NovelToon NovelToon

Hilal Untuk Halal

Selamat Jalan

Sudah masuk di bulan ke-8, Ibu ( 45 thn) terbaring di tempat tidur pesakitan, Halal ( 18 Thn) menghabiskan waktunya untuk merawat wanita yang dari rahim-nya lahir lah, Halal, kini mengalami pinched nerve atau Hernia Nukleus Pulposus, separuh tubuh lumpuh.

Belum lagi, Ayul ( 55 Thn) sang ayah yang juga lumpuh karena stroke. Halal mesti merawat keduanya, walau masih duduk di bangku SMA. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Halal mengumpulkan plastik bekas air mineral, atau kardus yang ia ambil sepanjang perjalanan dari rumah menujuh sekolah, begitu juga arah sebaliknyasebaliknya, tanpa rasa malu.

Terkadang barang bekas hasil jerih payahnya, ia kumpulkan di warung kantin yang menjadi langganannya.

"Bu Dek, titip dulu yah?" Halal menitip beberapa lembar kardus dan setengah karung plastik minuman kemasan, bekas.

"Kamu ndak sarapan dulu Lal?! "

"Nanti aja Bu Dek, masih kenyang."

"Kalo memang belum ada uang, yah ndak apa-apa, bayarnya nanti aja kalo barang-barang mu itu dijual."

"Terima kasih Bu Dek, lagi juga sudah mau masuk, sebentar lagi juga bel." Ucap Halal.

Benar saja, selang beberapa menit, suara bel memecah canda murid-murid. "

"Tuh kan, bunyi juga bellnya. " Tegas Halal.

"Yowis, jam istirahat aja nanti kesini aja. " Jawab Bu Dek dengan logat Jawa yang masih kental.

"Ya Bu Dek, aku masuk dulu yah. "

Halal meninggalkan warung kantin, dan bergegas masuk ke kelas.

Nurjanah, sang ibu masih terbaring, merambat mencoba menggenggam gelas di sisi kepala-nya. Halal sudah menyiapkan sarapan pagi untuknya.

Begitu juga Asrullah, Ayah yang sudah masuk di tahun ke tiga berbaring karena stroke yang diderita, tetapi syukurlah masih bisa berjalan, terkadang Ayah juga membantu memberi makan Ibu.

Halal seorang diri merawat kedua orang tuanya yang butuh perhatian darinya, walau badan dan pikirannya begitu letih tak pernah ia mengeluhkan keadaan yang tengah menimpa dirinya.

Selepas pulang sekolah, biasanya Halal menyiapkan makan untuk kedua orangtuanya, dan membersihkan serta menganti pakaian, begitu juga Ayah-nya.

Halal begitu sabar menghadapi kenyataan hidup, yang belum tentu anak seusianya, sanggup jalanin apa yang ia alami.

"Allah tidak meminta kita untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi Allah hanya meminta kita sabar, dan dibalik kesulitan ada kemudahan." Ucapnya dalam hati saat mulai merasakan letih.

Selepas itu, ia merapihkan barang-barang bekas yang sudah ia kumpulkan, mulai dari melepas lebel botol air mineral, karena kalau dirapihkan, harga jualnya berbeda. Begitu juga kardus, yang ia susun lalu direkatkan dengan tali.

Jika sudah terkumpul baru-lah ia bawa ke lapak barang bekas.

"Ini Bang Dul,... "

"Sebentar ditimbang dulu yah... "

Barang yang dikumpulkan ditimbang kembali, barulah Halal mendapatkan uang, begitu, begitu dan begitu setiap hari, demi menyambung hidup, selebihnya ia tabung untuk biaya berobat kedua orang tuanya.

Sekiranya sudah selesai tugas merawat kedua orang tuanya, ia kembali mulai mengulang kembali hafalan qur'an.

"Lal,... lal... " Suara ringkih memanggil.

Halal tutup kembali lembaran nasab, dan segera memenuhi panggilan Ibu.

"Ya Bu,.... "

"Pijetin Ibu nak, pinggang rasanya sakit."

"Ya Bu... "

Halal memenuhi apa yang menjadi permintaan Ibu. Tak lama Ibu tertidur pulas, dari kejauhan terdengar suara batuk Ayah dari ruang yang lain.

Segera Halal pergi ke dapur dan mengambil segelas air hangat. Mengangkat tubuh yang ringkih dan mendudukan.

"Minum dulu yah.... "

Dengan tubuh yang lunglai, Asrullah meminum segelas hangat. Halal menidurkan kembali Ayahandanya.

Keduanya sudah tertidur pulas, Halal kembali melanjutkan hafalan qur'annya yang sedikit terganggu.

Selang beberapa menit, Halal tertidur pulas di atas mushaf, sudah tak kuasa menahan kantuknya.

Lagi, ia terbangun lantaran suara Ibu memanggilnya.

"Laaaal... Laaaal.... Laaaal!"

"Yaa Bu...."

Dengan sigap ia menghampiri suara Ibu, terlihat ia sudah bergeser dari pembaringannya, nampak selimutnya basah.

"Sebentar, Halal ambil kain dulu ya BuBu dan baju salinan."

Hampir semua tubuhnya basah dengan air seninya. Halal membersihkan dan mengganti pakaian yang basah.

"Istirahat ya Bu.... "

"Makasi Nak, kamu istirahat besok kan sekolah."

"Ya Bu. "

Baru saja sampai di kursi dan meja belajarnya, Halal membuka kembali Mushab., lalu di lanjutkan dengan sholat malam.

Begitu khusyuknya ia sujud, dan khitmad dalam gerakan sholat, benar-benar ia memasrahkan diri.

Ya Allah, sungguh Engkau yang datangkan ujian seorang hamba, hanya untuk menguatkan keimanan, Engkau juga lah hang mengakhiri segala-nya.

Jika ujian yang Engkau berikan, untuk hamba lebih dekat lagi pada-Mu, aku ikhlas dalam setiap tetes air mata, hingga aku lupa dengan segala ujian yang Engkau berikan, maka kuatkan hati ini.

Ya Maulana...

Jika apa yang Engkau berikan kepada kami, teguran hidup, mohon dibukakan pintu maaf hamba yang sebesar-besarnya.

Jika ini adalah cobaan, luas kan hati hamba untuk bisa ikhlas dengan apa yang sudah Engkau berikan.

Illahi,...

Betapa berat hari-hari yang hamba mu jalankan, berikan yang terbaik dalam hidup dari segala kebaikan-kebaikan yang Engkau berikan.

Hamba tak meminta untuk dibebaskan dari Ujian, cobaan dan teguran yang Engkau berikan, tetapi berikan hamba hati yang kuat untuk terus bersabar.

Jika sakit yang Ayah dan Ibu rasakan, biarlah menjadi penawar dosa, dan bebaskanlah dari segala dosa-dosanya.

Illahi...

Lapangkan hati hamba terus bersabar.

Selapas Tahajud, ia kembali membuka mushab quran dan membacanya. Sampai suara tahrim berkumandang, dilanjutkan dengan suara adzan Subuh.

Syukurlah, Ibu dan Ayah terlihat pulas tertidur, hingga Halal bisa melanjutkan menghafal qur'an.

Dilanjutkan ia menyiapkan sarapan untuk kedua orang tuanya. Setelah itu, barulah mempersiapkan diri berangkat ke sekolah, beberapa bulan lagi sudah berakhir jenjang akadimisinya.

Ia berangkat lebih pagi, tidak lupa dengan kantong plastik besarnya, untuk mencari barang-barang bekas.

"Nih neng, udah bapak kumpulin kardusnya, lumayan untuk berat-berarin timbangan." Ucap petugas kebersihan yang ia tahu kalau Halal sering menelusuri jalan dan mengumpulkan barang bekas, yang berserakan di sepanjang jalan, jarak yang harus ditempuh halal dari rumah ke sekolah kurang lebih 2 Kilo, terkadang barang yang ia kumpulkan sudah penuh, sesampainya di sekolah seperti biasa ia titipkan barang-barang tersebut ke warung Bu Dek.

Setibanya di sekolah dan baru saja duduk, tiba-tiba wali murid menghampirinya, dan berusaha menyampaikan pesan begitu hati-hati ya, khawatir takut mengejutkan konsentrasi pelajar lainnya.

"Halal, bisa keluar sebentar." Pinta Bu Ratna, walikelasnya.

"Iya Bu,... "

Mereka pun saling beriringan dan meninggalkan ruang kelas, beberapa pasang mata terus mengikuti langkah Halal, dan menyimpan tanya dari puluhan murid, masing-masing menerka-nerka apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.

Belum Siap

Jika boleh memilih, setiap orang tak menginginkan perpisahan, bukan? Dan jangan salahkan perpisahan, mengapa ada pertemuan. Kita hanya serangkaian waktu yang menanti perpisahan....

Mendengar kabar yang tidak diinginkan membuat Halaliyah merasa terpukul, rasanya belum siap untuk melepas orang yang dicinta i-nya pergi.

Anak mana yang tidak sedih, selepas pulang sekolah hanya melihat bendera kuning sudah terikat di tiang rumah. Anak mana yang tak terluka hatinya melihat tubuh orang yang dicintainya terbujur kaku.

"Bu, baru semalam ibu merintih meminta air, kini tak ada lagi yang suara-suara yang membangunkan Halal untuk sujud di sepertiga malam." Ucapnya dalam hati ketika melihat jasad sang Ibu terbaring di atas ranjang dimana dahulu ranjang itu menjadi saksi rintihan kesakitannya.

Selimut yang dahulu mengangatkan tubuhnya, kini jasadnya kaku dan dingin.

"Bu, maafin Halal yang belum sempat mengabulkan segala impian dan mimpi Ibu."

Ibu, yang dari rahimnya Allah sudah menuliskan takdir anak manusia, rasanya, tak perlu menghujat langit dan membenci terlahir ke bumi.

"Rabbi, sungguh kini telah hilang cahaya hidup ku, redup sudah dunia seakan gelap, redup kini sinar keberkahan dalam hidup." Tangis Hilal pun pecah saat melihat jasad sang Ibu.

"Bu, belum tunai janji Halal, walau Ibu tidak menginginkan banyak dari Halal, tetapi kini semua terkubur dan yang tertinggal hanya sebatas kenangan. Bu, maafin Halal yang tidak bisa menemani saat-saat Ibu sakaratul maut, maafin Halal yang tidak sempat menuntun syahadat di akhir hayat Ibu. Halal janji, akan menjaga ayah dengan baik, kini hanya doa yang bisa mengiringi kepergian Ibu, walau perpisahan ini bukanlah keinginan kita, tetapi Allah yang lebih cinta sama Ibu, kini Ibu nggak ngerasain sakit lagi. Maafin Halal Bu.... "

Isak dan tangis, mengiringi kepergian Ibu tercinta, termasuk Ayah tak kuasa menahan air mata, walau tidak bisa berbicara, tetapi dari nanar matanya terpancar sebuah penyesalan.

Ya Allah,...

Kini aku titipkan Ibu, di sisi mu...

Engkaulah sebaik-baiknya tempat kembali anak manusia, maafkan salah, silaf dan khilaf Ibu, Cukuplah sakit yang dialami selama ini, menjadi penawar dosa.

Sampailah jenazah di Liang lahat, berlahan wajah ibu tertutup papan penyanggah, beberapa orang pria mulai meratakan tanah, dan memadatkan setiap sisi-nya, dari ujung kaki dan mulai menutupi sekujur badan.

Jemari lembut yang dahulu membelai sayang, kepala dan rambut kini sudah tiada.

Bibir yang basah dengan doa, dan masih jelas terdengar suara merdu mu membacakan ayat suci dengan tulusnya, kini rumah ini akan terasa sunyi.

Puluhan bahkan ratusan penyelayat datang silih berganti, sebagian menunggu prosesi pemandian, solat jenazah dan pemakaman.

Yah, semua itu datang mengingat kembali jasa Ibu yang dahulu sebagai ustadzah kampung, banyak dari muridnya yang baru mengenal huruf hijazaiyah dari Ibu, meraka tidak bisa melupakan kebaikan ibu, saatnya melepas pergi manusia yang sepanjang hidupnya tidak pernah mendengar mengeluh untuk urusan dunia.

"Halal, ingat yah nak... jangan pernah meletakan urusan dunia di hari, letakan di tangan, ketika semua hilang kamu masih sanggup untuk mencarinya kembali." Halal mengingat-ingat kembali pesan-pesan Ibu ketika semasa hidup.

Sebentar lagi suara adzan Zuhur berkumandang, semakin dekat perpisahan, Halal berusaha menghapus air matanya, tetapi ia tidak bisa menghindari hal itu, Halal hanya manusia biasa, anak yang baru menginjak dewasa, rasanya ia masih butuh perhatian sang Ibu, kini keadaan yang memaksanya untuk berdikari sendiri dan merawat sang Ayah.

"Ibu jangan khawatir, Halal akan jaga ayah sebaik-baiknya, kini Halal serahkan Ibu sama Allah yah, Dia-lah sebaik-baiknya penjaga."

"Yang kuat ya Halal, insyallah, Allah gantikan yang terbaik dalam hidup Halal." Suara itu mencoba menenangkan Halal, rupanya Bu Hamidah yang tak lain wali kelasnya.

"Ya Bu, terimakasih. "

"Kalo Halal ada apa-apa cerita aja ke Ibu yah? Anggap Ibu pengganti Ibu mu." Ucapnya mencoba menghibur Halal.

Hampir satu kelas datang berta'ziyah me rumah Halal, mengingat halal adalah anak yang mudah bergaul dan dikenal ramah, dia tidak pernah berkecil hati walau kehidupannya jauh dari kata layak.

"Lal, yang kuat yah." Ucap Sabrina teman sebangku Halal.

Selapas penyolatkan, jenazah dihantarkan ke tempat pembaringan akhir, Liang lahat. Beberapa petugas pemakaman sudah bersiap-siap menutup sekujur tubuh Ibu dengan tanah, Liang lahat pun sudah menanti untuk tempat bersandar terakhir Ibu.

Begitu merdu suara adzan berkumandang yang menggema dari dinding tanah makam, selapas mendoakan jenazah, hanya Halal dan Ayah yang tersisa, ia masih tertunduk di hadapan sebuah nisan bertuliskan nama Almarhumah, Nana Nurjanah Bin Haji Kampin.

"Bu, apalah arti bunga setaman yang Halal berikan di atas makam Ibu, dibandingkan setangkai bunga yang Halal berikan semasa Ibu Hidup." Ucap Halal di atas makam.

Ayah hanya menatap sedih, tanpa bersuara, mengingat ini sudah kedua kali Ayah terserang Stroke, hingga membuat pita suaranya mengecil dan mulutnya tidak stabil.

"Allah, boleh Halal nitip Ibu? Jaga dia ya Allah. " Pinta Halal kepada Allah dalam doa.

Halal dan Ayah berangsur meninggalkan makam, hingga akhirnya ia menjauh dari tempat pemakaman umum.

Hari ini jadi hari yang berbeda bagi Halal dan Ayah, suasana rumah pun kembali sepi, tidak ada satu pun tetangga yang menjadi teman menghibur.

Di tengah kesedihannya, Rizka sahabat kecilnya datang, dan mencoba menghibur kesedihan Halal.

"Ra, aku nginep yah?" Pinta Rizka.

"Tapi keadaan rumah masih berantakan riz, nggak apa?"

"Nggak apa, santai aja Lal, kamu kaya sama siapa aja. "

"Terima kasih ya Riz, dah mau nemenin aku."

"Sudah tugas seorang sahabat Lal, untuk menemani sahabat nya saat sedang bersedih, bukan cuma nemenin kamu saat senengnya aja."

"Sekali lagi aku ucapin terima kasih."

Halal melihat Ayah duduk termenung, matanya nanar dan berkaca-kaca, sambil melihat tempat tidur almarhumah.

"Ayah, istirahat aja dulu, jangan banyak pikiran, nanti sakit Ayah kambuh lagi."

Ada yang Ayah mau sampaikan, hanya saja bibirnya tak sanggup untuk mengungkapkan apa yang mengusik pikirannya, matanya terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tak ada satu pun yang bisa memahami apa yang Ayah khawatirkan.

Ia tidak mau beranjak dari sisi tempat tidur Ibu, justru ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang mulai reot dan rapuh.

Halal khawatir kondisi kesehatan Ayah akan menurun dan nyaris sakit kembali.

Rizka begitu setia-nya mendampingi Halal, dia-lah sahabat kecil Halal. Gadis yang tidak lepas dari Hijab-nya yang panjang, begitu juga Halal, dia mengenakan hijab panjangnya setiap hari.

"Lal, tidur gih, nanti sakit, sebentar lagi ujian akhir, jaga kondisi kesehatan kamu."

"Iya Riz, makasi yah dah mau nemenin aku sampai sebegininya dan relain waktu untuk bisa nemenin aku."

"Yah, sama-sama Lal."

Tatapan mereka terlihat saling menguatkan satu sama lain.

Serupa Tapi Tak Sama

Rizka sahabat Halal sedari mereka duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, mereka sama-sama dilahirkan dari keluarga yang ekonomi nya, yaah, terbilang low tetapi persahabatan mereka begitu kuat, sudah seperti saudara sendiri.

Keduanya saling menguatkan satu sama lain, saling mengisi dan saling berbagi, jika terjadi perselisihan tidaklah lama, mereka dengan mudahnya saling memaafkan.

Rizka amat dekat dengan keluarga Halaliyah, begitu juga sebaliknya. Sayangnya, Rizka terlebih dahulu menjadi Yatim. Sang Ibu hanya bekerja sebagai Buruh Cuci harian di sebuah laundry, kini Ibu sering sakit-sakitan.

Usianya pun menginjak senja, sama dengan Hilal, Rizka juga anak semata wayang, tidak memiliki saudara, itu yang menjadi alasan mereka bisa saling mengisi satu sama lain, wajahnya pun hampir sama, banyak yang menganggap mereka kembar. Apa lagi, mereka selalu memakai pakaian yang seragam, apa pun selalu diduakan.

Kepulangan sang Ayah, ia rasakan sejak di usia dua tahun, Halimah sang ibu seorang diri membesarkan buah hatinya, meraka pun selalu bersama, dan berusaha saling meluangkan waktu untuk sekedar ada.

"Segalanya akan kembali ke Allah Lal, cepat atau lambat pasti kita akan menyusul orang tua kita. Yaaah, kita cuma hanya serangkaian waktu yang menunggu untuk kembali pulang." Ucap Rizka menghibur kesedihan sahabatnya.

"Ya Riz, kamu juga hebat, disaat butuh kasih sayang ayah, justru kamu sudah kehilangan Ayah sejak masih balita, belum cukup pelukan hangat dan perhatian ayah kamu rasakan."

Senja di pelataran rumah menjadi saksi dua sahabat ini saling mengisi satu sama lain, sanjungan bersautan, mewarnai setiap percakapan.

"Menurut mu, apakah Allah adil, mengapa kita yang rasanya belum cukup matang sudah menerima ujian hidup sebegini hebatnya, kadang sebagai manusia aku ngerasain, Allah, kapan sih aku bisa merasakan bahagia?! Allah, kok aku liat temen-temen seumuran begitu indah mewarnai masa muda-nya, sedangkan aku harus berjuang hanya untuk bertahan hidup."

"Hahaha,... " Rizka memulai jawaban dengan tawanya.

"Kata siapa mereka bahagia Lal?! Yang kamu lihat cuma dengan mata zohir, selama kita nafas dan tinggal di bumi Allah, jangan harap ada manusia yang bahagia, kecuali mereka yang paham apa itu Taqwa. Tidak ada manusia yang baik-baik aja, semua memiliki masalah hidup yang berbeda. Yang ngebedainnya cuma, kita teriak mereka diem aja, hidup ini sawang sinawang. "

"Maksud nya? "

"Yah, menurut orang kita enak, dan menurut kita mereka enak, dan satu hal yang kamu harus tau, bahwa setiap manusia punya masalah hidup, sudah berapa banyak kita hadapi masalah, bukti nya bisa selasai, cepat atau lambat dan entah seperti apa kita dapat menyelesaikannya, semua kita kembalikan ke Allah, karena Allah lah yang mendatangkan masalah dan Allah juga yang menyelesaikannya, yaaah itu sih menurut aku aja."

"Astaghfirullah, bener juga riz, kok kamu sampe jauh banget pikirannya."

"Umur kita sama, hanya masalah hidup kita yang berbeda dan bagaimana kita memandangnya, beruntung Allah kasih kita masalah di usia kita yang masih muda, jadi kita masih bisa berpikir waras, Allah masih menguatkan hati kita. Jangan memandang kesulitan hidup itu adalah beban, kalo kita memandangnya dari sudut lain, insyallah semua akan indah." Jelas Rizka

"Maksudnya?"

"Misal, kita nggak pernah tahu kedepannya Allah takdirkan kita seperti apa, siapa tahu kita besok jadi orang kaya, Allah penuhi semua fasilitas dunia kita. Dan kesulitan hidup di masa lalu yang akhirnya membuat kita lebih bersyukur bukan?!"

"Bener juga kamu Riz." Senyum Halal kembali merekah.

Ucapan dan Nasihat Rizka membuat sejuk hati Halal, suara adzan yang memisahkan pembicaraan mereka.

__________________oOo________________

Suara kembali sunyi, rumah tua itu kini hilang sebagian cahayanya, hanya suara sholawat Nariyah sayup terdengar, berangsur hilang terhalang suara ranting yang beradu, angin malam itu menusuk kulit.

Ayah duduk termenung sambil memandang foto istrinya tercinta, almarhumah yang selama hidupnya, bukan sebatas seorang istri, tetapi sahabat terbaik dalam hidupnya.

"Sudah yah, Ibu sudah tenang di sana, sekarang Ayah harus jaga kesehatan dan cepat sembuh, jangan terus larut dalam kesedihan, nanti Ayah tambah sakit." Halal menuntun Ayah dari kursi menujuh kamar mandi.

Dengan sabar Halal menggantikan pakaian dan memakaikan wangi-wangian, setelah itu ia menyiapkan makanan untuk Ayah.

"Hoo... oh... aaaah... gaak." Ayah sudah tidak bisa langi sempurna bicaranya, karena sakit sudah menyerang syaraf otaknya, seperti ada yang ia ingin sampaikan tetapi tidak dapat Halal pahami.

Dengan ucapan yang sama dan mengulang-ulang terus sambil menunjuk ke arah tertentu, tetapi Halal lagi-lagi tidak dapat memahaminya, sejak Ayah terserang stroke nyaris tidak dapat komunikasi dengan baik, terkadang setiap kali Ayah menunjuk sebuah tempat Halal berusaha keras memahaminya, tetapi salah terusterus, halal abaikan itu, ia hanya menganggap efek dari syaraf otaknya saja.

Begitu dan begitu, terus dan terus Ayah mengulangi, teriak, bicara dengan keluh, mulutnya terbata, lidah seperti kaku, disaat itu ia ulangi, Halal mengalihkan apa yang Ayah inginkan dan ia tidak tahu maksudnya.

Sampai akhirnya terkadang Ayah tertidur saking harus berpikir keras untuk menyampaikan apa yang ingin sampaikan. Selepas memberi makan, Ayah lantas pulas tertidur.

Halal melanjutkan pekerjaannya, merapihkan barang-barang bekas, melepaskan lebel pada botol kemasan atau minuman kemasan, memilah jenis plastik satu dengan yang lainnya.

Setelah rampung, ia mengambil air wudhu dan membuka kembali lembaran mushaf Al Qur'an, begitu hati-hati Halal membaca lengkap dengan makhrojul huruf dan tajwidnya, ia perhatikan juga tanda baca, satu, dua ayat ia baca berulang-ulang, lalu ia hafalkan kembali dan dilanjutkan dengan ayat berikutnya, hingga ia mampu menghafal 10 ayat setiap waktunya.

Jika ada kesempatan dan waktu luang, ia mengulang kembali setiap surah-nya, terus dan terus hingga akhirnya melekat di kepala. Lalu dilanjutkan kembali membuka mata pelajaran, mengingat Halal sudah diujung akhir sekolah, dan sebentar lagi ujian akhir, targetnya adalah perguruan Islam tinggi, kalau ditanya jurusan apa yang ia mau ambil, disaat murid-murid menjawab fakultas pendidikanlah, kedokteran, hukum, sinologi, bahasa, disiplin ilmu lain pada umumnya, Halal dan Rizka memilih fakultas dan jurusan lain, yakni Filsafat Alquran.

"Yakin elo mah ambil jurusan itu?!" Tanya Syifa, teman sekelasnya.

"Yah, yakin." Jawab Halal

"Terus nanti kerjanya apa? Kalo ambil jurusan itu?! Agak aneh aja gw dengernya."

"Urusan besok kerja apa setelah lulus, biar Allah aja yang tentuin, toh, pada akhirnya setiap fakultas atau jurusan yang kita pilih, selepas kuliah malah kerja di tempat yang nggak sesuai, ada yang kuliah jurusan Administrasi negara, malah jadi honoror di Kantor Kecamatan, ada yang ngambil jurusan teknik, malah jadi kepala toko." Bela Rizka menjawab pertanyaan Syifa.

"Iya juga sih, tapi aneh aja gw dengernya kalo elo berdua mau ambil jurusan filsafat Alquran, bagus sih. Gw curiga loh lulus kuliah jadi juru konci Syurga... hahaha.. " Tawa Syifa ngeledek.

Halal dan Rizka tidak menanggapi serius candaan Syifa, mereka pun larut dalam canda.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!