SELEKSI itu telah dimulai. Semua gadis yang masih lajang di kerajaan Yuhan wajib mengikutinya. Ya, tidak ada seorang pun yang akan melewatkan hari penting ini. Hari dimana akan dipilih seorang gadis untuk menjadi calon selir yang nantinya akan dipersunting oleh Kaisar dan menjadi permaisuri.
Sang Kaisar yang kabarnya—menurut yang Yue dengar adalah pria paling tampan di tanah Yuhan. Tapi sayangnya Yue tidak tertarik dengan sekedar penampakan fisik belaka.
Dan menurut yang ia dengar pula, Sang Kaisar telah berhasil menguasai hampir tiga perempat tanah pemberontak melalui tangan besinya. Jujur, Yue sangat tidak suka dengan kekerasan. Kalau ia sampai terpilih entah dirinya akan bisa bertahan di istana atau tidak.
Bibinya yang bekerja sebagai pemasok bahan pangan untuk istana bahkan tidak menutup-nutupi kebusukan yang terjadi di dalam istana. Wanita baya itu selalu bercerita mengenai apa yang dia lihat di dalam istana padanya. Ia hanya bisa berdoa pada dewa agar dirinya tidak terpilih.
Tapi mengapa pula Yue harus cemas. Ia hanya gadis desa lusuh. Tidak mungkin dirinya akan lolos seleksi. Tidak mungkin dirinya bisa mengalahkan ratusan putri para saudagar kaya yang berpakaian sudah selayaknya seorang permaisuri itu sendiri.
Semua ini hanya formalitas. Entah apa yang merasuki Sang Kaisar hingga memilih calon selirnya dengan cara seperti ini. Tapi bagaimanapun dia adalah seorang Kaisar, dia bebas melakukan apapun yang diinginkannya.
Tapi tetap saja Yue enggan ambil bagian dalam acara mencari selir ini. Ia sudah terlalu sibuk mengurus kedai peninggalan kedua orang tuanya. Ia tak perlu menambah kesibukannya dengan memikirkan sesuatu yang jelas-jelas mustahil baginya.
Itu yang awalnya Yue pikirkan. Tapi nyatanya di sinilah ia. Duduk di depan cermin rias dan membiarkan para dayang istana merias wajahnya, mengubah penampilannya, seperti bukan Yue yang biasa ia lihat di cermin rumahnya.
Jadi inilah permainan takdir untuk dirinya. Takdir yang ia sendiri tidak tahu bagaimana akhirnya.
“Nona Yue, silahkan. Yang Mulia Kaisar sudah menunggu Anda di paviliun miliknya,” kata seorang dayang.
Dengan membusungkan dadanya Yue melangkah melewati ambang pintu yang berbentuk bulat lengkap dengan kelambu tipis yang melambai ditiup oleh semilir angin. Berjalan perlahan diiringi oleh sederet dayang istana.
Ya, ia siap.
.
.
.
.
Sibuk.
Itulah yang Yue butuhkan. Terlebih ia sangat menyukai pekerjaannya ini. Sepeninggal ayahnya di usianya yang kesebelas diikuti oleh ibunya tiga tahun kemudian menjadikan Yue seorang gadis yang mandiri. Dan di sinilah ia, menghabiskan hari-harinya dengan menjadi pelayan di kedai milik pamannya—Paman Luo.
“Tambah minumannya!” pinta seorang pelanggan.
Yue yang telah selesai melayani pelanggan lain segera menghampiri pelanggan itu. “Harusnya kau melunasi hutangmu dulu, Paman.”
Bukannya mendapatkan pelunasan hutang, Yue malah mendapatkan kekehan serta tawa yang meledak dari sekumpulan pria di depannya. Mundur? Tentu saja tidak. Dengan angkuhnya Yue malah berkacak pinggang di pinggiran meja. Menanti dengan sebelah tangan yang tengah menengadah. Tidak akan pergi kalau ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Berbelas kasihlah pada pamanmu ini,” ucap pria paling gembul dengan setengah memelas.
“Aku tahu kau sedang banyak uang, Paman. Ah, kudengar ada sekumpulan pria yang berhasil mengawal saudagar kaya ke negeri tetangga.”
Yue tersenyum diikuti oleh tawa para pria yang ada di kedai. “Tang! Aku lupa nama mereka, maukah dengan senang hati kau mengingatkanku?!”
“Tentu saja, Nona!” balas Tang dari balik meja lain.
“Baiklah, baiklah. Aku cuma bercanda,” kata Jian Pao dan kembali terbahak. “Kau benar-benar gadis yang sadis kalau menyangkut soal uang, ya.”
Puas saat Jian Pao mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan meletakkannya di atas telapak tangan kanan Yue. Ya, kalau soal uang Yue memang selalu ketat. Terlebih para pelanggannya kebanyakan adalah bandit, pemburu, pengawal sewaan dan sejenisnya. Kalau dirinya bersikap lunak, bagaimana nasib para pekerjanya nanti?
“Hoi, Yu Long! Kau memilih gadis yang tepat!” teriak Jian Pao.
Yu Long sang pimpinan bandit gunung Fengyan pun membalas dengan melambaikan tangan dari pintu depan kedai. Tidak biasanya pria itu dan teman-temannya turun gunung di pagi hari seperti sekarang. Karena penasaran, Yue menghampiri pria itu.
⇨
“Ada apa?” tanya Yue.
Tidak banyak yang Yue benci. Tapi untuk yang dilakukan pria itu padanya bisa dibilang menempati sepuluh teratas hal yang paling ia benci. Ia tidak suka saat ada seseorang mengacak rambutnya yang sudah susah payah Bibi Qing rapikan untuknya. Pelan, Yue menampik tangan besar pria itu.
“Kami hanya ingin minum-minum, apa tidak boleh?”
Yue mencebikkan mulutnya dan berjalan menjauh. “Minuman yang biasanya ‘kan?”
Yu Long menjawabnya dengan anggukan singkat disertai senyum. Yue membalas sejawarnya atas sikap pria itu. Tahu bahwa ia tidak boleh memberikan harapan pada Yu Long. Ya, pria itu telah beberapa kali melamarnya. Tetapi Yue selalu menolak dengan alasan belum cukup dewasa.
Ditambah lagi, pria itu bahkan rela untuk menunggunya sampai Yue merasa siap. Menambah rasa bersalahnya.
Bohong kalau Yue tidak memikirkan soal pernikahan. Terlebih saat semua teman sebayanya berbondong-bongdong menuju altar untuk mengucap janji setia. Tapi untuk sekarang ini Yue cukup puas dengan hidupnya, rutinitasnya, keluarganya.
Merawat Paman dan Bibi Hwang yang telah berbaik hati mengangkat dirinya sebagai putri. Meskipun dirinya sudah menyandang nama Hwang dari ayah dan ibu angkatnya yang telah meninggal.
Singkat cerita, Paman Luo merasa bertanggung jawab atas kematian adiknya yaitu ayah angkat Yue. Dan akhirnya memutuskan untuk mengambil Yue sebagai anak mereka. Padahal kematian ayahnya bukanlah salah siapapun. Takdirlah yang berbicara harus demikian.
“Wah, benarkah?”
Awalnya kasak-kusuk diantara para pelanggan Yue acuhkan. Tapi lama kelamaan ia pun ikut penasaran. Ditariknya lengan baju Tang Ge.
Yue meggedikkan dagunya kearah para pelanggan yang kasak-kusuk. “Memangya, ada apa?”
“Berita besar, Nona,” jawab Tang.
Bingung. Yue semakin menggeret Tang ke tepi. “Tidak ada pengawal kerajaan yang akan menyidak kedai kita ‘kan?”
“Ini berita yang lebih menghebohkan dari itu. Mereka bilang, ajudan istana memasang pengumuman di kota.”
“Untuk?” tanya Yue lagi dengan mengangkat sebelah alisnya.
Kali ini Tang mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan di telinga Yue, spontan ia pun ikut mencondongkan tubuhnya. “Kaisar sedang mencari selir dan gadis manapun boleh mengikutinya.”
Tak lama Yue meluruskan tubuhnya. “Oh.”
Bukan hal baru jika ada pengumuman semacam itu. Yang membuat aneh adalah bagian mencari selirnya.
Setahu Yue, tidak sembarang gadis bisa memasuki istana. Mereka haruslah berdarah bangsawan atau gadis-gadis yang memiliki ayah dengan jabatan yang cukup tinggi alias putri para pejabat.
Tapi kali ini Kaisar menginginkan selir yang berasal dari semua kalangan. Aneh.
“Mungkin dia sudah bosan dengan gadis-gadis dari kalangan bangsawan,” gumam Yue.
“Begitukah?” tanya Tang yang tidak yakin.
Yue sama tidak yakinnya seperti Tang. Ia hanya menduga. Tapi apapun alasan Sang Kaisar itu bukan-lah urusannya.
Dari sudut matanya, Yue melihat pelanggan yang baru datang. “Ini masih pagi, tapi sudah sangat sibuk, bukan?”
Tarikan nafas Yue membuat Tang menggelengkan kepala. “Harusnya kau di rumah saja, Nona. Kalau Tuan Besar tahu kau di sini, kami yang akan kena marah.”
Yue tersenyum penuh dan benjalan menghampiri pelanggan barunya. Ia belum pernah melihat mereka. Tidak, selama diriya ikut membantu di kedai belakangan ini.
“Mau pesan apa, Tuan-tuan?”
“Bagaimana kalau dengan dua gelas air putih dan sepiring mantao,” balas salah satu dari mereka.
“Tentu.”
Tidak sengaja tangan Yue menyenggol pinggiran meja, hingga ia menjatuhkan pedang yang diletakkan pria bertopi kerudung di sana. “Maafkan aku.”
Sangat yakin bahwa Yue melihatnya saat mengambil pedang yang terjatuh di lantai, senyum samar dari balik kerudung hitam transparant. Dan entah kenapa dirinya menjadi kikuk pula.
Setelah menyerahkan pedang itu pada si empunya, Yue berjalan cepat dan menghampiri Tang. “Kau saja yang melayani mereka.”
Tepat saat itu juga Bibi Qing datang. “Aku mencarimu kemana-mana. Kau harus ikut denganku. Cepat!”
“Kemana?”
Belum juga dijawab, Yue sudah diseret terlebih dulu keluar kedai. Tepat di depan pintu belakang kedai, kereta kuda sudah menunggu.
“Apa kita akan bepergian?”
“Hanya berbelanja.”
Yue menurut saja saat Bibi Qing berkata demikian. Sudah hal biasa pula saat dirinya menemani bibinya itu untuk berbelanja untuk keperluan kedai juga istana. Dan saat itulah Yue menangkap sesuatu yang tidak biasa di kota.
Pengawal bertebaran di jalanan. Orang-orang di kota pun lebih banyak dari biasanya. Teringat perkataan Tang. Benar saja, kebanyakan orang masih berkerumun di depan papan pengumuman istana.
“Ckck, pemuda itu ternyata sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dasar anak muda!”
“Siapa maksud, Bibi?”
“Hm? Siapa?” tanya Bibi Qing balik.
Yue membulatkan matanya menatap Bibi Qing. Tentu ia tidak tahu siapa yang bibinya itu maksud. Lalu bagaimana bisa bibinya itu malah bertanya balik padanya.
“Apa kau tidak ingin mencobanya?”
⇨
“Apa?” ganti Yue bertanya balik. “Ah, tidak. ‘Kan Bibi sendiri yang bilang untuk menjauhi istana. Lagi pula aku bukan Ah Mei yang bisa melakukan apapun.”
“Astaga, bagaimana mungkin kau meremehkan dirimu sendiri. Harusnya kau lebih percaya diri. Ini pasti karena kau terlalu banyak bergaul dengan para pria kasar itu. Sudah kubilang untuk tetap di rumah. Kau bahkan tidak mau pergi ke perguruan.”
Yue hanya bisa tersenyum manis jika bibinya itu mulai berbicara panjang lebar. Meski menurut Paman Luo menyebalkan jika istrinya itu mulai bicara tanpa henti, tapi tidak dengan Yue. Ia suka saat bibinya itu mulai berbicara seperti ini. Ia merasa seperti diperhatikan.
“Dia hanya malu,” ucap Lou. “Lagi pula aku tidak berhak mengatur hidup Yue.”
“Kalau kau memang menyayangi gadis itu, harusnya kau lebih tahu seperti apa sifatnya,” tambah Lou.
Mungkin ini adalah bentuk ketidak sabaran Yu Long untuk menghadapi sikap penolakan Yue. Ia benar-benar jatuh hati pada gadis itu. Dengan status keluarga Hwang yang bisa dikatakan termasuk keluarga terpandang tidak menghentikan seorang Yue untuk menghajarnya saat sedang berusaha menyelamatnya seorang pria baya darinya.
Dengan membayangkan Yue hanya berbekalkan kayu kering yang ia pungut sembarangan dan berusaha mengancam akan membunuhnya jika dirinya tidak melepaskan pria malang yang menjadi mangsanya, sudah berhasil membuat Yu Long tersenyum bahkan tertawa seperti orang gila untuk beberapa hari kedepannya.
Ya, gadis itu memang pantas untuk diperjuangkan. Ia akan sabar menunggu. Tapi kesabarannya sirna saat melihat pengumuman di kota. Ia takut, Yue akan pergi darinya. Ia takut, gadis itu tergoda seperti halnya gadis-gadis lain.
“Kali ini aku bersungguh-sungguh, Paman.”
“Aku tahu, kapan kau tidak pernah bersungguh-sungguh, hah? Hanya saja yang sedang kita bicarakan ini adalah Yue. Gadis keras kepala itu.”
“Siapa yang keras kepala?” tanya Yue dari ambang pintu.
“Yu Long, kapan kau datang?” sapa Bibi Qing.
“Satu jam yang lalu, Bibi.”
“Hm, kau benar-benar penyabar, ya?” goda Bibi Qing. “Beruntung gadis yang akan menikah denganmu kelak.”
Yue merasa dirinya disebut secara tidak langsung seketika ia pun merasa malu. Tapi bukan berarti ia akan menerima Yu Long atau apa. Tentu saja Bibi Qing mengatahan hal seperti itu hanya untuk menggodanya. “Kakak, datang sendiri?”
“Hm.”
“Sepertinya kau ber....”
“Tu-Tuan, ada tamu!” kata Dao Feng dengan nafas tersengal.
“Ada apa ini?” tanya Hwang Luo yang ikut panik.
Paman Luo dengan tergopoh juga keluar sampai teras depan rumah. Yue pun bisa melihat mereka. Tamu-tamu yang tidak biasa pamannya itu sambut di rumah kecilnya ini.
“Hwang Luo,” sapa pria di atas kuda.
“Panglima, ada apa gerangan kau mampir dengan membawa anak buahmu? Tentu kau tidak hanya sekedar mampir untuk mencicipi arak buatan kedai kami, bukan?”
Pria kekar itu turun dari kudanya dan menyam-but pelukan dari Paman Luo.
“Sudah lama sekali aku tidak bertemu denganmu, Qi Xi,” ucap Hwang Lou dengan gembira.
“Aku punya firasat buruk soal ini,” gumam Bibi Qing lirih.
“Aku kemari untuk menyampaikan titah Sang Kaisar. Bolehkah?” kata Qi Xi dengan mengulurkan tangan. Berharap Sang Tuan Rumah akan mempersilahkannya untuk singgah.
“Tentu saja. Apa yang bisa kubantu?”
Paman Luo yang memang dulunya mantan kepala prajurit istana pun langsung sigap saat nama Sang Kaisar disebut.
“Kalian para lelaki, sebaiknya jadikan urusan ini lebih cepat selesai,” gerutu Bibi Qing.
“Seperti biasa, kau masih saja bermulut tajam, Qing,” ucap Qi Xi. “Baiklah, kenapa tidak. Kulihat semua orang sudah berada di sini.”
“Aku ingin menyampaikan titah Sang Kaisar, bahwa beliau menginginkan satu-satunya putri keluarga Hwang untuk menjadi salah satu calon selirnya,” tambah Sang Panglima.
Sengaja atau tidak, saat itulah Yu Long juga ikut mendengar titah itu dari bilik sebelah.
⇨
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!