"Cherss!!"
Ailen dengan penuh semangat mengangkat gelas ke atas saat teman-temannya mengajak untuk cherss. Mereka tertawa bersama kemudian meneguk habis minuman di gelas masing-masing.
"Teman-teman, mari kita rayakan keberhasilan ini dengan menyapu habis semua makanan dan minuman yang ada di sini. Setuju?"
"Setuju!"
"Tapi aku tidak." Ailen sengaja memberi jawaban yang berbeda. Bukannya apa. Besok pagi dia memiliki jadwal operasi. Kalau malam ini mereka mabuk, bisa kacau pekerjaan di rumah sakit besok. "Sorry. Kalian tahu sendiri bukan kalau jadwalku sangat padat? Apa kata ketua pemimpin rumah sakit nanti kalau tahu dokternya absen ke ruang operasi karena tak bisa bangun setelah mabuk-mabukan?"
"Ya ampun, Ailen. Bisa tidak sehari saja jangan memikirkan pekerjaan dulu?" protes Juria seraya mencebikkan bibir.
"Sayangnya aku tidak bisa, Nona. Menjadi dokter bedah adalah impianku sejak lama. Jadi maaf maaf saja ya. Bergelut dengan gunting dan kain kasa jauh lebih menarik ketimbang hura-hura di sini bersamamu. Hehehe,"
"Ck, kau tidak asik. Sungguh menyebalkan."
Juria membuang muka ke arah lain karena kecewa dengan sikap Ailen. Padahal jarang sekali rekannya ini mau diajak keluar, apalagi pergi ke klub. Dan sekalinya datang masih saja membahas pekerjaan. Siapa yang tidak kesal coba.
Ailen Forgan. Berusia dua puluh sembilan tahun dan bekerja sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit di kota tempatnya tinggal, telah mengambil sumpah akan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menolong mereka yang membutuhkan. Sejak kecil Ailen telah bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Walau terlahir dari keluarga sederhana, itu tak menjadi penghalang untuknya bisa meraih gelar yang sangat memuaskan sehingga mendapat tawaran untuk bekerja di salah satu rumah sakit ternama.
Selain dikenal sebagai mantan mahasiswa yang cerdas, Ailen juga dikenal sebagai wanita yang gila kerja. Diusianya yang hampir menginjak ke tiga puluh tahun, belum sekali pun dia pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis. Bukan karena tak normal, tapi karena waktunya habis untuk berkecimpung dalam dunia medis. Ailen sangat mencintai pekerjaannya. Dan terkadang hal ini sampai membuat sahabatnya mengeluh dan merajuk.
(Apa aku kerjai Ailen saja ya? Salah sendiri susah diajak bersenang-senang. Lagipula harusnya besok dia itukan libur. Dasar manusianya saja yang gila kerja. Jadi maafkan temanmu ini ya, sayang. Sesekali kau perlu dipaksa merasakan kalau dunia malam itu sangatlah menyenangkan. Hehe)
"Sudah tidak merajuk lagi, eh?" ledek Ailen saat Juria tiba-tiba berpindah duduk di sampingnya. Mood wanita ini mudah sekali berubah. Mirip bunglon.
"Merajuk pun tiada guna, percuma. Karena pada akhirnya kau akan tetap memilih ruangan menyebalkan itu daripada bersenang-senang denganku. Iyakan?" sahut Juria sembari meracik sesuatu ke dalam gelas. Ailen memang cerdas dalam pekerjaan, tapi bodoh dalam pergaulan. Sekali pun mencampurkan racun ke dalam minumannya, wanita ini tidak akan curiga karena mengira itu hanya minuman biasa.
"Ya mau bagaimana lagi. Menjadi dokter adalah impianku sejak dulu. Ku harap kau bisa maklum."
"Oh tentu saja. Memangnya kapan aku pernah tidak memaklumi kegilaanmu yang satu itu? Selalu, Ailen. Dan aku rasa semua orang juga telah mengetahui betapa kau sangat tergila-gila berada di ruang operasi."
Ailen tak kuasa menahan tawa mendengar gerutuan Juria yang memang sangat sesuai dengan kenyataan. Mungkin sebagian orang menganggap kalau meja operasi adalah tempat yang sangat mengerikan. Tetapi bagi Ailen pribadi, ruangan tersebut selalu berhasil memberikan kesan mendalam di dalam hatinya. Dan itu membuatnya merasa ketagihan.
"Minumlah," Juria menyodorkan gelas pada Ailen. Senyumnya tampak misterius sekali.
"Apa ini?"
"Racun."
"Oya? Wahhh, aku baru tahu ternyata kau mempunyai kehebatan lain selain menjadi dokter," ejek Ailen sembari menatap minuman pemberian Juria. "Tapi Juria, kenapa aku merasa ada yang tidak beres dengan minuman ini ya? Kau tidak mencampurkan sesuatu ke dalamnya 'kan?"
Ditanya seperti itu jelas membuat Juria menjadi salah tingkah. Tak mau rencananya gagal, dengan gerakan yang sangat cepat dia membuat Ailen meneguk minuman tersebut. Setelah itu Juria tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang terpasang behel. Misi berhasil. Tinggal menunggu obatnya mulai bereaksi.
"Ughhh, kenapa rasanya aneh sekali," keluh Ailen sambil menyeka bibir.
"Namanya juga alkohol. Rasanya jelas berbeda dengan air putih. Begitu saja tidak tahu."
"Haih kau ini. Yang aku maksud bukan seperti itu. Minuman ini .... "
"Sudahlah jangan mengeluh terus. Lebih baik sekarang kita turun ke lantai dansa saja. Katamu besok ada operasi, bukan? Jadi mari kita gunakan waktu yang tersisa untuk bersenang-senang. Oke?"
Ailen tak bisa menolak ajakan Juria saat memaksanya agar turun ke lantai dansa. Dentuman musik yang sangat keras tak membuat sahabatnya ini merasa kebisingan. Melihat hal itu Ailen hanya bisa menggelengkan kepala kemudian larut mengikuti alunan musik yang sedang diputar. Entah karena terpengaruh alkohol atau karena suasana yang mendukung, Ailen tanpa sadar mulai meliukkan tubuhnya dengan santai. Gerakannya sedikit erotis, yang mana membuat beberapa orang di sekelilingnya berhenti berjoget kemudian menatapnya tak berkedip.
"Woaahhh, goyanganmu oke juga, Ailen. Lihat, para pria sampai tak bisa mengalihkan pandangan mereka. Semuanya terpana padamu!" teriak Juria bangga melihat keliaran sahabatnya. Sungguh sesuatu yang sangat langka sekali. Ternyata keputusan untuk mengerjai Ailen sangatlah benar. Kapan lagi coba dirinya bisa melihat dokter yang gila kerja ini meliuk erotis mengikuti alunan musik? Juria sangat takjub.
"Juria, kenapa tubuhku tidak mau berhenti bergoyang? Rasanya seperti melayang. Aneh, bukan?" Ailen bicara sambil mengibaskan rambut. Tampak keringat mulai membanjir membasahi wajah serta tubuhnya.
"Abaikan. Cukup nikmati saja apa yang ada sekarang. Ayo bergoyang!"
"Minuman yang tadi, kau .... "
Cepat-cepat Juria menarik tangan Ailen kemudian membantunya untuk berputar. Tak akan dia biarkan wanita gila kerja ini mengetahui kalau ada sesuatu yang telah dia campurkan ke dalam minuman. Perkara Ailen akan marah atau tidak biar besok saja mengurusnya. Yang paling penting sekarang mereka harus happy menikmati kesenangan yang jarang sekali terjadi.
Melihat tarian Ailen yang semakin panas, beberapa rekannya tampak bersorak dan bertepuk tangan. Alih-alih merasa malu, Ailen malah semakin terpacu untuk membuat gerakan yang jauh lebih panas lagi. Sebelum melakukan, dia terlebih dahulu mengedipkan mata pada Juria. Entahlah, malam ini rasanya ingin sekali dia mengeluarkan segala gelora yang terpendam. Ailan seperti kedatangan sosok lain di dalam tubuhnya.
"Juria, sebenarnya apa yang salah dengan Ailen? Aku berani bertaruh kalau yang sedang ku lihat sekarang bukanlah sosok Ailen yang selama ini kita kenal. Ada apa? Jangan bilang kau telah mencampurkan sesuatu ke dalam minumannya. Benar?"
"Syutt, jangan keras-keras. Nanti orangnya dengar," bisik Juria. Dia lalu menyeringai sebelum akhirnya menyodorkan tangan untuk melakukan highfive. "Dugaanmu tak meleset. Aku memang mencampurkan sedikit obat perangsang ke dalam minuman Ailen. Dan hasilnya kau bisa lihat sendiri. Menakjubkan, bukan?"
"Apa? Obat perangsang? Juria, kau sudah gila ya. Obat itu tidak boleh sembarangan digunakan. Efeknya bisa fatal. Tahu?!"
"Be-benarkah?"
"Ya Tuhan, kau ini dokter. Bagaimana bisa tidak mengetahui kalau obat perangsang itu bisa membuat orang mati tersiksa karena kepanasan? Astaga, Juria. Kali ini kau sedikit kelewatan. Malang sekali Ailen karena memiliki rekan yang bodoh sepertimu. Huh!"
Juria hanya bisa menggigit bibir bawah setelah ditegur oleh temannya. Sungguh, dia sama sekali tak menyangka kalau keputusannya akan sedemikian fatal. Dengan tatapan nanar, dia memperhatikan Ailen yang kini tengah berdansa dengan seorang pria. Wanita ini ....
(Huhuhu, bagaimana ini. Aku tidak mau Ailen mati karena obat itu. Apa yang harus ku lakukan sekarang?)
***
Guy's, komen dong di bawah. Emak perlu voting dari kalian buat milih novel mana dulu yang mau dilanjutkan. Maaciw.
***
Derren berusaha meredam amarahnya dengan cara meneguk habis minuman yang ada di dalam botol. Saat ini dirinya tengah berada di salah satu klub ternama di kota tempat dia tinggal. Agak sedikit berbeda mengingat selama ini dia bukan tipe orang yang suka dengan kebisingan, apalagi dengan yang namanya musik keras dan asap rokok. Tetapi karena sesuatu hal, terpaksa kakinya melangkah ke tempat tersebut.
"Wanita sialan! Bertahun-tahun aku menahan diri untuk tidak menyentuhmu, tapi kau malah sesuka hati menjajakan tubuh seperti p*lacur. Dasar brengsek!" maki Derren penuh emosi. Dia melemparkan asal botol ke sudut ruangan kemudian menggebrak meja. "Berikan aku minuman lagi. Yang banyak!"
"Tuan, anda sudah terlalu banyak menenggak alkohol. Nanti pingsan!" Julian berusaha mencegah bosnya yang tengah menggila karena patah hati. "Besok masih ada meeting. Anda tentu tidak mau bertemu klien dengan kondisi yang berantakan, bukan? Mereka pasti mencemooh."
"Persetan dengan orang-orang itu. Sekarang cepat berikan minumanku. Jangan menghalangi!"
"Tapi Tuan, anda .... "
"Aku bilang cepat bawakan minuman untukku. Kau tuli?!"
Julian hanya bisa mend*sah panjang sebelum meminta pelayan agar mengambilkan botol minuman yang baru. Sungguh, dia cukup terkejut melihat kelakuan bosnya sekarang. Beginikah kacaunya seseorang saat patah hati karena cinta? Wanita sungguh mengerikan. Mampu menghancurkan mental seseorang hanya dengan satu tindakan.
(Di masa depan nanti semoga aku tidak bertemu wanita yang salah. Dan untuk Tuan Derren ... aku do'akan beliau segera bertemu wanita yang bisa menghargai cintanya. Kasihan. Bertahun panjang mencintai Nona Zara malah harus berakhir dalam perselingkuhan. Miris. Hmmm)
Begitu pelayan datang, Derren langsung merebut botol minuman dari tangannya. Setelah itu dia meneguknya dengan kasar. Rasa pekat yang hadir masih belum mampu mengalihkan rasa sakit hati akibat pengkhianatan yang dilakukan oleh Zara, kekasihnya.
"Apa kurangnya diriku, hah!" teriak Derren seperti orang kerasukan. Dia bangun dari duduk, tapi oleng akibat kepala yang mulai pusing. Pandangannya juga sedikit mengabur karena terlalu banyak menenggak alkohol. "Aku tanya apa kurangnya diriku! Semua yang kau minta selalu kuberikan. Harta, posisi, bahkan nyawa. Kenapa harus dengan Keenan? He is my friend, b*tch! Kau mengacaukan segalanya. Argghhhh!"
Bruukkk
Karena tubuhnya yang mulai sempoyongan, Derren akhirnya terjatuh ke lantai saat memaksakan diri untuk berjalan. Tak ayal kejadian ini membuat botol di tangannya terlepas dan pecah berhamburan di lantai. Derren mengumpat, lalu mengambil pecahan botol yang tak sengaja menancap di telapak tangannya. "Bahkan luka ini tak sebanding dengan apa yang telah kau lakukan, Zara. Aku membencimu. Sangat amat membencimu!"
Tanpa menunggu diperintah Julian bergegas mengambil tisu kemudian membersihkan tangan bosnya yang berlumuran darah. Dia acuh saja ketika pria mengenaskan ini tak henti mengomel dan memintanya agar menjauh.
"Siapkan satu kamar untuk Tuan Derren. Pastikan tidak ada debu di sana. Kalian akan dalam masalah besar jika beliau bangun dan menyadari kalau ruangan kamar tempatnya menginap itu kotor. Mengerti?"
"Mengerti, Tuan."
"Pergilah. Situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Kita harus segera membawanya keluar dari sini."
Julian menarik napas panjang. "Tuan, mari kita pergi ke hotel. Tempat seperti ini tidak cocok untuk Anda yang gila kebersihan. Mohon kerjasamanya."
Sambil terus melantur tidak jelas, Derren pasrah saat Julian membawanya pergi dari sana. Pikirannya kacau balau. Bayangan di mana Zara yang tengah bercumbu mesra dengan Keenan seperti menusuk jantung. Dia terluka, tapi tak berdarah.
"Aku tidak sudi bertemu dengan wanita itu lagi, Julian. Mulai dari sekarang aturlah agar kami tidak berada dalam jarak kurang dari lima meter. Itu sangat menjijikkan!" perintah Derren antara sadar dan tidak sadar. Rasa kecewa yang dia rasakan sangat dalam hingga mampu mengikis cintanya yang juga terlampau dalam.
"Baik, Tuan. Anda tidak perlu khawatir. Setelah malam ini Nona Zara akan masuk dalam daftar nama manusia yang tidak diijinkan muncul di kantor," sahut Julian.
"Semua tempat, tidak hanya di kantor. Kalau bisa buat agar kami tidak bernapas dari kota yang sama."
"Akan saya usahakan."
Drrtt drrtt
"Siapa? Tolak jika itu dari dia!" Derren langsung curiga saat ponsel Julian berdering.
Julian mengangguk. Dengan satu tangan memegangi tubuh bosnya, dia merogoh ponsel di dalam saku celana. Manager Remon, itu nama id si penelepon. "Sepertinya terjadi sesuatu di perusahaan, Tuan. Tidak biasanya Remon menghubungi saya di malam seperti ini."
"Kalau begitu angkat saja. Perlu aku yang mengajari caranya?"
"Baiklah."
Khawatir bosnya ambruk, Julian meminta pengawal untuk memapahnya menuju kamar. Club ini memiliki ruangan VVIP yang dikhususkan untuk kaum beruang jika ingin menginap. Dan masalah privasi tentu tidak diragukan ragu. Pemilik club cukup tahu bagaimana cara mempertahankan usaha mereka dengan tidak menyinggung orang ber-uang.
Setelah bosnya dibawa pergi, Julian segera menjawab panggilan dengan penuh rasa was-`was. "Langsung bicara ke intinya saja. Apa yang terjadi dengan perusahaan?"
[Remon: "Tuan Julian, gudang bagian belakang kebakaran. Saya baru saja menerima kabar dari security yang berjaga di sana. Kemungkinan penyebab kebakaran berasal dari korsleting listrik."]
Nah, benarkan apa yang Julian khawatirkan? Dia diam sejenak, berpikir langkah mana yang harus diambil dengan kondisi bosnya yang sedang patah hati.
"Kau terus awasi siapa saja yang ada di sana. Jangan lupa minta bagian keamanan untuk secepatnya menyalin rekaman CCTV dan memindahkannya ke dalam flashdisk. Aku khawatir ada orang dalam yang menjadi otak dibalik kebakaran ini!" ucap Julian langsung mengatur strategi mengamankan barang bukti. Dengan begini dia tidak harus meninggalkan bosnya sendirian. Perusahaan memang penting, tapi memastikan bosnya baik-baik saja itu jauh lebih penting lagi.
[ Remon: Baik, Tuan. Dan satu lagi. Entah ini hanya kabar burung atau bukan, tadi saya sempat mendengar seseorang bicara lewat telepon kalau mereka berniat menjebak Tuan Derren. Emm ... maaf jika lancang. Tapi sepertinya Nona Zara ikut terlibat. Mohon Anda menyelidiki masalah ini lebih jauh. Saya khawatir itu bukan hanya kabar burung, melainkan benar akan dilakukan oleh mereka."]
Ekpresi wajah Julian langsung berubah dingin begitu mendapat laporan dari Remon. Jadi ini alasan kenapa Nona Zara berselingkuh dengan Tuan Keenan? Menarik. Kekasih Tuan Derren diam-diam menjelma menjadi musuh dalam selimut.
"Ada untungnya juga Tuan Derren mengetahui perselingkuhan yang dilakukan oleh mereka. Dengan begitu aku tak perlu bersusah payah meyakinkan beliau kalau wanita yang dicintainya itu memiliki maksud terselubung," ucap Julian sembari berjalan menuju kamar bosnya. Namun, baru beberapa langkah dia bergerak, pengawal yang tadi dia tugaskan menemani bosnya, berlarian menghampiri. Julian panik, lalu mendesak mereka untuk mengatakan apa yang telah terjadi.
"Ada apa? Kenapa kalian malah kemari? Di mana Tuan Derren? Bukankah tadi aku meminta .... "
"Tuan Julian, ini gawat!"
"Gawat?"
"Iya. Tadi saat kami sedang mengantarkan Tuan Derren masuk ke dalam kamar, seorang wanita tiba-tiba muncul dan mengusir kami semua. Setelah itu pintu kamar di kunci dari dalam."
Mata Julian membulat besar mendengar laporan dari pengawal. "Ya Tuhan, apalagi sekarang. Cepat kalian selidiki latar belakang wanita yang menerobos masuk ke kamar Tuan Derren. Jika berbahaya, kita harus segera mendobrak pintunya. Bos kita sedang mabuk. Cepat lakukan dengan cepat!"
"Baik."
***
Julian menarik napas panjang seraya menatap lekat pintu kamar yang masih tertutup. Dia tengah dilanda dilema antara mendobrak pintu tersebut atau membiarkan tamu tak diundang itu tetap berada di dalamnya.
"Apa yang harus ku lakukan?"
Begitu menerima laporan, Julian bergegas menyelidiki latar belakang wanita yang memaksa masuk ke kamar bosnya. Dan begitu mengetahui identitas wanita tersebut, dia merasa sedikit lega karena bukan musuh yang menyelinap. Hanya seseorang yang salah memasuki kamar. Mungkin.
"Tuan Julian, Tuan Derren sangat menjaga tubuhnya dari sentuhan wanita selain Nona Zara. Jika kita tidak segera menyeret wanita itu keluar dari sana, bukankah itu sama saja dengan membangunkan singa yang sedang tidur?" tanya salah satu pengawal merasa resah. Dia dan rekan kerjanya yang lain terancam menjadi pengangguran jika bos mereka sampai mengamuk.
"Nona Zara ya?" Julian tiba-tiba menyeringai tipis. Satu ide cemerlang melintas di kepalanya. Setelah itu Julian berbalik menatap satu-persatu kepada para pengawal. "Tuan Derren dan wanita itu akan tetap berada di dalam kamar. Tak etis jika kita mengganggu kesenangan mereka sekarang."
"Tapi .... "
"Tidak ada tapi-tapian. Ini perintah!"
"Em baiklah."
"Aku yang akan menjamin keselamatan kalian besok saat Tuan Derren murka. Sekarang kita berbagi tugas untuk menjaga kenyamanan Tuan Derren. Pastikan tidak ada siapa pun yang mengganggu mereka malam ini."
Drtt drtt
Begitu Julian selesai memberikan perintah, ponsel milik bosnya bergetar. Satu alisnya tampak naik ke atas saat membaca id dari si pengirim pesan. "Ck, tak tahu malu. Setelah menjajakan tubuhnya pada pria lain, masih berani dia memanggil Tuan Derren dengan sebutan sayang. Ternyata memang benar kalau j*lang itu nyata keberadaannya."
Sementara itu di dalam kamar, dua insan yang sama-sama berada di bawah pengaruh alkohol terlihat sibuk bergumul sambil menyentuh di sana sini. Separuh tubuh mereka sudah tidak tertutup kain, hanya dililit selimut yang bentuknya sudah tidak karu-karuan.
"Uhh kau berat sekali. Aku sulit bernapas,"
"Bukankah ini yang kau sukai dari Keenan?"
"Keenan? Apa itu semacam nama kue? Ouhh, pelan-pelan. R*masanmu terlalu kuat, bodoh! Kau menyakitiku!"
"Jangan berlagak seolah kau baru pertama kali diperlakukan seperti ini. Kau ... j*lang. Dan sialnya aku mencintaimu."
Samar-samar Ailen seperti mendengar seseorang menyebutnya sebagai j*lang. Pandangan yang mengabur serta tubuh yang seringan kapas, membuatnya seperti tak memiliki kekuatan untuk sekadar mendorong seseorang yang tengah menindihnya. Belum lagi dengan rasa panas yang begitu membakar badan, membuat Ailen tak kuasa menolak setiap sentuhan yang dilakukan oleh orang ini. Meski terkadang kasar dan menyakitkan.
"T-tubuhku sangat panas dan rasanya sangat aneh. Tolong aku," keluh Ailen sembari meraba perut pria di atasnya. Walau pun sedang mabuk, otaknya bisa mencerna seberapa banyak deretan roti sobek yang ada di sana. Ailen tersenyum, mesum. "Kau sangat sempurna. Pasti rasanya akan sangat memuaskan jika kita menghabiskan malam bersama sekarang."
"Malam bersama?" Derren menghentikan gerakan bibirnya yang tengah asik berkelana di bagian dada. Penglihatannya agak buram. "Zara, selama ini aku sangat berusaha keras menjaga hawa napsuku agar tidak menyentuhmu. Tetapi malam ini ... apa yang baru saja kau katakan? Kau ingin menghabiskan malam denganku?"
"Ya. Apa kau keberatan?"
"Tentu saja tidak. Kau sendiri yang datang menawarkan diri, jadi jangan menyesal dan menuduhku telah melecehkanmu. Ingat, sebelum datang kemari kau telah lebih dulu bercinta dengan Keenan. Mengerti?"
"Y-ya aku mengerti."
Terbakar gelora napsu dan juga kekecewaan, Derren tak lagi mengulur waktu. Dengan sedikit sempoyongan dia beranjak dari atas tubuh Ailen kemudian melepas semua pakaian yang masih tersisa. Melihat hal itu pun Ailen tidak tinggal diam. Segera dia men*lanjangi diri dan membuang semua pakaian di lantai. Posisi perut Derren yang berada tepat di depan wajahnya membuat Ailen bergerak cepat dengan mengusap deretan roti sobek tersebut.
Glukk
"Kau sangat perkasa. Bisakah kita segera memulai?" Ailen kembali menelan ludah. "Aku tak sabar,"
Bak terbangun dari mimpi buruk, kedua mata Derren langsung membulat lebar begitu tersadar kalau wanita yang dia kira Zara ternyata adalah orang lain. Tubuhnya membeku di tempat. Apalagi sekarang wanita ini tidak mengenakan apa-apa lagi. Gundukan dua bukit kembar yang terlihat kenyal dan lembut, juga dengan bibirnya yang sedikit terbuka serta wajah yang memerah, seakan mengundangnya untuk segera memberi sentuhan.
(A-apaan ini? Siapa dia dan kenapa tidak memakai baju? Apa yang terjadi? Dan ... di mana Julian? Mungkinkah wanita ini adalah seseorang yang dia bayar untuk menemaniku? Sialan! Aku tak tahan!)
"Hei, kenapa diam? Tidakkah kau ingin menyentuhku?" tanya Ailen tak sabaran. Enggan menunggu, dia menarik satu tangan pria ini kemudian dia letakkan di bagian dada. Tatapan Ailen begitu sayu, sangat amat mendamba sentuhan yang akan pertama kali dia rasakan. "Aku menunggumu. Mari lakukan."
"Kau siapa?"
"Aku?"
"Aku tidak mengenalmu."
"Bercinta tidak harus saling mengenal lebih dulu, Tuan. Selama kita sama-sama menginginkan, kenapa tidak?"
Derren terpaku diam. Pandangannya kemudian beralih ke dada wanita ini. Benarkah dia akan menolak sesuatu yang sangat menggiurkan?
"Uhhh panas. Tolong aku, Tuan. Panas," Ailen tiba-tiba memekik. Walaupun suhu ruangan sudah cukup dingin, itu tak membuat keringatnya berhenti mengalir. Setelah itu Ailen merebahkan tubuhnya ke ranjang kemudian menggeliat menahan sakit. Dia mengerang sambil menyentuh di sana sini. "Tolong aku. Please,"
(Wanita ini ... mungkinkah seseorang telah memberinya obat? Brengsek! Dia bisa mati kalau keinginannya tidak tersalurkan. Arggghhhh!)
"Siapa namamu?" tanya Derren melunak. Dia kemudian berbaring di samping wanita yang terus merintih kesakitan. Tak tega, tapi akal sehatnya masih bisa bekerja dengan baik. Derren tak mau dianggap sedang memanfaatkan kesempatan. "Dengan siapa kau datang ke club ini?"
"Tuan, ku mohon tolonglah aku. Rasanya tubuhku seperti dipanggang di dalam oven. Sangat panas. Tolong aku," sahut Ailen setengah menghiba. Dia benar-benar sangat kesakitan sekarang.
"Jawab dulu pertanyaanku. Siapa namamu dan dengan siapa kau datang kemari."
"Aku Ailen. Aku datang bersama teman-temanku."
"Di mana mereka sekarang?"
"Di langit."
Hampir saja tawa Derren menyembur keluar saat mendengar jawaban dari wanita yang ternyata bernama Ailen. Berusaha mempertahankan kesadaran, dia menelisik dalam wajah wanita ini. Cantik, juga lucu.
"Ailen, kau tahu tidak apa yang akan terjadi jika aku menyentuhmu?"
Ailen tak menjawab. Dia sibuk menggeliat sambil memohon agar segera disentuh.
"Kita orang asing dan sedang sama-sama terpengaruh alkohol. Kau yakin memintaku untuk menidurimu?" Kembali Derren memastikan.
"Apapun itu tolong segera lakukan, Tuan. Aku benar-benar sudah tidak kuat lagi. Rasa ini sangat menyiksa. Please," jawab Ailen dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Pria ini terlalu mengulur waktu. Padahal dia sudah sangat kesakitan.
"Baiklah kalau memang itu maumu. Jangan salahkan aku jika besok kau terbangun dalam pelukan pria asing ini."
Dan pergumulan itu pun akhirnya terjadi. Derren yang sedang patah hati, seperti menemukan obat ketika mendengar suara d*sahan Ailen yang begitu indah. Pun dengan Ailen juga. Rasa sakit yang membakar tubuhnya seperti mendapatkan obat penawar begitu menerima sentuhan diberbagai tempat sensitif. Malam itu mereka menghabiskan waktu dengan penuh gelora. Tak terhitung berapa kali Ailen mendapat pelepasan. Yang jelas, mereka baru tertidur setelah tenaga di di tubuh masing-masing telah terkuras habis.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!