” kata Chris, meratakan napasnya, berusaha menenangkan diri.
Mereka membentuk lingkaran di tengah pasar dan Toni melangkah maju, mengangkat suara.
“Saudara-saudara! Kami ingin mengajak kalian berkumpul di alun-alun sore ini. Ini penting untuk masa depan kota kita!” suaranya membahana, kontan menarik banyak perhatian.
Seorang pemuda bertato dengan tatapan skeptis mendekat, “Apa kalian yakin kita perlu berkumpul? Semua ini cuma pembicaraan kosong.”
“Tanpa bersatu, kita tidak akan mendapat perubahan,” jawab Toni mengetahui tantangan yang harus dihadapi. “Ada sesuatu yang lebih besar yang mengancam kita. Jika kita tidak bersuara, siapa yang akan?”
“Dia benar!” Chris melanjutkan, “Dengarkan semua laporan yang menyebutkan dampak buruk perubahan cuaca. Kita tidak bisa tinggal diam.”
“Tapi, apa yang bisa kita lakukan?” pertanyaan itu muncul dari kerumunan.
Chris dan Toni bertukar pandangan, merasakan semangat satu sama lain. Chris menepuk bahu Toni sebelum melanjutkan, “Bersama, kita bisa menciptakan rencana. Merencanakan pedoman untuk menjawab setiap masalah yang ada.”
Berharap, Chris berlanjut, “Jika kita terpecah, keadaan akan semakin buruk. Mari buktikan bahwa kita bisa melawan keadaan.”
Suasana tenang sejenak. Mereka menanti reaksi orang-orang di sekitar.
“Saya setuju! Kita butuh rencana!” teriak seorang nenek tua di sisi lain kerumunan. Suaranya melengking, dan semua mata menatapnya.
“Ya! Mari kita berkumpul di alun-alun! Kita harus bersatu!” beberapa suara mulai bergema.
Chris merasa napasnya terhenti, tidak percaya dengan dukungan yang mencuat.
Cahaya pagi beralih menjadi senja saat mereka berhasil meyakinkan orang-orang. Ketika hari berangsur gelap, mereka tiba di alun-alun, dikelilingi warga kota yang penasaran. Mereka berkumpul, membuat sisi-sisi karpet baru di kota Reksa.
Toni berdiri di tengah, mengatur kerumunan. “Terima kasih semua sudah datang! Kita butuh saling mendukung!”
Kerumunan semakin ramai. Chris merasakan kehangatan di dalam hatinya melihat semangat penduduk yang tak surut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!