"Akhirnya kamu bangun juga," ujar seorang wanita berusia 28 tahun seketika menghela napas lega.
"Saya di mana?" tanya pria yang tengah berbaring di ranjang, kedua matanya nampak menatap ruangan sempit di mana jendela yang terbuka lebar berada tepat di samping ranjang.
"Aku nemuin kamu tergeletak di teras rumahku. Eu ... seharusnya aku bawa kamu ke Rumah Sakit, tapi aku gak ada uang." Gadis itu bernama Inara, anak yatim piatu yang sedari kecil sudah ditinggal oleh orang tuanya.
Pria yang sepertinya berusia 30-han itu seketika bangkit lalu duduk tegak.
"Jangan bangun dulu. Kayaknya kamu masih lemas deh. Sebentar, kamu pasti haus. Aku ambilkan air putih dulu, ya."
Pria berkulit putih itu hanya menganggukkan kepala seraya memijit pelipis wajahnya yang terasa pusing. Ia kembali mengedarkan pandangan matanya, meskipun tempat tersebut terlihat bersih, tapi ia merasa kamar itu terlalu sederhana untuknya. Ia benar-benar merasa tidak nyaman berada di tempat itu.
"Ini, minum dulu," pinta Inara menyerahkan gelas berisi air putih kepada pria asing itu.
"Apa cuma saya yang ngerasa gak nyaman di sini? Kamar ini kecil dan sempit," ujar sang pria dengan wajah datar.
"Makannya, cepat minum air itu dan pergi dari sini," pinta Inara tersenyum sinis.
Pria tersebut nampak memutar bola matanya ke kiri dan ke kanan. Otaknya seakan kosong, hatinya pun benar-benar terasa hampa. Ia sama sekali tidak dapat mengingat apapun layaknya bayi kecil yang baru saja dilahirkan ke dunia.
"Malah bengong lagi," decak Inara memutar bola matanya kesal.
Bukannya meneguk gelas berisi air yang tengah ia genggam, yang dilakukan oleh pria itu adalah menatap wajah Inara lekat mencoba untuk mengingat. Namun, sekeras apapun ia berusaha, hasilnya tetap sia-sia. Pria tersebut sama sekali tidak mengenali wanita yang berada di hadapannya itu.
"Kamu siapa?" tanyanya dengan wajah datar. "Saya ... saya siapa? Siapa saya?"
Inara seketika tersenyum menyeringai. "Jangan banyak alasan, kamu pasti lagi pura-pura bodoh, 'kan? Wajar aja kalau kamu gak kenal sama aku, tapi kalau sampe gak ngenalin dirimu sendiri, rasanya mustahil. Kamu pasti bercanda, 'kan?"
"Nggak, saya gak bercanda," ujar sang pria. "Saya beneran gak ingat siapa saya. Nama saya aja saya gak tau. Sumpah!"
"Kamu amnesia?"
"Kamu pasti punya uang, 'kan? Kita ke Rumah Sakit sekarang, saya harus diperiksa sama Dokter. Saya benar-benar gak nyaman sama otak saya yang kosong ini."
"Tadi 'kan aku udah bilang, aku gak punya uang," jawab Inara penuh penekanan. "Udah, mendingan sekarang kamu pergi dari sini."
Pria tersebut nampak kebingungan. "Tapi saya harus pergi ke mana? Saya sama sekali gak ingat apapun."
"Terus, kamu mau tinggal di sini selamanya, gitu? Enak aja, kalau rumahku sampe digrebek sama tetangga, gimana? Kita bisa kawinin gara-gara kumpul kebo."
"Kamu tinggal sendiri?"
Inara menganggukkan kepala.
"Orang tua kamu?"
"Orang tuaku udah lama meninggal."
Pria asing itu hanya mengangguk-anggukkan kepala masih dengan ekspresi wajah yang sama.
"Pokoknya, aku gak mau tau, kamu harus pergi dari sini sekarang juga," pinta Inara.
"Saya baru aja siuman lho, masa udah disuruh pergi aja? Kalau nanti saya pingsan di jalan, gimana?" jawab pria tersebut seketika kembali meringkuk.
"Astaga!" decak Inara kesal. "Oke, aku kasih waktu kamu sampe besok. Besok pagi, mau gak mau kamu harus angkat kaki dari rumahku ini. Aku gak peduli meskipun kamu pingsan atau mati di jalan sekalipun."
"Dasar kejam," decak sang pria sinis seraya meringkuk membelakangi tubuh Inara.
Keheningan seketika tercipta. Keduanya benar-benar larut dalam lamunan masing-masing. Inara benar-benar merasa bingung apa yang bagus ia lakukan kepada pria amnesia itu? Bagaimana jika pria itu tidak mau pergi dari rumahnya? Sementara sang pria seketika memejamkan kedua matanya, otak kecilnya mencoba berkerja lebih keras lagi untuk mengingat, tapi hasilnya tetap saja sia-sia. Ia sama sekali tidak dapat mengingat apapun. Sepertinya, ia benar-benar mengalami amnesia. Pria itu bahkan tidak ingat kejadian terakhir yang menimpa dirinya.
"Inara!" sahut seorang wanita di luar sana seketika mengejutkan mereka berdua.
"Bi Ida?" gumam Inara seketika panik.
"Bibi? Tadi katanya kamu tinggal sendiri di sini?" tanya pria itu sontak memutar badan lalu menatap wajah gadis berusia 28 tahun itu.
Bukannya menanggapi pertanyaan pria tersebut, yang dilakukan oleh Inara adalah berjalan keluar dari dalam kamar dengan wajah ketakutan. Sementara sang pria hanya terdiam tanpa bertanya apapun lagi.
"Bibi, eu ... ada apa Bibi ke sini malam-malam?" tanya Inara seraya menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal.
"Besok juragan mau ke sini, kamu siap-siap, ya," jawab wanita paruh baya itu dengan rambut diikat di ujung kepala.
"Aku 'kan udah bilang sama Bibi kalau aku gak mau menikah sama juragan Rusli. Aku gak mau!" tolak Inara tegas dan penuh penekanan. "Dia itu udah punya dua istri, Bi. Aku gak mau jadi istri ketiga. Enak aja, emangnya di dunia ini udah gak ada bujangan lagi apa?"
Pria asing yang tengah berada di dalam kamar pun seketika mengerutkan kening setelah mendengar kalimat terakhir yang baru saja diucapkan oleh wanita berpenampilan biasa saja itu.
"Istri ketiga?" gumamnya seraya tersenyum sinis. "Sekaya apa si juragan itu hingga dia mau punya tiga istri sekaligus?" gumamnya seketika bangkit, lalu kembali mendengarkan pembicaraan mereka.
"Terus, kenapa kamu masih melajang sampe sekarang, hah?" bentak Bibi. "Kamu itu perawan tua, Inara! Gak bakalan ada bujangan yang mau sama perawan tua kayak kamu. Udah syukur juragan Rusli mau nikahi kamu. Nih, ya. Meskipun kamu jadi istri ketiga, tapi dia itu kaya raya lho. Sawahnya aja ada di mana-mana. Kedua istrinya juga akur-akur aja tuh! Yang terpenting itu duit, Inara. Duuiiit!"
"Ka-kata siapa gak ada bujangan yang mau sama aku?" ucap Inara terbata-bata seraya menatap ke arah kamar di mana pria yang tidak diketahui namanya itu berada di dalam sana. "A-aku punya pacar ko, dia ada di sini."
Pria asing tersebut seketika membulatkan bola matanya. Apa pacar yang dimaksud oleh Inara adalah dirinya? Sang pria seketika mendengus kesal seraya bangkit lalu hendak turun dari atas ranjang. Namun, pria itu seketika menahan kedua kakinya saat pintu kamar tiba-tiba saja dibuka dari luar.
"Dia pacar aku, Bi," sahut Inara membuat pria itu seketika mengerutkan kening. "Namanya Johan, udah dua hari dia nginep di sini."
"Jangan bilang kalian udah--" Bibi seketika menutup mulutnya menggunakan telapak tangannya sendiri.
Raut wajah Inara seketika terlihat sedih seraya menundukkan kepalanya dalam-dalam terlihat begitu menyesal. Suara isakan bahkan mulai terdengar samar-samar.
"Maafin aku, Bi. Aku gak bisa ngejaga kesucian aku sebagai seorang wanita. Aku dan pacar aku ini udah--"
"Sudah cukup, gak usah diteruskan. Kalian harus menikah secepatnya, kalau perlu besok kita ke KUA."
Bersambung
"Hah, be-besok?" tanya Inara dan pria itu secara bersamaan membuat bibi seketika merasa heran.
"Kenapa kalian kaget kayak gitu sih? Seharusnya kalian seneng mau dikawinin? Emangnya kalian mau kumpul kebo selamanya?" tanya bibi menatap wajah kedua orang itu secara bergantian. "Pokoknya bibi gak mau tau, ya. Kalau kamu mau bebas dari Juragan Rusli, kamu harus nikah secepatnya. Lagian, bibi udah bilang sama dia kalau kamu masih perawan, eh ... ternyata kamu--" bibi seketika menahan ucapannya dengan perasaan kesal. "Akh, sudahlah. Bibi balik dulu."
Bi Ida segera berbalik lalu berjalan meninggalkan kamar dengan perasaan kesal. Sementara pria asing itu nampak menatap wajah Inara tajam, bahkan sangat tajam membuat wanita itu seketika merasa tidak nyaman seraya tersenyum cengengesan.
"Saya yakin kamu bohong, nama saya Johan. Iya, 'kan?" tanyanya sinis. "Saya ngerasa gak nyaman dengan nama itu. Nama Johan terlalu kampungan buat saya."
"Eu ... maaf, nama itu terlintas begitu aja di otak aku, hehehe!" jawab Inara tersenyum cengengesan.
"Satu lagi, saya gak akan menikahi sama kamu. Enak aja sembarang ngaku-ngaku pacar saya," decak Johan. "Lagian, kapan kita ngelakuin hal gituan, hah?"
Inara berjalan mendekat lalu duduk di tepi ranjang dengan kepala menunduk. "Emangnya kamu gak kasihan sama aku? Aku mau dijadiin istri ketiga lho."
"Saya gak peduli dan itu bukan urusan saya," jawab Johan dingin dan datar.
Inara seketika menoleh dan menatap wajah tampan seorang Johan. "Aku mohon tolongin aku, Johan. please!"
"Nama saya bukan Johan."
"Aku tau, tapi apa kamu ingat siapa nama kamu?"
Johan diam seribu bahasa dengan wajah datar.
"Sebelum ingatan kamu bener-bener balik, nama kamu tetep Johan, oke?"
Johan hanya menghela napas panjang. Hatinya benar-benar merasa tidak nyaman dengan nama itu. Pria itu pun yakin, bahwa dirinya bukan orang sembarangan karena perasaannya benar-benar merasa tidak nyaman berada di kamar sempit dengan ranjang besi yang sudah berkarat. Ia merasa sudah terbiasa menikmati kemewahan, meskipun ia sendiri bingung dengan perasaannya sendiri di mana hati, otak dan pikirannya benar-benar terasa kosong. Tidak ada secuil pun ingatan tentang masa lalunya tersisa di sana.
"Aku mohon nikahi aku, ya. please!" pinta Inara memelas dan memohon.
"Tidak!"
"Eu ... gini deh, anggap aja ini cuma nikah boongan sampe ingatan kamu balik. Setelah semua ingatan kamu kembali, kamu boleh ko cerein aku," sahut Inara berusaha untuk membujuk. "Lagian, kalau gak tinggal di sini kamu mau ke mana? Bukannya kamu gak punya tempat tujuan?"
Johan kembali bergeming. Benar apa yang baru saja diucapkan oleh wanita berpenampilan biasa saja ini, ia tidak tahu harus ke mana jika dirinya tidak tinggal di sana.Namun,apa ia harus benar-benar menikahi wanita itu? Johan seketika menghela napas panjang seraya mengusap wajahnya kasar.
"Gimana, kamu mau, 'kan?" tanya Inara, menatap wajah Johan dengan tatapan mata berbinar. "Cuma sampe ingatan kamu balik, Johan."
Johan masih diam seribu bahasa merasa berada di ambang dilema. Apa dirinya akan menerima permintaan wanita itu? Kalau ia menolak, ke mana lagi dirinya harus pergi sementara ia sama sekali tidak memiliki tujuan dan tidak tahu jalan pulang.
"Oke, deal, ya," seru Inara. "Diamnya kamu aku anggap setuju."
"Tapi kita cuma pura-pura menikah, 'kan?" tanya Johan datar.
"Tentu saja, anggap kita cuma lagi main kawin-kawinan. Lagian, aku juga gak mau nikah beneran sama orang yang gak aku kenal."
"Oke, deal. Cuma sampe ingatan saya balik, setelah itu saya akan pergi dari sini."
Inara menatap lekat wajah tampan seorang Johan seraya tersenyum lebar, wanita itu pun mengulurkan telapak tangannya sebagai tanda sepakat. Johan menerima uluran tangan wanita itu dengan ragu-ragu dan perasaan tidak nyaman.
"Oke, deal," sahut Inara seraya berjabatan tangan.
***
Keesokan harinya tepat pukul 09.30, suara pintu yang diketuk kasar seketika mengejutkan Inara yang tengah mencuci piring. Wanita itu menahan gerakan tangannya lalu memutar kran kemudian berbalik dan hendak melangkah. Namun, langkah seorang Inara seketika terhenti saat mendengar suara seorang laki-laki terdengar lantang menyerukan namanya.
"Inara!" sahut pria paruh baya di luar sana.
"Juragan Rusli?" gumam Inara seketika memejamkan kedua matanya sejenak. "Sial, kenapa pagi-pagi begini dia udah datang ke sini? Nyebelin banget sih jadi orang."
Inara melanjutkan langkahnya dengan perasaan kesal. Wanita itu pun bergegas membuka pintu utama lalu menatap wajah pria berusia 45 tahun itu seraya tersenyum cengengesan.
"Eh, Juragan," sapa-nya ramah. "Eu ... ada apa Juragan pagi-pagi udah datang ke sini?"
Juragan Rusli melangkah memasuki rumah dengan wajah santai seraya menatap sekeliling lalu menoleh dan menatap wajah Inara. "Kamu gak lupa 'kan kalau saya akan menjadikan kamu istri ketiga saya?"
"Hah?" Inara menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal. "Apa Bi Ida gak bilang sama Juragan kalau aku udah punya pacar?"
"Pacar?" Sang Juragan mengerutkan kening. "Mana ada laki-laki yang mau sama perawan tua seperti kamu, Inara?" decaknya tersenyum sinis.
"A-ada ko, Juragan. Dia ada di sini lho."
Juragan Rusli menatap tajam wajah cantik tanpa polesan make up seorang Inara. Kedua kakinya perlahan berjalan mendekat lalu berhenti tepat di depan wanita itu. Sang Juragan mendekatkan wajahnya membuat Inara sontak memundurkan kepalanya merasa tidak nyaman.
"Apa kamu sengaja berbohong biar saya gak jadi ngawinin kamu, Inara?" tanyanya setengah berbisik. "Seharusnya kamu bersyukur karena saya, Juragan terkaya di kampung ini bersedia menikahi perawan tua seperti kamu."
Inara sontak memundurkan langkahnya dengan perasaan kesal. "Sa-saya gak bohong ko, Juragan. Sumpah!" ujarnya seraya mengangkat dua jarinya sendiri. "Apa Juragan mau ketemu sama calon suami saya?"
"Gak usah, kamu pasti berhalusinasi punya seorang pacar ganteng, kaya dan sangat mencintai kamu, 'kan?" Sang Juragan seketika tersenyum menyeringai. "Saya harap kamu segera bangun dari mimpi kamu, Inara. Takkan ada laki-laki seperti itu di dunia nyata yang mau sama kamu, perawan tua."
"Siapa bilang?" sahut Johan, berjalan keluar dari dalam kamar dengan penuh rasa percaya diri.
Wajah seorang Johan bahkan nampak bersinar, ketampanan yang dimiliki oleh pria itu terlihat begitu memukau membuat sang juragan seketika tertegun dengan perasaan tidak percaya. Sementara Inara, kedua matanya nampak menatap lekat wajah Johan seakan terpesona dengan ketampanan yang terpancar bahkan terlihat bercahaya bak matahari yang baru saja terbit dari ufuk timur.
"Siapa bilang tak ada laki-laki tampan yang mau saya Inara?" tanya Johan berdiri tepat di samping Inara. Telapak tangannya bahkan melingkar mesra di pinggang wanita itu membuat Inara seketika merasa gugup.
"Si-siapa kamu?" tanya Juragan Rusli terbata-bata juga terlihat bodoh.
"Perkenalkan, saya Johan. Laki-laki tampan yang akan segera menikahi Inara."
Bersambung
"Ca-calon suami?" tanya Juragan Rusli menatap lekat wajah Johan, pria paruh baya itu tidak serta merta percaya begitu saja dengan apa yang diucapkan oleh kedua orang itu. "Saya gak percaya, bisa jadi kamu cuma laki-laki yang dipaksa sama Inara buat pura-pura jadi pacarnya dia biar dia bisa menolak pinangan saya, iya 'kan?"
"Anda tak percaya?" tanya Johan tersenyum lebar, pria itu tiba-tiba mengecup satu sisi wajah Inara membuat wanita itu merasa terkejut. "Gimana, apa Anda masih gak percaya? Anda pikir dia akan diam aja kalau ada cowok yang cium dia kayak gini?"
Inara seketika menoleh dan menatap tajam wajah Johan. Kedua matanya bahkan membulat kesal, mengapa pria itu harus menciumnya segala?
"Dasar sialan, cari kesempatan dalam kesempitan kamu, ya!" batin Inara merasa geram.
Sementara sang Juragan hanya memutar bola matanya kesal. Sepertinya pria itu benar-benar kekasih Inara melihat betapa mesranya mereka berdua. Harapannya untuk menjadikan Inara sebagai istri ketiga pun pupus saat itu juga. Padahal, pria paruh baya itu sudah menginginkannya sejak lama bahkan ketika Inara masih remaja.
"Mendingan Anda pulang, Juragan. Anda cari aja wanita lain buat jadi istri ketiga Anda," pinta Inara seraya mengusap satu sisi wajahnya yang sempat dikecup oleh Johan.
"Tunggu, kalian kumpul kebo?" tanya sang Juragan menatap wajah keduanya tajam.
"Hah? Si-siapa yang kumpul kebo?" tanya Inara terbata-bata seraya menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal.
"Kalian tinggal berdua di rumah ini, apa lagi namanya kalau bukan kumpul kebo?"
Baik Johan maupun Inara hanya diam seribu bahasa seraya menoleh dan menatap wajah satu sama lain.
"Kalian tau apa akibatnya kalau ada yang kumpul kebo dan berbuat mesum di suatu kampung?" tanya Juragan Rusli dengan nada suara lantang. "Seluruh penduduk kampung bakalan kena sial!"
Inara dan Johan masih bergeming dengan perasaan bingung.
"Pokoknya, kalian harus dikawinin sekarang juga!"
"Hah?" Johan dan Inara secara bersamaan.
"Kenapa, hah?" tanya Juragan merasa kesal. "Saya yakin kalian udah melakukan perbuatan mesum di rumah ini. Akan saya nikahkan kalian sekarang juga!" bentak sang Juragan.
Pria paruh baya itu bukan hanya kesal, tapi ambisinya untuk merasakan nikmatnya malam pertama bersama gadis yang masih perawan benar-benar sirna. Ia juga yakin bahwa kedua orang itu sudah melakukan hal yang tidak senonoh mengingat bahwa mereka hanya tinggal berdua saja di rumah itu. Menikahkan mereka adalah jalan terbaik guna menghindari malapetaka yang mungkin saja menimpa kampungnya.
"Jangan sekarang, Juragan. Saya belum siap," sahut Inara.
"Belum siap?" tanya Juragan mengerutkan kening.
"Nggak, Juragan. Saya siap, lebih cepat lebih baik," timpal Johan seraya tersenyum lebar.
"Kalian tunggu di sini, saya mau panggil Pak Kiai yang akan menikahkan kalian. Pokoknya, kalau kampung ini kena musibah, orang pertama yang akan disalahkan adalah kalian berdua. Paham!" ucapan terakhir sang juragan sebelum pria paruh baya itu beranjak pergi meninggalkannya kediaman Inara.
Sepeninggal juragan Rusli, Johan nampak menggelengkan kepalanya seraya menatap kepentingan pria itu. "Ck! Ck! Ck! Jadi laki ko serakah banget, sekaya apa sih si juragan tua itu sampe-sampe pengen punya tiga istri sekaligus?"
Inara seketika mengurai jarak dengan Johan lalu melayangkan telapak tangannya ke udara kemudian mendarat di bahu Johan keras dan bertenaga.
Johan sontak meringis juga menoleh dan menatap wajah Inara. "Argh! Sakit tau," decaknya kesal. "Kenapa sih maen pukul-pukul aja? Apa kamu tau seberapa berharganya tubuh saya ini, hah?"
"Suruh siapa kamu cium-cium aku sembarangan, hah?" bentak Inara dengan kedua mata membulat kesal. "Dasar brengsek, kamu pasti cari kesempatan dalam kesempitan, 'kan?"
"Kalau saya gak cium kamu di depan juragan tadi, dia gak bakalan percaya sama kita," jawab Johan. "Emangnya kamu mau jadi istri ketiganya dia, hah?"
"Ya tapi gak perlu cium-cium juga kali, dasar mesuum," bentak Inara seraya mengusap satu sisi wajahnya yang sempat dikecup oleh Johan dengan perasaan jijik.
"Jangan bilang kalau kamu belum pernah dicium sama cowok seumur hidup kamu?" tanya Johan tersenyum sinis.
"Tentu saja, tubuh aku terlalu berharga buat disentuh sama cowok gak jelas," jawab Inara tegas dan penuh penekanan. "Cukup suami aku yang boleh menjamah aku, paham?"
Johan seketika tersenyum cengengesan seraya menatap wajah Inara dengan tatapan mesuum menggoda. "Kalau saya udah jadi suami kamu, berarti saya boleh dong menjamah tubuh kamu?"
Kedua mata Inara seketika membulat. "Hah?" sahutnya, telapak tangan wanita itu kembali memukul bahu Johan secara berkali-kali.
"Argh! Sakit, Inara. Astaga!" ringis Johan seraya melangkah menjauhi wanita itu. "Tadi 'kan kamu sendiri yang bilang kalau cuma suami kamu yang boleh menjamah tubuh kamu, ko jadi marah?"
Ayu menahan telapak tangannya seraya menatap tajam wajah Johan. "Ya, kamu emang calon suami aku, tapi cuma suami pura-pura sampe ingatan kamu balik, paham?"
"Dasar gak tau terima kasih," decak Johan seraya memutar bola matanya kesal. "Seharusnya kamu berterima kasih sama saya. Kalau bukan karena saya, mungkin kamu udah dijadikan istri ketiga sama si tua bangka itu. Dasar!"
Inara bergeming seraya menatap sinis wajah Johan.
***
Masih di hari yang sama, sore hari tepatnya pukul 15.00 WIB.
"Saya terima nikah sama kawinannya Inara binti Sudirman Almarhum dengan Mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."
"Sah?"
"Saah!"
Johan benar-benar menikahi wanita bernama Inara, pria itu bahkan mengucap ijab qobul dengan begitu lantang tanpa ada satu hambatan apapun seolah kalimat sakral itu sudah pernah ia rapalkan sebelumnya. Dengan hanya satu tarikan napas saja, wanita asing itu telah sah menjadi istrinya. Johan benar-benar tidak menyangkal bahwa ia akan menikahi wanita yang tidak ia cintai, hal yang sama pun dirasakan oleh Inara yang saat ini duduk tepat disampingnya.
Dengan disaksikan para tetangga dan beberapa perangkat desa, keduanya benar-benar melangsungkan pernikahan saat itu juga. Tidak ada pesta mewah, tidak ada suara music gamelan yang biasa dilantunkan mengiringi prosesi pernikahan. Acara tersebut benar-benar diadakan sederhana, hidangan yang disediakan untuk mereka para saksi pun hanya seadanya. Kedua mempelai yang biasanya mengenakan pakaian pengantin pun, hanya mengenakan pakaian biasa tanpa make up ataupun kebaya. Kain berwarna putih nampak melingkar di antara kepala mereka berdua.
Setelah acara itu selesai diadakan, para tetangga yang hadir pun sudah beranjak meninggalkan kediaman Inara yang saat ini sudah tidak sendiri lagi. Ada pria bernama Johan yang telah sang menjadi suaminya. Wanita itu tengah duduk di sudut kamar seraya memeluk kedua lututnya.
"Kamu kenapa, Inara?" tanya Johan memasuki kamar tersebut dengan kening mengerut.
"Nggak, aku gak apa-apa," jawab Inara seketika bangkit lalu hendak melangkah.
"Apa sekarang kamu menyesal setelah kita benar-benar menikah?"
Inara tidak menanggapi ucapan suaminya dan melanjutkan langkahnya.
"Saya janji akan pergi dari sini setelah ingatan saya kembali, Inara. Jadi, tolong bantu saya mendapatkan kembali seluruh ingatan saya."
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!