NovelToon NovelToon

YOUNG MARRIAGE

1>>

Namanya Ayuna Prawiska, biasa dipanggil Yuna. Gadis yang telah dikaruniai garis wajah yang cantik dan manis sejak lahir. Umurnya sudah mengingak 19 tahun, dan sekarang ia duduk di bangku kuliah semester 5.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, hari Yuna selalu diawali dengan hal yang tidak baik. Hampir tiap pagi ia harus melihat kakaknya yang masih terbaring tak berdaya di ruang tengah dengan bau alkohol yang tentunya sangat menyengat. Orang tua? Yuna memang tak punya. Ia dan Saga, kakak kandungnya itu sudah ditinggal sejak masih kecil.

Saga masih sangat ingat, mereka ditinggalkan di depan sebuah panti asuhan. Dan saat itu ia masih berumur 7 tahun dan Yuna adiknya berumur 3 tahun. Saga sama sekali tidak tahu mengapa kedua orang tuanya tega meninggalkan mereka, tetapi yang jelas ia merasa kehadiran dirinya dan adiknya memang tak diinginkan.

Enam belas tahun telah berlalu sejak hari yang menyedihkan itu, dan sudah terhitung empat tahun Saga dan Yuna keluar dari panti asuhan yang sangat berjasa merawat mereka berdua. Saga membawa Yuna keluar dari sana setelah dirinya mendapat pekerjaan yang cukup dan mampu untuk memenuhi kebutuhannya serta sang adik, Yuna.

Namun sayangnya, hal itu tak bertahan lama. Saga harus menelan kenyataan pahit ketika rekan kerjanya menjebaknya dan menjadikannya sebagai kambing hitam atas kesalahan yang tak pernah ia perbuat, yang kemudian membuat laki-laki itu dipecat. Hal itu pula yang membuat Saga menjadi orang yang pendendam, bahkan ia yang awalnya sangat baik dan penyayang berubah menjadi lelaki kasar dan suka main tangan.

"Kak, bangun dulu, jangan tiduran di lantai," ujar Yuna mencoba membantu Saga untuk bangun.

"Jangan sentuh gue, Cewek Pembawa Sial!" Saga mendorong tubuh Yuna hingga gadis itu kehilangan keseimbangan dan jatuh membentur sudut meja. Sakit? tentu saja.

Yuna meringis kesakitan tetapi ia berusaha sesegera mungkin untuk bangun dan kembali membantu Saga naik ke atas sofa. Bagi Yuna, kakaknya adalah segalanya. Sagalah satu-satunya yang ia miliki di dunia ini. Jadi, seburuk apa pun perlakuan Saga, Yuna akan tetap bersikap baik pada kakak laki-lakinya itu.

Setelah memastikan Saga berbaring dengan posisi yang benar, Yuna beralih ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Tak banyak yang bisa ia siapkan, setidaknya hari ini masih ada dua potong roti tawar yang bisa ia sediakan untuk dirinya dan sang kakak.

Yuna memakan satu potong roti tanpa selai, dan satunya lagi ia olesi selai kacang lalu ditaruhnya di atas piring. Untuk Saga, pikirnya. Yuna sengaja memakan roti tanpa selai, ia harus berhemat bahkan untuk sebuah selai kacang. Ya itu memang sangat menyedihkan.

Setelah selesai dengan sarapannya, Yuna kembali masuk ke kamar. Ia menatap Saga sebentar, kakaknya masih belum sadar juga.

Yuna kembali melanjutkan langkahnya masuk ke kamar. Ia harus menempuh pendidikan yang tinggi sebab hal itu adalah satu-satunya harapan agar ia bisa mendapat pekerjaan yang layak, setidaknya lebih layak dari seorang penjaga kafe yang saat ini ia geluti.

Semuanya sudah siap, Yuna tinggal berangkat ke kampus saja. "Kak, aku berangkat dulu, ya, sarapannya udah aku siapin di meja. Kakak jangan minum-minum lagi, ya, Yuna takut," bisik Yuna di telinga Saga lalu mencium pipinya sekilas dan beranjak pergi.

Dengan langkah santainya, Yuna menyusuri jalanan yang mengarah ke kampusnya. Sesekali ia menari berputar dan menghirup udara pagi yang amat sangat ia sukai. Udara pagi, itulah satu-satunya energi yang mampu membangun semangatnya untuk menjalani hari.

Cukup berjalan sepuluh menit, Yuna sudah sampai di depan gerbang kampusnya, Universitas Skyworld, kampus swasta ternama yang hanya bisa dimasuki oleh kaum borjuis dengan otak super encer. Tentu saja Yuna masuk ke golongan otak encer karena ia terdaftar di kampus itu melalui jalur beasiswa.

Yuna menatap gedung kampus bertingkat itu dengan mata cerahnya, senyuman manis terukir sempurna di bibir ranum itu. Ia mulai melangkahkan kakinya menuju gerbang kampus. Namun naas, baru satu langkah kakinya maju ia malah tersandung batu.

"Hah, apalagi ini Tuhan?" desahnya dengan lelah.

Tak ingin terus merutuki dirinya sendiri, Yuna lantas kembali berdiri dan langsung tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah motor berhenti mendadak tepat di hadapannya. Yuna menatap lekat laki-laki yang membawa motor sport itu.

Dia adalah Aksa, Aksara Pradikta. Most wanted nomor satu di kampus dan tentu memiliki banyak penggemar gila, bahkan ketampanannya ini bisa saja menandingi idol k-pop yang juga banyak di gilai remaja jaman sekarang. Tapi satu hal yang wajib diingat tentang most wanted satu ini, jangan coba-coba untuk mendekatinya karena Aksa terkenal sangat membenci yang namanya perempuan, belum lagi penggemar beratnya bisa menelanmu kapan saja jika mengusiknya secuil saja. Bagi penggemar Aksa, pangeran Aksa adalah hak bersama, bukan pribadi.

"Minggir!" serunya. Yuna sontak mundur beberapa langkah dan memberi jalan untuk motor dan tuannya itu lewat.

“Dasar nggak sopan!” celetuk Yuna kesal sendiri.

Yuna membersihkan roknya yang kotor akibat tersandung tadi, dan kemudian benar-benar melanjutkan langkahnya masuk ke gerbang kampus. Yuna menyapa Pak Dadang, satpam kampus seperti yang biasa ia lakukan. Setidaknya ia harus berbicara minimal dengan satu orang di tiap paginya agar hidupnya terlihat sedikit normal.

Tiba di kelas, suasana yang semula ramai mendadak hening, dan tentu saja hal itu membuat Yuna keheranan. Kenapa saat dirinya datang semua orang malah diam tak bersuara? Jujur, Yuna merinding mengalami hal ini, seakan-seakan ada aura gelap sedang berada di dekatnya. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan perlahan menoleh ke belakang. Dan benar saja, Bu Amara kini sudah berdiri tepat di belakangnya. Ibu dosen satu itu memang terkenal dengan mulut pedasnya yang suka sekali marah-marah. Kaki Yuna seakan diikat di tempat, ingin rasanya ia menenggelamkan dirinya di bawah lantai kelas ini. Menatap mata Bu Amara saja sudah membuat jantung Yuna berdetak dua kali lebih cepat.

"Yuna! Sini, duduk!" panggil Salsa, teman akrab Yuna dengan suara nyaringnya.

"Maaf, Bu," ucap Yuna lalu pelan-pelan beranjak ke kursi yang ada di samping Salsa.

"Setop! Pergi ke ruang saya dan ambil lembar kuis untuk teman-temanmu," ujar Bu Amara sebelum Yuna duduk di kursinya.

Yuna langsung berusaha tersenyum manis, lebih ke kecut sebenarnya. "Baik, Bu," balas Yuna sebelum berlari keluar kelas.

"Hah! Ini benar-benar akan menjadi hari yang luar biasa," racaunya saat berada di luar kelas dan langsung berlari ke ruangan Bu Amara, ia tidak boleh membuat dosen killer itu menunggu lebih lama.

°°°

Jangan lupa like teman-teman🤍

2>>

Setelah mata kuliah pertama selesai, biasanya Yuna akan langsung menuju ke kantin bersama Salsa.

"Abang lo mabok lagi, ya?!" Tiba-tiba Salsa melemparkan satu pertanyaan yang nyeleneh di telinga Yuna, membuat Yuna langsung menatap malas pada gadis itu.

"Peduli amat lo sama abang gue?" balasnya acuh tak acuh.

"Ya siapa tahu dia udah sadar, lo dipukul di bagian mana lagi? Kaki? Tangan? Kepala? Pant--"

"Ssstttt, tebakan lo nggak ada yang bener, gue cuma didorong kok kali ini," sanggah Yuna sebelum Salsa selesai dengan ucapannya.

"Yah, nggak jadi dapet seratus dah gue, tapi sakit nggak?!"

"Sakitlah, orang perut gue kepentok sama ujung meja."

"Ya ampun, Yunaaa …. Jangan dendam, ya, sama mejanya?" balas Salsa dramatis level akut.

"Apa, sih? Ya kali dendam sama meja?"

"Ya, siapa tahu?" cengirnya tanpa rasa kasihan.

"Eh, tunggu-tunggu. Kok kantin kelihatannya lagi heboh banget?" ujar Salsa menyadari kehebohan yang terjadi dari kejauhan, banyak mahasiswa terlihat berkerumun di satu meja.

"Udah, nggak usah dipeduliin. Paling juga Sasya yang lagi berantem sama Sabrina," tebak Yuna, bak seorang peramal. Dan benar saja, kedua gadis yang ia sebutkan barusan saling jambak-jambakan sekarang.

Yuna dan Salsa memilih menepi dari kerumunan itu. Mereka berdua bahkan sudah tidak tertarik dengan drama pertengkaran yang selalu terjadi antara Sasya dan Sabrina, dua gadis yang selalu bermusuhan sejak menyukai laki-laki yang sama.

Yuna dan Salsa tak berhenti komat-kamit, menggerutu karena pertengkaran Sasya dan Sabrina yang tak kunjung usai. Jujur saja, mereka berdua sudah sangat kelaparan. Andai saja dua gadis kaya raya ini tak bertengkar di depan stand makanan Mbak Nani, tentu mereka sudah makan dengan lahap saat ini.

"Akhirnya," gumam Salsa membuat Yuna langsung menoleh padanya.

"Apaan?"

"Tuh," balas Salsa menunjuk seseorang yang baru saja datang.

"Lah? Perasaan tadi dia pulang?" gumam Yuna menatap heran.

Aksara Pradikta, tak perlu mendeskripsikan laki-laki itu secara spesifik. Cukup membayangkan tatapan tajam dan rahang tegasnya semua orang sudah bisa menggambarkan betapa tampannya pemuda itu.

"Woi, minggir napa?! Kita mo makan nih!" teriak salah seorang yang datang bersama Aksa.

Seluruh penghuni kantin mengalihkan atensi mereka pada Aksa, meskipun yang berteriak barusan adalah anak buahnya. Tak berapa lama, mereka semua perlahan mundur dan kembali ke tempat mereka masing-masing. Bahkan Sasya dan Sabrina yang sedang berkelahi tiba-tiba diam seribu bahasa, tidak akan ada yang berani mengusik seorang Aksa di kampus ini.

Setelah semuanya kembali ke tempat masing-masing, Yuna dan Salsa langsung beranjak ke warung Mbak Nani dan langsung memesan makanannya. Yuna sempat menoleh menatap Aksa yang sudah duduk di pojokan.

Dasar bossy!

"Yuk," ajak Salsa pada Yuna, mereka segera mencari tempat duduk yang kosong, dan kebetulan sekali Yuna lewat di samping Sasya dan Sabrina yang duduk berhadapan, jangan lupa tatapan tajam yang saling mereka lemparkan.

"Ngapain lo lihatin gue?! Naksir lo?!" sentak Sabrina pada Sasya.

"Geer banget lo, nih ngaca di kuah bakso!" balas Sasya langsung mendorong mangkok baksonya ke Sabrina. Sabrina yang makin emosi malah menepis mangkok bakso itu hingga mangkok itu terlempar dari teritori meja mereka.

Bukan sihir bukan sulap mangkok itu mendarat tepat di tubuh Yuna. Ya, kesialan kali ini menyapanya kembali. Untung saja kuah bakso itu sudah tidak terlalu panas. Namun tetap saja mengotori bajunya, belum lagi rasa malu yang ia dapatkan. Semua mana penghuni kantin saat ini tengah tertuju padanya.

"Maaf udah ganggu kalian," ujar Yuna lalu beranjak pergi. Jangan berharap ia akan mengamuk karena itu sama saja membawa dirinya masuk ke sarang singa. Salsa yang melihat Yuna pergi segera menyusulnya, bahkan makanannya ia tinggalkan begitu saja di meja.

Yuna berlari ke toilet terdekat. Ia harus cepat-cepat mencuci bajunya dari noda kuah bakso itu sebelum noda itu membandel di sana. Ia tidak mungkin membeli baju baru, bisa-bisa dompetnya menjerit histeris.

"Lo kenapa sial mulu, sih?" ujar Salsa seraya membantu Yuna menggosok bajunya yang terkena noda kuah.

"Nggak tahu, sialnya naksir kali sama gue?" balas Yuna dengan santainya. Bahkan ketika terkena sial seperti ini Yuna tidak bisa melakukan apa pun selain pasrah.

"Gue ambilin jaket di mobil gue, ya?"

"Boleh, makasih Sal."

"Santai aja."

Lima menit Salsa sudah kembali dengan membawa jaket miliknya, Yuna pun segera mengganti bajunya yang basah dengan jaket pemberian Salsa.

"Yuk!"

"Kita mau ke mana? Ke kantin?" tanya Salsa. Yuna berpikir sebentar, ia kelaparan tetapi dirinya sudah tidak sanggup untuk kembali ke sana. Ia benar-benar sudah kehilangan muka.

"Gue ga jadi makan deh," balas Yuna kemudian mendahului Salsa keluar dari toilet. Selain malu, Yuna juga harus berhemat karena tadi ia baru saja membuang uang sakunya secara percuma di kantin tadi.

Yuna memilih pergi ke taman kampus, tetapi sebelum itu ia singgah di perpustakaan untuk mengambil beberapa buku sastra yang ingin ia pelajari. Tak ada orang selain dirinya di taman, itu tandanya ia bisa belajar dengan tenang.

Bruk ....

"Ah sial, kirain nggak ada orang," gumam Yuna saat telinganya tak sengaja mendengar suara seseorang yang baru saja terjatuh. Tanpa melihat dan berniat menolong, ia langsung merapikan bukunya kembali. Yuna hendak pergi dari sana, tetapi bahunya sudah lebih dulu ditahan oleh seseorang yang tiba-tiba berdiri dibelakangnya.

"Lo ngelihat gue jatoh?!" tanya seseorang yang menahan bahu Yuna.

"Ng-nggak kok!" jawabnya dengan sedikit terbata. Yuna paling tidak ingin terlibat masalah di kampus ini karena bisa dipastikan kalau ia tidak punya hak untuk membela diri dari anak-anak orang kaya disini.

"Lo kenapa gemeter?" sahut orang itu lagi.

Yuna diam, kedua alisnya mengernyit beberapa detik ia mencoba mencerna suara yang sangat jelas tidak asing di telinganya itu. Yuna berbalik dan langsung tercengang. Dan benar saja,

Plak!

"Jae?!" pekik Yuna, ia takut setengah mati hanya karena seorang Jae? Oh yang benar saja.

"Lo kerjaannya KDRT mulu dah sama gue!" keluh Jae mengusap lengannya yang baru dihantam oleh Yuna dengan jurus tapak tangannya.

"Lo ngagetin tau nggak, gue takut kalau punya masalah sama anak sini!" ujar Yuna langsung ambruk duduk di tanah, setidaknya kali ini orang kaya yang ia hadapi hanya seorang Jae, sahabatnya.

"Santai aja kali, kan kalau ada apa-apa ada gue!"

"Lo nggak pernah guna jadi temen, mana bisa gue percaya sama lo?!"

"Ini nih yang namanya ngeremehin, padahal kalau nangis bombai aja nyariin gue!"

"Bodo ah, gue mau ke perpus balikin buku," ujar Yuna dan langsung beranjak pergi.

"Lo udah makan?!" teriak Jae sebelum Yuna menghilang dari pandangannya.

Yuna tak menjawab, ia mengabaikan pertanyaan Jae karena kalau dirinya mengaku belum makan, pasti Jae akan menyeretnya ke kantin saat itu juga. Jae dan Salsa adalah dua sahabatnya yang super peduli padanya. Beruntung? tentu saja, tapi Yuna tidak pernah berpikir untuk memanfaatkan kedua sahabatnya itu.

°°°

Jangan lupa like teman-teman🤍

3>>

Tepat jam tiga sore adalah waktu berakhirnya jam mata kuliah Yuna yang terakhir, saat ini ia tengah berjalan menuju tempatnya bekerja, yaitu Dandelion’s Caffe.

"Halo Kak, Yuna udah dateng. Kakak boleh pulang sekarang," sapa Yuna pada Lira yang juga bekerja di kafe itu. Usia mereka terpaut lima tahun, jadi Yuna memanggilnya kakak.

"Oke, Dek!" balas Lira dengan senyuman khasnya.

Biasanya Yuna bekerja di kafe itu sampai jam sembilan malam. Yuna bisa saja selesai lebih awal dari jam kerjanya, tetapi demi gaji lebih, ia mengambil jam kerja hingga malam.

Jam setengah sembilan malam, Yuna masih bergelut dengan pekerjaannya. Kalau boleh jujur ia sudah sangat kelelahan dan sangat mengantuk, tetapi ia harus menahannya sebisa mungkin. Rasanya ia benar-benar merindukan kasurnya saat ini.

"Lo harus kuat Yuna, tinggal tiga puluh menit lagi," ucapnya menguatkan diri sendiri.

Akhirnya tiga puluh menit pun berlalu, Yuna langsung terlihat bersemangat karena waktu yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Yuna langsung melepas celemek berlogo kafe Dandelion itu asal. Ia harus segera pulang sebelum Saga juga pulang.

Kring!

Lonceng pintu masuk kafe berbunyi, itu pertanda ada pelanggan yang masuk. Yuna menghela napasnya lalu memasang senyuman semanis mungkin, ia metatap seseorang yang baru datang itu dengan ramah.

"Maaf, Kak, kami sudah tutup, silakan kembali besok, ya?" ucapnya dengan penuh rasa sopan.

"Gue bukan kakak lo! Coffee Latte satu," balas laki-laki itu.

Yuna menghela napas beratnya, ingin sekali rasanya ia membantah laki-laki ini. Namun harus ia urungkan karena yang sedang berhadapan dengannya saat ini adalah Aksa, cowok dingin bak monster di kampusnya.

"Maaf, tapi kami udah tutup. Kakak bisa kembali besok."

"Nggak bisa!"

"Mohon maa-"

"Lo ngerti bahasa gabisa ha? Coffe Latte satu!" sentak Aksa membuat Yuna menarik napas panjangnya.

"Ya udah, Kakak buat sendiri saja pesanan Kakak, kami udah tutup!" balas Yuna dengan nada yang mulai jengkel, ia sudah telanjur kesal dan sudah tidak peduli lagi dengan Aksa yang masih menatap datar padanya.

Kali ini Yuna berani karena ia berpikir Aksa tidak akan mengenali dirinya. Aksa adalah seorang most wanted, tidak mungkin ia mengenal Yuna yang hanya remahan kerupuk di kampus. Yuna yakin itu.

Namun, dugaannya ternyata salah. Laki-laki itu mengenali dirinya.

“Jangan kira gue nggak kenal lo, ya, awas aja. Lo anak jurusan gue, yang tadi jatoh di depan gerbang kampus sama kena siraman kuah bakso, kan?!”

Uhukkkk

Mata Yuna membelalak, ia tersedak ludahnya sendiri saking kagetnya. Aksa tahu tentang dirinya, bahkan dia menyebutkannya dengan sangat lantang. Tak sampai di situ, Yuna bahkan lebih kaget lagi setelah menyadari kalau Aksa baru saja berbicara lebih dari sepuluh kata. Luar biasa, pikirnya.

"Maaf Kak, Kakak tadi pesan apa? Coffee Latte? Akan saya buatkan, tunggu lima menit, ya? Silakan duduk dulu," ucap Yuna mencoba kembali ke mode pelayan yang baik.

Aksa tak menggubris, ia hanya diam kemudian beranjak ke salah satu kursi di kafe itu, sedangkan Yuna sudah sibuk dengan Coffee Latte pesanan Aksa. Kali ini ia harus bersikap baik kembali pada Aksa agar terhindar dari masalah karena tidak ada yang bisa menjamin dirinya akan baik-baik saja di kampus jika sudah bermasalah dengan monster satu itu.

Pesanan Aksa telah selesai dibuat, dengan langkah kaku dan tangan yang bergetar Yuna beranjak menghampiri Aksa yang duduk sambil memainkan ponselnya.

"Ini, Kak, pesanannya."

Aksa mendongak menatap Yuna, membuat yang ditatap langsung membeku seketika. Tak lama Aksa sudah mengeluarkan uang seratus ribu dan menaruhnya asal di atas meja. Setelah menaruh uangnya, Aksa langsung mengambil Coffee Latte-nya dari tangan Yuna dan langsung pergi begitu saja.

Yuna bernapas lega, tetapi ketika ia beralih menatap uang Aksa yang berada di atas meja dia langsung terkejut.

"Eh, Kak, kembaliannya?!" teriak Yuna.

Lagi, Aksa tak menggubrisnya sama sekali. Dia bahkan tak menoleh sedikit pun, membuat Yuna mencibir kesal. Bagaimana bisa ada orang seboros Aksa, minuman harga dua puluh lima ribu malah dia bayar seratus ribu?

"Dasar, ngerugiin uang orang tua aja!" racaunya masih kesal.

***

10:45 PM

Yuna baru sampai di rumahnya, semua itu terjadi karena insiden bersama Aksa tadi. Ia pulang terlambat karena harus melayani Aksa dulu. Belum lagi drama di perjalanan pulang tadi, ia sempat dikejar anjing yang ada di perempatan dekat rumahnya, hal itu memaksa Yuna harus lari memutar arah agar tak bertemu anjing itu lagi.

"Hah, bahkan sampai detik-detik terakhir pun lo masih kena sial, Yun!" gumam Yuna kemudian langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur keras miliknya. Dia bukan orang kaya yang mau-mau saja menggelontorkan sejumlah uang hanya untuk tidur di kasur yang paling nyaman.

Yuna menutup matanya selama sepuluh detik kemudian membukanya kembali. Dirinya baru saja lupa mengecek kembali buku pelajarannya untuk memastikan apakah ada tugas tambahan dari dosennya atau tidak. Ia tidak boleh lalai. Ia harus belajar demi masa depan yang cerah.

***

Yuna belajar hingga larut malam, diliriknya jam dinding tua yang berada di kamarnya. Sudah jam setengah satu malam, sebentar lagi kakaknya pasti pulang. Yuna harus segera membuat teh panas untuk Saga karena biasanya Saga akan meminta teh panas meski dalam kondisi mabuk-mabukan.

Brak!

Jangan pikir Yuna kaget dengan suara itu, telinga dan jantungnya sudah terbiasa dengan suara hantaman pintu yang dibanting dengan sengaja. Itu pasti Saga, kakaknya.

Yuna sedikit berlari keluar kamar dan menghampiri kakaknya yang ambruk tepat di depan pintu. Dipapahnya Saga dengan bahu kecilnya hingga sampai di ruang tamu. Saga memang lebih suka tidur di sana, khususnya di sofa.

"Mana teh gue?!"

"Bentar, Kak, Yuna buatin dulu."

"Cepet! Awas aja lama!" sentak Saga, membuat Yuna langsung berlari ke dapur. Dengan gerakan cepat, Yuna menyiapkan teh yang diinginkan Saga, untung saja di rumahnya selalu tersedia air panas, jadi ia tidak perlu memanaskan air lagi.

"Ini, Kak, tehnya."

"Hah, lama!" sentak Saga langsung mendorong gelas tehnya dengan kasar hingga gelas kaca itu terlempar ke lantai dan pecah berhamburan.

Yuna menatap nanar gelas itu. Bahkan tidak sampai lima detik, kakaknya itu menghacurkannya menjadi pecahan tak berharga.

Yuna segera membersikan pecahan gelas itu, ia takut Saga bangun dan menginjak pecahannya. Setelah selesai membersihkannya, Yuna mengecek kondisi Saga, laki-laki itu sudah tertidur lagi.

"Udahlah, mending aku tidur aja," gumamnya.

"Selamat tidur, Kak. Besok malam Yuna janji bakal buat tehnya sebelum Kakak pulang," bisik Yuna di telinga Saga, kemudian mencium pipi Saga sekilas.

Yuna segera masuk kembali ke kamarnya, ia langsung membungkus tubuhnya dengan selimut. Selesai sudah dramanya hari ini, waktunya untuk beristirahat dengan damai.

Semoga saja ada hal baik esok hari.

°°°

Jangan lupa like teman-teman🤍

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!