NovelToon NovelToon

Dikira Sopir Ternyata Presdir

Disuruh Nikah

"Apa, Ma? menikah tahun ini? Apa gak bisa ditunda dulu, Ma?" Mataku mendelik mendengar perkataan ibu yang menghendaki aku secepatnya menikah.

"Mama gak mau tahu, pokoknya kamu harus menikah tahun ini, cepat bawa calon istrimu ke hadapan Mama!" Ibu terus mengomeliku sementara aku tetap memilih santai tak menggubris sedikit pun.

"Isaaa!" Ibu kembali berteriak sehingga membuat pemuda tampan di hadapannya ini terkejut.

"Hehe, Mama, jangan marah mulu dong, nanti cepat tua," bujukku sambil cengengesan dan mengelus lengan ibu.

"Mama emang udah tua, makanya kamu harus segera cariin Mama menantu, biar Mama bisa nimang cucu sebelum Mama meninggal, paham kamu?"

Hatiku mencelos mendengar perkataan ibu. Entah apa yang harus aku lalukan, apa pun yang dilakukan olehku, seakan tak ada artinya, ibu tetap memaksa untuk menikah secepatnya. Yang membuatku pusing, Kimberly, kekasihku, belum mau diajak menikah. Perempuan berusia 27 tahun itu lebih mementingkan karirnya melebihi segalanya.

"Baiklah, Ma. Beri waktu Isa satu bulan, kalau dalam satu bulan, Kim gak mau menikah dengan Isa, Isa akan menuruti apa pun kemauan Mama, ok, Ma?" ungkapku setelah lama terdiam.

"Baik, Mama pegang janji kamu." tegas Ibu

Aku mengacak rambutku sembari melangkah keluar dari kamar ibu dengan perasaan gusar. Terlebih setelah aku menghubungi Kimberly yang sama sekali tak bisa dihubungi.

"Sayang, kemana saja kamu? Kenapa gak menjawab chatku?" tulisku dalam pesan singkat. Entah sampai kapan aku akan bersabar menghadapi perempuan yang sudah dia cintai sejak bangku kuliah itu.

Beberapa hari berlalu, Kimberly sama sekali tak bisa dihubungi, hingga hampir satu bulan, perempuan berwajah belasteran itu masih belum mau mengangkat atau membalas chat dariku.

"Isa, sekarang sudah 29 hari berlalu, apa kamu belum mampu membawa calon istrimu juga? Menurut Mama, perempuan macam itu tak pantas kamu harapkan. Pacaran sudah sepuluh tahun, diajak nikah gak mau, umur dia dan kamu itu tak lagi muda. Lagi pula, apa kamu akan mampu membimbing dia menjadi istri salehah nantinya?" ucap Ibu panjang kali lebar.

Dia bermaksud menasehati sang putra semata wayangnya ini, tetapi aku malah asyik mendengarkan lagu kesukaanku lewat headset yang dipasang di telingaku.

Karena aku tak meresponnya, Ibu langsung menarik headset yang menggantung di telingaku "Kamu ini, ada orang tua bicara, kamu malah dengerin music," bentaknya setelah dia menarik headset .

"Hehe, Ma. Kan baru 29 hari. Tinggal satu hari lagi. Kalau sampai besok, Kimberly gak bisa dihubungi juga, Isa akan nyerah sama Mama, bagaimana?"

"Baik, kalau sampai besok wanita idamanmu itu tak mau diajak nikah juga, kamu harus ikut mama ke kampung. Mama akan menjodohkan kamu dengan anak sahabat Mama," tegas Ibu.

Mataku mendelik seketika saat mendengar bahwa aku akan dijodohkan dengan wanita kampung.

"Ya ampun, Ma. Masa Isa dijodohkan sama gadis kampung, sih? Apa gak ada gadis kota, Mah?"

"Emangnya kenapa dengan gadis kampung? Gadis kampung juga manusia!" Ibu kembali mengeraskan suaranya, ia paling benci kalau ada orang yang meremehkan orang kampung.

"Ya Bukan begitu, Ma. Isa ini kan udah sukses, pemimpin perusahaan besar, masa sih nikahnya sama perempuan kampung yang gak berpendidikan dan gak tahu budaya kota, terus nanti kalau Isa mau ajak ke pesta atau pertemuan antara pemilik perusahaan, pasti gak etis, Ma."

Sepertinya Ibu makin geram dengan pernyataan anaknya ini yang ia anggap merendahkan orang kampung, padahal sebenarnya aku tak bermaksud menghina, karena ibuku sendiri berasal dari kampung.

"Jadi, menurut kamu, ibumu ini juga gak pantas bersanding dengan ayah kamu?"

"Kamu merendahkan orang kampung, berarti kamu merendahkan ibumu ini. Kamu lihat kan, ibumu ini orang kampung, tapi ibumu berhasil mendidik kamu hingga menjadi seperti sekarang, apa kamu akan melupakan asal-usul kita?"

"Iya deh, Ma. Isa minta maaf, Isa gak bermaksud gitu."

Akhirnya aku mengalah dan tak menjawab lagi.

"Dari pada gue babak belur, lebih baik gue iyain aja dah. Moga aja Kimberly mau diajak nikah secepatnya, biar aku gak menikah sama gadis kampung, uff!" gerutuku setelah ibu pergi.

****

Dengan langkah gontai, aku berjalan memasuki kantor. Hari ini adalah batas di mana aku bisa menentukan langkah sendiri.

"Pak Isa, apa boleh saya masuk?"

Aku tersentak kaget mendengar suara dari luar ruangan.

"Eh, kamu Hen, ayo masuk!" Aku mempersilakan Hendra, assistantku masuk ke ruangan.

"Bagaimana, Hen. Apa kamu berhasil menghubungi manager si Kimberly? Kamu tahu kan, hari ini genap 30 hari aku dan Mama mengadakan perjanjian. Kalau sampe besok aku gak bisa menghubungi Kimberly lagi, berarti sudah gak ada harapan lagi." Aku memberondong Hendi dengan ribuan pertanyaan hingga Hendi terlihat bengong.

"Pak Isa harusnya merasa bahagia, karena tadi saya berhasil menghubungi manager Mbak Kimberly, dia bilang Pak Isa bisa menemui dia selagi dia ada di Jakarta."

Bak bunga yang terkena air, kini hatiku berubah ceria, karena akhirnya Kimberly mau menemuiku. Tak ingin menyia-nyiakan kan waktu, Aku gegas menyuruh Hendi mengatur pertemuanku dengan Kimberly.

"Kim, akhirnya Mas bisa nemui kamu," ungkapku penuh rasa syukur ketika aku melihat Kimberly menghampiriku.

"Mas, maafin Kim, ya, akhir-akhir ini Kim sibuk banget, jadi gak sempat mengangkat telefon dari Mas. Maklum, Mas. Kim sekarang udah go international, Kim rencananya akan mengikuti ajang Miss Univers, jadi Kim sibuk latihan gitu," ungkap Kimberly menjelaskan penyebab dia tak bisa dihubungi.

"Tidak apa-apa, Kim. Mas paham. Cuma, Mas mau minta tolong, tolong temui Mama Mas dulu, kita nikah dulu, ya!" Aku berusaha mengungkapkan semua persoalan yang kuhadapi, tapi rupanya itu tak mampu membuat Kimberly menerima alasanku menikah secepatnya.

"Maaf, Mas. Kim gak bisa. Kim udah didaftarin untuk ikut kompetisi, jadi Kim gak bisa. Bilang sama mama Mas, tahun depan aja," tolak Kimberly.

Aku semakin kebingungan mendengar jawaban kekasih hatiku ini. "Kim, hanya sebentar kok, nanti setelah kita nikah, kamu bisa ikut kompetisi," desak Isa, tapi Kim tetap bersikeras menolak.

"Ya gak bisa lah, kalau Kim nikah sekarang, nanti Kim gak dibolehin ikut kompetisi,"

"Kim, jika kamu gak mau menikah secepatnya, mama memintaku menikahi anak sahabatnya. Jadi, pahamilah Mas. Mas gak mau pisah dengan kamu."

"Mas Isa tega sama Kim. Menjadi Miss Univers adalah cita-cita Kim dari remaja, harusnya Mas dukung Kim untuk meraih cita-cita, bukan menyudutkan begini!" Kimberly mulai menangis membuatku makin kebingungan.

"Mas dukung kamu, tapi Mas gak sanggup mengecewakan Ibu Mas."

"Ya udah, gini aja. Mas nikah aja sama pilihan Ibu Mas, nanti setahun lagi, Mas cerain dia, lalu kita nikah, gimana?" usul Kimberly.

Bertemu Remaja Kampung

Mata Isa terbelalak mendengar ucapan Kimberly. Dia memang sangat mencintai perempuan itu, tapi baginya pernikahan adalah sebuah hal yang sakral dan bukan hal main-main. Dia sama sekali tak pernah berniat mempermainkan yang namanya pernikahan.

"Apa kamu kira pernikahan itu mainan? Dengar baik-baik, kalau kamu memilih karirmu, maka izinkan Mas juga memilih Ibu Mas. Kalau Mas sudah memilih dan menikah dengan orang lain, kamu tidak boleh berharap Mas kembali. Karena pernikahan adalah sesuatu yang sakral Mas gak mau mempermainkannya. Jika Mas sudah menikahi wanita itu, berarti Mas akan selalu setia padanya. Meski hati Mas gak mungkin berpaling dari kamu, tapi Mas tetap tak akan menghianati Pernikahan Mas nanti. Jadi pikirkanlah!" tegas Isa.

 Kimberly kini terlihat kebingungan, tapi sebentar kemudian, dia sudah memutuskan untuk memilih karirnya. Baginya, cinta akan bisa dia raih dengan mudah, tapi karir gemilang tak mungkin dia dapat kecuali dengan susah payah. Apa lagi, saat ini dia sudah berada di gerbang kesuksesan itu, tentu saja tak mungkin mundur.

 "Maafkan Kim. Kalau memang Mas mau memilih mama Mas, silakan," putus Kimberly.

Ada guratan kecewa di wajah Isa atas apa yang dia dengar dari perempuan kesayangannya.

"Jadi, kamu lebih memilih karirmu? Ok, seperti yang Mas katakan padamu tadi, jika Mas sudah menikah dengan yang lain, maka tak akan ada kisah cinta yang terulang di antara kita. Hubungan kita berakhir sampai di sini. Isa mulai sekarang bukan calon suami kamu." Isa kembali menegaskan keputusannya.

Sedangkan Kimberly tetap tersenyum mendengar ucapan Isa, dia mengira bahwa Isa hanya menggertaknya. Dalam anggapannya, Isa tak akan pernah berpaling darinya. Terbukti, Isa selalu setia padanya meski dia beberapa kali memutuskan hubungan dan berpaling ke lelaki lain, tapi Isa selalu setia dan selalu menerimanya apa adanya.

Kimberly mendekat ke arah Isa dan berkata, "aku percaya bahwa cintamu sangat tulus padaku, apa pun yang terjadi, Isa akan tetap mencintai Kimberly."

Isa menggeleng sembari tersenyum tak percaya bahwa orang yang ia cintai tetap bersikap egois dan tak mau memahami dirinya. "Baiklah, Kim, aku permisi. Selamat tinggal, semoga kamu bahagia," pungkas Isa sembari membalikkan badannya kemudian melangkah pergi meninggalkan semua harapannya dan mulai berusaha mengemas hatinya agar tak tertinggal bersama Kimberly.

["Ma, Isa bersedia menuruti keinginan mama,"] Isa menulis chat dan dikirim ke ibunya.

Mata Bu Nur terlihat berbinar ketika membaca chat dari anaknya.

["Makasih, sayang. Ayo datang ke kampung Cikadu, Mama sekarang menuju ke sana. Kamu susul mama, ya!"] balas Bu Nur sembari tak henti-hentinya melafalkan tasbih dan tahmid bersyukur karena putranya akhirnya menerima tawarannya untuk dijodohkan dengan putri sahabatnya.

 "Mama bahagia karena ini, dan yang paling penting, kamu sudah terlepas dari perempuan egois seperti Kimberly," gumam Bu Nur sambil memandangi foto Isa di ponselnya.

 Isa gegas melajukan mobilnya keluar dari kota Jakarta menuju daerah Pandeglang, Banten. Dia pergi ke kampung itu seorang diri karena sang sopir peribadinya sedang cuti mendadak.

"Ya Allah, ternyata jauh juga. Duh, mana sinyal di sini ilang terus, gak bisa akses GPS," Isa menggerutu sendiri ketika dia tak bisa menggunakan ponsel canggihnya.

Dengan berbekal petunjuk GPS yang susah diakses, dia terus melajukan mobilnya hingga dia sampai di pinggir sebuah perkampungan yang jalanannya masih becek.

"Ya ampun, jalannya licin banget, mana berlubang lagi," gerutu Isa sambil terus melajukan mobilnya.

 Sementara itu, di belahan bumi lain, terlihat serombongan anak remaja yang sedang bermain bola di lapangan yang terdapat banyak genangan air.

"Jinan, ayo ... tendang bolanya!" seru seorang anak laki-laki pada seorang anak perempuan yang ikut main bola bersama anak-anak mereka.

 Tak lama kemudian, anak perempuan yang bertampang tomboy itu menendang bola di depannya hingga terlempar jauh dan menembus gawang.

"Gooool!"

"Yeee, akhirnya pertandingan selesai!" seru seorang anak remaja lainnya.

"Nan, kamu hebat banget!" puji anak yang lain.

"Iya, dong! Siapa dulu, Jinan gitu, loh!"

sahut gadis yang ternyata bernama Jinan itu sembari tertawa riang. Gadis bergaya tomboy itu berjalan mendekati teman-temannya.

Mereka bersorak gembira keluar dari lapangan. "Nan, kamu jangan lupa janji kamu, ya. Katanya hari ini kamu akan pergi ke kota, jadi hari ini kamu harus nraktir kita-kita," ucap salah seorang dari mereka.

"Oke, kalian jangan khawatir, hari ini aku akan teraktir kalian makan cilok, haha,"

 "Hah, Cilok? Kamu pelit banget,sih!" teriak teman-teman Jinan bersamaan.

"Lah, emang kenapa kalau cilok? udah untung aku mau nraktir kalian," ketus Jinan.

"Ya udah, itu ada tukang cilok, ayo beliin!" seru Firman.

"Oke, ayo ke sana!"

"Ya udah lah, dari pada gak diteraktir sama sekali,"

Akhirnya mereka pun berjalan menuju tempat mangkal tukang cilok, tapi baru saja mereka berjalan ke arah jalan raya, sebuah mobil mewah lewat di pinggir mereka dengan kencang, hingga mengakibatkan air genangan di jalan itu membasahi pakaian Jinan dan teman-temannya.

"Eh, dasar orang kaya kurang ajar! Kita jadi basah kuyup begini!" Jinan dan teman-temannya mengumpat dengan suara lantang pada pengemudi mobil itu, tapi pengendara itu tak menggubris hingga mobilnya malah terperosok ke dalam jalan yang berkubang lumpur dan akhirnya orang itu berhenti.

Melihat kendaraan mewah itu mogok, Jinan dan teman-temannya pun tertawa terpingkal-pingkal. "Rasain loh, makanya jangan sombong! punya kendaraan mobil jelek gitu aja dah sombong, terperosok baru tahu rasa, loh!" teriak Jinan dan teman-temannya.

"Firman, ayo kita samperin tuh orang!" seru Jinan sembari berlari mendekat ke arah mobil yang kini mogok di tengah jalan.

"Sial benar nasibku, udah mah gak bisa akses Internet, malah terperosok begini!" keluh orang yang mengendarai mobil yang tak lain adalah Isa. Isa menggerutu sembari turun dari mobil. "Eh, ngapain tuh bocah pada mendekat sambil ngetawain segala macam. Akh, dasar bocah kampung!" Isa mulai heran melihat segerombolan remaja kampung mendekatinya. Dia belum menyadari kesalahan yang dia perbuat.

"Eh, Om, kami mau minta pertanggung jawaban Om,"

"Maksud kalian apa, pertanggung jawaban apa? orang baru aja lewat kampung sini, masa disangka hamilin anak orang?" sergah Isa tak terima dituduh sembarangan.

Jinan dan teman-temannya terhenyak kaget, mereka pun saling pandang dengan mulut yang setengah terbuka. "Hamilin? Eh, Om, Om, mesum, siapa yang bilang Om hamilin orang? dasar mesum!"

"Lah, kalian tadi minta saya tanggung jawab."

"Ya ela, orang kota and udah Om-Om, masa gak paham. Kami mau minta pertanggung jawaban Om, karena Om udah buat kami basah kuyup, Oommm!"

Dikerjai Gadis Kampung

Isa terlihat menelan ludahnya karena merasa malu telah salah sangka. "Ya udah, Kakak minta maaf, tapi kalian jangan panggil Kakak dengan sebutan Om, masa ganteng-ganteng dan keren gini dibilang Om?" sahut Isa tak terima dipanggil Om.

Mendengar ucapan Isa, Jinan pun tertawa lagi. "Bahaaha, orang udah tua begini, gak terima dipanggil Om, lagian kami bukan cuma butuh permintaan maaf, kami mau Om tanggung jawab, ngerti gak?" Jinan tetap ngotot.

"Hmm, Ok, Kalian jangan khawatir, ketimbang pakaian, nanti kakak ganti rugi, asal kalian mau bantu Kakak keluarin mobil ini biar bisa jalan, gimana?" tawar Isa.

Jinan menyipitkan mata indahnya sembari menaruh satu jarinya di pinggir keningnya, has orang sedang berpikir dan mencari ide. "Ok, kami setuju, tapi Om harus kasih imbalan dobel. Satu buat ganti rugi, dua buat upah kami dorong mobil Om, Ok?" Jinan menyetujui tawaran Isa.

Dia pun menyuruh teman-temannya mendorong mobil Isa dari depan, sedangkan dia sendiri tidak mendorong, dia berdiri agak jauh memberi komando pada teman-temannya dan juga Isa yang masuk ke mobilnya untuk menyetir.

"Firman, Andi, ayo dorong! Eh, Om, setir yang bener!

mundur dulu, ayo Om!" seru Jinan memberi komando pada mereka semua sampai akhirnya mobil mewah Isa berhasil dikeluarkan dari kubangan lumpur itu.

"Alhamdulillah, mobil Om sekarang udah bebas dari jeratan lumpur, jadi Om harus kasih kami imbalan, ayo, sini upahnya!" ucap Jinan sembari tangan kirinya bertolak pinggang, sedang tangan kanannya menadah ke hadapan Isa yang keluar lagi dari mobilnya.

"Iya, Iya. Ni, Kakak kasih!" sahut Isa. Dia mengeluarkan beberapa uang merah yang kebetulan dia ambil dari ATM.

"Wahh, banyak banget. Kalau gini kita bisa beli cilok yang lebih banyak dong!" seru Jinan sembari mengambil uang dari Isa. Sedangkan Isa kini terlihat mengulum senyum menertawakan tingkah lucu anak-anak remaja di depannya yang terlihat polos.

"Ya ela, kok, cilok, bakso dong! kita beli bakso, ayo Kita pergi!" seru Firman dan yang lainnya.

Mereka pun bermaksud pergi, tapi dicegah oleh Isa yang tiba-tiba teringat akan Desa yang ia cari. Ia sadar tak mungkin menemukan Desa itu dengan GPS karena Internet di situ tak bisa dia akses. "Eh. tunggu dulu, Kakak mau tanya, di mana letak desa Cikadu? Kakak mau ke rumah Bu Ratisa, kalian kenal gak?" tanya Isa.

Jinan melotot mendengar pertanyaan Isa. 'Ya ampun, apa orang ini yang dimaksud emakku, ah, aku kerjain dia dulu,' batin Jinan.

Firman bermaksud menjawab, tapi dicegah oleh Jinan. "Om, Jinan tahu tempatnya, ayo Jinan tunjukkin, sambil naik mobil Om ya! soalnya jalannya jauh, harus muter ke arah sana dulu!" jawab Jinan dengan senyum riangnya.

Sementara teman Jinan kini terlihat bengong. Mereka kebingungan melihat tingkah aneh Jinan yang meminta Isa mengantarnya menuju desa Cikadu dengan menaiki mobil, sedangkan sebenarnya mereka itu sekarang sudah berada di Desa Cikadu, Desa yang dituju oleh Isa.

"Oh, OK, tapi cuma kamu aja ya, soalnya mobil Kakak cuma muat buat dua orang, hehe" jawab Isa.

"Ya ela, orang kota terlalu mubazir. Buat apa beli mobil kalau cuma buat dua orang, mending kaya kita orang kampung, beli mobil yang bisa ngangkut orang sekampung, iya kan, Man?" ejek Jinan.

Isa pun mengulum senyum lagi, menertawakan keluguan gadis remaja di depannya. "Ya udah, ayo antar Kakak, soalnya Kakak buru-buru!" Isa kembali menaiki mobilnya sementara Jinan dan teman-temannya kini terlihat berbisik-bisik.

"Eh, Nan, kok, kamu bilang Desa Cikadu jauh, kan ini desa Cikadu, gimana sih?" bisik Firman.

"Ah, kamu jangan banyak tanya, aku mau ngerjain Om itu sedikit, hi hi. Ni ambil uangnya buat kalian semua, beli bakso atau apa aja sesuka kalian, baay!" ucap Jinan sembari meletakkan uang pemberian Isa ke tangan Firman, setelahnya dia langsung naik ke mobil Isa sembari selengehan tak karuan.

"Om, Om emangnya ada perlu apa, nyari Bu Ratisa?" tanya Jinan setelah dia berada di samping Isa dalam mobil Sport yang dikendarainya.

Isa menoleh ke arah Jinan. Di benaknya terbersit pertanyaan tentang gadis yang akan dijodohkan dengannya. "Hmm, itu, Kakak katanya disuruh melamar anaknya Bu Ratisa, apa kamu kenal orangnya? Bagaimana tampangnya, apa dia cantik? apa pendidikannya sekarang?" Isa memberondong Jinan dengan pertanyaannya.

Mata Jinan mendelik ketika mendengar pertanyaan Isa, 'ah, aku kerjain aja ni si Om,' batin Jinan merencanakan ide untuk menjaili Isa.

"Oh, anaknya Bu Ratisa, dia kalau soal cantik hehe dia gak cantik, soal pendidikan, dia gak sekolah," jawab Jinan.

Isa pun menelan ludah mendengar bahwa wanita yang akan dijodohkan dengannya adalah gadis tak berpendidikan. "Ya ampun, Mama ini bagaimana sih, masa aku mau dijodohkan dengan wanita yang tak berpendidikan, bagaimana nanti anak-anakku?" gerutu Isa dalam hatinya.

"Kemana lagi jalannya?" tanya Isa pada Jinan yang kini terlihat melirik ke arah laki-laki di sampingnya.

"Hmm dia cukup tampan juga, dia baik gak ya?" Jinan bertanya-tanya dalam hatinya, hingga ia tak mendengar pertanyaan Isa.

"Hallo, kenapa kamu mandangin wajah Kakak segitunya? Hmm Kakak tahu, kamu naksir Kakak, ya?" goda Isa.

"Yeee, geer. Orang Jinan lagi ngeliatin di mata Om ada kotorannya, Kok, hi hi !" sahut Jinan sembari tertawa cekikikan.

Wajah Isa terlihat memerah, tangannya spontan meraba matanya dan menguceknya. "Hahaha Om, kena prank,, wueee" Jinan kembali tertawa sambil memeletkan lidahnya meledek Isa yang mau saja dikerjai.

"Dasar, kamu ni! Ini jalannya kemana, dari tadi muter-muter terus tapi gak nyampe-nyampe begini. Mana jalannya terjal begini, bisa rusak ban mobil Kakak!" Isa menggerutu melampiaskan kekesalannya.

"Oh, tuh di depan, kita berhenti di sana!" tunjuk Jinan, Isa pun menuruti Jinan. Dia berhenti di jalan yang ditunjuk oleh Jinan.

"Kita udah sampai, Om. Ini Desa Cikadu. Soal Bu Ratisa, Om masuk ke dalam gang sana, nanti tanya rumah Bu Ratisa, mereka tahu kok, ya udah Jinan pergi ya. Baay, Om!" Jinan langsung melesat pergi tanpa menunggu jawaban dari Isa.

"Hmm dasar anak remaja. Ah, akhirnya aku sampai juga, tapi kenapa jalan ini seperti sudah kulalui. Itu kan lapangan tempat main bola anak-anak tadi. Apa tempatnya serupa ya?" Isa bertanya-tanya sembari memandang ke sekelilingnya. Matanya melotot ketika melihat rombongan anak-anak remaja teman-teman Jinan sedang berkumpul mengerumuni tukang bakso keliling yang dia lihat sebelum pergi bersama Jinan.

"Ya ampun, ini kan tempat yang sama yang tadi aku lalui. Akhh, aku dikerjain gadis tomboy tadi .

ahh, sialan tuh gadis kampung!" gerutu Isa ketika menyadari dia sudah dikerjai oleh Jinan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!