NovelToon NovelToon

Di Balik Cadar Arumi

Bab 1

Suatu hari, Indah pulang dari sebuah kajian bersama dengan seorang gadis bercadar. Arumi namanya, gadis yatim piatu yang sangat sopan dan berakhlak mulia. Begitu Indah menilai.

"Ibu sendirian? Arin nggak pernah kelihatan?" tanya Arumi sambil menenteng barang belanjaan milik Indah hingga ke teras rumah. Gadis itu memang membantu Indah berbelanja sepulang dari kajian rutin mereka.

"Arin itu sekarang lagi magang. Makanya sibuk sekali, jarang di rumah. Ayo, masuk dulu. Ibu buatkan teh untukmu ," ajak Indah.

"Nggak usah repot-repot, Bu. Saya langsung pulang saja Insya Allah kalau ke sini lagi, Rum pasti mampir lama." Arumi mencoba menolak dengan perkataan halus.

"Singgah dulu sebentar. Kita makan cemilan kue yang ibu beli. Ayolah. Sudah dua kali Nak Arumi ke sini tapi nggak pernah mau mencicipi makanan ibu." Indah sedikit memaksa.

"Bukan begitu, Bu. Saya--"

Tin! tin!

Ucapan Arumi terpotong oleh suara klakson mobil. Keduanya menoleh ke pintu halaman. Seorang pria tampan turun dari dalam mobil hitam. Ia membuka kacamata hitamnya. Sejenak, Arumi menatapnya heran dengan takjub. Lalu, ia buru-buru mengalihkan pandangan.

"Astagfirullah." Ia membatin.

"Itu anak ibu. Namanya Aris," ucap Indah tanpa mengetahui raut wajah Arumi yang tersipu di balik cadar.

"Ibu punya anak laki-laki? Bukannya anak ibu cuma Arin saja?" tanya Arumi memastikan. Sebab, Indah tidak pernah bercerita mengenai diri anak lelakinya. Bahkan beberapa kali singgah di rumah itu, ia tak pernah melihat sosok Aris.

"Anak ibu ada dua. Aris anak ibu yang pertama, kakaknya Arin. Dia tinggal di kota sebelah, punya rumah sendiri di sana karena kerjanya di sana. Ibu kenalkan, yuk!"

Dada Arumi semakin berdetak tak karuan.

Ma," sapa Aris.

"Waalaikumsalam. Kamu mampir atau sengaja pulang, tanya sang mama.

"Sengaja pulang dong, Ma. Tapi Aris nggak sempat bawa oleh-oleh. Buru-buru soalnya."

"Tenang, mama membeli banyak kue dari tokonya Arumi. Oh, iya, mama sampai lupa memperkenalkan kalian. Rum, kenalkan ini anak sulung ibu, namanya Aris."

Arumi mengangkat sedikit wajahnya, lalu mengatupkan kedua tangan di depan dada.

"Mas," ucapnya.

Aris tersenyum menanggapinya. Ia menjawab, Saya Aris." "

"Masuk, yuk, Rum! Kita ngobrol bertiga," ajak Indah.

Setelah hari itu, Indah yang mengenalkan Aris pada Arumi memiliki rencana menjodohkan keduanya. Aris menolak. Ia sama sekali tidak tertarik dengan gadis bercadar. Baginya tidak terlihat menarik, akan tetapi, Indah tidak kehabisan cara untuk membuat Aris mau mengaminkan permintaannya. Apalagi ia tahu, jika Arumi diam-diam menyukai putranya.

"Arumi itu gadis baik-baik. Kamu tidak akan menyesal menikah dengannya. Dia pekerja keras, punya toko kue meskipun hanya kecil. Pintar mengaji juga, suaranya sangat merdu, Aris. Dan satu lagi, ibu-ibu di kajian itu banyak yang menginginkan Arumi menjadi menantu. Pokoknya tidak boleh menolak."

"Dia itu bukan wanita idaman Aris, Ma. Bukan gadis bercadar seperti Arumi yang aku mau."

"Jangan salah, Aris. Mama sudah pernah melihat wajahnya. Saat dia menumpang sholat asar di rumah ini, tak sengaja ibu melihat Arumi itu sangat cantik. Lebih cantik dari perempuan yang sering kamu bawa-bawa ke pesta teman-temanmu itu. mirip artis yang pakai hijab itu ... siapa namanya ... anu, si Bella, Laudya Chintya Bella. Beneran. Ibu nggak bohong."

Aris menutup telinganya, berharap tidak mendengar mamanya. Tapi Indah terus saja merayu lagi dan lagi.

Sampai suatu hari, Aris pun akhirnya mengalah. Ia menerima permintaan sang mama, hanya demi mamanya, juga karena dirinya tengah patah hati karena ditinggal kekasihnya bertunangan dengan laki-laki lain.

Tanpa melalui proses yang panjang bahkan melihat wajah Arumi pun tidak, semua hal tentang diri Arumi dan menyangkut pernikahannya, dipercayakan pada sang mama.

Aris percaya, mama adalah terbaik untuk masa depannya.

"Kalau kamu tidak mau membukanya, bagaimana bisa menunaikan kewajibanmu, Arumi?"

"Boleh aku tau alasannya kenapa Mas Aris tiba-tiba memintaku membuka cadar? Bukankah sebelumnya nggak mempermasalahkan meskipun aku ingin menyelidiki kebiasaannya. Mungkin secara kebetulan dia pergi keluar, ke klub itu lagi.

Sampai di rumah, ternyata Arumi tidak ke mana-mana. Beruntung sekali, karena aku juga ingin menanyakan sesuatu padanya.

"Mas mau makan? Aku memasak tadi siang, kalau mau makan biar Rum panasi dulu sayurnya."

Arumi berdiri di ambang pintu. Aku mengamatinya dari atas ke bawah tanpa berkedip. Otakku dipenuhi kecurigaan, semua dugaan buruk mengarah pada diri Arumi.

"Mas." Dia menegur karena aku tidak merespon ucapannya.

"Mendekatlah kemari," pintaku, lalu bergeser agar Arumi duduk di sebelahku

"Ada apa, Mas?" tanyanya. Dia

tanpa sengaja mengibaskan jilbab panjangnya hingga mengenai kulit tanganku. Aroma wangi menyeruak, membuat rasa penasaran ini semakin besar.

"Aku masih mempertanyakan kesanggupanmu memenuhi kewajibanmu, rum," ucapku tegas.

"Maaf, Aku juga ingin Mas Aris menjawab pertanyaanku lebih dulu.

Setelah yakin, aku pasti akan menunaikan kewajibanku."

"Baiklah. Akan aku sampaikan satu hal, bahwa aku melihatmu berada di sebuah klub. Malam itu kamu sedang menerima sebuah amplop dari seorang pria. Untuk apa kamu berada di sana?"

Aku memandang Arumi tercetak jelas keterkejutannya.

"Kamu berpakaian tertutup bahkan bercadar, pantaskah berada di tempat seperti itu tanpa suamimu?"

Arumi membuang pandang ke arah lain.

"Jawab, Rum? Salahkan aku sebagai suami mempertanyakan ahklakmu? Jangan-jangan, mama salah mengambil menantu."

"Apa maksudku, Mas?"

Suara Arumi terdengar meninggi. Dia juga menatapku, di cadarnya dapat kurasakan aroma kemarahan.

"Kita buktikan, apakah dugaanku ini benar. Sekarang aku kamu untuk membuktikannya."

"Maaf, Mas. Kata-katamu baru saja menyakitiku. Harga diriku merasa direndahkan."

"Kalau begitu, penuhi permintaanku, baru aku akan percaya."

"Mengapa Mas tidak mendengar penjelasanku saja, lalu tarik kesimpulan sendiri apakah prasangkamu benar atau salah?"

"Aku tidak percaya kata-kata. Yang aku butuhkan adalah bukti. Sekarang aku tanya sekali lagi, kamu sanggup membuktikannya, atau tidak?"

Arumi menatapku dalam diam. Dia tak terdengar memberikan jawaban. Aku semakin penasaran, apa yang sedang dia pikirkan? Menolak atau memenuhi tantanganku?

.

.

Bab 2

"Bagaimana, Arumi? Kamu sudah mendapatkan jawabannya?"

Aku menekannya dengan satu pertanyaan. Rasanya waktu yang kuberikan beberapa menit untuk menimbang sudahlah cukup.

"Arumi," panggilku lagi.

"Tidak sekarang, Mas. Aku

bisa jelaskan kenapa aku bisa ada di klub malam itu. Aku nggak akan berbohong."

"Jadi, kamu menolaknya?"

"Bukan begitu. A-aku akan."

"Cukup! Berarti benar dugaanku, kamu punya rahasia yang kamu sembunyikan dariku. Ada sesuatu yang tidak aku tau."

"Tidak ada yang aka tutup-tutupi, Mas. Insya Allah

aku siap mengatakan semuanya. Tapi butuh waktu."

"Aku pamit." Aku berdiri. Arumi terkejut.

"Mas, dengarkan dulu."

"Tidak ada gunanya aku di sini."

"Mas Aris dengarkan dulu penjelasanku."

Kaki terlanjut kuayunkan keluar kamar. Rasanya sudah ingin mengakhiri pertemuan

ini. Saat aku mencapai pintu, mendadak ponselku berdering.

Mama memanggil.

"Assalamualaikum, Ma," sapaku.

"Waalaikum salam, Ris. Kalian di rumah kan? Ibu mau mampir sebentar."

"Ya, di rumah. Aris jemput? Mama di mana?"

"Nggak usah. Mama diantar teman mama. tunggu saja setengah jam. Ya sudah ya, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Ponsel kembali masuk kantong, aku menoleh pada Arumi.

"Bisa siapkan makan untukku. Mama mau datang. Biar aku menunggu sampai mama datang,” ucapku.

Aku kembali lagi duduk di ranjang. Menunggu Arumi yang katanya akan menyiapkan makanan

Selama menikah dengannya, kami memang sepakat merahasiakan hubungan kami yang tidak berjalan baik. Jika mama akan datang,

"Ya, Mas, Arumi siapkan sekarang."

Begitu sebaliknya, kalau mama pulang, maka aku pun ikut pulang ke apartemen.

Keputusan itu aku ambil karena tidak merasa nyaman berada dekat dengan Arumi. Dia terlalu tertutup, penampilannya yang bercadar

pun menyusahkan aku untuk mengenalkannya dia dengan teman-temanku. Semua alasan sepertinya memberatkan untuk kami bisa bersama-sama.

Aku sudah hampir terlelap

andai sebuah tepukan pada lengan tidak mengejutkan aku.

"Mama sudah sampai tuh, Mas. Ada di depan, di antar temannya."

Aku pun bangkit sambil mengusap-usap mata. Bergegas menyusul Arumi yang sekilas ujung jilbabnya tampak berkelebat saat menghilang di balik pintu.

Aku mendengar suara mama yang berbincang cukup

keras saat keluar dari kamar. Ternyata mama sedang membicarakan pengalaman perjalanannya kemari bersama dengan temannya.

"Ma, mana temannya?" tanyaku lalu meraih tangan dan menciumnya.

"Pergi sebentar, ada kepentingan. Mama nggak lama, cuma mampir saja," jawab mama.

"Loh, nggak menginap?"

tanyaku.

"Nggak bisa. Acara mama padat, besok ada pengajian rutin."

"Kenapa nggak izin saja, Ma. Jarang-jarang mama datang, masa mau langsung pulang?" Arumi menyela.

"Kapan-kapan mama datang dan menginap. Lagian, Airin di rumah sendirian dong kalau mama nggak pulang.

kesukaan Aris. Kita makan yuk ," ajak mama.

Arumi terlihat berbinar. Diterimanya rantang dari mama dan membawanya ke meja makan. Kebetulan sekali Arumi sudah menyiapkan makanan. Jadinya, menu di atas meja menjadi bertambah banyak. Kami pun akhirnya makan bertiga.

Seperti biasa, perbincangan di meja makan didominasi oleh mama Arumi.

Percakapan mereka seputar kajian yang mama jalani sebagai sebuah rutinitas dan tentang makanan. Aku hanya menjadi pendengar setia, sambil sesekali menimpali jika kuanggap perlu.

Kami sudah selesai makan. Mama memintaku duduk di teras bersamanya sambil menunggu mobil jemputan teman mama. Sedangkan Arumi membersihkan meja makan dan piring-piring kotor bekas makan.

"Ris, kalau di rumah begini, apa Arumi selalu mengenakan cadarnya?"

Pertanyaan mama benar-benar membuatku terkejut. Tidak menyangka mama masih seperhatian ini.

"Em, iya, Ma."

"Di depanmu?"

"Em, enggak. Maksudku, Arumi khawatir jika sewaktu-waktu teman-temanku datang. Mama kan tau, dulu rumah ini menjadi tempat singgah teman-teman kantor. Nggak pernah sepi, selalu ramai dengan teman-temanku."

Semoga mama percaya. Aku menggaruk-garuk belakang kepala karena takut ketauan. Aku tidak pernah berbohong pada satu-satunya wanita yang paling kuhormati di dunia.

Mobil yang menjemput mama pun tiba. Aku memanggil Arumi karena mama harus berpamitan. Arumi keluar dengan tangan yang masih basah. Dia mengantarkan mama sampai ke dalam mobil. Tidak beranjak dari halaman sebelum mobil yang membawa mertuanya benar-benar menghilang dari pandangan mata. Setelah itu, ia berbalik

mendekatiku.

"Mas mau menginap di sini ?" tanyanya.

"Tidak. Aku pulang ke apartemen saja."

Setelah menjawab, aku bergegas masuk ke kamar. Beberapa pakaian kuambil dari dalam lemari, terutama pakaian kerja. Stok di apartemen menipis, karena lebih banyak pakaian yang tertinggal di sini.

Arumi juga tidak terdengar sedang membersihkan piring-piring. Padahal aku mesti berpamitan.

"Arumi!" panggilku dari dalam kamar. Pintu terbuka, aku yakin kalau Arumi berada di meja makan, dia pasti mendengar. Tapi, hingga beberapa menit tak terdengar gerak aktivitas maupun jawabannya.

Aku pun berjalan keluar kamar, menuju meja makan dan dapur yang berada di satu

memanggil namaku.

"Mas, tolong ...."

Aku berjalan cepat mengitari halaman samping sambil mengedarkan pandangan ke seluruh bagian.

"Arumi, astaga!"

Aku menemukan tubuh Arumi mengapung di kolam renang. Aku berlari sekencang mungkin, melempar blazer sedari tadi kutenteng lalu melompat ke dalam kolam.

"Arumi! Bangun, Arumi!"

Kuraih tubuh istriku.

"Arumi! Ini nggak lucu!

Bangun, Arumi!"

Tubuh Arumi sudah tak bergerak saat aku mengangkatnya.

Aku membopong tubuh Arumi ke pinggir kolam. Rasa khawatir seketika memenuhi rongga dada.

Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengannya?

"Arumi!"

Aku memanggil sambil terus menepuk pipinya. Arumi tetap tak merespons. Bagaimana ini? Bagaimana kalau dia benar-benar kehabisan nafas?

Otak yang dipaksa berpikir mencari solusi

Tapi tak ada cara lain untuk menyelamatkan Arumi.

Aku tak mau dipersalahkan karena tidak segera mengambil tindakan. Maka, kupanggil namanya sekali lagi. Setelah panggilan kesekian kali tak ada perubahan darinya, terpaksa kusingkap kain cadar penutup wajahnya.

Tanpa berpikir lagi, aku meraih bibirnya, menekan agak kuat agar terbuka, lalu memberinya nafas buatan.

Beberapa kali tiupan,

belum ada reaksi apa-apa. Aku

semakin khawatir. Jangan-jangan Arumi terlambat mendapat pertolongan.

"Arumi!" Aku menepuk pipinya yang putih, menatapnya sekian detik pada wajah polos tanpa make up namun terlihat begitu ... cantik. Aku bergerak mendekatkan wajah lagi, mengulang memberinya nafas karena

masih tidak ada jawaban dari Arumi.

Kuulang berkali-kali memberinya nafas buatan, hingga satu embusan nafas entah yang ke berapa membuatnya terbatuk-batuk. Buru-buru kuturunkan kain yang menutupi wajahnya.

"Arumi!"

Aku masih memegangi kedua bahunya. Menyadari posisiku yang begitu dekat

dengannya, Arumi bangkit dengan terburu-buru, kemudian memundurkan tubuh. Ia terbatuk-batuk lagi, tiada henti.

"Maaf. Aku yang menggendongmu dari dalam kolam."

Arumi tidak memperhatikan ucapanku, dia terus terbatuk-batuk.

"Kita masuk saja, biar kamu bisa beristirahat di dalam. Sepertinya kamu terlalu banyak meminum air kolam."

Bab 3

Aku beranjak mendekatinya. Ingin membantu berdiri dan masuk ke dalam rumah. Arumi menatapku sejenak, mungkin ragu.

"Kamu kuat berdiri sendiri ?" tanyaku. Maksudku, kalau dia bisa melakukannya sendiri, aku akan mundur dan tak jadi membantunya. Aku tau, Arumi tidak mau bersentuhan denganku, meskipun kami halal.

"Badanku lemes," jawabnya. Tangan kanannya memegangi kepala.

"Aku bantu. Nggak apa-apa ya, aku pegangi?" Aku meminta izin. Arumi pun mengangguk.

Dengan gerakan perlahan, aku membantun berdiri, dan menggandengnya masuk menuju kamar. Setelah itu, aku mengarahkannya ke kamar mandi.

"Aku tunggu di luar. Maksudku di luar kamar. Jadi, kamu nggak perlu takut berganti pakaiannya."

Aku keluar kamar, duduk di sofa ruang tengah. Mengisi kekosongan waktu, kunyalakan televisi. Melihat tayangan berita, mengganti ke channel lainnya. Menyelonjorkan kaki ke sofa, berbaring dengan kepala bertumpu pada kedua tangan. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba bayangan wajah Arumi berkelebat di ingatan. Lalu, otak kupaksa menghadirkan kembali potongan-potongan ingatan menjadi sebuah hayalan.

Bayangan saat aku membagi nafas padanya bertahan lekat di mata. Saat aku menyentuh bibirnya, membagi nafas layaknya seperti orang yang sedang berciuman, hingga beberapa berulang-ulang.

"Aaargh! Sialan, sialan, sialan!"

Aku bangkit seketika. Bayangan itu benar-benar merusak otakku. Rasanya begitu nyata dan masih terasa sampai saat ini.

Arumi yang kupikir burik dan berwajah kusam, nyatanya malah sebaliknya.Kulit pipinya putih, tak ada sedikitpun bekas jerawat, alisnya rapi alami tanpa dipoles dan bulu matanya juga lentik. Bibirnya tipis, merah alami tanpa lipstik

"Sadar Aris ... kenapa kamu jadi menilai diri Arumi? Bukannya kamu tidak menyukainya?"

Aku seperti orang gila yang berbincang seorang diri. Pipi kutepuk, agar segera sadar bahwa Arumi dan segala penampakan seluruh wajah yang baru saja kulihat bukanlah sesuatu yang istimewa.

Arumi tetaplah gadis bercadar yang jauh dari tipe wanita impianku.

"Mas...."

Arumi memanggil dari depan pintu kamar. Dia sudah mengganti pakaian yang sebelumnya berwarna navy, sekarang bewarna abu-abu.

"Kenapa? Kamu butuh bantuan?" tanyaku bangkit dan mendekatinya.

"Kepalaku sakit. Bisa minta tolong belikan obat ke apotek?" pintanya.

"Kita ke klinik saja. Sekalian periksa apakah kepalamu terbentur saat jatuh ke kolam tadi."

"Nggak usah, Mas. Kalau terbentur pasti ada bekas memar. Ini nggak ada kok."

"Kamu yakin?"

"Ya. Aku sudah memeriksa seluruh badanku."

"Baiklah. Selain obat, mau pesan apalagi?" Aku menawarkan.

"Cuma obat saja."

"Baiklah."

Aku harus bergegas pergi. Arumi terlihat membutuhkan obat itu dengan segera. Kebetulan letak apotek tidak terlalu jauh, sehingga aku bisa pergi dengan mengendarai sepeda motor milik Arumi.

Arumi berkendara motor ketika mengunjungi toko kuenya. Dia memindahkan bisnis kuenya ke kota ini, setelah menikah denganku.

Tidak sampai memakan waktu lima menit, akupun telah sampai dan memarkirkan motor di depan sebuah apotek. Seorang apoteker yang mengenakan pakaian syar'i dan bercadar menyambutku serta menanyakan tujuanku. Segera kupesan obat sakit kepala, lalu menunggunya.

Memandang apoteker yang sedang memilihkan obat, sekilas bayangan wajah Arumi melintas kembali. Wajahnya yang basah itu ....

Mas, obatnya."

Aku tersentak, kaget dengan teguran si apoteker.

"Ya, Mbak."

Aku menerima bungkusan obat. Setelah melakukan pembayaran, obat di tangan segera kubawa pulang.

Ada apa denganku? Kenapa wajah Arumi tak mau pergi dari pelupuk mata? Padahal dia bukan tipe wanita idamanku.

Ayo, dong, Aris! Sadar. Kamu bisa mengusir bayangannya.

Gara-gara selalu terbayang wajah Arumi, aku hampir saja salah membawa motor orang. Untung segera tersadar ketika kunci motor yang kumasukkan tidak bisa masuk dengan sempurna.

Sialan! Aku jadi bahan tertawaan orang-orang di parkiran.

Sampai di rumah, aku bergegas mengambil segelas air putih dan membawanya ke kamar, tempat Arumi beristirahat.

"Rum, minum obatnya, gih ," ucapku memberi perintah.

Arumi yang memang sedang menungguku, bergerak bangun dan langsung meraih obat yang kuberikan. Aku memalingkan badan supaya dia bebas meminum obat.

Aku melangkah mendekati koper, lalu menariknya ke pinggir dinding supaya tidak menghalangi jalan.

"Mas Aris mau pulang?" tanyanya melihatku menarik koper.

"Nggak. Malam ini aku menginap di sini. Kamu kan lagi sakit. Kalau butuh apa-apa, bagaimana?"

"Aku bakal enakan setelah minum obat. Mas nggak usah khawatir. Pulanglah kalau mau pulang."

Nggak usah khawatir, katanya?

Apa aku terlihat begitu mengkhawatirkannya?

Apa jelas sekali rasa cemas ini hingga terbaca oleh Arumi?

"Aku akan menginap di sini. Tenang saja, Rum. Aku tidak akan menuntut apa-apa darimu. Kamu istirahat saja, biar cepat pulih."

Anggap saja keputusan untuk tetap tinggal bersamanya malam ini adalah demi menebus rasa bersalah pada mama karena tidak menjaganya dengan menyayangi Arumi. Kalau tau menantu kesayangannya tenggelam sampai sedemikian parah, mama pasti sangat kecewa padaku.

"Maafkan aku, Mas. Lain kali, aku tidak akan merepotkan Mas Aris."

"Jangan dipikirkan. Yang penting kamu sehat dulu. Kenapa tadi kamu bisa masuk ke kolam renang?"

"Aku kepleset saat mau membuang sampah ke belakang

"Kamu nggak bisa berenang?"

Arumi menggeleng, lalu tertunduk.

"Maaf," jawabnya seperti menyesalkan sesuatu.

"Kenapa minta maaf berulang kali? Bukan salahmu juga kan? Mungkin sudah saatnya kolam itu dibersihkan. Sudah berlumut sepertinya. Aku akan cari pembantu supaya bisa membantumu mengerjakan pekerjaan rumah .”

Selama ini Arumi menolak ketika kutawarkan seorang pembantu. Minimal bisa menemaninya menemani dia rumah ini. Sedangkan pembantuku lama meminta izin berhenti. Tetapi kehadiranku di rumahmu sudah cukup menyusahkan. Mas sampai harus pergi dari rumah ini, padahal Mas pemiliknya."

"Jangan berpikir kearah situ. Keputusanku tinggal di apartemen bukan karena aku merasa terganggu. Tapi justru aku merasa bahwa kamu butuh privasi."

"Itulah masalahnya."

Arumi tak meneruskan ucapannya, membuatku penasaran saja.

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku akan membuka penutup wajah ini supaya kita tidak ada privasi ," jawabnya.

"Nggak perlu. Nanti saja kalau kita sudah sama-sama siap."

Percakapan terhenti oleh suara azan magrib. Aku beranjak keluar kamar, memberikan kesempatan untuk Arumi melaksanakan kewajibannya.

"Mas nggak sholat?" tegurnya saat aku akan melangkah ke luar kamar.

"Kamu saja dulu. Aku belakangan."

"Kita bisa sholat berjamaah kok, Mas. Mas Aris jadi imamnya," ucapnya memberi ide.

Aku berbalik, menatapnya dengan ragu.

"Ah, iya. Tapi kapan-kapan saja," jawabku.

Arumi mengangguk sebagai tanggapan. Dia menurunkan kedua kaki secara bersamaan, lalu melangkah ke kamar mandi.

Sulit untuk menciptakan momen kebersamaan untuk dua orang yang berbeda prinsip. Secara umum saja aku dan Arumi banyak sekali perbedaan. Rasanya memang berjalan beriringan

membangun rumah tangga seperti kebanyakan pasangan adalah hal tersulit kami. Bahkan untuk menjadikan dia makmum saja, aku merasa tidak cukup berani berdiri di depannya.

****************

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!