Masa lalu telah terhapus. Kota-kota yang megah kini hanya menjadi reruntuhan, tenggelam di bawah abu dan debu. Dunia tak lagi mengenal kedamaian sejak peristiwa yang dikenal sebagai 'Bang' mengguncang seluruh Zefia. Ledakan dahsyat ini menghancurkan peradaban yang telah dibangun manusia selama ribuan tahun. Hanya mereka yang beruntung, atau mungkin dikutuk, yang selamat dari kehancuran ini.
Namun, kehidupan tidak berhenti. Dari abu kehancuran, umat manusia yang tersisa mulai membangun kembali—bukan untuk mengembalikan yang telah hilang, melainkan untuk bertahan hidup. Kota-kota baru muncul, dibangun di atas reruntuhan yang lama. Namun, dunia yang mereka kenal telah berubah selamanya. Bangkitnya monster-monster dari dalam kegelapan, makhluk-makhluk yang lahir dari perut bumi yang terbelah, menjadi ancaman yang terus memburu para penyintas.
Di tengah kekacauan ini, legenda lama tentang akan kebangkitan Pahlawan yang tertidur ribuan tahun lalu kembali terdengar. Dan Para Refor mereka adalah kelompok manusia terpilih, yang dianugerahi kekuatan khusus untuk melawan kegelapan dan menjaga keseimbangan di Zefia.
Namun, satu hal yang lebih ditakuti dari monster itu sendiri adalah kehadiran sosok misterius yang disebut-sebut dalam ramalan kuno: sang Pembawa Cahaya, Arez.
Di sebuah kuil kuno yang tersembunyi jauh di dalam Hutan Terlarang, Arez terbangun dari tidur panjangnya. Matahari pagi yang pertama kali menyentuh wajahnya dalam seribu tahun terakhir terasa asing. Ia tidak tahu siapa dirinya, atau mengapa ia ada di sini. Namun, yang ia tahu adalah bahwa ia dipanggil oleh suara lembut namun penuh kuasa—suara seorang dewi yang memberinya kehidupan kembali.
“Arez, waktu kebangkitanmu telah tiba,” suara itu bergema di kepalanya, memecah keheningan yang telah lama menjadi bagian dari keberadaannya. “Bangkitlah, karena dunia Zefia membutuhkanmu. Kegelapan telah menyelimuti tanah ini, dan umat manusia berada di ujung kehancuran.”
Dengan setiap kata yang diucapkan sang dewi, ingatan-ingatan samar mulai kembali ke dalam benak Arez—tentang peperangan, tentang kehancuran, dan tentang janji yang pernah ia buat sebelum tertidur. Sebagai Pembawa Cahaya, Arez adalah harapan terakhir umat manusia. Ia adalah pelindung, prajurit terkuat yang diciptakan oleh para dewa untuk melawan kegelapan.
Arez tidak akan menghadapi dunia baru ini dengan ketidak tahuannya saat ini. mencari rekan yang bisa membantunya, ia harus mempelajari kembali cara bertarung dan menghadapi monster-monster yang menebar ketakutan di seluruh Zefia. Arez harus menemukan kembali tujuannya, dan mempersiapkan diri untuk perang yang menentukan nasib dunia.
Arez melangkah keluar dari kuil yang selama ini menjadi tempat peristirahatannya. Udara pagi yang dingin menyambutnya, menusuk kulit dan menyegarkan pikirannya. Di sekelilingnya, pepohonan besar dengan cabang-cabang yang menjulang tinggi menutupi langit, membiarkan hanya sedikit cahaya matahari yang menembus ke tanah di bawahnya. Hutan ini, yang dulu mungkin pernah menjadi tempat yang penuh kehidupan, kini terasa sunyi dan penuh dengan rahasia yang tersembunyi.
Arez memandangi tanda segitiga di pergelangan tangan kanannya, sebuah simbol kuno yang berkilau samar-samar di bawah sinar matahari yang menerobos dedaunan. Ia belum mengerti sepenuhnya apa arti tanda itu, namun ia tahu bahwa ini adalah kunci untuk mengetahui siapa dirinya dan tujuan yang harus ia penuhi di dunia ini.
“Ke mana aku harus pergi?” gumam Arez pada dirinya sendiri. Ia merasa seolah dunia ini asing, meski ada bagian dalam dirinya yang mengenal setiap sudutnya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang penting yang menantinya di luar sana, namun ia belum bisa mengingatnya dengan jelas.
Saat ia melangkah lebih jauh ke dalam hutan, ia mulai memperhatikan binatang-binatang yang berkeliaran di antara pepohonan. Seekor rusa melintas di depannya, bergerak cepat namun dengan gerakan yang anggun. Burung-burung kecil bernyanyi di atas dahan, menciptakan melodi yang lembut di tengah kesunyian hutan. Kehidupan di sini tampak damai.
Saat ia tiba di sebuah area terbuka di tengah hutan, Arez melihat seorang wanita muda sedang berjuang melawan makhluk yang mengerikan. Monster itu, dengan tubuhnya yang besar dan bersisik, menebarkan kegelapan di sekitarnya. Gigi-gigi tajamnya mengeluarkan suara geraman yang menakutkan, sementara cakar-cakarnya yang besar mencoba merobek wanita itu.
Wanita itu, yang tampaknya seorang Refor : Orang terpilih yang memiliki kekuatan elemen, dia memiliki tanda segitiga di lengan kirinya yang bersinar terang. Dengan gerakan yang cepat dan penuh keberanian, ia berusaha menghindari serangan monster tersebut, namun ia jelas kewalahan. Tenaganya mulai habis, dan Arez bisa melihat ketegangan di wajahnya.
Arez tidak bisa diam saja. Dengan langkah pasti, ia mendekati pertempuran tersebut, dan tanpa ragu ia mengangkat tangannya. Cahaya dari tanda segitiga di pergelangan tangannya semakin terang, dan Arez merasakan kekuatan yang mengalir melalui dirinya—kekuatan yang dulu ia miliki sebelum tertidur. Dengan sekali teriakan, ia melompat ke arah monster itu, menghunuskan pedang pekat yang muncul dari tanda di tangannya, tepat ke jantung makhluk tersebut.
Wanita Refor itu, yang tadinya hampir kalah, menatap Arez dengan mata penuh kekaguman dan rasa terima kasih. “Siapa kau?” tanyanya, suaranya terdengar lelah namun penuh rasa ingin tahu.
“Aku Arez...,” jawab Arez, masih berusaha mengingat siapa dirinya sebenarnya. “aku berjalan dihutan ini dan tiba tiba aku tidak sengaja melihat mu diserang jadi aku membantu.”
"Terima kasih," ucapnya dan senyum kecil muncul di wajahnya. “Kau adalah salah satu dari kami. Aku bisa melihatnya dari tanda itu" ucap Elara terkejut "apa kau prajurit pejuang juga?"
"Eh... Iyaa" ucap Arez dengan kebingungan "ya... Benar"
Elara menatap Arez dengan curiga " Hmm dasar pria aneh tapi terima kasih sekali lagi"
Arez hanya bisa mengangguk.
"Mengapa Kau dihutan ini? Apa kau tersesat" Tanya Erlana yang masih heran.
"aku hanya berkeliling dan aku menemukan mu disini, Mungkin saja saat aku membantu mu sekarang kau bisa membantu aku dimasa depan." ucap Arez dengan wajah datar. "sepertinya juga aku sedikit kehilangan beberapa memori jadi bagaimana kalau aku menemanimu" ucap Arez
Erlana menatap dengan tajam "Heh, aku tidaj mengerti tapi ya terserah kamu deh."
Meskipun ingatannya masih kabur, ia tahu satu hal pasti: ia merasa menemukan tujuannya. Dengan Elara ia akan melanjutkan perjalanannya, menemukan lebih banyak tentang dirinya, dan melindungi dunia Zefia dari ancaman yang mengintai
Arez menatap Elara yang sedang membersihkan sisa-sisa pertempuran dari pakaiannya. Dia merasa penasaran dengan alasan mengapa seorang wanita muda seperti Elara berada di tengah hutan sendirian, apalagi melawan monster yang begitu berbahaya.
“Kenapa kau sendirian di hutan ini?” tanya Arez, masih menjaga kewaspadaan meskipun ancaman monster sudah tidak ada lagi.
Elara tersenyum tipis, lalu menjawab, “Aku sedang berlatih. Aku adalah seorang pemanah, dan selain itu, aku juga sedang belajar mengendalikan kemampuan magisku. Aku datang ke hutan ini untuk berlatih sendirian agar bisa fokus tanpa gangguan.” Dia mengangkat busur panahnya yang tampak kokoh dan elegan, menunjukkan bahwa ia memang mahir menggunakan senjata tersebut.
“Tapi, saat sedang berlatih, tiba-tiba monster itu muncul entah dari mana dan menyerangku. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan makhluk seperti itu di sini. Biasanya, hutan ini cukup aman,” lanjut Elara, suaranya terdengar sedikit gemetar mengingat kejadian tadi.
Arez mengangguk, merasa kagum dengan keberanian Elara.
"Didekat sini ada kota apa kau ingin kesana? " Elara sambil menunjuk ke arah utara. “Kota tempatku tinggal bernama Panggea. Kota itu tidak terlalu jauh dari sini, dan biasanya hutan ini adalah tempat yang aman bagi penduduk untuk berlatih atau mencari bahan dari alam. Tapi sepertinya, keadaan mulai berubah…”
Arez menatap ke arah yang ditunjukkan oleh Elara. Ada rasa lega mengetahui bahwa mereka tidak jauh dari tempat yang aman. “Kalau begitu, mari kita pergi ke kota itu. Mungkin di sana aku bisa mendapatkan lebih banyak informasi tentang dunia ini… dan mungkin juga tentang siapa aku sebenarnya.”
Elara mengangguk setuju. “Ayo, aku akan menunjukkan jalannya. Kita bisa bicara lebih banyak di perjalanan.”
Dengan begitu, mereka mulai berjalan menuju Panggea, menyusuri jalan setapak di dalam hutan yang mulai terasa lebih hangat dan terang saat mereka mendekati kota. Sepanjang perjalanan, Elara bercerita lebih banyak tentang Panggea, sebuah kota yang berdiri kokoh di tengah dunia yang penuh kekacauan. Kota ini menjadi tempat berlindung bagi para Refor dan orang-orang yang berusaha bertahan hidup dari ancaman monster yang terus meningkat.
...****************...
...ELARA...
...seorang wanita muda berusia sekitar 18 tahun dengan penampilan yang sangat menarik. Dia memiliki wajah cantik dengan kulit yang halus dan berkilau, serta mata besar berwarna biru terang yang menonjolkan keindahan wajahnya. Rambutnya panjang, berwarna cokelat gelap dengan kilau alami yang mengalir lembut hingga pinggangnya....
...Elara memiliki tubuh yang sangat seksi, dengan lekuk tubuh yang menggoda. Dadanya besar dan proporsional, memberikan kesan yang penuh namun tetap anggun. Pinggangnya ramping, mempertegas bentuk tubuhnya yang menggoda, bokongnya besar dan padat, memberikan kesan sensual yang tak bisa diabaikan. Tanda segitiga Refor yang dimilikinya terletak di lengan kirinya, dan tampak bersinar ketika dia menggunakan kekuatannya. Penampilannya yang mempesona, dipadukan dengan keahliannya sebagai seorang Refor, Elemen magis Api membuatnya menjadi sosok yang memikat sekaligus mematikan....
Selama perjalanan menuju Panggea, Elara mulai bercerita tentang dunia Zefia dan kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya.
“Elara, bisa kau ceritakan lebih banyak tentang dunia ini? Aku merasa masih banyak yang harus kupahami,” tanya Arez, matanya tertuju ke depan namun pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Tentu saja,” jawab Elara, suaranya lembut namun penuh semangat. “Di Zefia, segalanya terhubung dengan elemen-elemen dasar yang membentuk dunia ini. Ada delapan elemen yang dikenal: api, air, angin, petir, es, tanah, cahaya, dan kegelapan. Setiap elemen memiliki karakteristik dan kekuatan uniknya sendiri.”
“Elara, elemen-elemen itu… apakah setiap orang memiliki salah satu di antaranya?” Arez bertanya, mencoba memahami.
“Sebagian besar orang memiliki keterhubungan dengan salah satu elemen,” jelas Elara. “Namun, tidak semua orang bisa mengendalikan elemen mereka dengan baik. Mereka yang bisa, biasanya menjadi petarung atau penyihir yang kuat. Misalnya, aku memiliki keterhubungan dengan elemen Api, yang membuatku lebih Kuat dan cepat. aku memilih busur sebagai senjataku, karena elemen Api memperkuat setiap panah yang kulepaskan dan menimbulkan efek Ledak.”
Arez mengangguk, mulai memahami bagaimana dunia ini bekerja. Namun, sesuatu yang Elara katakan menarik perhatiannya. “Tapi kau menyebutkan ada delapan elemen. Apa yang lebih kuat diantara elemen itu?”
Elara tersenyum kecil sebelum menjawab, “Benar, Arez. Elemen cahaya dan kegelapan sangat langka dan kuat, hampir tak ada orang yang memilikinya. Kekuatan mereka luar biasa, dan hanya sedikit yang bisa mengendalikannya. Legenda mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki salah satu dari dua elemen ini ditakdirkan untuk melakukan hal-hal besar—baik membawa kedamaian, atau menyebarkan kehancuran.”
Arez merenungkan kata-kata Elara. Ia tidak tahu mengapa, tapi perasaan aneh muncul di dalam dirinya setiap kali mendengar tentang elemen cahaya dan kegelapan.
“Elara, para petarung di sini… senjata apa yang mereka gunakan?” tanya Arez, ingin tahu lebih banyak.
“Kebanyakan petarung menggunakan senjata yang diberkahi dengan kekuatan elemen mereka,” jawab Elara. “Ada pedang yang bisa menyala dengan api, busur yang dapat menembakkan panah angin, bahkan tinju yang diperkuat oleh petir. Para penyihir yang misterius, Selain itu, ada juga sihir yang digunakan oleh samurai kuno yang menggabungkan seni bertarung dengan elemen-elemen ini. Kekuatan mereka sangat besar, dan mereka adalah orang terpilih di Zefia.”
Selama perjalanan mereka, Elara tampak semakin penasaran dengan Arez. Ia kemudian bertanya, “Arez, kau sendiri memiliki elemen apa?”
Arez terdiam sejenak, merasa sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Ia belum pernah berpikir tentang hal itu sejak kebangkitannya. “Aku... aku tidak tahu,” jawab Arez dengan jujur.
Elara terkejut, alisnya terangkat tinggi. “Kau tidak tahu elemenmu? Bagaimana mungkin?” tanyanya, nada suaranya mencerminkan kebingungannya. Di Zefia, mengetahui elemen seseorang adalah hal mendasar, terutama bagi seorang petarung.
Arez hanya menunduk, merasa sedikit tak nyaman dengan ketidaktahuannya. “Aku benar-benar tidak tahu,” katanya pelan, masih berusaha memahami siapa dirinya sebenarnya.
Melihat kebingungan Arez, Elara berusaha memberikan saran. “Jika kau tidak tahu elemenmu, mungkin kita bisa mengeceknya di kota. Ada alat khusus yang bisa digunakan untuk mendeteksi kekuatan magis dan elemen dalam diri seseorang.”
Arez menatap Elara dengan penuh harap. “Ada alat seperti itu? Bagaimana cara kerjanya?”
Elara tersenyum kecil, senang melihat antusiasme Arez. “Ya, ada. Di kota Panggea, kita bisa menemukan tempat-tempat yang dilengkapi dengan alat pengecekan ini. Semua pengecekan kekuatan magis berada di bawah naungan Pasukan Eirene, pasukan resmi kerajaan yang menjaga keamanan dan kestabilan di Zefia. Mereka juga yang mengatur segala hal terkait elemen dan kekuatan magis.”
Arez mengangguk, merasa lega bahwa ia mungkin bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaannya di Panggea. “Baiklah, kalau begitu kita akan menuju ke sana dan mengecek kekuatan apa yang ada dalam diriku,” katanya dengan tekad baru.
Elara mengangguk setuju. “Ya, itu akan menjadi langkah pertama yang baik. Dengan mengetahui elemenmu, kau akan lebih memahami kekuatan yang ada di dalam dirimu, dan itu akan membantumu".
Dengan harapan yang diperbarui, mereka melanjutkan perjalanan menuju Panggea. Arez tidak sabar untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya sendiri dan apa yang telah menantinya di dunia ini.
Saat mereka melanjutkan perjalanan menuju Panggea, Elara tiba-tiba mengingat sesuatu dan menoleh ke Arez. "Oh, Arez, ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui. Pengecekan elemen dan kekuatan magis membutuhkan biaya sebesar 50 ribu Novac," katanya dengan nada serius. "Apakah kau punya uang sebanyak itu?"
Arez terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan jujur, "Tidak, aku tidak punya."
Elara menatapnya dengan ekspresi terkejut. "Bagaimana bisa? Ya ampun, kau ini…" katanya, sedikit kesal namun juga bingung.
Arez, yang masih bingung dengan dunia baru ini, kemudian bertanya, "Novac itu apa?"
Elara terdiam sejenak, kemudian menjelaskan, "Novac adalah alat tukar, semacam mata uang di planet Zefia ini. Kita menggunakannya untuk jual beli atau membayar jasa. Jumlah terkecil yang umum digunakan adalah 1.000 Novac, dan dari sana jumlahnya meningkat. Jadi, 50 ribu Novac itu setara dengan 50 unit Novac seribu."
Arez hanya bisa mengangguk, berusaha memahami konsep yang baru ini. "Oh begitu… tapi aku tak punya itu," katanya dengan nada sedih.
Elara, yang mulai merasa kasihan pada Arez, kemudian tersenyum lembut. "Baiklah, karena kau telah menyelamatkanku tadi, aku akan membayar biaya
pengecekan kekuatanmu nanti," katanya.
Mendengar hal itu, Arez merasa sangat terharu dan bahagia. "Terima kasih, Elara. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu," katanya, penuh rasa syukur.
Elara hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Jangan khawatir, Arez. Kita semua harus saling membantu di dunia ini, terutama saat menghadapi masa-masa sulit seperti sekarang."
Arez mengangguk, merasa lebih bersemangat dan bersyukur karena telah menemukan seorang teman yang baik di dunia yang asing ini. Bersama Elara, ia merasa memiliki sekutu yang dapat diandalkan dalam perjalanan untuk menemukan jati dirinya dan melindungi dunia Zefia dari ancaman yang ada.
Setelah beberapa waktu berjalan, melalui jalan setapak di dalam hutan yang semakin terang dan terbuka, Arez dan Elara akhirnya mulai melihat tanda-tanda kehidupan di kejauhan. Pepohonan yang lebat mulai jarang, dan di antara celah-celah dedaunan, mereka bisa melihat bayangan bangunan yang berdiri kokoh di kejauhan.
Elara menunjuk ke depan dengan penuh antusias. “Lihat, itu Panggea! Kota tempatku tinggal,” katanya dengan senyum lega.
terlihatlah kota Panggea yang megah dengan sebuah istana besar menjulang di tengahnya. Kota ini dikelilingi oleh tembok benteng yang kuat, melindungi bangunan-bangunan kuno yang indah dengan arsitektur yang memukau. Panggea tampak seperti oasis yang kokoh di tengah dunia yang penuh kekacauan.
Ilustrasi Kota
Arez menatap dengan penuh kekaguman. Kota Panggea terlihat megah, meskipun di tengah dunia yang hancur ini. Bangunan-bangunan batu yang menjulang tinggi, dengan arsitektur yang tampak kokoh dan elegan, memberikan kesan bahwa kota ini telah bertahan dari banyak serangan dan bencana. Jalan-jalan terlihat sibuk dengan aktivitas orang-orang yang bergerak ke sana kemari, dan di udara, suara riuh rendah kehidupan sehari-hari mulai terdengar.
“Kota ini terlihat… luar biasa,” kata Arez, masih terpana oleh pemandangan di depannya.
Elara tersenyum bangga. “Panggea adalah salah satu kota yang paling aman di Negara Trevia. Pasukan Eirene menjaga kota ini dengan sangat ketat, dan meskipun dunia di luar penuh bahaya, di sini kami bisa hidup relatif damai.”
Elara menoleh ke Arez dan berkata, "Panggea adalah pusat kota negara Trevia, salah satu dari lima negara besar yang memimpin di Zefia."
Arez, yang masih merasa asing dengan dunia ini, merasa penasaran. "Negara? Kau bilang ada negara di sini?"
Elara mengangguk sambil tersenyum. "Ya, Zefia memiliki lima negara besar yang memimpin dan mengatur wilayah-wilayahnya. Trevia adalah salah satu dari negara itu, dan Panggea adalah ibu kotanya. Setiap negara memiliki budaya, aturan, dan kekuatannya sendiri, namun semuanya bekerja sama untuk menjaga kedamaian di Zefia—sejauh yang mereka bisa."
Arez merenung sejenak, merasa bahwa dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang ia bayangkan. Lima negara besar? Itu berarti masih banyak yang harus ia pelajari dan pahami tentang dunia ini.
Arez merasa pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan saat mendengarkan penjelasan Elara. Semakin banyak ia belajar tentang dunia ini, semakin jelas baginya bahwa dunia yang ia tinggali sekarang sangat berbeda dari apa yang mungkin ia ingat—jika ingatannya pun bisa diandalkan.
"Semua ini… sangat berbeda," gumam Arez, lebih kepada dirinya sendiri. Ia berpikir tentang mata uang yang disebut Novac, tentang negara-negara besar yang memimpin, dan tentang elemen-elemen yang mengendalikan kekuatan di dunia ini. Dulu, apakah semua ini ada? Ataukah dunia telah berubah begitu banyak selama ia tertidur?
"Ada apa, Arez?" tanya Elara, menyadari perubahan ekspresinya.
Arez menggelengkan kepala, mencoba mengusir kebingungan yang membebani pikirannya. "Aku hanya merasa... ada banyak hal yang berbeda dari apa yang kukenal. Dari mata uang, hingga negara, dan bahkan kekuatan yang ada di dunia ini. Semua ini terasa asing bagiku."
Saat Arez dan Elara melanjutkan perjalanan mereka menuju tempat pengecekan kekuatan magis, mereka melewati berbagai pemandangan yang hidup dan berwarna di kota Panggea. Jalanan dipenuhi dengan berbagai kios yang menjual makanan, minuman, dan barang-barang lain, menciptakan suasana yang meriah.
Mereka melewati bar-bar kecil yang penuh dengan penduduk lokal yang sedang menikmati minuman dan berbincang, serta berbagai tempat hiburan di mana musik dan tawa terdengar riuh. Ada juga pedagang yang menjajakan makanan khas kota, aroma makanan lezat memenuhi udara dan menggoda siapa pun yang lewat.
Arez sesekali melirik ke arah kios-kios dan orang-orang yang berkumpul di sana, merasa kagum dengan keramaian dan kehidupan di kota ini. "Tempat ini sangat hidup," katanya sambil tersenyum tipis.
Elara mengangguk, senang melihat Arez mulai merasa lebih nyaman. "Ya, Panggea selalu penuh dengan aktivitas. Meskipun dunia di luar penuh dengan bahaya, di sini kami mencoba mempertahankan kebahagiaan dan kedamaian sebanyak mungkin."
Mereka terus berjalan, menikmati pemandangan sekitar sambil berbincang kecil. Elara menceritakan beberapa cerita lucu dan anekdot tentang kota ini, dan Arez mulai merasa lebih akrab dengan tempat yang baru ia kenal ini.
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di sebuah bangunan besar dengan tanda-tanda magis yang bersinar lembut di pintu masuknya. "Kita sudah sampai," kata Elara sambil menunjuk bangunan itu. "Ini adalah tempat di mana kekuatan magismu akan diuji."
Arez mengangguk dengan penuh semangat. Namum, perasaan gugup bercampur dengan rasa ingin tahu yang mendalam.
Saat Arez dan Elara memasuki bangunan tempat pengecekan kekuatan magis, mereka segera disambut oleh suasana yang lebih serius dan resmi. Beberapa penjaga berseragam lengkap berdiri di dekat pintu masuk, memeriksa setiap orang yang masuk dengan ketat.
Salah satu penjaga menghampiri mereka dan berkata, "Semua senjata harus ditinggalkan di sini. Tidak ada yang diizinkan membawa senjata ke dalam gedung ini." Elara dan Arez dengan patuh menyerahkan senjata mereka kepada penjaga, yang kemudian menyimpannya dengan aman di sebuah loker yang terkunci.
Setelah melewati pemeriksaan, mereka berjalan menuju meja pendaftaran dan pendataan. Ruangan itu dipenuhi dengan orang-orang yang menunggu giliran, dan beberapa petugas sibuk mengurus berbagai dokumen serta mencatat data.
Elara mengarahkan Arez ke salah satu meja kosong, dan seorang petugas pria dengan wajah serius menatap mereka dari balik meja. "Nama dan tujuan kunjungan?" tanya petugas itu tanpa basa-basi.
Arez hendak menjawab, tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, Elara menyela dengan tenang. "Namanya Arez, dan dia adalah saudara jauhku," kata Elara, suaranya terdengar mantap. "Dia baru saja tiba di Panggea, dan aku membawanya ke sini untuk memeriksa kekuatan magisnya."
Petugas itu mengangkat alis, menatap Arez dengan tatapan curiga. "Saudara jauh? Tapi saya tidak pernah mendengar tentang Arez dari catatan penduduk di sini. Dia bukan berasal dari Panggea, bukan?"
Elara tersenyum kecil, tidak menunjukkan tanda-tanda gugup. "Betul, dia berasal dari daerah yang jauh di luar Panggea. Itu sebabnya dia belum terdaftar di sini."
Petugas itu menatap Elara sejenak, tampaknya mempertimbangkan ucapannya. Namun, Elara tetap tenang dan tidak menunjukkan keraguan. Akhirnya, petugas itu mengangguk, tampaknya menerima penjelasan tersebut. "Baiklah. Silakan isi formulir ini dan berikan informasi yang diperlukan," katanya sambil menyerahkan selembar kertas kepada Elara.
Elara mengambil formulir itu dan mulai mengisinya dengan cepat, mencatat informasi dasar Arez sambil berusaha menjaga penjelasan mereka tetap konsisten. Arez hanya bisa berdiri di sampingnya, merasa bersyukur karena Elara dengan cekatan menangani situasi ini.
Setelah formulir selesai diisi, petugas memeriksanya dan mencatat data Arez ke dalam sistem. "Oke, Anda bisa melanjutkan ke ruang pengecekan. Lantai dua, pintu ketiga di sebelah kiri," katanya sambil menunjuk arah.
Elara tersenyum dan mengangguk kepada petugas itu sebelum berbalik ke arah Arez. "Ayo, Arez. Sekarang saatnya kau menemukan kekuatanmu," katanya dengan penuh semangat.
Dengan rasa gugup dan antusiasme yang semakin besar, Arez mengikuti Elara menuju lantai dua.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!