Novel ini sequel dari novel author sebelumnya " SEMERBAK WANGI AZALEA."
Happy reading semua....❤️❤️❤️❤️
...****************...
" Bagaimana jurnal nya mas?" Tanya Zara ketika kedua saudara kembar itu memasuki halaman fakultas kedokteran.
" Sudah siap. Kau tau? Aku sampai begadang mengerjakannya." Kata Zayn sesekali menguap.
" Aku bisa melihatnya." Ucap Zara merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu seperti pasta gigi dan memberikannya pada Zayn." Ini."
" Apa ini?" Zayn bertanya meski tak urung juga dia mengambilnya.
" Pakai di bawah matamu."
" Hei,, kau pikir aku banci, tidak." Zayn mengembalikan apa yang Zara berikan tadi. Karena yang dia pikirkan, Zara memberikannya semacam cream kecantikan wanita yang biasa di pakai adiknya dan umi Aza.
" Ya Allah mas.. Itu hanya eye cream. Olesi di bawah matamu. Coba kau lihat di cermin, matamu sudah seperti panda tua, gemoy tidak mengerikan iya." Kata Zara lalu berlalu meninggalkan Zayn, apalagi ada Syifa yang sudah melambaikan tangan memanggilnya.
" Aku duluan, eye cream nya jangan di buang ya, itu mahal loh." Ucapnya sebelum berlari ke arah Syifa.
Zayn menggelengkan kepala dengan sikap Zara yang tak pernah dewasa menurutnya.
*
*
Jam menunjuk di angka dua belas lewat tiga puluh menit. Dan seperti hari hari sebelumnya, Zara dan Syifa akan ke masjid sekitaran fakultas menunaikan kewajibannya sebagai umat islam yang taat.
Sepulang dari masjid, kedua nya harus berpisah karena Zara mendapat tugas dari salah satu dosennya untuk membawa beberapa berkas medis ke rumah sakit.
Langkahnya terlihat ringan ketika kakinya menginjak lantai keramik rumah sakit Brawijaya. Ya, sang dosen menyuruhnya ke Brawijaya Hospital memberikan beberapa berkas pada salah satu dokter senior di departemen pulmonologi.
Zara masuk ke lift dan menekan angka tiga, namun bersamaan dengan itu seorang pria yang sangat dia kenal ikut menyusul nya sebelum pintu lift tertutup rapat.
Zara membatu, pria tampan itu berdiri tidak jauh darinya, wangi maskulin menguar memenuhi ruangan sempit itu.
" Assalamualaikum dokter." Sapanya.
Pria tadi menoleh ke arah Zara. " Waalaikumsalam."
Hanya itu, lalu pria yang berprofesi dokter tersebut kembali fokus pada ponselnya.
Jujur Zara tidak ingin menegur, Hanya saja dia takut jika di anggap mahasiswi yang tak punya adab dan sopan santun.
" Mau ke lantai berapa dok?" Tanya Zara kembali.
" Lantai tiga." Jawabnya singkat padat dan jelas.
Zara menekan angka tiga sama persis seperti lantai yang yang akan dia tuju.
Zara tidak lagi berbicara, karena ponselnya berada di dalam tas, dan tangan kirinya sibuk dengan beberapa berkas, akhirnya untuk mengurangi rasa gugupnya, dia hanya memainkan ujung jilbab panjang yang dia kenakan.
Beruntung hanya sampai lantai tiga, jadi Zara tidak harus berlama-lama di dalam lift bersama pria yang dia panggil dokter tersebut.
Mereka berpisah, Zara ke arah yang berlawanan dengan dokter yang bersama nya beberapa saat lalu. Sesekali Zara menoleh dan melihat pria tersebut yang sedang berlari lari kecil seperti orang yang sedang terburu buru.
Namun Zara tidak begitu memperdulikan. Sekarang dia harus fokus pada beberapa lembaran yang sebentar lagi akan di terima pemiliknya. Dan seperti yang biasa terjadi, akan ada kuis atau beberapa pertanyaan ketika seorang mahasiswa kedokteran sepertinya bertemu dengan dokter senior ataupun Professor.
Zara menghembuskan nafasnya kuat sebelum mengetuk pintu bercat putih tersebut.
" Masuk."
Zara melangkah ke dalam ruangan, di hadapannya seorang dokter paruh baya dengan kacamata tebal sedang duduk seperti menunggu kedatangannya.
" Selamat siang dok, saya di tugaskan dokter Albert untuk memberikan berkas ini pada anda."
" Taruh di meja. Semester berapa?"
" Semester akhir dok."
" Bagus, aku ada pertanyaan untukmu."
Sesuai dugaan Zara. Itulah kenapa teman temannya takut jika mendapat kan tugas seperti ini. Karena bukan hanya menjadi kurir biasa saja, ada beberapa prosedur yang harus mereka lewati sebelum berhasil kembali dengan selamat.
Dokter tersebut sudah mulai memberikan pertanyaan, dan dia merasa terganggu karena ponsel Zara terus berbunyi di dalam tas.
" Kau mengganggu konsentrasi ku. Angkat telpon mu!"
" Baik dok."
Dengan tangan gemetar, Zara membuka tas dan mengambil ponselnya. Di sana tertera nama opa Lukman, tentu dia harus segera menjawab.
" Assalamualaikum opa."
" Waalaikumsalam, kamu di mana nak? Di kampus?"
" Tidak opa, Zara lagi di rumah sakit."
" Kamu sakit?"
" Tidak, Zara ada sedikit urusan."
" Alhamdulillah, rumah sakit mana?"
" Brawijaya."
" Syukurlah, kamu segera ke kamar nomor lima, ruang perawatan VIP, opa menunggumu sekarang juga."
" Tapi opa, bisa satu jam lagi?"
" Itu terlalu lama nak."
" Kalau sekarang Zara tidak bisa opa." Kata Zara setengah berbisik.
" Kamu sedang ujian?"
" Ya bisa di bilang seperti itu."
" Berikan ponselnya pada dokter penguji mu."
" Itu tidak sopan opa."
" Cepat berikan!"
" Baiklah, tunggu sebentar."
Perlahan Zara menghampiri dokter Surya. " Dok maaf, opa saya mau bicara."
" Aku tidak punya urusan dengan opa mu, memangnya siapa dia?"
" Bukan siapa siapa dok, hanya saja, opa saya sepertinya sangat ingin berbicara dengan anda."
" Dokter Surya, ini aku dokter Lukman." Kata Opa setelah Zara mengaktifkan pengeras suara ponselnya.
" Dokter Lukman?" Dokter Surya mulai berpikir, sepertinya dia mengingat nama itu.
" Cepat sekali kau lupa dengan ku, makanya sekali kali kau nikmati hidupmu, jangan bekerja terus menerus dan menyiksa mahasiswa mahasiswa tak berdosa itu. Awas saja kalau kau sampai membuat cucuku menderita."
Dokter Surya melongo, tatapannya bergantian, antara melihat ponsel di atas meja dengan Zara yang berdiri sembari menunduk.
" Jadi gadis cantik ini cucumu?"
" Iya kau betul sekali, jangan katakan kalau kau sudah menyiksanya."
" Belum, aku belum sempat melakukannya. Apa dia sudah punya pacar?" Tanya Dokter Surya keluar dari jalur.
" Kau tau dia anak siapa kan? Apa kau pikir Abi nya akan membiarkan nya berpacaran?"
" Benar juga, bagaimana kalau ta'aruf, kau kenal Bayu kan? Dia anak bungsu ku."
" Ya aku kenal. Tapi nanti saja kita bahas, aku membutuhkan cucu ku sekarang juga."
" Baiklah aku akan menyuruhnya segera menemui mu."
Panggilan berakhir dan Zara di biarkan terbebas dari ujian mendadak departemen pulmonologi yang tentu akan membuatnya pusing tujuh keliling.
Tok tok tok.
Zara berdiri di depan pintu ruangan sembari mengetuk pintu.
Tidak lama seorang wanita muda datang dan membuka pintu untuk Zara.
" Silahkan masuk." Ucapnya sopan.
Zara mengedarkan pandangannya ke sekitar, dan dia cukup kaget karena di sana bukan hanya opa dan oma nya, tapi ada abi dan uminya juga.
" Sini nak." Panggil umi Aza.
Zara mendekati keluarganya dan mencium tangan mereka satu persatu, sementara tak jauh dari keluarga Brawijaya seorang pria sedang menatap ke arah Zara dengan tatapan yang tidak bisa di tebak, pria itu juga sedang bersama dengan kedua orang tuanya.
" Zara, perkenalkan, mereka keluarga Pradipta." Ucap Abi Adam.
Zara pun langsung menghampiri mereka dan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan pada keluarganya. Terkecuali pada laki laki dewasa yang tentu tidak bisa dia sentuh karena larangan dalam agamanya.
Namun, kening Zara mengernyit kala dia menangkupkan tangan di depan seorang pria yang baru beberapa saat lalu bersama dengannya di dalam lift.
" Dokter Ezar?" Batin Zara tetap melanjutkan menyapa dosennya tersebut meski tanpa bersentuhan.
Zara kembali bergabung bersama keluarganya. Pembicaraan berliku antara opa dan keluarga Pradipta mulai membuat Zara bingung. Namun, lambat laun dia mulai paham apa duduk permasalahannya.
" Kalian akan menikah hari ini."
...****************...
Zara kembali bergabung bersama keluarganya. Pembicaraan berliku antara opa dan keluarga Pradipta mulai membuat Zara bingung. Namun, lambat laun dia mulai paham apa duduk permasalahannya.
Sebuah kalimat tak terduga dan membuat Zara seperti di jatuhi sebuah gunung besar adalah...
" Kalian akan menikah hari ini." Ucap seorang wanita yang usianya sepantaran Oma Ivana. Wanita yang baru saja masuk dengan wajah teduh dan menenangkan.
" Siapa yang Oma maksud?" Tanya Ezar.
" Kau, siapa lagi?" Katanya sedikit ketus.
" Aku, aku menikah? Dengan siapa?" Tanyanya seperti tidak terima.
Oma menghampiri Zara dan memeluk gadis berjilbab panjang itu.
Sembari mengusap kepala Zara dengan sayang, oma Afya berucap. " Gadis ini, dia akan mendampingi mu dan akan menjadi pelengkap ibadahmu Ezar." Oma Afya menatap cinta pada Zara. Baru pertama kali Oma Afya bertatap muka dengan Zara, dia hanya melihat foto gadis cantik itu dari kiriman Oma Ivana saja di tambah beberapa penyelidikan kecil yang dia lakukan beberapa bulan terakhir ini. Dan ternyata, setelah melihat langsung, Oma langsung menyukai kepribadian anak pemilik Brawijaya Hospital itu.
Jantung Zara sampai berhenti berdetak beberapa detik ketika tiba tiba saja seorang wanita tua datang dan mengumumkan rencana pernikahannya dengan putra tertua keluarga Pradipta.
Mau menolak, tapi Zara takut durhaka. Mau menerima, hei, dia masih anak anak. Umurnya belum siap untuk membina rumah tangga.
" Oma.." Ezar mencoba protes, tapi ucapannya tertahan ketika oma Afya mengangkat tangan kanan nya tanda untuk Ezar tidak lagi berbicara.
" Ini kemauan opa dan oma, atau lebih tepatnya, janji opa mu pada Lukman Brawijaya. Kau tidak usah menyela, oma kenapa di jodohkan? Ini kan sudah zaman modern, aku sudah dewasa dan tentu bebas memilih calon pendamping hidupku sendiri, itu kan yang mau kau katakan. Justru karena sekarang zaman sudah modern, tetua seperti kami ini yang punya kewajiban untuk membuat penerus keluarga mendapatkan pasangan yang tepat, termasuk kau!"
" Tapi kami tidak saling kenal oma?" Ezar masih berusaha mengelak.
" Siapa bilang, kau baru saja berkenalan dengannya, apalagi yang oma tau, dia adalah salah satu mahasiswa mu yang sangat pintar. Lalu apa masalahmu?"
" Kami tidak saling..."
" Mencintai?" Oma Afya kelihatan sangat mengerti cucunya dengan baik, karena wanita sepuh itu tau apa yang akan di katakan Ezar.
" Kau pikir karena saling mencintai sebelum menikah akan menjamin rumah tanggamu langgeng selamanya? No... " Oma Afya mengangkat telunjuk kanannya dan menggoyangnya perlahan. " Oma bisa memberimu contoh cinta itu lebih indah setelah menikah. Perlu bukti? Lihat ayah dan ibumu, mereka tidak saling kenal ketika opa mu menjodohkan mereka, dan kau bisa lihat sekarang kan? Sebucin apa ayahmu yang dulu pernah menolak pesona ibumu? Dan kau lihat abi dan uminya Zara, calon mertuamu. Mereka justru punya cerita yang sangat unik hingga berakhir di pelaminan tanpa adanya rasa cinta. Tidak perlu ku jelaskan padamu kondisi saat ini bagaimana Adam yang sangat mencintai Azalea."
Ezar tidak berkutik, begitupun dengan Zara, dia yang biasanya selalu protes jika ada yang tidak berkenan di hati, kali ini hanya mampu terdiam.
Oma Afya meminta kursi pada wanita muda yang tadi membuka pintu untuk Zara. Kemudian duduk sembari memegang tangan keriput suaminya yang sedang koma menunggu malaikat maut datang menjemput.
" Opa ingin sekali melihatmu menikah Ezar, tapi penyakit mematikan itu lebih dulu menyambutnya. Dan sebelum dia pergi meninggalkan kita semua, Oma, ayah dan ibumu sangat menginginkan kau menikah dengan pilihan opa. Hanya itu yang oma ingin kan darimu." Katanya lemah, lalu sesekali mengusap cairan bening di ujung matanya.
Ezar menghela nafas berat. Ini adalah keputusan yang sangat sulit. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Pria lemah yang terbaring tak berdaya itu adalah segalanya bagi Ezar. Ezar tumbuh dan besar bersama opa dan omanya. Meski memiliki orang tua yang lengkap, Semenjak kecil Ezar lebih memilih tinggal bersama opa dan omanya di London. Menempuh pendidikan kedokteran di sana hingga akhirnya opa nya yang semakin tua dan tidak sanggup lagi untuk menjalankan perusahaannya.
Sebelumnya tidak pernah ada wacana atau pembicaraan apapun mengenai perjodohan dengan putri keluarga Brawijaya. Kehidupannya berjalan semulus jalan tol, tanpa hambatan. Walau sebenarnya sudah ada riak riak yang mengarah ke perjodohan tersebut, terbukti terlalu seringnya keluarga Pradipta menyebut nama Brawijaya di setiap kesempatan kala mereka ada acara kumpul bersama keluarga. Terlebih, salah satu keluarga Brawijaya tersebut adalah sepupu omanya. Ya, siapa lagi jika bukan oma Ivana. Ayah dari kedua wanita yang berdarah asli Uzbekistan itu bersaudara. Hanya saja, mereka jarang bertemu, apalagi Oma dan opa yang tinggal di London, sementara oma Ivana dan opa Lukman tinggal di Singapura.
" Baiklah, aku setuju, tapi beri aku waktu satu jam, aku ingin berbicara dengan Zara." Kata Ezar di tengah keheningan.
Ezar memberikan kode pada Zara agar keluar, tapi gadis itu menolak. " Saya akan menemui dokter, tapi bolehkah saya berbicara dengan kedua orang tua saya dulu?"
Ezar mengangguk dan memilih keluar bersama keluarga besarnya.
Azalea menangis memeluk putrinya, " Maafkan umi sayang, umi tidak ada maksud membuatmu berada dalam situasi tidak menyenangkan seperti ini. Tapi apa boleh buat, janji di hadapan Allah harus di tepati bukan?"
Zara mengangguk dengan sesekali mengusap cairan bening yang mengalir di kedua pipi mulusnya.
Adam pun ikut memeluk Zara. Begitupun dengan opa dan omanya. Janji pernikahan itu sebenarnya akan di lakukan ketika Zara selesai kuliah. Rencananya, perlahan Adam dan Azalea akan memberitahu Zara soal perjodohan mereka. Tapi apa daya, rencana itu tinggallah sebuah rencana, karena pada pelaksanaannya, Zara harus segera menikah dengan Ezar.
" Boleh Zara telpon mas Zayn, umi?" Kata Zara setelah bisa menenangkan hatinya.
" Umi juga berencana melakukannya."
Zara menghubungi Zayn, nasib baik, Zayn sudah tidak ada mata kuliah jadi dia bisa segera meluncur ke rumah sakit.
Zara menghampiri Ezar yang sedang duduk di sebuah kursi panjang sendirian. Beberapa waktu lalu, keluarganya sudah masuk ke dalam ruangan perawatan opa.
" Duduk." Kata Ezar.
Zara duduk seperti permintaan Ezar.
" Apa kau keberatan dengan pernikahan ini?"
" Sebenarnya jika harus jujur, iya. Tapi, saya juga tidak bisa menolak permintaan mereka."
" Kenapa? Kalau aku yang menerima, harusnya kau tolak, karena jika kau yang tidak mau, aku yakin pernikahan ini tidak akan terjadi." Kesal Ezar.
" Dari kecil saya tidak pernah membantah apapun yang orang tua saya katakan dok. Karena saya tau, mereka tidak akan pernah mau mencelakai anaknya sendiri. Saya masih memegang prinsip, apapun yang orang tua saya katakan selagi itu baik untuk saya, saya akan melakukannya. Karena doa kedua orang tua yang tulus seperti orang tua saya, itu adalah doa yang bisa menembus langit dok."
Ezar terdiam. Ia tak menampik, Gadis yang sebentar lagi akan berubah status menjadi istrinya itu ternyata punya pikiran yang sangat logis.
" Sebentar lagi kita akan menikah, dan tinggal bersama. Kau tidak apa kan?"
" Seharusnya suami istri memang tinggal bersama dok."
" Tapi, kau jangan mengharap kehidupan suami istri layaknya kedua orang tuamu yang terlihat sangat harmonis. Itu tidak akan terjadi."
Zara membisu. Entahlah, mungkin dia syok dengan pengakuan frontal Ezar.
" Aku akan menafkahi mu, memberikan mu uang dan apapun yang kau inginkan. Tapi jangan pernah mengharap cinta dariku. Karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah mencintai mu."
Zara mengapit kedua tangan di antara lututnya sembari tertunduk dalam mendengar syarat pernikahan dari sang calon suami yang baginya sangatlah menyakitkan.
" Satu lagi, kau harus merahasiakan pernikahan ini. Karena belum tentu, ini akan berlangsung lama." Ezar berdiri dan meninggalkan Zara yang masih menunduk.
Ezar tidak tau, kalimatnya barusan sudah membuat hati Zara rapuh. Netranya berembun dan setitik air menetes dari embun tersebut. Perlahan dia mengusap menggunakan lengan bajunya yang panjang.
Dari jauh, seseorang menyaksikan dan mendengar semua pembicaraan mereka. Dia mengepalkan tangan hingga buku bukunya terlihat memutih.
" Jangan sampai aku melihat adikku menangis karena perbuatanmu. Jika itu sampai terjadi, kau akan menyesal."
...****************...
Zayn marah, adik yang sangat dia sayangi mendapatkan kekerasan verbal dari calon suaminya sendiri. Selama bersama dengan Zara, walau sering bertengkar, Zayn selalu menjaga perasaan adiknya yang halus seperti umi Aza.
Dalam kesehariannya, Zara memang terlihat bar bar dan bawel, tapi di balik sikapnya itu, tersembunyi gadis yang anggun, cantik dan pintar.
Andai bisa turut campur, Zayn pasti orang pertama yang akan menolak perjodohan ini.
Setelah menghapus sisa cairan bening di sudut matanya. Zara menyusul masuk ke dalam kamar rawat opa Erwin. Berbagai macam usaha ia lakukan agar tidak terlihat jika ia sudah menangis.
Sekitar sepuluh menit setelah Zara masuk, Zayn pun membuka pintu. Ezar menatap Zayn yang baru saja duduk di sebelah Zara. Dia ingat jika pria tampan itu adalah mahasiswa pintar yang sempat membuatnya ketar ketir karena sempat beradu argumen dengannya di kelas beberapa hari lalu. Itulah kenapa Zayn di buat sedikit menderita dengan jurnal ratusan halaman.
" Bukankah ini Zayn?" Tanya oma Afya.
Zayn berdiri kemudian menangkupkan tangannya di dada sembari membungkukkan sedikit tubuh tingginya.
" Iya Afya." Kata Oma Ivana.
" Sungguh, kalian punya bibit yang sangat unggul." Lanjut oma mengusap lembut punggung Zayn dengan mata yang melirik ke arah Adam dan Azalea. " Oma yakin istrimu sangat cantik. Dan dia menutupi nya di balik kain hitam itu." Oma kini menatap intens pada Azalea.
Adam tersenyum tipis dengan cara oma Afya menatap lekat istrinya.
Oma Afya kembali menghampiri Zara, meminta maaf pada gadis itu karena membuatnya tiba tiba harus menikah dengan cucunya, meminta maaf karena janji opa Erwin dan opa Lukman puluhan tahun lalu. Dan yang membuat Oma menitikkan air mata, karena dia belum bisa memberikan pernikahan yang layak untuk cucu pertamanya. Hanya pernikahan sederhana dan itupun di rumah sakit.
Tak ada yang bisa di katakan Zara selain mengulas senyum. Senyum yang terlihat di paksakan, dan hanya Zayn dan umi Aza yang bisa melihat kesedihan di balik senyum adiknya yang bagi orang lain terlihat begitu manis.
Tidak berapa lama kamar perawatan itu sudah di sulap sedemikian rupa seperti layaknya tempat pernikahan sesungguhnya.
Zayn menghampiri adiknya di sebuah ruangan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kamar rawat opa Erwin.
Zayn memasang senyumnya tatkala Zara menoleh dan menatap lekat wajah kakaknya.
" Kau sangat cantik dek." Kata Zayn. Pujian yang tidak pernah di dengar Zara sebelumnya. Bukannya tersenyum atau tertawa, Zara justru menangis sembari memeluk Zayn.
" Mas..bagaimana ini? Haruskah Zara pergi saja?" Ucapnya sesenggukan.
Hati Zayn teriris, tak pernah dia melihat adiknya seputus asa itu. Netranya sudah mulai berembun, saudara satu satunya teman suka dan dukanya dari zaman orok hingga hari ini sebentar lagi akan menikah, dia tidak akan lagi melihat wajah ayu dan suara cempreng Zara saat membangunkannya di pagi hari.
Zayn melerai pelukan Zara, mengusap lembut pipi Zara yang sudah penuh dengan air mata.
" Berhenti menangis. Kasian mbaknya, nanti repot perbaiki riasanmu yang berantakan." Kata Zayn mecoba tersenyum dan tetap terlihat cool seperti biasa.
Zara mengambil tisu dan membersihkan sisa cairan bening di wajahnya.
" Aku tau kamu adikku yang sangat baik. Ingatlah, abi dan umi sangat menyayangi kita. Ini bukan tentang tega tidaknya mereka menjodohkan mu. Agama melarang kita untuk berpacaran dan kau sudah lakukan itu, jadi tidak ada jalan lain yang bisa kau lewati selain di jodohkan dek. Dan yakinlah, abi dan umi tidak akan melepaskan putri tercintanya pada orang yang tidak tepat. Dan pilihannya jatuh pada dokter Ezar. Mungkin ini terlalu cepat, aku pun menyesalkannya, tapi mau bagaimana lagi, keadaan tidak berpihak pada kita."
Zara terdiam, tampaknya ia mulai sedikit lebih tenang.
" Kau masih ingatkan apa yang abi selalu katakan pada kita? Mencari pasangan itu tidak mudah, pilihlah jodoh karena agamanya, pilihlah jodoh karena keturunan nya, pilihlah jodoh yang setara atau sepadan. Kau paham maksud abi kan? Yang pertama itu sudah pasti, karena abi dan umi tidak akan membiarkan anaknya menikah jika tidak seagama, yang kedua, dokter Ezar berasal dari keluarga yang baik, apalagi dia masih ada hubungan keluarga dengan keluarga kita. Dan umurmu tidak terpaut terlalu jauh, hanya sepuluh tahun saja."
" Mas..itu sangat jauh." Protes Zara.
" Nanti dia sudah aki aki, kau kan masih sehat dan bugar." Protes Zara di balas Zayn dengan tawa renyah. Dia sengaja membuat lelucon agar adiknya bisa sedikit lebih rileks.
" Aku akan selalu mendukungmu, jika suatu saat nanti kau mengalami masalah, kau boleh menelpon ku, jangan beritahu apapun pada abi atau umi."
"Iya mas, makasih banyak."
Tidak lama setelah Zayn keluar, perias tadi datang lagi karena acara akan di mulai. Melihat riasan Zara yang berantakan membuatnya tersenyum.
" Maafkan saya mbak, harusnya mbak tidak kerja lagi, gara gara air yang keluar dari mata saya, mbak harus kerja ekstra." Ucap Zara merasa bersalah.
Mbak perias itu tidak marah, ia justru tertawa melihat ekspresi lucu Zara.
" Tidak apa apa nona, ini biasa terjadi."
Zara sudah terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya berwarna snow white, begitupun degan Ezar, memakai tuxedo dengan warna senada, ini ibarat pernikahan yang memang sudah di rencanakan bukan seperti kata oma yang semua serba mendadak. Pakaian yang di kenakan Zara contohnya, ini bukan hanya sekedar pakaian pengantin biasa, Tapi kebaya modern rancangan desainer ternama dengan harga fantastis.
" Saya terima nikah dan kawinnya Zara Aisyah Damazal binti Adam Arkananta dengan mas kawin tersebut di bayar tunai."
" Sah."
Dengan satu tarikan nafas, Ezar mengucapkan kalimat sakral tersebut dan kini sudah resmi menjadi suami dari gadis cantik bernama Zara Aisyah Damazal.
Umi Aza meneteskan air mata, anaknya kini sudah menjadi seorang istri di usianya yang masih sangat muda, sama persis seperti dirinya dulu.
Di ujung ruangan, Zayn pun terlihat mengusap ujung matanya yang berair. " Kau harus bahagia dek..." Batin Zayn sembari menatap sendu saudara kembarnya yang tak menampakkan senyum sedikitpun.
Setelah acara selesai, Zayn memilih pulang ke rumah lebih dulu. Meski sedih karena kini Zara tidak akan lagi mengganggunya, tapi setidaknya, adiknya sudah ada yang menjaga. Walau sebenarnya dia tidak terlalu yakin mengingat pembicaraan Ezar dengan adiknya beberapa saat lalu, namun dia akan tetap memantau dari jauh.
Ikut campur dalam pernikahan saudara sangat tidak di benarkan, tapi dalam kasus adiknya, ini sedikit berbeda.
Ezar membawa Zara pulang ke rumahnya, rumah yang dia beli beberapa tahun lalu dengan hasil keringatnya sendiri.
Tak pernah terbayangkan dalam benak Zara, dia yang hanya datang ke rumah sakit atas perintah dosennya, berakhir pulang dengan dosennya yang lain, terlebih statusnya kini berubah.
Tapi di manapun dia berada, tetap tidak akan menjadi penghalang perjodohan ini. Kebetulan saja dia berada di rumah sakit dan ternyata langkahnya itu membuat takdir yang sudah di gariskan untuknya berjalan mulus. Dan kini dia sudah menyandang gelar sebagai istri, istri dari seorang dokter bedah thorax kardiovaskuler, Ezar Fakih Pradipta.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!