NovelToon NovelToon

Pesona Gadis Kecil, Milik Om-om Tua!

Bab 1.

"Apa bibi sudah pulang?" Tanya larazati (Laraz) pada sang adik yang sedang duduk di kursi ruang tamu.

"Belum kak, biasanya jam segini sudah dirumah. Apa aku susulin saja kesana?" Leonardo (Leo) pin menatap ke arah pintu yang masih tertutup dengan rapat.

"Kita tunggu sebentar lagi, jika bibi masih belum pulang. Baru kita susulin kesana." Jawab Laraz yang juga merasa khawatir dengan keadaan bibinya.

Rasa khawatir itu kini semakin besar, dimana biasanya sang bibi Eliana (Ana) sudah tiba dirumah saat menjelang malam. Namun saat malam sudah semakin larut, wanita paruh baya itu belum juga terlihat sama sekali.

Tok tok tok...

Dengan segera, Leo membuka pintu yang terbuat dari perpaduan kayu dan juga seng itu. Lalu terlihatlah wajah yang begitu cukup lelah, membuat kedua saudara itu pun menghela nafas lega.

"Bibi!" Senyuman wanita itu merupakan sumber kebahagiaan bagi keduanya.

"Bibi Ana! Ah, bibi. Kami berdua sangat mencemaskan mi." Laraz segera menghampiri sang bibi dan membantunya berjalan masuk kedalam rumah.

Begitu jelas terlihat kelelahan diwajahnya, sejak awal akan berangkat pergi bekerja. Ana memang sudah merasakan dirinya tidak begitu sehat, akan tetapi ia tetap memaksakan diri atas rasa tanggung jawabnya terhadap pekerjaan.

"Laraz, Leo. Maafkan bibi sudah membuat kalian berdua khawatir, huh. Sepertinya, bibi akan berhenti bekerja. Tubuh bibi rasanya sudah terlalu lelah untuk pekerjaan disana." Bibi menghela nafasnya.

"Kalau itu sih harapan Leo bi, memang sudah saatnya bibi beristirahat saja dirumah." Leo mengerti jika kehidupan mereka tidak bisa terus mengharapkan bibinya untuk bekerja.

"Hanya saja, bibi harus mencari pengganti untuk bekerja disana. Apakah kalian berdua mempunyai teman yang mau bekerja seperti bibi disana?"

"Bibi, biar Laraz saja yang menggantikan bibi disana. Tidak apa-apakan?" Laraz menawarkan dirinya untuk menggantikan posisi sang bibi untuk bekerja.

"Kak!" Leo dan bibinya pun kaget dengan perkataan yang Laraz ucapkan.

"Laraz, apa kamu yakin nak? Masa depan kamu masih sangat panjang nak, impianmu adalah meneruskan sekolah. Jangan merasa terbebani dengan apa yang bibi katakan, mungkin saja nanti ada orang lain yang mau menggantikan bibi disana." Ana tahu jika Laraz menyayanginya.

Impian Laraz sesungguhnya ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu bisa kuliah pada salah satu universitas yang ada. Namun dengan pertimbangan yang ada, Laraz pun memutuskan semuanya dengan pertimbangan yang baik.

"Bibi, Leo. Laraz memilih ini semuanya, bukan karena apa-apa. Selain bisa membantu perekonomian keluarga, Laraz juga bisa menabung terlebih dahulu untuk bisa melanjutkan sekolah lagi." Lara berusaha menyakinkan bibi dan adiknya.

Mereka pun saling bertatapan satu sama lainnya, seakan diantara mereka saling menguatkan. Ana pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai tanda jika ia menyetujui keputusan yang sudah Laraz ambil, begitu pula halnya dengan Leo. Ia hanya bisa mendukung semua keputusan sang kakak, dan ia tahu jika kakaknya sudah memikirkannya dengan cukup baik.

"Baiklah nak, terima kasih." Ana meneteskan air matanya.

Ana terharu dengan apa yang dilakukan oleh kedua keponakannya itu, Laraz dan Leo sudah ia anggap sebagai darah dagingnya sendiri. Walaupun mereka berdua tidak lahir dari rahimnya, melainkan milik sang adik. Dimana sang adik bersama suaminya mengalami kecelakaan tunggal dan meninggal ditempat kejadian, Ana yang memang belum berkeluarga. Menyatakan dirinya yang akan mengasuh dan merawat kedua keponakannya dari mereka kecil hingga saat ini, walaupun mereka harus hidup dengan keadaan yang cukup sederhana.

.....................

Ditempat yang berbeda...

Suasana di pagi hari akan selalu terasa segar dan juga penuh dengan drama yang tidak akan pernah ada habisnya.

"Bunda!!" Suara teriakan dari salah satu kamar yang ada.

"Oh Tuhan! Huh, kebiasaan ini anak. Mecca, turun!" Balas Maudy (bunda) atas teriakan tersebut.

"Ada apa sayang?" Rasendriya (ayah) menghampiri istrinya yang sedang menata berbagai macam hidangan untuk sarapan pagi.

"Biasa, Yah. Anak perawan kita kambuh tantrumnya, pasti ini ada abangnya. Huh, mereka berdua kalau bertemu dan bersatu selalu saja seperti itu." Bunda menghela nafasnya yang terlihat sangat berat.

Tak lama kemudian, dua manusia yang sedang diperbincangkan menampakkan dirinya. Mereka pun saling mendahului satu sama lain untuk menuju meja makan, tak lupa adu mulut menghiasi perdebatan keduanya.

"Dasar pengangguran! Hush, sana." Ketus Mecca kepada abangnya (Kaivan).

"Heh, bocah sialan. Awas saja, uang bulananmu akan Abang sumbangkan saja." Ancam Kaivan pada Mecca.

"Busset! Ancaman lu mujarab banget bang, dasar bujang lapuk! (Pria yang berusia cukup mapan, namun belum menikah)." Mecca tak kalah ketus menghadapi ancaman Kaivan padanya.

"Eh tu mulut, mulut!" Kaivan pun menjadi geram atas julukan sang adik padanya dengan mengunakan kalimatnya.

Melihat dan mendengar kedua anaknya masih terus berdebat, bahkan mereka pun tidak menghargai keberadaan kedua orangtuanya disana. Membuat sang bunda menjadi emosi, bahkan ayahnya pun tidak bisa menghentikan jika istrinya sudah seperti itu.

"STOP!! Duduk, sarapan dan berangkat sana!" Bunda berteriak dan menghentikan semuanya.

Seketika suasana yang awalnya begitu tegang, langsung berubah hening. Namun tidak untuk ayah, ia hanya menahan tawanya agar tidak meledak.

"Sudah-sudah, ayo sarapan." Ayah menyudahi ketenangan yang ada.

Baik Kaivan dan Mecca pun menuruti perkataan ayahnya, acara sarapan pagi berlangsung sangat hening. Hanya terdengar suara dari peralatan makan yang digunakan, setelah selesai sarapan. Mecca berpamitan pada kedua orangtuanya dan pergi berangkat ke sekolah tanpa menghiraukan keberadaan Kaivan disana.

"Kapan tiba, bang?" Tanya ayah pada putranya.

"Tadi malam, Yah. Kangen sama masakan bunda." Kaivan hanya berani melirik ke arah bundanya.

"Kangen, kangen. Makanya cari pasangan, nikah, punya anak. Biar keadaannya berbalik, bunda yang kangen sama kalian. Ini, anak sama ayah sama saja. Sama-sama sibuk kerja." Celoteh bunda dengan wajahnya yang masam.

Kaivan hanya memutar kedua bola matanya dengan begitu malas, selalu saja yang menjadi pembahasan dikala ia tersudutkan adalah mengenai wanita.

"Benar apa kata bunda, sampai kapan abang mau sendiri? Pekerjaan tidak akan ada habis-habisnya, uang pun sudah banyakan abang dari ayah." Ayah juga ikut mendukung ucapan sang bunda.

"Bunda sama ayah sudah sangat ingin menimang cucu, bang. Usia kami juga sudah sangat matang, wajar saja Mecca menjuluki kamu 'bujang lapuk'. Kalau kamu tidak ada, biar bunda yang cariin. Bagaimana?" Bunda menatap Kaivan dengan sangat tajam.

"Loh! Enak saja, tidak mau. Abang tidak mau, lagian juga nanti kalau sudah ada jodohnya bakalan datang sendiri. Sudah ah, Abang pulang dulu." Kaivan pun berpamitan.

"Tumben pulang, biasanya kerja." Ledek bunda.

"Ampun bunda, abang mau mandi dan ganti pakaian dulu. Masa anak ganteng bunda penampilannya awut-awutan, apa kata dunia." Kaivan membela diri.

"Apa kata dunia, kalau usia 30 belum punya pasangan!" Kali ini, ayah ikut mendukung bunda.

"Ayah!"

"Hahaha." Ayah dan bunda tertawa bersamaan.

❄️❄️❄️

Salam semuanya, ini adalah karya outhor terbaru. Mohon dukungannya ya, dengan memberikan like, vote, hadiah dan juga komentar yang membangun.

Terima kasih.

Bab 2.

Seperti yang sudah diputuskan sebelumnya, kini Laraz berangkat menuju tempat dimana bibinya bekerja. Sebelumnya, Laraz sudah dibekali pengetahuan mengenai apa saja pekerjaan yang harus dilakukan.

"Apa benar ini alamatnya? Besar sekali rumahnya." Laraz menatapi bangunan mewah dihadapannya saat ini, sungguh menakjubkan baginya.

Terlepas dari lamunannya, Laraz menghampiri seorang penjaga yang ada di pos terdekatnya.

"Pak, maaf permisi. Apakah alamat ini benar?" Laraz menunjukkan alamat yang tertera pada selembar kertas yang ia bawa kepada penjaga tersebut.

"Iya benar neng, ini alamatnya. Neng ada keperluan apa ya?" Penjaga tersebut melihat ke arah Laraz yang cukup asing.

Laraz pun menjelaskan maksud dan tujuannya datang kesana, penjaga tersebut pun segera menghantarkannya untuk masuk dan menemui majikannya.

Kini Laraz menunggu dan duduk dikursi taman yang cukup sejuk, Laraz pun terlena akan keindahan yang ia lihat.

"Kamu keponakannya Ana?" Suara yang indah membuat Laraz tersadar.

"Ah iya nyonya, saya Laraz." Laraz pun memperkenalkan dirinya.

Maudy memperhatikan sikap yang Laraz tunjukkan, tidak tahu mengapa. Dirinya seakan-akan langsung tertarik dengan apa yang Laraz perlihatkan padanya, dengan sopan Laraz juga menjaga sikapnya ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua usianya.

"Sepertinya kamu masih sangat muda sekali, berapa umurmu?" Maudy cukup tertarik saat berbicara pada Laraz.

"Umur saya baru genap dua puluh tahun nyonya."

"Benarkah? Kamu masih sangat muda sekali sayang, anak saya yang kecil saja usianya sudah delapan belas tahun. Tidak jauh berbeda, tapi kamu cantik sekali nak. Kamu yakin mau kerja disini?" Maudy merasa jika Laraz masih sangat muda dan bisa menggapai cita-citanya yang tinggi.

"Semuanya itu adalah rahasia jalan kehidupan untuk saya, nyonya." Dengan merendah, Laraz tidak bermaksud untuk membandingkan kisah hidupnya dengan orang lain.

Mendengar ucapan yang Laraz katakan, membuat Maudy sangat tersentuh dan juga bangga. Tidak semua orang dapat menerima takdir kehidupan yang mereka dapatkan, apalagi pada usia yang seharusnya masih sedang fokus menata masa depan.

"Ya sudah, kalau kamu sudah yakin. Kamu saya terima, mulai sekarang. Kamu bisa langsung kerja, setidak banyaknya Ana sudah bercerita kepada kamu tentang pekerjaan disini. Siap?" Maudy tersenyum.

"Saya siap nyonya."Jawab Laraz dengan sangat yakin.

Lalu Maudy meminta kepada Rosa untuk mengarahkan Laraz pada pekerjaannya, dimana hari itu. Laraz sudah mulai bekerja menggantikan sang bibi yang sudah beristirahat, dengan menguatkan hatinya untuk menerima semua jalan kehidupan yang telah ditakdirkan untuknya.

................

Keadaan di perusahaan D'Lamont, dimana perusahaan tersebut adalah milik Kaivan pribadi. Namun ia menggunakan nama besar keluarganya, agar nama tersebut tidak hilang sepanjang masa.

"Van, berkas untuk proyek Angkasa kamu bawa nggak?" Noah, sekretaris yang juga merupakan sahabat dan sepupu Kaivan.

Kaivan tidak langsung menjawab pertanyaan Noah padanya, dirinya nampak sedikit berpikir mengenai keberadaan berkas tersebut.

Lalu Kaivan mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang, yang ternyata itu adalah bundanya.

"Bun, bisa liatin dikamar Abang. Apa ada berkas dalam map biru disana? Abang lupa dimananya, apa dimansion utama atau di apartemen Abang."

"Dasar pelupa, makanya cari pasangan. Biar ada yang ngingetin dan ngurusin keseharian kamu, ya sudah bunda liat dulu." Pembicaraan terhentikan, Maudy meminta kepada Laraz yang saat itu berada didekatnya.

"Iya nyonya, ada yang bisa saya bantu?" Ucap Laraz.

"Laraz, tolong kamu lihat dikamar anak saya. Apakah ada map berwarna biru, kamu cari saja ya. Saya juga tidak tahu ada dimana, dasar anak itu. Tolong ya Laraz." Maudy menunjuk kamar mana yang mereka bicarakan.

"Baik nyonya." Laraz segera melaksanakan perintah dari Maudy.

Awalnya Laraz sempat bingung serta khawatir mengenai kamar tersebut, ia takut jika ada apa-apanya dan juga itu adalah kamar orang.

Tiba di pintu kamar dimaksud, Laraz membukanya dengan perlahan. Kedua matanya mencari keberadaan benda yang dimaksud oleh Maudy, namun ketika berada didalam kamar tersebut. Laraz menjadi terpana akan kerapian dan juga mengenai interior dari kamar tersebut. Sangat elegan, khas milik dari seorang pria begitu jelas.

"Itu dia, mungkin ini yang nyonya maksud." Laras segera membawa berkas tersebut setelah menemukannya.

Disaat itu, Maudy malah meminta Laraz untuk menghantarkannya langsung kepada putranya dan ditemani satu pegawai lagi.

"Kamu saja ya Kar, aku tunggu disini saja." Laras menyerahkan berkas itu kepada Kara.

"Yah! Sama saja antar nyawa sendiri ini namanya, kita berdua la Laraz." Kara bergidik.

"Sama-sama takut ya kita." Laraz dan Kara saling menganggukkan kepalanya.

Mereka berdua meminta izin pada resepsionis yang ada untuk menghantarkan berkas tersebut langsung kepada Kaivan, karena pesan dari Maudy seperti itu. Dengan arahan dan petunjuk dari sang resepsionis, keduanya bergegas menuju tempat yang dimaksud.

"Pak, pak Noah." Tiba-tiba saja Kara berteriak memanggil seseorang yang ia kenal.

"Loh kamu, ada apa?" Noah melihat keberadaan Kara di depan ruangan bos perusahaan.

"Ini pak, kami berdua diperintahin sama nyonya nganterin ni berkas." Kara menyenggol lengan Laraz untuk menyerahkan berkas tersebut kepada Noah.

Tangan Laraz bergetar saat menyerahkan berkas itu, Noah menerimanya namun menatap ke arah Laraz dengan begitu dalam.

"Ada apa ini?" Pintu ruangan terbuka, Kaivan menatap orang-orang didepan ruangannya.

"Nih, berkas yang kamu minta. Kamu, siapa?" Noah berasa asing dengan wajah Laraz.

"Saya, saya pekerja baru tuan." Laraz menjadi sedikit bergetar.

"Dia menggantikan bi Ana, tuan." Kara membantu menjawab.

Nampak Kaivan hanya mengamati mereka yang sedang berbicara, tanpa berniat untuk ikut serta. Akan tetapi, tatapan yang ia lemparkan kepada Laraz. Membuat keduanya saling bertatapan, seketika detak jantung Kaivan berdetak dengan sangat cepat.

Langsung saja Laraz menghentikan tatapan itu, namun apa yang harus ia lakukan ditempat tersebut. Memberikan kode kepada Kara agar mereka bisa lekas pergi, kara pun juga menyadari hal tersebut. Akhirnya mereka memutuskan untuk berpamitan, disaat akan melangkah menjauh.

"Siapa yang menyuruh pulang? Kamu!" Kaivan menunjuk Laraz.

"Saya?!" Laraz menjadi bingung dan kaget.

Kaivan menganggukkan kepalanya, lalu Noah menyuruh Kara untuk pulang sendiri. Sedangkan Laraz, ia harus tetap berada disana.

"Duduk disana saja, tunggu saja jika dia memberikan perintah. Kamu kenapa menggantikan bi Ana?" Tanya Noah yang cukup mengenal bi Ana.

"Ah iya tuan, terima kasih. Saya keponakannya bi Ana, bibi sudah sering sakit-sakitan." Jawab Laraz singkat.

"Noah, keluarlah. Dan kamu, kemari." Kaivan menatap Laraz.

Dengan langkah ragu, Laraz berjalan menghampiri Kaivan.

Tukh!

"Aduh! Sakit." Ringis Laraz karena keningnya disentil oleh Kaivan.

"Siapa yang menyuruhmu kemari?" Lirikan mata Kaivan, membuat Laraz semakin tidak mengerti.

"Kenapa tuan?"

"Jangan terlalu dekat dengan pria tadi, dia banyak virusnya. Aku tidak suka, dengar." Ucap Kaivan tegas.

"Hah? Apa?"

Bab 3.

"Bun, katanya ada pengganti bi Ana ya? Mana?" Rasa penasaran Mecca dengan kabar tersebut.

"Kamu ini, pulang sekolah bukannya langsung bertukar pakaian. Namanya Laraz, usianya tidak jauh denganmu. Awas saja ya, jangan kamu isengin." Bunda mewanti-wanti putrinya yang suka usil.

"Kita lihat saja nanti." Seringai kecil diperlihatkan Mecca.

Dimana saat itu, Mecca baru selesai dari menyetrika pakaian di ruangan khusus laundry dan juga menyetrika. Bermaksud mau beristirahat sebentar sebelum melanjutkan pekerjaan yang lainnya, secara tiba-tiba Kara datang dan mengagetkan dirinya.

"Duer! Hayo, pasti mau istirahat ya. Sini Laraz, aku ada es uwut." Laraz pun melihat ditangan Kara ada sebuah gelas yang ukurannya cukup lumayan besar.

Mereka pun mencari tempat untuk menikmati segarnya es buatan Kara, dan benar saja. Ketika Laraz mencoba mencicipinya, rasa unik yang cukup membuat Laraz merasa ingin lagi.

"Ini namanya es kuwut, Kara. Kamu ini ada-ada saja, es uwut." Laraz menahan tawanya.

"Hahaha, lidahku kepeleset sedikit Raz. Oh ya, nanti katanya tuan muda mau datang. Nyonya meminta kita buat nyiapin makan malam, kamu ada ide masalah menunya?" Kara bingung untuk menentukan menu yang akan dihidangkan.

Karena waktu yang sudah semakin mepet, akhirnya Laraz mencoba membantu Kara untuk menyiapkan semuanya. Mereka tentunya saling bahu-membahu dalam pekerjaan, dibantu oleh yang lainnya juga tentunya.

Tak terasa waktunya pun tiba, pekerjaan selesai sebelum jam makan malam. Beberapa menu hidangan sederhana, namun ditata dengan sedemikian rupa. Hingga siapa pun yang melihatnya, terkesan seperti makanan dari restoran ternama.

"Mana abangmu?" Tanya bunda pada putrinya.

"Ngapain nanyain abang? Bukannya abang jarang pulang, bun." Jawab Mecca yang baru saja menarik kursinya.

Bunda hanya menghela nafasnya, percuma saja berdebat dengan putrinya itu dan tidak akan ada selesai-selesainya.

Tukh!

"Sakit!" Erang Mecca ketika kepalanya diketuk oleh orang yang sedang ia bicarakan.

"Lama-lama kepala adikmu itu benjol juga bang, sudah duduk. Ayo makan, perut ayah sudah lapar." Ayah menyudahi perdebatan yang selalu anaknya lakukan.

"Makanya, punya mulut itu dipakai buat yang baik-baik. Kualat baru tahu rasa, dasar bocah." Geram Kaivan yang mengetahui adiknya sedang mengumpatnya.

Akhirnya keluarga itu menikmati hidangan yang sungguh jauh berbeda dari sebelumnya, hidangan yang sederhana berubah menjadi luar biasanya.

"Wah, makanannya sangat enak. Ayah sampai nambah nih, bunda yang masak ya?" Ayah merasa perutnya sudah begitu padat, karena malam ini ia sampai nambah.

"Iya ya, rasanya berbeda banget." Mecca pun berkomentar.

Sedangkan Kaivan, ia hanya diam dan menyaksikan keluarganya saling melempar pendapat. Namun tidak dapat ia pungkiri jika masakan pada malam ini memang sangat berbeda, Kaivan merasakan jika masakan tersebut sangat cocok di lidahnya.

"Bunda tidak mungkin seenak ini masaknya, ini semuanya Laraz yang masak." Bunda mengatakan semuanya, hingga membuat rasa penasaran Mecca semakin besar.

Bertepatan pada saat itu, Laraz sedang menghantarkan air tambahan untuk mengisi gelas yang kosong.

"Ini Bun, ini yang menggantikan bi Ana?" Mecca menatap Laraz dengan begitu dalam.

Cukup kaget bagi Laraz, yang saat itu namanya disebut oleh majikannya. Ia takut jika melakukan kesalahan dan membuat majikannya tidak berkesan, akan tetapi semuanya tidak seperti itu.

Tukh!

"Aish!" Kaivan melirik Mecca.

"Kenapa bang? Tatapannya biasa aja kenapa, suka ya sama kak Laraz?" Goda Mecca saat melihat jika Kaivan menatap Laraz dengan tatapan yang berbeda.

"Mulut mulut." Tegas Kaivan yang ketahuan oleh sang adik, berusaha menutupi sikapnya.

Mecca menghampiri Laraz yang terdiam menyaksikan perdebatan keluarga tersebut, tidak tahu mengapa. Mecca merasa begitu tertarik saat melihat Laraz, mungkin saja karena usia mereka yang tidak jauh berbeda.

"Kak Laraz bener usianya dua puluh?" Mecca menatap Laraz seakan sedang di interogasi.

"Iya nona, benar." Jawab Laraz dengan nada bergetar.

"Kayaknya tidak mungkin deh, kita seperti seumuran kak. Ih, cantiknya." Tiba-tiba saja Mecca melontarkan ucapan tersebut.

Memang benar adanya, baik bunda dan ayah mengakui jika Laraz sangat cantik. Bahkan bunda juga merasa begitu dekat walaupun baru saja bertemu dengannya, jika saja anggota keluarga tersebut menyukai kehadiran Laraz. Bagaimana dengan Kaivan, pria itu pun sudah sangat tertarik pada wanita kecil yang baru ia temui.

Acara makan malam pun susah selesai, Laraz pun bersiap untuk pulang. Karena dirinya memang tidak menginap disana, itu tentunya sudah diketahui oleh pihak keluarga Lamont.

"Kar, aku pulang ya. Sampai bertemu besok." Pamit Laraz.

"Iya Raz, hati-hati ya. Jangan lupa kabarin kalu sudah sampai, adikmu sudah datang?" Kara tahu jika yang menjemput Laraz adalah adiknya.

"Iya, adikku sudah menunggu." Lalu mereka pun berpisah.

Dari balkon kamarnya, Kaivan yang saat itu sedang bersantai. Nampak memperhatikan seseorang yang sudah membuat dirinya kembali ke mansion utama. Laraz, wanita itu telah berhasil mendapatkan perhatiannya . Dan khususnya telah membuat seorang Kaivan rela pulang dan menghentikan pekerjaannya, hanya untuk melihat wajah teduh itu.

"Siapa pria yang bersamanya? Tidak mungkin, dia masih sangat muda. Mana mungkin memiliki pacar." Gumam Kaivan yang melihat saat Laraz hendak pulang.

Bayangan Laraz sudah menghilang dari pandangannya, namun dalam pikirannya. Wajah dan senyuman itu masih terekam jelas, dalam pikirannya. Tangan itu mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi seseorang, dalam waktu yang singkat lalu terbitlah senyuman yang begitu dalam dari wajah dingin tersebut.

"Aku menyukainya." Kalimat tersebut keluar begitu saja dari mulut Kaivan yang dimana selama ini selalu bersikap dingin pada wanita, terkecuali bunda dan adiknya.

"Ciye ciye, bujang lapuk jatuh cinta. Ayah, bunda!!" Tidak tahu darimana, Mecca bisa-biaanya sudah berada dibelakang tubuh Kaivan.

"Bocah sialan! Tutup mulut kamu, Mecca! Aish, menyebalkan sekali anak ini." Geram Kaivan, karena ucapannya telah didengar oleh sang adik.

"Hahaha, tapi kak Laraz memang cantik kok bang. Aku juga kalau jadi pria, susah pasti akan terpesona dengan wajahnya." Mecca duduk dengan begitu santai di kursi balkon Kaivan.

Begitu juga Kaivan ikut mendaratkan tubuh jenjangnya disamping Mecca, untung saja teriakan Mecca tidak sampai membuat kedua orangtuanya ikut berada disana.

"Bang, Abang serius suka sama kak Laraz? Tapi, tadi dia dijemput sama cowok, ganteng lagi." Mecca melirik Kaivan.

Tukh!

"Aduh! Jangan ketuk, sakit kepalanya." Mecca mengerucutkan bibirnya karena Kaivan mengetuk kepalanya.

"Tu mulut bisa tidak di rem kalau ngomong, ganteng ganteng. Abangmu ini lebih ganteng dari pria mana pun, tanamkan itu dalam kepalamu ini. Jangan sukanya minta uang terus, dasar." Ketus Kaivan.

"Ya elah bang, gitu aja sewot. Makanya, kalau sudah suka itu ya langsung saja bilang. Nanti keduluan orang lain, baru tahu rasa." Mecca pun berlalu setelah berdebat dengan Kaivan yang akhirnya dirinya akan kalah.

Atas ucapan sang adik, membuat Kaivan berpikir dengan cukup keras.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!