Ruang kelas 11-D tampak riuh dengan percakapan para siswa. Mereka terlibat dalam obrolan khas kelompok-kelompok pertemanan yang sudah terbentuk sejak awal tahun ajaran.
Kelompok A dikenal sebagai kelompok anak-anak berandalan. Mereka kebanyakan anggota ekstrakurikuler olahraga seperti sepak bola dan basket, dengan tujuh orang yang selalu terlihat bersama.
Di sisi lain, ada kelompok B, yang terdiri dari lima orang pecinta anime, atau lebih sering disebut wibu. Mereka asyik membahas serial terbaru yang ditonton semalam.
Kelompok C adalah kumpulan lima gadis dari keluarga kaya. Mereka selalu berbincang tentang belanja, liburan, atau rencana akhir pekan mereka di mal.
Lalu ada kelompok D, sepuluh siswa yang tidak terlalu menonjol. Mereka hanya menjalani hidup sekolah dengan santai tanpa ada ambisi berlebihan.
Namun, di luar kelompok-kelompok itu, ada Ash Kisaragi. Dia selalu duduk sendirian di pojok belakang, dekat jendela. Tatapannya yang kosong seakan tak mempedulikan hiruk pikuk di sekitarnya. Ash bukan tipe yang suka bergaul, tapi jika diajak bicara, dia akan merespons seperlunya. Namun, hari ini suasana kelas akan berubah drastis.
Sementara itu, di kelompok C, seorang gadis mulai memancing perhatian.
"Hei, kalian tahu nggak? Luna baru saja ditembak seseorang kemarin," ujar salah satu gadis dengan suara agak berbisik, tapi cukup untuk menarik perhatian yang lain.
"Luna?" tanya seorang gadis lain dengan cepat. "Siapa yang menembaknya?"
"Jinguji, dari kelas 11-B," jawabnya.
"Jinguji yang jago main bola itu?" Tanya gadis lain dari kelompok itu dengan mata berbinar.
"Iya, yang itu!" jawab gadis pertama, tersenyum puas karena bisa membawa kabar yang mengejutkan.
Luna, yang duduk tak jauh dari kelompok itu, langsung merasa malu. Wajahnya memerah, dan dia buru-buru menutupi wajahnya dengan tangan.
"Eh, Luna! Jadi gimana? Apa kamu menerimanya?" salah satu gadis dari kelompok C tiba-tiba berbalik, menanyakan langsung kepada Luna.
Luna menggeleng pelan, "A-aku menolaknya."
"Eh, serius?" semua gadis di kelompok itu tampak terkejut. "Padahal dia kan keren banget, Luna! Kamu nggak tertarik sama sekali?"
Luna hanya menggeleng lagi, tampak semakin malu dengan perhatian yang mendadak tertuju padanya.
Di sisi lain kelas, kelompok B juga sedang asyik dengan percakapan mereka.
"Kalian udah nonton anime musim ini?" tanya salah satu anggota mereka dengan penuh antusias.
"Udah dong, gila, manis banget ceritanya," jawab yang lain, tersenyum lebar.
"Tapi ini nyiksa, ya? Aku nggak bisa berhenti nonton walaupun tahu hatiku bakal hancur."
"Rasa sakit itu sungguh nikmat!" mereka tertawa bersama.
Saat itu, bel tanda masuk berbunyi, dan suara obrolan mulai mereda. Pagi ini, wali kelas 11-D yang juga guru matematika, memasuki ruangan.
"Pagi, semuanya. Silakan duduk, pelajaran akan segera dimulai," ujar sang guru dengan suara tenang, namun penuh wibawa.
"Iya, Bu," sahut para siswa, meskipun terdengar kurang bersemangat. Mereka segera duduk di tempat masing-masing, termasuk Ash yang dari tadi diam memperhatikan dari sudut kelas.
"Baiklah, hari ini kita akan—" suara sang guru tiba-tiba terputus ketika sebuah cahaya terang muncul di lantai kelas.
Siswa-siswa yang tergabung dalam kelompok otaku langsung bersemangat. "Jangan bilang ini lingkaran sihir pemanggilan dunia lain!" teriak salah satu dari mereka.
Ash yang duduk di belakang merasa ada yang tidak beres. Dia bangkit dari kursinya dan mencoba lari keluar kelas, tetapi terlambat. Seluruh ruangan sudah dipenuhi cahaya putih yang menyilaukan. "Sial... ini tidak lucu," gumam Ash kesal.
Seketika, semuanya berubah menjadi putih. Seperti kejadian dalam cerita isekai, sesosok dewi cantik dengan penampilan anggun muncul di hadapan mereka.
"Terima kasih telah menerima panggilan saya, wahai para pahlawan yang terhormat," ucap Dewi itu dengan elegan, suaranya mengalir lembut.
"Saat ini kalian berada di dimensi terpisah. Saya akan memberikan kemampuan agar kalian bisa hidup di dunia yang penuh monster, sihir, dan raja iblis. Dunia ini membutuhkan pahlawan untuk menyelamatkannya. Bolehkah saya meminjam kekuatan kalian, para Pahlawan yang Terpilih?"
Para siswa tampak terdiam, terpukau dengan kehadiran Dewi tersebut. Namun, Ash menunjukkan wajah kesal, seperti tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. "Kenapa aku juga terlibat dalam masalah ini?" pikirnya.
Semua siswa yang awalnya kebingungan, mulai menerima situasi. Kelompok otaku bahkan terlihat lebih bersemangat seolah mereka sudah lama menunggu momen seperti ini.
"Ini semua kemampuan yang bisa kalian pilih," ucap sang Dewi, sambil memunculkan papan transparan penuh tulisan. "Masing-masing dari kalian boleh memilih lima kemampuan."
Kemampuan bertarung, kemampuan sehari-hari, dan kemampuan pendukung tertulis di sana. Masing-masing siswa tampak antusias memilih apa yang mereka inginkan, terutama yang sudah sering melihat konsep ini dari anime atau game.
Saat giliran Ash tiba, dia menghela napas panjang sebelum membaca cepat daftar kemampuan.
Aku tidak butuh kemampuan bertarung. Fokus saja pada yang bisa membantuku untuk menjalani hidup. Pandai Besi, Alkemis, Pengrajin, Penilaian, dan Enchanting Item. Itu saja, pikirnya.
"Baik, saya akan memilih Pandai Besi, Alkemis, Pengrajin, Penilaian, dan Enchanting Item," ucap Ash dengan tenang.
Sontak, seluruh kelas menatap Ash dengan heran.
"Kenapa dia tidak mengambil kemampuan bertarung?" bisik beberapa siswa.
Setelah selesai memilih, Ash berjalan kembali menjauh dari kerumunan, kembali menyendiri. Tak lama, kelompok otaku mendekatinya.
"Hei, Bro, kenapa kamu nggak ambil kemampuan bertarung?" tanya salah satu dari mereka.
Ash menoleh sedikit dengan wajah datar. "Aku tidak butuh kemampuan bertarung. Aku juga tidak tertarik untuk mengalahkan raja iblis atau jadi pahlawan."
"Lho, tapi ini kesempatan besar! Kamu nggak mau jadi pahlawan, dapet kekuatan super, dan nyelamatin dunia?" tanya yang lain, penuh semangat.
Ash hanya menghela napas dan berdiri. "Kalian saja yang menikmatinya. Semoga kalian berhasil," ucapnya dengan nada rendah.
Setelah semua orang memilih kemampuan mereka, Dewi itu melanjutkan ritual pemindahan. "Kalian akan dipindahkan ke sebuah hutan dekat kota Ranvel, di kerajaan Erlasia," jelas Dewi itu. Cahaya terang muncul di bawah kaki mereka, dan sekali lagi, mereka harus menutup mata karena sinarnya yang menyilaukan.
Saat mereka membuka mata, para siswa menemukan diri mereka berada di sebuah hutan dengan pepohonan tinggi dan lebat. Suasana sunyi, hanya terdengar aliran air dari kejauhan.
"Apa kita benar-benar pindah ke dunia lain?" bisik salah satu siswa dengan penuh kekaguman.
"Sepertinya begitu," jawab temannya sambil memperhatikan sekeliling.
Namun, Ash langsung bergerak cepat. Ia mengaktifkan skill Penilaian, matanya yang biru mulai berpendar dengan pola sihir yang aktif. Semua informasi tentang lingkungan di sekitarnya muncul dalam bentuk panel deskripsi, mirip seperti antarmuka game.
"Hmm, sepertinya ini berfungsi dengan baik," gumamnya.
Ash segera mendekati guru mereka, Bu Natsumi, yang tampak kebingungan seperti siswa lainnya. "Bu, saya mau pergi dan melihat-lihat sekitar," ucap Ash.
"Jangan, Ash! Dunia ini berbahaya. Dewi itu bilang ada monster-monster buas!" seru Bu Natsumi, mencoba menghentikannya.
Ash mengabaikan larangan itu. Tanpa banyak bicara, dia berbalik dan mulai berjalan menjauh. "Ash!" teriak Bu Natsumi lagi, namun dia tahu Ash tidak akan mendengarnya.
Kelompok berandalan tertawa kecil melihat Ash pergi sendirian. "Biarkan saja dia, Bu. Lagipula, dia kan aneh dan nggak pernah gabung sama kita," ucap salah satu dari mereka dengan nada meremehkan.
"Iya, biarkan saja," sahut salah satu gadis dari kelompok C.
Bu Natsumi hanya bisa menghela napas, bingung harus melakukan apa. Dia tidak bisa meninggalkan para siswa lain hanya untuk mengejar Ash.
.
.
.
Setelah berpisah dengan yang lain, Ash berjalan menelusuri hutan. Ia berniat mencari sumber air, yang dalam pikirannya berarti menemukan sungai.
"Aku tak peduli dengan apa yang ingin mereka lakukan—menjadi pahlawan atau petualang, mengalahkan raja iblis. Persetan dengan itu semua! Aku hanya ingin hidup tenang," gerutu Ash sambil melangkah melewati semak-semak dan pepohonan.
"Yah, untuk pertama aku harus mengamankan sumber air dan mencari makanan. Aku tak tahu sejauh apa hutan ini dari kota yang bernama Ranvel itu."
Setelah berjalan selama lima belas menit, akhirnya Ash mendengar aliran air. Dan benar saja, itu adalah sebuah sungai yang jernih, bahkan ikan yang berenang dengan bebas dapat dilihat dengan jelas.
"Sumber air didapatkan, selanjutnya mencari tempat berteduh, lalu mencari makanan," gumam Ash lirih sembari melirik ke sekitar.
Apa ada orang yang mengikutiku?
Merasa ada yang memerhatikan dirinya, Ash melanjutkan langkahnya melawan aliran sungai. Ia mengabaikan perasaan yang mengganggu pikirannya, seolah sedang diikuti, dan mencoba fokus untuk mencari tempat berlindung.
Ia terus berjalan dan melihat ada tebing yang tinggi, serta sebuah air terjun yang berada di ujung sungai. "Sepertinya di sini cukup bagus. Aku akan mendirikan tempat berlindung di sini," pikirnya sambil tersenyum kecil.
Di tengah hutan yang rimbun, dekat dengan air terjun dan sungai, Ash duduk bersandar di dinding tebing. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mengumpulkan pikirannya.
"Baiklah, aku tak tahu ini dunia yang sama atau berbeda. Mari kita lihat. Status Open!"
...Nama: Ash Kisaragi...
...Ras: Manusia...
...Gelar: Pahlawan...
...Pekerjaan: Pandai Besi (Level 1), Alkemis (Level 1), Pengrajin (Level 1)...
...Kemampuan: Penilaian, Item Enchanted...
...Kemampuan Bawaan (Terkunci): Master Senjata, Penciptaan Sihir, Mata Elang, Deteksi...
...Pekerjaan Bawaan (Terkunci): Kesatria Suci, Pembunuh, Sage...
Hanya pekerjaan/job yang memiliki level.
"Ternyata benar, kemampuanku yang dulu juga ada, tapi terkunci, yah?" Ash bergumam, sedikit kecewa namun tetap optimis.
Ia bangun berdiri dan mengaktifkan skill Penilaian untuk mencari bahan guna membuat sebuah alat bertahan hidup. "Huft~ Yah, lagipula hanya ada kayu dan batu saja."
Setelah menemukan dua bahan tersebut, ia mengumpulkan dahan kayu yang telah roboh, akar, dan bebatuan. Ia mengambil dua buah batu yang berbeda dan menghancurkan salah satunya dengan batu yang lain. Dengan sabar, Ash mengikis ujung batu tersebut agar tajam.
Lalu, ia membelah ujung ranting kayu dengan batu yang telah ditajamkan pinggirannya, menyatukan batu tersebut dengan ranting yang telah dibelah dan diikat dengan akar.
...[Pisau Batu Kualitas 1★]...
"Saatnya pergi memasuki hutan dan mengumpulkan kayu yang cukup, akar, dan dedaunan," gumam Ash sambil melihat pisau yang telah ia buat.
---
Setelah mengumpulkan semua bahan, Ash memulai membangun sebuah gubuk kecil dengan kayu yang ia kumpulkan. Pertama, ia mengikis ujung kayu dengan pisau batunya, membuat ujungnya runcing dan ditancapkan ke tanah. Ash membuat lima sebagai pondasi.
Tengah gubuk dan empat lainnya untuk bagian luar membentuk persegi. Ia mengikat kayu satu persatu dengan yang lainnya menggunakan akar, Ash mulai membentuk dinding. Ia terus bekerja tanpa henti hingga gubuk sederhana itu pun jadi.
"Fiuh~ Tak kusangka aku bisa menyelesaikannya dalam satu hari. Yah, ini juga berkat job Pengrajin," gumamnya penuh rasa senang melihat gubuk yang ia bangun.
Namun, rasa senangnya itu tak berlangsung lama karena saat membangun gubuk, Ash selalu dikelilingi oleh rasa diawasi seseorang. "Baiklah, karena ini sudah selesai, waktunya membereskan masalah lain," ucapnya sambil menoleh ke arah salah satu pohon.
"Kiii!" terdengar teriakan kaget dari seekor makhluk yang selama ini mengawasi Ash. Makhluk itu langsung meloncat turun dari pohon dan melarikan diri.
Ash hanya diam melihat makhluk itu melarikan diri. "Hmm? Goblin, kah?" Ia mencoba menerka makhluk apa yang selama ini mengawasinya.
Ash merenung sejenak. Jika itu benar-benar goblin, maka malam ini... ah! Benar-benar merepotkan. Sepertinya aku akan begadang malam ini.
Menyadari apa yang akan terjadi, Ash mulai menggunakan kemampuan Pengrajin dan Pandai Besinya. Ia terus membuat pisau dari batu hingga akhirnya mendapat pisau batu yang memiliki kualitas bagus.
...[Pisau Batu 5★]...
"Kurasa yang ini bagus. Saatnya mencoba skill satunya."
Item Enchanted, sebuah skill di mana pengguna dapat memperkuat senjata atau alat tertentu dengan menambahkan efek buff maupun debuff pada senjata tersebut. Sihir, unsur elemen, bahkan racun sekalipun dapat dimasukkan.
...[Catatan penting: setiap senjata memiliki batas penguatan. Jika melebihi kapasitas, senjata akan hancur.]...
Tentunya Ash tidak bodoh untuk mencobanya pada pisau batu 5★. Ia memakai pisau yang kualitasnya di bawah itu sebagai bahan percobaan.
"Enchant: Smite, Penetration, Atk up!" Pisau batu itu mulai bercahaya, dan muncul tulisan sihir yang terukir pada bilahnya, namun pisau itu tiba-tiba hancur.
"Ah! Sepertinya tiga penguatan terlalu berlebihan."
Setelah banyak percobaan, pisau batu hanya bisa menahan dua penguatan saja. Ash pun mulai memperkuat pisau batu dengan kualitas tertinggi yang ia punya.
...Pisau Batu 5★...
...[Peningkatan Ketajaman dan Peningkatan Penetrasi]...
"Kurasa ini sudah cukup," gumam Ash.
Ia bangun berdiri dan keluar dari gubuk, melihat ada begitu banyak bayangan makhluk berkaki dua yang memiliki tubuh kecil.
"Jadi kalian datang juga." Ash langsung melemparkan pisau batu yang lain sebagai serangan dadakan dan mengenai beberapa dari goblin yang bersembunyi di balik pohon.
Karena ada rekannya yang terkena serangan, para goblin mulai berteriak dan melancarkan serangan ke arah Ash.
Dengan penuh rasa waspada, Ash melihat sekitarnya dan menghitung jumlah para goblin. "Hmm, totalnya ada dua puluh goblin, yah?"
Ash langsung berlari menuju ke arah para goblin tanpa rasa takut. Ia melempar pisau-pisaunya satu per satu ke arah goblin dengan akurasi yang sangat hebat. Semua pisau itu berhasil mengenai tepat di kepala para goblin dan menumbangkan mereka dalam satu serangan.
"Tujuh sudah dikalahkan. Pisauku juga sudah habis. Sekarang pertarungan jarak dekat."
Hanya satu pisau yang tersisa, yaitu pisau 5★ yang telah diperkuat. Ash bergerak dengan cepat melawan para goblin satu demi satu. Layaknya sedang menari, pergerakan Ash sangat anggun. Ia membunuh para goblin satu per satu tanpa adanya gerakan yang sia-sia.
Yah, para goblin itu salah memilih lawan, seorang pahlawan yang pernah mengalahkan raja Iblis tak mungkin akan kesulitan dalam melawan monster keroco seperti goblin, meskipun skillnya terkunci sekalipun.
"Hanya skill-ku yang terkunci, bukan berarti pengalaman dan kemampuan fisik-ku juga ikut hilang," gumam Ash, berdiri dengan penuh bercak darah di sekujur pakaiannya.
"Sepertinya sudah tak ada goblin lagi di sekitar." Ash melepaskan jas sekolahnya yang dipenuhi oleh bercak darah dan membasuhnya di sungai. Setelah itu, ia menjemurnya dengan dibentangkan di atas tiang kayu. Tentu saja, itu akan sulit kering mengingat hari sudah malam.
Menyalakan api di tengah kegelapan, terlebih lagi di dalam hutan, juga cukup berbahaya dan dapat mengundang para monster. Karena hal itulah Ash masuk ke dalam gubuknya dan tidur dengan posisi duduk, bersandar di tiang tengah gubuk sembari memegang pisau di tangannya.
................
Hari pun berganti. Sinar mentari masuk melewati sela-sela kayu dan mengenai wajah Ash, hingga membuatnya terbangun. "Hmm? Sudah pagi yawnn?" gumamnya sambil menguap.
-Keak! Kwak!
"Suara apa sih? Berisik sekali!?" Ash keluar dari gubuknya dan melihat ada begitu banyak burung gagak memakan bangkai para goblin.
"Ah, benar juga, aku lupa membersihkan mayat para goblin semalam. Oh iya, aku harus mengumpulkan batu sihirnya."
Ash mulai membedah bagian dada setiap goblin untuk mengambil batu sihir yang tertanam di dalamnya. Ia lalu mengumpulkan mayat mereka di satu tempat dan membakarnya.
Batu sihirnya disimpan di dalam kantung jas sekolahnya yang masih lembab karena belum kering. Ash tak memakainya karena itu, dan tetap menjemurnya agar kering.
-Kruuuck~
Perutnya menggerutu karena lapar. Lagi pula, Ash tak makan apapun sejak dipindahkan ke dunia lain. Ia terlalu fokus membangun gubuk hingga melupakan hal itu.
"Sepertinya aku harus mencari makanan terlebih dahulu," gumamnya sambil memegang perutnya yang keroncongan.
Ash memasuki hutan dan mengaktifkan skill Penilaiannya untuk mencari jamur dan tanaman herbal. Berkat skill itu, ia tak akan salah mengambil tumbuhan dan terkena racun.
Setelah mengumpulkan cukup banyak, Ash kembali ke gubuknya. Ia menyalakan api unggun untuk memanggang jamur yang telah ditusukkan ke ranting. Sembari menunggu matang, Ash mencoba kemampuan Alkemisnya untuk membuat ramuan dari tanaman herbal yang ia kumpulkan.
"Ah, ini cukup sulit karena aku tak punya alatnya," gumamnya.
Karena hal itu, Ash hanya menyimpan tanaman herbalnya di dalam gubuk. Tak lama kemudian, jamur yang ia panggang akhirnya matang, dan Ash pun menyantapnya dengan lahap.
Rasa gurih jamur itu membuatnya merasa sedikit lebih bertenaga setelah semalaman kelaparan. Sambil mengunyah, Ash membuka layar statusnya dan memeriksa kemampuan pandai besinya.
...[Pandai Besi Level 1 (78%)]...
"Hmm, sebentar lagi naik ke level dua, yah?" gumam Ash sambil mengelap mulutnya. Dengan semangat baru, ia mulai mengumpulkan kayu kering dan ranting untuk membuat pedang kayu, berharap bisa meningkatkan level pandai besinya.
...[Pandai Besi Level 2: Membuka Skill Baru]...
...Quick Craft: Kemampuan untuk membuat senjata secara instan, syarat telah membuat senjata itu dengan jumlah tertentu dan memiliki kualitas 5★ ke atas....
"Bagus!" seru Ash penuh semangat, senyumnya merekah. Dia merasa pencapaiannya kali ini layak dirayakan, dan skill barunya akan sangat membantunya di dunia ini.
"Baiklah, saatnya mencoba skill bar—"
Namun, kalimatnya terhenti saat mendengar suara teriakan seorang wanita dari balik hutan. Suara itu penuh ketakutan, membuat jantung Ash berdegup kencang.
"Astaga! Apa yang terjadi?" pikirnya, dan tanpa berpikir panjang, ia bangun berdiri dan berlari ke arah sumber suara. Meski di dalam hatinya, ada keinginan untuk mengabaikan keributan itu, instingnya mendorongnya untuk bertindak. Tubuhnya bergerak secara refleks, seolah sudah terprogram untuk melindungi.
Saat mencapai lokasi, Ash bersembunyi di balik sebuah pohon besar yang rindang. Ia memandang tajam ke arah keributan yang terjadi di depannya. Di sana, ia melihat sekelompok teman sekelasnya, terlibat perseteruan yang sengit. Beberapa dari mereka mengarahkan senjata ke satu sama lain, wajah mereka dipenuhi ketegangan.
Pada hari pertama setelah dipindahkan ke dunia lain, kebingungan melanda semua orang. Namun, kelompok Wibu tampak tenang dan mengerti, seolah mereka sudah akrab dengan situasi seperti ini, seperti yang sering mereka lihat dalam anime, komik, dan novel yang mereka baca.
"Bu Natsumi, bagaimana nasib kita sekarang?" tanya anak-anak dengan nada gelisah, wajah mereka dipenuhi kecemasan.
"Semuanya tenang, ya? Ibu akan mencari cara," jawab Bu Natsumi dengan suara tenang, berusaha memberi keyakinan kepada murid-muridnya.
Sementara itu, para Wibu berkumpul, saling bertukar informasi mengenai status senjata dan skill yang mereka miliki. Dalam kebisingan tersebut, kelompok anak-anak berandalan mulai membuat keributan, menunjukkan skill dan senjata yang mereka dapat.
Di sudut lain, kelompok gadis-gadis kaya hanya duduk diam, terus mengeluh, kecuali Luna, yang berusaha membantu Bu Natsumi menenangkan teman-teman sekelasnya. Luna, sebagai ketua kelas, merasakan tanggung jawab untuk menjaga kedamaian di tengah kekacauan ini.
Namun, keributan yang dibuat oleh para anak berandalan menyebabkan goblin mulai muncul dan mengepung mereka. Semua orang membeku melihat monster untuk pertama kalinya, kecuali para Wibu yang langsung melawan dengan keberanian.
Melihat Wibu yang bertarung dengan semangat, anak-anak berandalan tak mau kalah dan ikut terjun ke pertempuran. Meskipun tidak berpengalaman, mereka berhasil membuat goblin mundur.
Setelah pertempuran, para Wibu mengeluarkan peralatan survival dari tas penyimpanan mereka—tenda, panci, obor, roti, daging kering, dan wadah air.
"Kita harus mencari sungai dan mendirikan kemah di sana. Kita perlu persiapan untuk perjalanan menuju kota Ranvel, seperti yang dikatakan oleh Dewi," jelas Yuuto, salah satu dari kelompok Wibu, dengan nada tegas.
Bu Natsumi mengangguk setuju, dan para murid yang lain mengikuti tanpa banyak bertanya, meski kebingungan masih terbayang di wajah mereka.
Para Wibu pun meminta murid lain yang mengambil peralatan survival untuk mengeluarkan alat-alat mereka. Murid yang memiliki skill memasak pun diminta untuk menyiapkan makanan. Dengan semua orang saling bekerja sama, suasana yang semula tegang perlahan mulai membaik.
Setelah satu hari berlalu, saat semua orang sudah tenang, diskusi untuk merencanakan masa depan dimulai. Namun, suasana yang awalnya akrab tiba-tiba memanas.
"Hah? Kenapa kami harus melakukannya? Bukankah kalian yang seharusnya melakukan ini?" ucap Risa, salah satu dari kelompok gadis-gadis kaya, menentang permintaan para Wibu dengan nada menyentak.
"Tunggu Risa," Luna menyela. "Aku juga melakukannya, jadi ayo lakukan sama-sama."
"Aku tidak mau! Kita ini gadis-gadis berkelas, Luna, bukan gadis-gadis biasa dengan pekerjaan kasar!" balas Risa, suara penuh ketidakpuasan.
Keributan pun tak terhindarkan. Para berandalan mulai bertingkah, berusaha menyerang para gadis. Namun, para Wibu berhasil menghentikan keributan itu, meskipun beberapa dari anak-anak berandalan akhirnya pergi dengan kemarahan membara.
Semua orang yang seharusnya bersatu kini berpisah, bagaikan kaca yang jatuh dan pecah menjadi ribuan kepingan.
...---...
Kembali pada Ash...
Ash bersembunyi di balik pohon, mencoba memahami situasi. Ia melihat kelompok berandalan yang mengejar kelompok gadis-gadis kaya, dan hatinya bergetar melihat ketidakadilan itu.
"Menjauh! Dasar berengsek!" teriak Risa, suaranya bergetar ketakutan.
"Hehehe! Menyerah saja dan biarkan kami menggunakan tubuh kalian!" balas salah satu anak berandalan dengan senyum mesum.
Melihat kejadian itu, Ash menghela napas berat. "Huft~ mau di dunia manapun, sampah tetaplah sampah, yah?" gumamnya dalam hati.
"Huh?!" para anak berandalan itu berbalik, memandang Ash dengan tatapan kesal.
"Hee~ kukira siapa, ternyata hanya anak nolep yang muncul lagi setelah pergi sendiri di hari pertama. Apa? Kau ingin bermain pahlawan?" ejek salah satu dari mereka, tawa mengejek menyebar di antara mereka.
"Entahlah, aku hanya mendengar teriakan seorang gadis, lalu aku datang dan melihat penjahat yang hendak menyerangnya," balas Ash dengan nada acuh, seolah meremehkan mereka.
"Padahal baru satu hari tapi kalian sudah gila, aneh sekali. Apa ini pahlawan yang dipilih oleh Dewi itu?" tambah Ash dengan tatapan dingin.
Amarah para anak berandalan semakin memuncak, dan mereka menyerang Ash dengan senjata yang mereka peroleh dari pemilihan saat bertemu Dewi. Di antara mereka ada pengguna pedang besar, tombak, busur panah, penyihir, dan paladin.
Cih, meskipun mereka menyerang secara membabi buta, ini tetap merepotkan melihat komposisi kelompok mereka, batin Ash sambil terus menghindari setiap serangan yang diarahkan kepadanya.
Saat pemanah mengarahkan panahnya ke arah para gadis, Ash tidak berpikir dua kali. Ia melemparkan pisaunya, memutuskan tali busur dengan presisi tinggi.
"Apa kau bodoh? Melemparkan senjata satu-satunya demi menolong para gadis itu?" teriak pengguna pedang besar, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh.
Ash melompat ke samping untuk menghindari serangan itu.
-Bam!
Sebuah pohon besar terbelah dan tumbang menghantam tanah dengan keras, membuat debu beterbangan ke udara.
Ash berlari maju, berdiri di depan para gadis yang ketakutan. "Kalian cepatlah lari," bisiknya tanpa menoleh ke belakang.
"Kaki kami tak bisa digerakkan lagi... tenaga kami sudah habis," jawab Risa, suaranya bergetar.
Pengguna tombak langsung menyerang Ash, menusukkan tombaknya ke arahnya. Dengan gerakan cepat, Ash menghindar dan menangkap tombak tersebut, lalu menendang perut anak berandalan itu hingga terjatuh dan kehilangan kendali atas senjatanya.
Dengan tombak di tangannya, Ash melemparkan senjata itu, mengenai kaki pengguna busur dan melumpuhkannya. Kini tersisa tiga orang lagi.
"Cih! Bagaimana orang ini bisa sangat kuat? Bukankah dia hanya mengambil kemampuan kehidupan saja?" gerutu pemimpin anak berandalan dengan nada ketakutan.
"Ada apa? Masih mau lanjut?" tantang Ash dengan senyum sinis, mengambil ranting kayu yang seukuran pedang.
"Kau pikir bisa melawanku dengan ranting kayu, hah!?" pemimpin anak berandalan dengan pedang besar maju ke depan dengan percaya diri.
"Quick Craft: Wooden Sword! Enchant: Penetration!"
Ranting kayu itu tiba-tiba berubah menjadi pedang kayu.
...[Wooden Sword 7★]...
...(Penguatan Penetrasi)...
-Slash!
Pertemuan kedua senjata itu menghasilkan suara yang menggema.
"Apa yang..." pemimpin para berandalan itu terkejut, gemetar saat melihat pedangnya terbelah oleh pedang kayu.
"Ada apa? Masih mau lanjut?" tanya Ash, tatapan dinginnya menembus ketakutan pemimpin itu.
Tanpa berkata-kata lagi, pemimpin dan teman-temannya berbalik dan melarikan diri, meninggalkan Ash sendirian.
Ash menghela napas lega, tetapi tangannya masih bergetar, pedang kayunya hancur akibat penggunaan yang berlebihan. "Ahaha, itu benar-benar pertaruhan yang berisiko. Membelah pedang besi dengan pedang kayu, jika bukan pedang kayu 7★ dengan penguatan penetrasi, aku tak yakin bisa melakukannya," gumam Ash lirih sambil memandang tangan kanannya yang masih gemetar.
Ia menoleh ke belakang. "Apa kalian baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
Para gadis hanya mengangguk diam, tetapi Luna tiba-tiba berdiri dan memeluk Ash dengan erat.
"Terima kasih, Ash!" seru Luna, suara leganya menghiasi suasana yang tegang.
"Lu-Luna?!" Ash terkejut, wajahnya memerah mendengar ungkapan rasa terima kasih itu.
Luna dan Ash adalah teman masa kecil, mereka selalu bersekolah di tempat yang sama dari taman kanak-kanak hingga SMA, sehingga momen ini membawa kembali banyak kenangan indah.
"Ah, bisakah kau melepaskan aku dulu?" tanya Ash, merasa canggung dengan pelukan Luna yang tiba-tiba.
Luna melepaskan pelukannya dengan lembut, air mata masih mengalir di pipinya.
Lalu tiba-tiba terdengar suara tapak kaki kuda yang cukup banyak, getaran dari tanah membuat daun-daun kering bergetar. “Kalian semua pergilah menuju ke arah sana, aku akan melihat keadaan sekitar,” ujar Ash sambil menunjuk ke arah gubuk yang dibangun olehnya.
Luna dan teman-temannya mengangguk pelan, wajah mereka masih menunjukkan rasa takut namun penuh harapan, dan segera beranjak mengikuti petunjuk Ash. Mereka tahu bahwa saat ini, saling percaya satu sama lain adalah hal yang penting.
Ash berlari menuju sumber suara, jantungnya berdegup kencang. Ia melompat ke atas dahan pepohonan, memanjat dengan lincah dan bersembunyi di antara cabang-cabang yang rimbun. Dari sana, ia mengamati pemandangan di bawahnya.
Di kejauhan, sebuah pasukan berkuda muncul, berkendara dengan anggun di atas kuda-kuda yang berkilau. Mereka membawa bendera berwarna biru dengan lambang kerajaan yang megah, simbol dari kekuatan dan keadilan. Di tengah barisan, Ash melihat guru dan teman-teman sekelasnya berkumpul dengan ekspresi campur aduk—kekhawatiran dan harapan. Tak lama setelah itu, kelompok anak berandalan yang tadi melawan pun bergabung dengan mereka, menambah kekacauan di tengah ketegangan itu.
“Jadi, mereka jemputan ya?” gumam Ash, menyadari situasi yang kini semakin kompleks. Sebuah rasa lega mulai menyelimuti hatinya. Mungkin mereka akan mendapatkan bantuan yang sangat dibutuhkan.
Sebaiknya aku kembali dan mengabari para gadis itu. Bu Natsumi sepertinya tak akan pergi selagi murid-muridnya belum lengkap. Pikiran ini mendorongnya untuk segera kembali ke gubuk.
Dengan langkah hati-hati, Ash menjauh dari tempat pengintaian dan berusaha menyusuri jalur yang sama tanpa menimbulkan suara. Setiap gerakan di tengah hutan seolah terasa lebih intens, bahkan suara angin pun terdengar lebih jelas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!