"Apa, Ma? menikah tahun ini? Apa gak bisa ditunda dulu, Ma?" Mataku mendelik mendengar perkataan ibu yang menghendaki aku secepatnya menikah.
"Mama gak mau tahu, pokoknya kamu harus menikah tahun ini, cepat bawa calon istrimu ke hadapan Mama!" Ibu terus mengomeliku sementara aku tetap memilih santai tak menggubris sedikit pun.
"Isaaa!" Ibu kembali berteriak sehingga membuat pemuda tampan di hadapannya ini terkejut.
"Hehe, Mama, jangan marah mulu dong, nanti cepat tua," bujukku sambil cengengesan dan mengelus lengan ibu.
"Mama emang udah tua, makanya kamu harus segera cariin Mama menantu, biar Mama bisa nimang cucu sebelum Mama meninggal, paham kamu?"
Hatiku mencelos mendengar perkataan ibu. Entah apa yang harus aku lalukan, apa pun yang dilakukan olehku, seakan tak ada artinya, ibu tetap memaksa untuk menikah secepatnya. Yang membuatku pusing, Kimberly, kekasihku, belum mau diajak menikah. Perempuan berusia 27 tahun itu lebih mementingkan karirnya melebihi segalanya.
"Baiklah, Ma. Beri waktu Isa satu bulan, kalau dalam satu bulan, Kim gak mau menikah dengan Isa, Isa akan menuruti apa pun kemauan Mama, ok, Ma?" ungkapku setelah lama terdiam.
"Baik, Mama pegang janji kamu." tegas Ibu
Aku mengacak rambutku sembari melangkah keluar dari kamar ibu dengan perasaan gusar. Terlebih setelah aku menghubungi Kimberly yang sama sekali tak bisa dihubungi.
"Sayang, kemana saja kamu? Kenapa gak menjawab chatku?" tulisku dalam pesan singkat. Entah sampai kapan aku akan bersabar menghadapi perempuan yang sudah dia cintai sejak bangku kuliah itu.
Beberapa hari berlalu, Kimberly sama sekali tak bisa dihubungi, hingga hampir satu bulan, perempuan berwajah belasteran itu masih belum mau mengangkat atau membalas chat dariku.
"Isa, sekarang sudah 29 hari berlalu, apa kamu belum mampu membawa calon istrimu juga? Menurut Mama, perempuan macam itu tak pantas kamu harapkan. Pacaran sudah sepuluh tahun, diajak nikah gak mau, umur dia dan kamu itu tak lagi muda. Lagi pula, apa kamu akan mampu membimbing dia menjadi istri salehah nantinya?" ucap Ibu panjang kali lebar.
Dia bermaksud menasehati sang putra semata wayangnya ini, tetapi aku malah asyik mendengarkan lagu kesukaanku lewat headset yang dipasang di telingaku.
Karena aku tak meresponnya, Ibu langsung menarik headset yang menggantung di telingaku "Kamu ini, ada orang tua bicara, kamu malah dengerin music," bentaknya setelah dia menarik headset .
"Hehe, Ma. Kan baru 29 hari. Tinggal satu hari lagi. Kalau sampai besok, Kimberly gak bisa dihubungi juga, Isa akan nyerah sama Mama, bagaimana?"
"Baik, kalau sampai besok wanita idamanmu itu tak mau diajak nikah juga, kamu harus ikut mama ke kampung. Mama akan menjodohkan kamu dengan anak sahabat Mama," tegas Ibu.
Mataku mendelik seketika saat mendengar bahwa aku akan dijodohkan dengan wanita kampung.
"Ya ampun, Ma. Masa Isa dijodohkan sama gadis kampung, sih? Apa gak ada gadis kota, Mah?"
"Emangnya kenapa dengan gadis kampung? Gadis kampung juga manusia!" Ibu kembali mengeraskan suaranya, ia paling benci kalau ada orang yang meremehkan orang kampung.
"Ya Bukan begitu, Ma. Isa ini kan udah sukses, pemimpin perusahaan besar, masa sih nikahnya sama perempuan kampung yang gak berpendidikan dan gak tahu budaya kota, terus nanti kalau Isa mau ajak ke pesta atau pertemuan antara pemilik perusahaan, pasti gak etis, Ma."
Sepertinya Ibu makin geram dengan pernyataan anaknya ini yang ia anggap merendahkan orang kampung, padahal sebenarnya aku tak bermaksud menghina, karena ibuku sendiri berasal dari kampung.
"Jadi, menurut kamu, ibumu ini juga gak pantas bersanding dengan ayah kamu?"
"Kamu merendahkan orang kampung, berarti kamu merendahkan ibumu ini. Kamu lihat kan, ibumu ini orang kampung, tapi ibumu berhasil mendidik kamu hingga menjadi seperti sekarang, apa kamu akan melupakan asal-usul kita?"
"Iya deh, Ma. Isa minta maaf, Isa gak bermaksud gitu."
Akhirnya aku mengalah dan tak menjawab lagi.
"Dari pada gue babak belur, lebih baik gue iyain aja dah. Moga aja Kimberly mau diajak nikah secepatnya, biar aku gak menikah sama gadis kampung, uff!" gerutuku setelah ibu pergi.
****
Dengan langkah gontai, aku berjalan memasuki kantor. Hari ini adalah batas di mana aku bisa menentukan langkah sendiri.
"Pak Isa, apa boleh saya masuk?"
Aku tersentak kaget mendengar suara dari luar ruangan.
"Eh, kamu Hen, ayo masuk!" Aku mempersilakan Hendra, assistantku masuk ke ruangan.
"Bagaimana, Hen. Apa kamu berhasil menghubungi manager si Kimberly? Kamu tahu kan, hari ini genap 30 hari aku dan Mama mengadakan perjanjian. Kalau sampe besok aku gak bisa menghubungi Kimberly lagi, berarti sudah gak ada harapan lagi." Aku memberondong Hendi dengan ribuan pertanyaan hingga Hendi terlihat bengong.
"Pak Isa harusnya merasa bahagia, karena tadi saya berhasil menghubungi manager Mbak Kimberly, dia bilang Pak Isa bisa menemui dia selagi dia ada di Jakarta."
Bak bunga yang terkena air, kini hatiku berubah ceria, karena akhirnya Kimberly mau menemuiku. Tak ingin menyia-nyiakan kan waktu, Aku gegas menyuruh Hendi mengatur pertemuanku dengan Kimberly.
"Kim, akhirnya Mas bisa nemui kamu," ungkapku penuh rasa syukur ketika aku melihat Kimberly menghampiriku.
"Mas, maafin Kim, ya, akhir-akhir ini Kim sibuk banget, jadi gak sempat mengangkat telefon dari Mas. Maklum, Mas. Kim sekarang udah go international, Kim rencananya akan mengikuti ajang Miss Univers, jadi Kim sibuk latihan gitu," ungkap Kimberly menjelaskan penyebab dia tak bisa dihubungi.
"Tidak apa-apa, Kim. Mas paham. Cuma, Mas mau minta tolong, tolong temui Mama Mas dulu, kita nikah dulu, ya!" Aku berusaha mengungkapkan semua persoalan yang kuhadapi, tapi rupanya itu tak mampu membuat Kimberly menerima alasanku menikah secepatnya.
"Maaf, Mas. Kim gak bisa. Kim udah didaftarin untuk ikut kompetisi, jadi Kim gak bisa. Bilang sama mama Mas, tahun depan aja," tolak Kimberly.
Aku semakin kebingungan mendengar jawaban kekasih hatiku ini. "Kim, hanya sebentar kok, nanti setelah kita nikah, kamu bisa ikut kompetisi," desak Isa, tapi Kim tetap bersikeras menolak.
"Ya gak bisa lah, kalau Kim nikah sekarang, nanti Kim gak dibolehin ikut kompetisi,"
"Kim, jika kamu gak mau menikah secepatnya, mama memintaku menikahi anak sahabatnya. Jadi, pahamilah Mas. Mas gak mau pisah dengan kamu."
"Mas Isa tega sama Kim. Menjadi Miss Univers adalah cita-cita Kim dari remaja, harusnya Mas dukung Kim untuk meraih cita-cita, bukan menyudutkan begini!" Kimberly mulai menangis membuatku makin kebingungan.
"Mas dukung kamu, tapi Mas gak sanggup mengecewakan Ibu Mas."
"Ya udah, gini aja. Mas nikah aja sama pilihan Ibu Mas, nanti setahun lagi, Mas cerain dia, lalu kita nikah, gimana?" usul Kimberly.
Mata Isa terbelalak mendengar ucapan Kimberly. Dia memang sangat mencintai perempuan itu, tapi baginya pernikahan adalah sebuah hal yang sakral dan bukan hal main-main. Dia sama sekali tak pernah berniat mempermainkan yang namanya pernikahan.
"Apa kamu kira pernikahan itu mainan? Dengar baik-baik, kalau kamu memilih karirmu, maka izinkan Mas juga memilih Ibu Mas. Kalau Mas sudah memilih dan menikah dengan orang lain, kamu tidak boleh berharap Mas kembali. Karena pernikahan adalah sesuatu yang sakral Mas gak mau mempermainkannya. Jika Mas sudah menikahi wanita itu, berarti Mas akan selalu setia padanya. Meski hati Mas gak mungkin berpaling dari kamu, tapi Mas tetap tak akan menghianati Pernikahan Mas nanti. Jadi pikirkanlah!" tegas Isa.
Kimberly kini terlihat kebingungan, tapi sebentar kemudian, dia sudah memutuskan untuk memilih karirnya. Baginya, cinta akan bisa dia raih dengan mudah, tapi karir gemilang tak mungkin dia dapat kecuali dengan susah payah. Apa lagi, saat ini dia sudah berada di gerbang kesuksesan itu, tentu saja tak mungkin mundur.
"Maafkan Kim. Kalau memang Mas mau memilih mama Mas, silakan," putus Kimberly.
Ada guratan kecewa di wajah Isa atas apa yang dia dengar dari perempuan kesayangannya.
"Jadi, kamu lebih memilih karirmu? Ok, seperti yang Mas katakan padamu tadi, jika Mas sudah menikah dengan yang lain, maka tak akan ada kisah cinta yang terulang di antara kita. Hubungan kita berakhir sampai di sini. Isa mulai sekarang bukan calon suami kamu." Isa kembali menegaskan keputusannya.
Sedangkan Kimberly tetap tersenyum mendengar ucapan Isa, dia mengira bahwa Isa hanya menggertaknya. Dalam anggapannya, Isa tak akan pernah berpaling darinya. Terbukti, Isa selalu setia padanya meski dia beberapa kali memutuskan hubungan dan berpaling ke lelaki lain, tapi Isa selalu setia dan selalu menerimanya apa adanya.
Kimberly mendekat ke arah Isa dan berkata, "aku percaya bahwa cintamu sangat tulus padaku, apa pun yang terjadi, Isa akan tetap mencintai Kimberly."
Isa menggeleng sembari tersenyum tak percaya bahwa orang yang ia cintai tetap bersikap egois dan tak mau memahami dirinya. "Baiklah, Kim, aku permisi. Selamat tinggal, semoga kamu bahagia," pungkas Isa sembari membalikkan badannya kemudian melangkah pergi meninggalkan semua harapannya dan mulai berusaha mengemas hatinya agar tak tertinggal bersama Kimberly.
["Ma, Isa bersedia menuruti keinginan mama,"] Isa menulis chat dan dikirim ke ibunya.
Mata Bu Nur terlihat berbinar ketika membaca chat dari anaknya.
["Makasih, sayang. Ayo datang ke kampung Cikadu, Mama sekarang menuju ke sana. Kamu susul mama, ya!"] balas Bu Nur sembari tak henti-hentinya melafalkan tasbih dan tahmid bersyukur karena putranya akhirnya menerima tawarannya untuk dijodohkan dengan putri sahabatnya.
"Mama bahagia karena ini, dan yang paling penting, kamu sudah terlepas dari perempuan egois seperti Kimberly," gumam Bu Nur sambil memandangi foto Isa di ponselnya.
Isa gegas melajukan mobilnya keluar dari kota Jakarta menuju daerah Pandeglang, Banten. Dia pergi ke kampung itu seorang diri karena sang sopir peribadinya sedang cuti mendadak.
"Ya Allah, ternyata jauh juga. Duh, mana sinyal di sini ilang terus, gak bisa akses GPS," Isa menggerutu sendiri ketika dia tak bisa menggunakan ponsel canggihnya.
Dengan berbekal petunjuk GPS yang susah diakses, dia terus melajukan mobilnya hingga dia sampai di pinggir sebuah perkampungan yang jalanannya masih becek.
"Ya ampun, jalannya licin banget, mana berlubang lagi," gerutu Isa sambil terus melajukan mobilnya.
Sementara itu, di belahan bumi lain, terlihat serombongan anak remaja yang sedang bermain bola di lapangan yang terdapat banyak genangan air.
"Jinan, ayo ... tendang bolanya!" seru seorang anak laki-laki pada seorang anak perempuan yang ikut main bola bersama anak-anak mereka.
Tak lama kemudian, anak perempuan yang bertampang tomboy itu menendang bola di depannya hingga terlempar jauh dan menembus gawang.
"Gooool!"
"Yeee, akhirnya pertandingan selesai!" seru seorang anak remaja lainnya.
"Nan, kamu hebat banget!" puji anak yang lain.
"Iya, dong! Siapa dulu, Jinan gitu, loh!"
sahut gadis yang ternyata bernama Jinan itu sembari tertawa riang. Gadis bergaya tomboy itu berjalan mendekati teman-temannya.
Mereka bersorak gembira keluar dari lapangan. "Nan, kamu jangan lupa janji kamu, ya. Katanya hari ini kamu akan pergi ke kota, jadi hari ini kamu harus nraktir kita-kita," ucap salah seorang dari mereka.
"Oke, kalian jangan khawatir, hari ini aku akan teraktir kalian makan cilok, haha,"
"Hah, Cilok? Kamu pelit banget,sih!" teriak teman-teman Jinan bersamaan.
"Lah, emang kenapa kalau cilok? udah untung aku mau nraktir kalian," ketus Jinan.
"Ya udah, itu ada tukang cilok, ayo beliin!" seru Firman.
"Oke, ayo ke sana!"
"Ya udah lah, dari pada gak diteraktir sama sekali,"
Akhirnya mereka pun berjalan menuju tempat mangkal tukang cilok, tapi baru saja mereka berjalan ke arah jalan raya, sebuah mobil mewah lewat di pinggir mereka dengan kencang, hingga mengakibatkan air genangan di jalan itu membasahi pakaian Jinan dan teman-temannya.
"Eh, dasar orang kaya kurang ajar! Kita jadi basah kuyup begini!" Jinan dan teman-temannya mengumpat dengan suara lantang pada pengemudi mobil itu, tapi pengendara itu tak menggubris hingga mobilnya malah terperosok ke dalam jalan yang berkubang lumpur dan akhirnya orang itu berhenti.
Melihat kendaraan mewah itu mogok, Jinan dan teman-temannya pun tertawa terpingkal-pingkal. "Rasain loh, makanya jangan sombong! punya kendaraan mobil jelek gitu aja dah sombong, terperosok baru tahu rasa, loh!" teriak Jinan dan teman-temannya.
"Firman, ayo kita samperin tuh orang!" seru Jinan sembari berlari mendekat ke arah mobil yang kini mogok di tengah jalan.
"Sial benar nasibku, udah mah gak bisa akses Internet, malah terperosok begini!" keluh orang yang mengendarai mobil yang tak lain adalah Isa. Isa menggerutu sembari turun dari mobil. "Eh, ngapain tuh bocah pada mendekat sambil ngetawain segala macam. Akh, dasar bocah kampung!" Isa mulai heran melihat segerombolan remaja kampung mendekatinya. Dia belum menyadari kesalahan yang dia perbuat.
"Eh, Om, kami mau minta pertanggung jawaban Om,"
"Maksud kalian apa, pertanggung jawaban apa? orang baru aja lewat kampung sini, masa disangka hamilin anak orang?" sergah Isa tak terima dituduh sembarangan.
Jinan dan teman-temannya terhenyak kaget, mereka pun saling pandang dengan mulut yang setengah terbuka. "Hamilin? Eh, Om, Om, mesum, siapa yang bilang Om hamilin orang? dasar mesum!"
"Lah, kalian tadi minta saya tanggung jawab."
"Ya ela, orang kota and udah Om-Om, masa gak paham. Kami mau minta pertanggung jawaban Om, karena Om udah buat kami basah kuyup, Oommm!"
Isa terus saja menggerutu sembari berjalan memasuki kampung Cikadu. "Maaf, Pak. Saya mencari rumah Bu Ratisa, yang mana ya, rumahnya?" tanya Isa pada salah seorang warga yang kebetulan lewat di gang.
"Oh, Bu Ratisa, tuh, yang di depannya ada mobil parkir," jawab sang warga Desa. Mata Isa terbuka lebar saat melihat mobil di depan rumah bercat ungu di depannya.
"Ya Ampun, itu kan mobil Mama, kalau tahu dekat begini, aku gak bakal nanya sama tuh gadis sableng." Isa terus saja menggerutu sambil berjalan menuju halaman rumah yang tanpa pagar itu.
"Assalamualaikum," sapa Isa sembari melongok halaman rumah. Tak lama kemudian, keluar lah Bu Nur, mamanya Isa.
"Waalaikum salam, anak mama yang paling ganteng udah datang, ayo masuk!"
Isa menyengir kuda menanggapi pujian mamanya yang memang berlebihan. Mereka memasuki ruang tamu yang berukuran cukup kecil sekitar 4×4 m. "Alaikum salam, ini Isa? Duh, udah besar ya, pas kita ketemu dulu, dia masih ingusan," sambut seorang perempuan yang seumur ibunya Isa.
Ibu Nur dan yang lainnya tertawa, sementara Isa terlihat kesal mendengar ocehan kedua perempuan di depannya. "Duduk Nak Isa. Nanti sebentar lagi si Inan keluar kok, dia lagi dandan, hehe,"
"Iya, Bu." Isa menuruti perkataan kedua perempuan di depannya.
Sementara itu, di dalam kamar, bibinya Jinan terus saja membujuk Jinan agar mau keluar menemui Isa, bukan karena dia tak mau dijodohkan, tapi dia takut Isa akan mengatakan pada ibunya bahwa dia sudah mengerjai Isa. "Hehe, Bi, Inan gak mau nemui bandot tua itu, kenapa sih, Ibu harus jodohin Inan?" keluh Jinan.
"Hmm, Bibi cuma diperintah sama Ema kamu, kalau kamu kuat dengerin omelan Ema kamu, ya silakan aja kamu tolak perjodohan ini," ucap Bi Dina.
Jinan pun semakin kesal, tapi dia tak mungkin menolak perintah ibunya. "Duh, kalau aku nolak perintah Ema, aku pastinya diomelin siang malam, tapi kalau aku terima, ahkhk, tuh si Om bakal marah gak ya, tadi aku kerjain dia, tapi kan ..akhkh baiknya aku keluar saja, siapa tahu dia akan nolak karena dia udah aku kerjain," gumam Jinan.
Setelah memutuskan untuk menemui Isa, Jinan pun keluar tapi menutupi wajahnya dengan masker "Eh, itu Jinan. Ayo ke sini, sayang!" panggil Bu Ratisa, Jinan pun mendekat sembari selengehan.
"Hehe, Tante, apa kabar?" sapa Jinan pada Bu Nur seraya menyalaminya. Bu Nur tersenyum lembut, tapi Bu Ratisa memelototkan matanya saat dia melihat Jinan tak mau menyalami Isa yang kini terlihat sedang mengamati Jinan dengan seksama.
"Kenapa aku seperti familiar? suaranya mirip sama suara gadis kemaren," gumam Isa.
"Inan, buka atuh maskernya, ngapain kamu pake masker?" titah Ratisa . Ia terlihat sewot melihat sang anak memakai masker.
"Duh, bagaimana ini, kalau aku buka masker, itu si Om pasti protes karena pernah kukerjain, tapi kalau gak kubuka, emakku pasti ngomel terus dah," Jinan dilanda bimbang, tapi akhirnya dia membuka maskernya.
"Hehe iya, ni, Inan buka," gerutu Jinan sembari membuka maskernya.
"Ka-kamu? Ma, jadi dia yang mau dijodohkan sama Isa?" Isa terperangah ketika melihat wajah Jinan yang kini menyengir kuda.
"Hehe Om, kita jumpa lagi," ucap Jinan sembari tetap selengehan, membuat Isa bertambah jengkel.
"Ya ampun, jadi kalian udah saling kenal, kalau begitu bagus deh, biar tambah lancar perjodohannya," sahut Bu Nur dan juga Bu Ratisa. Mereka berdua bersorak gembira saat tahu Jinan dan Isa sudah pernah saling kenal.
"Bu, boleh Isa bicara dulu sama dia?" pinta Isa.
"Oh, tentu boleh, ayo ajak saja dia keluar sebentar, tapi jangan jauh-jauh," sahut Bu Ratisa.
Dengan terpaksa, Jinan pun mengikuti Isa berjalan keluar rumah orang tuanya. "Hehhe, Om, mau bicara apa?" tanya Jinan.
Isa tak menjawab pertanyaan Jinan, dia duduk di kursi kayu yang ada di teras sembari menatap gadis di depannya dengan tatapan penuh kekesalan. "Kenapa kamu berbohong?" Isa malah balik bertanya.
"Ye, si Om, ditanya kok, malah balik nanya. Aku tuh nanya Om, eh, Om malah balik nanya. Lagian siapa yang boong?" balas Jinan tak kalah sewot.
"Kamu masih ngelak? kamu membawaku muter-muter jalan, nyatanya ini kampung Cikadu, ngapain kamu bawa aku muter-muter?"
"Segitu aja ngambek, Cowok itu harus penyabar, bukan suka ngambek,"
Isa semakin kesal dengan jawaban Jinan, karenanya dia memilih mengalihkan topik pembicaraan. "Ya udah, sekarang aku mau tanya, apa kamu sudah siap jadi istriku?" Isa bertanya to the point.
"Hmm, Iya," jawab Jinan tanpa malu-malu. Tak seperti gadis lainnya yang kalau ditanya, pasti akan malu-malu untuk menjawab.
"Kenapa, memangnya kamu gak takut, menikah dengan orang yang tak kamu kenal?"
"Hmm, karena Jinan gak mau pacaran. Dari dulu, Jinan itu pengennya nikah dijodohkan, ya biar kaya yang di novel-novel gitu. Dijodohkan sama CEO ganteng dan kaya, teru romantis. Pasti seru!" terang Jinan dengan lancar.
'Ya ampun, ternyata dia sama seperti gadis lain, mementingkan harta, uff!' batin Isa.
"Sayangnya aku tak seperti harapan kamu. Perlu kamu tahu, aku ini bukan orang romantis, aku juga bukan orang kaya, aku ini cuma sopir," jelas Isa. Dia sengaja berbohong agar Jinan menolaknya.
Jinan terlihat berpikir, "Ya udah gak apa-apa, yang penting kan Jinan nikahnya dijodohkan, terus, Om ganteng juga, gak masalah, kalau pun Om ini cuma sopir," Jinan menjawab dengan lancar.
"Memangnya kamu gak bakal nyesel? Sopir loh, bukan pegawai kantoran?" Isa terus berusaha mencari cara agar terhindar dari pernikahan itu, dia tak menyangka Jinan akan menjawab dengan lugas bahwa dia sangat antusias dengan perjodohan mereka.
"Ya sudahlah, kalau begitu, nanti kalau kamu nyesel, kamu tinggal bilang padaku, kalau andainya kamu mau kita pisah," Akhirnya Isa mengalah. Dia akhirnya menerima perjodohan itu dengan berharap gadis kecil di hadapannya itu nanti akan bosan dan meminta cerai sendiri.
"Ma sha Allah, jadi kalian sudah sepakat untuk menerima perjodohan ini?" tanya Bu Nur dan Bu Ratisa bersamaan. Mereka berdua terlihat bahagia, sedangkan kedua anak mereka masih sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Ya sudah, karena kalian udah sepakat, akadnya akan kita laksanakan malam ini juga," ujar Bu Ratisa, juga Bu Nur.
"Apa, malam ini? Ma, kenapa harus malam ini, kan bisa cari hari yang baik dulu?" tanya Isa tak percaya bahwa Ibunya menghendaki día menikah malam itu juga.
"Semua hari itu baik, kalian malam ini nikah sirri dulu, soalnya Jinan itu belum genap 18 tahun, jadi malam ini cuma akad aja. Nanti kalau dia sudah cukup umur, kalian bisa nikah ulang!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!