"Kebahagiaan orang yang beriman adalah dengan mencintai Allah. Cinta kepada Allah adalah kebahagiaan yang dasarnya lebih dalam dari setiap sesuatu yang dalam. Hanya mereka yang sungguh-sungguh berimanlah yang dapat merasakannya. Dan, perasaan itu tak bisa digantikan."
Aku selalu percaya, bahwa manusia diciptakan oleh Sang Pencipta berpasang-pasangan. Aku juga percaya bahwa jika jodoh tiada bertemu di dunia, maka jodoh itu akan bersatu di akhirat. Dan, aku juga percaya bahwa karena berjodohlah maka bertemu, bukan karena bertemu maka berjodoh.
Itulah sebabnya aku selalu santai menanggapi pertanyaan orang-orang, yang menanyakan mengenai kapan aku menikah, kenapa belum menikah, dan sebagainya yang berhubungan dengan pernikahan. Aku bukan tipe orang yang mudah terpancing emosinya, aku juga tipe orang selalu berfikiran simpel dan sederhana. Aku selalu percaya bahwa apa yang di takdirkan untukku, maka tidak akan melewatkan ku. Dan apa yang melewatkan ku maka dia bukan takdirku. Sesederhana itu.
Aku juga selalu memegang prinsip bahwa apapun itu pasti akan berakhir seperti halnya juga bermula, oleh karena itu aku lebih memilih untuk menikmati hidup apa adanya,tanpa memusingkan apa-apa yang belum dapat kumiliki untuk saat ini. Termasuk saat aku belum memiliki kekasih hati.
Aku sadar, bahwa aku merupakan bagian dari alam semesta yang fana ini, aku sadar bahwa setiap orang memiliki jatah untuk berduka, bersedih, dan bahagia. Oleh karena itu, aku santai saja jika hari ini aku belum memiliki kekasih, aku yakin suatu saat nanti Allah akan memberikanku seseorang yang akan menjadi kekasihku bahkan lebih baik dari perkiraanku.
Akan tetapi, aku tetaplah seorang anak yang memiliki keluarga, aku memiliki seorang ayah dan seorang ibu yang begitu mengkhawatirkan keberlangsungan hidupku selanjutnya. Mereka terlalu mengkhawatirkan diriku sebab di usiaku yang sudah menginjak 25 tahun ini, tapi aku belum menikah menikah juga, bahkan mereka sempat mencurigaiku sebagai orang yang mati rasa atau bahkan tidak normal.
Bagaimana tidak, sedari kecil aku tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Kepribadianku yang cukup introvert membuatku sangat sulit untuk mendapatkan teman, mendapatkan teman sesama perempuan saja sulit apalagi mendapat teman pria. Sudah pasti aku tak punya.
Masuk SMP aku mulai berubah, tidak se-introvert waktu SD dulu, aku mulai berubah menjadi ambivert alias kadang ekstrovert dan kadang introvert, hanya saja di bangku SMP aku mulai paham bahwa pacaran itu haram dalam Islam, bahkan sebagai seorang muslimah yang beriman hendaknya menjaga jarak dan tidak bermudah-mudahan dengan pria non mahram manapun. Itulah alasanku untuk tidak berteman dekat dengan pria manapun. Hingga lah saat ini, usiaku sudah mencapai 25 tahun. Dan aku tidak pernah memiliki kekasih, tidak pernah memiliki pacar, dan tidak mempunyai teman dekat laki-laki.
"Memangnya pria seperti apa yang kamu cari?" tanya ibuku berlemah lembut, ku tahu ia sudah prustasi menghadapiku namun dia tetap sabar meladeni segala inginku. Ini sudah untuk kesekian kalinya aku menolak pria yang di jodohkan oleh ibu, ayah, paman, kakak, dan yang lainnya kepadaku, semua ku tolak setelah melalui proses perkenalan singkat.
"Ibu jadi curiga kamu ini mati rasa, sedari kecil. Kamu memang berbeda dengan kakakmu, dia punya banyak teman lelaki sedangkan kamu tidak. Sejauh ini Ibu belum pernah melihat seorang pun kamu punya teman lelaki," lanjut ibuku dengan penuh selidik kepadaku.
"Ya barangkali begitu," sahutku santai, aku menyadarkan punggungku ke sandaran sofa. Lelah sekali menanggapi pertanyaan yang itu-itu saja, rasanya energiku langsung terkuras habis bila mendengar pertanyaan 'kapan menikah?'
"Kalau begitu, lebih baik kita ke dokter jiwa saja, ibu khawatir kamu tidak normal" ucap ibu, aku membelalakkan mata.
"Aku normal bu, aku suka dengan lelaki," Sejauh ini aku normal. Bahkan sangat normal. Aku menyukai seorang pria tapi ibu tak tahu. Bahkan tak seorang pun tahu kecuali diriku sendiri dan Allah SWT.
"Siapa? Siapa pria yang kamu sukai, agar ibu dan bapak lamarkan untukmu! Di jaman Nabi SAW, tidak masalah jika pihak perempuan yang lebih dahulu mengungkapkan niatnya untuk menikah," ucap ibu.
"Ya... ada..." ucapku ragu, aku tidak mungkin memberitahu ibu bahwa pria yang ku sukai adalah Adam. Seorang pria yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah bertemu denganku, seorang pria yang seumur hidupku belum pernah berkomunikasi denganku, dan pria itu telah pun menikah.
Aku pertama kali melihatnya saat masa orientasi siswa (MOS), orang-orang menyebutnya ospek. Saat itu aku masuk kelas 7 SMP, dan Kak Adam; begitulah kami para junior memanggilnya menjadi salah satu petugas OSIS yang bertugas mengospek kami. Diantara semua Abang/kakak tingkat yang bertugas mengospek kami, menurutku hanya kak Adamlah yang paling religius, baik, tampan, gagah, dan disiplin. Banyak dari kami yang kepincut dengan ketampanan dan kecerdasannya. Ia tidak sombong, ramah, rajin tersenyum dan senyumnya sangat manis, namun dibalik keramahannya ia tetap konsisten menjaga jarak dengan wanita non mahramnya.
Setelah satu tahun bersekolah di SMP, aku semakin mengenalnya, aku mengenalnya berkat teman-teman satu kelasku yang sering membicarakannya, aku mengenalnya berkat hari upacara dimana ia sering menjadi pemimpin upacara, aku mengenalnya berkat English day di mana dia sering maju ke depan podium untuk memberi tanggapan, pertanyaan, atau menjawab pertanyaan dari guru, aku mengenalnya sebab ia sering mewakili sekolah untuk menjadi kafilah MTQ tingkat Kabupaten dan Provinsi, dan aku mengenalnya sebab ia memang merupakan orang paling populer di sekolah kami.
Banyak teman-teman ku yang memfollow dan meng-add pertemanan melalui media sosial kepada Kak Adam. Tetapi tidak dengan diriku, aku tetap berusaha menahan diri untuk tidak melakukannya, sebab aku paham bahwa sebagai seorang wanita muslim maka aku punya Marwah yang harus kujaga.
Aku paham bahwa dengan menjauhi dan menjaga jarak dengannya, adalah cara yang terbaik untuk menghindarkan diri dari dosa zina. Zina hati, zina mata, zina fikiran, dan jenis zina lainnya. Bukankan zina adalah jalan yang buruk? Dan sebagai muslimah beriman aku harus menjauhinya. Tidak perduli, jika aku harus merasakan sakit sebab menahan perasaanku sendiri. Dan aku percaya bahwa jatuh cinta dan menahannya sebab ingin menghindari dosa adalah zihad. Dan pahala itulah yang aku harapkan.
Hingga suatu hari, aku memberanikan diri untuk menstalking salah satu media sosialnya, dan betapalah berduka dan sakitnya hatiku tat kala melihat postingannya. Jika jatuh cinta kepada yang belum halal dan kita menahannya adalah jihat, maka saat itu pula cintaku telah Sahid. Sebab dia telah memilih bersama dengan wanita lain. Dia menikah di daerah tempatnya menimba ilmu, yaitu pulau Jawa. Sedangkan aku berada di pulau Sumatra.
Setelah beberapa lama aku tidak lagi mencari tahu tentang dirinya, hatiku patah sangat patah, padahal sedari awal aku sudah tahu bahwa aku pasti tak akan bisa mendapatkannya. Dan aku juga tahu bahwa semua yang ada di dunia ini adalah ujian dari-Nya, begitupula perasaan cinta. Rasa cinta hanyalah ujian, baik dapat dimiliki maupun tidak. Namun, yang namanya patah hati logikapun akan patah karenanya.
Karena jiwa ingin tahuku kembali meronta-ronta, aku ingin tahu apakah dia hidup bahagia dengan pernikahannya atau tidak. Dan saat itu, semua medsosnya telah dia kunci. Barangkali, ia ingin terhindar dari penyakit ain, atau ia sangat mencintai istrinya hingga ia tidak ingin banyak orang melihatnya.
Dia Adam, aku mengaguminya dalam diam, entah sampai kapan.
"Ya siapa? Beritahu ibu, kalau memungkinkan ibu akan melamarkannya untukmu," ucap ibu lembut membelai kepalaku yang tertutupi oleh jilbab.
Aku menunduk.
Mendapatkan kak Adam sama saja seperti mimpi bagiku, bahkan dalam mimpipun aku belum pernah mendapatkannya. Dan tidak mungkin pula aku meminta ibu untuk melamarkannya untukku, selain kami tidak sekufu dia pun telah beristri.
Dua tahun lalu dia telah menikah. Lagipula aku tidak mau dipoligami, aku ingin menjadi satu-satunya istri dan di hati suamiku nanti.
"Tidak ada, aku tidak menyukai siapapun, ibu cari saja calon yang cocok untukku, kali ini aku berjanji tidak akan menolak siapapun pria yang ibu jodohkan untukku," ucapku pasrah.
"Ya sudah, besok akan ada pemuda yang datang bertamu ke rumah ini, dia ingin berkenalan denganmu, bapak sudah meminta tolong kepada kiyai Nasir untuk mencarikan calon suami untukmu. Seperti perkataanmu barusan, kamu tidak akan menolak lagi pria pilihan ibumu. Jadi, bapak harap jika pun perjodohan itu batal, maka yang membatalkan nya bukan kamu tetapi pria itu. Lagipula bapak yakin, laki-laki pilihan kiyai Nasir pastilah seorang laki-laki yang baik dan shaleh, jadi bapak harap kamu tepati janjimu," tiba-tiba bapak datang menyela, entah darimana datangnya padahal sedari tadi aku hanya duduk berdua dengan ibu di dapur ini.
"Kamu dengar itu apa kata bapakmu?" tanya ibu memperjelas, aku mengangguk.
Mencoba hidup dengan orang yang tidak dicintai tidak terlalu buruk bukan?
"Apa yang kamu langitkan tidak akan kembali, kecuali sesuai dengan yang kamu minta atau diberi dengan sesuatu hal yang lebih baik daripada yang kamu minta. Allah Maha Baik, oleh sebab itu janganlah pernah berputus asa dalam memohon dan meminta karuania-Nya."
Hari ini adalah hari di mana aku akan bertemu dengan seorang pria yang dijodohkan oleh orang tuaku untukku. Sejujurnya aku tidak terlalu suka dijodoh-jodohkan begini, karena seolah-olah aku tidak mampu untuk mencari pasangan sendiri. Tetapi, orang tuaku sangat ingin aku segera menikah, sebab aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku sendiri telah menikah, dan tinggal satu kampung dengan kami tetapi beda rumah. Bapak dan ibuku bilang mereka sudah tua, dan usiaku pun sudah cukup matang untuk menikah, jadi mereka tidak mau menunggu lama.
Aku memakai sedikit riasan di wajahku, hanya bedak tipis dan lip tin tipis agar wajahku tidak terlalu pucat. Aku tidak memaki riasan lain seperti pelentik bulu mata, alis, eye shadow, atau blasn on, aku lebih suka begini. Sederhana. Tidak berlebih-lebihan dalam berdandan, takutnya jadi tabbarruz.
Saat ini aku memakai jilbab besar menutup dada dan menutup punggung berwarna hitam tanpa motif, polosan saja. Begitupula dengan gamisku, berwarna hitam pekat tanpa corak. Aku memang lebih suka memakai warna-warna gelap, karena aku orangnya pemalu dan introvert, aku tidak suka menarik perhatian orang-orang.
Ibu, ayah, kakak dan suaminya sudah ada di ruang tamu, menunggu kedatangan calon suamiku beserta kiyai Nasir. Sejauh ini aku belum bertanya, siapa nama calon suamiku, tinggal di mana, dan apa pekerjaannya. Biasanya jika ibu atau bapak atau yang lainnya menjodohkan ku dengan seorang pria aku pasti sudah bertanya lebih dulu kepada ibu kerjanya apa, tinggal di mana, dan namanya siapa. Tetapi kali ini berbeda. Aku sudah malas untuk bertanya. Lagipula, hari ini adalah hari perkenalan, jadi aku akan tanyakan hari ini langsung kepada orangnya.
"Zara, calonmu sudah datang, ibu suruh kamu ke ruang tamu sekarang!" ujar kak Farah menghampiriku, bibirnya mengukir senyum bahagia.
"I-ya kak," aku mengangguk dan berjalan mengikuti kak Farah ke ruang tamu.
Aku melihat ayah, ibu, dan bang Reza suami kak Farah menyambut Kiyai Nasir beserta rombongannya di teras rumah. Sedangkan aku duduk di sofa pada ruang tamu di dampingi oleh Kak Farah. Hatiku dag-dig-dug, aku sudah berjanji kepada ibu dan ayah bahwa aku tidak akan menolak perjodohan ini apapun yang terjadi. Tetapi bagaimana jika pria yang dicarikan oleh Kiyai Nasir bukan seperti kriteriaku?
Meskipun ku tahu pria pilihan kiyai Nasir pastilah pria baik baik. Sebab kiyai Nasir adalah pimpinan di sebuah pondok pesantren ternama di daerahku. Jadi, pastilah Kiyai Nasir adalah orang yang terpercaya dan amanah untuk mencarikan calon yang baik untukku. Tapi... tetap saja, aku khawatir jika pilihan kiyai Nasir tidak sesuai dengan isi hatiku. Sedangkan aku telah berjanji kepada ayah dan ibu, untuk menerima pria mana saja yang mereka pilihkan untukku.
"Assalamu'alaikum..." suara salam itu membuat hatiku semakin goyah. Bayangan wajah pria yang dijodohkan kepadaku, tak dapat ku tebak. Hatiku campur aduk. Tidak seperti biasanya.
Perlahan-lahan aku mengangkat wajahku ke arah sumber suara, dan menyahut, "wa'alaikumussalam..."
Aku termenung sesaat, tatkala aku melihat pria yang berjalan masuk ke dalam rumah bersama kiyai Nasir. Pria yang datang bersama Kiyai Nasir itu tidak asing lagi bagiku. Begitupula dengan kedua orang tua yang membersamainya. Aku sangat mengenal mereka. Yah, itu kak Adam beserta kedua orang tuanya. Adam Nugraha nama lengkapnya, dia dulu adalah abang kelasku semasa SMP.
"Silahkan duduk Kiyai, Pak, Bu,..." bapak mempersilahkan para tamu untuk duduk. Kiyai Nasir duduk disebuah sofa khusus satu orang, adapun Pak Burhan, Bu Minah, dan Adam duduk berdempetan disebuah sofa panjang. Jadi, posisinya, aku, ibu, dan bapak duduk di kursi panjang berhadapan dengan keluarga Adam. Kak Farah dan bang Reza duduk disebuah sofa berhadapan dengan kiyai Nasir. Aku pandangi wajah Adam, dia benar benar Adam yang ku kenal dulu. Aku tak bisa melepaskan pandanganku dari Kak Adam. Rasanya aku harus memastikan bahwa pria tampan yang ada di hadapanku saat ini adalah Kak Adam. Seorang pria bintang sekolah yang punya banyak penggemar, murid kesayangan guru, dan idola kaum hawa pada masa itu.
"Suttt.... jaga pandangan.." kak Farah menyikutku pelan dengan tangannya, seraya tersenyum mengingatkanku. Dengan segera aku menarik pandangan ku. Dan beristighfar dalam hati, sebab aku telah lalai dalam menjaga pandanganku kepada kak Adam.
"Salaman dulu Zara..." Ibu tersenyum, memintaku untuk salaman kepada para tamu. Aku mengangguk, dan beranjak pelan dari tempat dudukku, dan mulai menyalami para tamu satu-persatu. Para tamu itu adalah orang tua Adam , Adam, dan Kiyai Nasir. Aku langsung bisa mengetahui mereka adalah orang tua Adam, sebab aku sering mencari tahu tentang Adam dan keluarganya secara diam-diam.
Sebelum menyalam mereka, aku melapisi tanganku dengan jilbabku kemudian salam takjim kepada Kiyai Nasir, dan Pak Burhan ayah Adam. Aku melapisi tanganku karena bagaimanapun Pak Burhan dan Kiyai Nasir bukanlah Mahramku, lagipula dengan melapiskan jilbab seperti ini akan terkesan lebih sopan.
Setelah itu, aku salam takjim kepada Bu Minah ibunda Adam, khusus Bu Minah aku tidak memakai lapis tangan, sebab Bu Minah adalah mahramku. Dan khusus Kak Adam, aku tidak menyalamnya, aku hanya menangkupkan ke dua tanganku di dada, dan kak Adam pun membalas dengan hal yang serupa. Tidak ada senyum di sana, kak Adam menatapku dengan tatapan datar.
"MasyaAllah cantiknya..." ujar Bi minah, ibunda Kak Adam mencolek daguku tatkala aku meyalamnya. Aku tersenyum menatap Bu Minah, tapi ekor mata ku masih melirik kak Adam.
Apa benar kak Adam yang akan di jodohkan denganku? Tetapi bukannya dia telah menikah 2 tahun yang lalu? Tetapi, bersama Kiyai Nasir tidak ada pria lainnya selain Adam, ayah, dan ibunya. Jika dia benar pria yang akan dijodohkan denganku, apa dia sedang mencari istri kedua? Dan aku akan dia jadikan istri kedua?
"Zara...." Ibu menegurku, yang membuyarkan lamunanku. Aku pun langsung menoleh ke arah ibu.
"Iya Bu..." Sahutku.
Setelah aku selesai menyalami Kiyai Nasir, Pak Burhan, Bu Minah, dan Kak Adam, akupun kembali duduk ke tempat duduk ku semula. Aku mengamati Adam diam-diam. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, ternyata dia tidak mengalami banyak perubahan. Ia tetap ganteng bahkan lebih ganteng dari jaman SMP dulu, ia rapi, dan senyumnya masih saja manis seperti dulu.
"Inilah calon pria yang kemarin saya bicarakan kepada Bapak. Namanya Adam Nugaraha, biasa dipanggil Adam. Dia sudah pernah menikah, namun pernikahannya kandas. Jadi saat ini Adam berstatus duda. Selama ini Adam tinggal di Bandung, tetapi karena perceraiannya dengan istrinya pertama maka Nak Adam memutuskan untuk kembali ke Sumatera, ke tanah kelahirannya." Aku menatap wajah Adam, Adam menunduk wajahnya yang tadinya datar berubah menjadi murung. Ia pasti merasa malu jika ada yang mengungkit kegagalan rumah tangganya di masa lalu, tetapi seharusnya dia tak perlu malu kepadaku, sebab apapun dirinya aku tetap mengaguminya.
"Pekerjaannya sekarang adalah pengusaha, lebih tepatnya adalah pengusaha di bidang kuliner. Nak Adam ini sudah membuka beberapa cabang restoran di Jawa, dan rencananya akan mencoba membuka restoran baru di daerah sini, di Sumatra, sehingga jika menikah nanti Adam akan berdomisili di sini. Lebih lanjut, bisa di tanyakan langsung kepada orangnya," jelas pak Kiyai Nasir, memperkenalkan Adam kepadaku dan keluargaku. Dari semua yang dikatakan kiyai Nasir aku sudah tahu sebelumnya, kecuali mengenai perceraian Kak Adam. Aku tidak tahu menahu akan hal itu.
Ayah dan ibu mengangguk-angguk, ibu tersenyum kepadaku. Aku hanya menunduk.
"Dan ini adalah Zara Amani, biasa di panggil Zara. Belum pernah menikah, baru lulus sarjana pendidikan ekonomi. Belum pernah menikah, dan saat ini dia berprofesi sebagai guru di si SMA Cagar Budaya. Seperti yang kita lihat orangnya cantik, pendiam, pemalu, lemah lembut, dan tentunya orangnya juga cerdas. Tak kalah cerdas dengan nak Adam. Jadi, saya rasa cocok jika disandingkan dengan Nak Adam di pelaminan." Gantian aku yang dikenalkan oleh pak Kiyai kepada Adam dan keluarganya.
Orang tua Adam mengangguk-angguk seraya tersenyum menatapku. Aku semakin malu, sebab yang dikatakan oleh kiyai Nasir mengenai aku yang cantik, pemalu, lemah lembut, apalagi cerdas rasanya itu terlalu berlebihan. Aku tak cantik, apalagi cerdas.
Tidak sama sekali. Mungkin kak Adam menyadari akan hal itu, sehingga kak Adam sedari tadi berwajah datar tampak tak bersemangat dengan sesi perkenalan ini.
Dari awal datang hingga saat ini, aku melihatnya tanpak tidak bersemangat. Ia hanya tersenyum sekali saja, itupun saat pertama kali dirinya memasuki rumah ini, dan seterusnya ia berwajah datar. Barangkali aku memang bukan wanita idamannya. Aku jadi insecure karena ini.
"Bagaimana nak Adam, nak Zara ada yang ingin ditanyakan satu sama lain? Atau ingin bertukar CV juga boleh," ujar Kiyai Nasir.
Aku menggelengkan kepala. Aku tidak ingin bertanya apapun lagi, aku sudah cukup mengenalnya, sebab aku adalah pengagum rahasianya. Saat ini aku hanya ingin menjawab 'Ya' aku setuju dengan perjodohan ini. Bila perlu hari ini saja nikahnya, aku sudah siap. Dia adalah pria yang selama ini aku langitkan dalam do'a-do'aku. Jadi, bagaimana mungkin aku akan menolaknya.
"Kalau kamu nak Adam, ada yang ingin kamu ditanyakan? Atau kamu berniat untuk meminta CV nak Zara. Itu hak kamu, kamu boleh memintanya untuk perkenalan lebih lanjut," ujar Kiyai Nasir.
Kak Adam menatap ku. Tatapannya kosong. Ia memang tidak mengenalku, meski kami satu SMP tetapi dia adalah Abang kelasku, kami tidak satu angkatan, dan tidak pernah ada event yang membuat kami saling bicara atau saling kenal. Hanya akulah yang mengenalnya, sedangkan dia tidak mengenalku.
"Apakah aku bisa berbicara berdua dengannya pak Kiyai? Aku ingin menjelaskan diriku padanya tanpa terkecuali, tetapi aku tidak mau ada orang lain yang mengetahuinya," ujarnya, aku menatapnya dalam-dalam.
"Ta'aruf itu adalah perkenalan yang di lakukan oleh kedua belah calon mempelai dengan di dampingi wali, jadi jika hanya berdua tentu saja saya tidak mengijinkannya. Tetapi, kamu bisa memberikannya CV milikmu, dan di sana kamu bisa menerangkan panjang lebar mengenai dirimu kepadanya." Tentu saja pak Kiyai tidak mengijinkan jika aku dan kak Adam mengobrol berdua tanpa didampingi oleh wali. Sebab itu untuk menjauhkan kami dari zina, dan menjauhkan kami dari hal yang buruk.
"Baiklah pak Kiyai, kalau begitu apa aku bisa meminta alamat email Zara? Aku ingin kami saling bertukar CV melalui email," ujar Adam, ah jika dia membaca cv milikku sudah pastilah dia akan menolakkku.
Bagaimana tidak, semasa menjadi pelajar dan mahasiswi aku adalah pelajar dan mahasiswi yang lurus lurus saja. Tidak ikut organisasi, tidak memiliki perkumpulan, dan yang jelas pengalamanku sangat minim. Jadi guru pun gajiku tidaklah seberapa, karir menjadi guru adalah karir surga, maksud ku jangan berharap lebih jika masih di dunia. Sedangkan kak Adam, aku tahu banyak mengenai beliau. Semasa jadi pelajar dia adalah pelajar yang berprestasi, dan semasa jadi mahasiswa beliau adalah seorang aktivis, aku bisa mengetahuiny berkat melihat semua postingannya di media sosial miliknya. Dan setelah lulus kuliah beliau memiliki usaha kuliner yang cepat berkembang bahkan bisa sampai buka cabang, aku mengetahuinya juga dari laman Facebook nya.
"Ya, kalau itu tentu saya ijinkan," ujar Pak Kiyai Nasir.
"Apa alamat emailmu?" tanya Kak Adam kepadaku. Jantung ku berdebar kencang, kakiku seraya melayang. Setelah puluhan tahun aku menjadi pengagum rahasianya, dan baru kali ini Kak Adam berbicara langsung kepadaku. Ya, ini adalah untuk pertama kalinya dia berbicara kepadaku dalam hidupku.
"Zaraamani@gmail.com" aku memberikan alamat emailku kepadanya, dan dia mengetiknya di ponselnya.
"Terkadang kita menerka-nerka masa depan, kita merasa bahwa semua telah berakhir. Padahal, hanya Allah yang tahu akan masa depan, yang kita rasa telah berakhir bisa jadi baru saja bermula."
Sedari tadi aku tidak bisa tidur, aku tidak sabar menunggu kak Adam mengirimkan CVnya untukku. Berulang kali aku mengecek emailku. Untuk memastikan apakah telah ada email masuk darinya. Ah.... aku bahagia sekali, akhirnya do'aku untuk dipersatukan dengan kak Adam dijabah oleh Allah.
Aku senyum-senyum sedari tadi. Rasanya bibirku tidak bisa berhenti tersenyum. Hatiku berbunga-bunga. Ternyata jodoh pilihan Kiyai Nasir, sama dengan pilihan hatiku.
"Love you kak Adam." Aku mencium hpku sendiri. Rasanya aku sudah seperti gila sangking bahagianya, kadang aku rebahan tengkurap, kadang telengtang, dan kadang juga mondar-mandir tidak jelas di dalam kamarku. Hatiku berbunga-bunga.
"Tinggg..." Itu bunyi notifikasi ponselku. Aku langsung memeriksa hpku, pada bilah notifikasi tertulis bahwa alamat email atas nama Adam Nugraha telah mengirimkan email. Dengan segera aku mengkliknya. Itu pasti CVnya.
Ya benar saja itu adalah file CV milik Kak Adam. Tetapi tunggu...
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, selamat malam, ini adalah CV milikku. Segala yang tertulis di CV tersebut adalah jujur menggambarkan diriku, sebab aku sendirilah yang menyusunnya khusus untukmu." ahhhh, hatiku jadi meleyot membaca email yang kak Adam kirimkan untukku.
"Tidak ada yang saya tutup-tutupi, tetapi ada satu hal yang tidak saya tulis di dalam CV tersebut. Yaitu, mengenai perasaanku saat ini. Jadi, jika kamu berkenan aku ingin bertemu berdua denganmu, aku ingin membicarakan semua mengenai diriku secara gamblang kepadamu. Tanpa ada yang ditutup-tutupi, karena aku tidak ingin kamu merasa tertipu olehku saat kita telah menikah nanti. Jika, kamu bersedia ini nomor wa saya 0812-4545-...., silahkan hubungi saya ke nomor tersebut. Kita akan bicarakan tempat di mana kita bertemu dan waktunya kapan. Kita tidak akan berbicara di tempat sepi, meski kita berdua kita bisa mencari tempat yang ramai, bisa taman, cave, atau di mana saja. Ini penting, dan privasi." Hatiku berdebar ketika membaca chatnya. Namun, aku dengan segera mengechatnya melalui aplikasi wa.
[Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, ini saya, Zara Amani]~ Zara Amani.
Aku langsung mengechatnya, dia tidak mau berbicara dengan didampingi wali, barangkali yang ingin ia bicarakan memang hal yang sangat penting dan privasi jadi dia tidak ingin siapapun yang tahu mengenai hal tersebut.
[Wa'alaikumussalam, bagaimana dengan CV-ku? Kamu sudah membacanya?]~ Kak Adam.
[Belum, tetapi InsyaAllah setelah ini saya akan baca, oh ya ini CV saya, saya kirim melalu wa saja ya] ~ Zara Amani.
Aku mengirimkan CV milikku melalui WA. Ukuran file CV milikku tidaklah begitu besar, sebab CV-ku hanya terdiri dari 5 lembar saja, yang berisi menggambarkan biodata ku, jenjang pendidikan, karir, keluarga, apa yang ku suka dan yang tak ku suka, ekspetaksiku mengenai rumah tangga dan suami itu saja.
[Kamu bersedia berbicara berdua saja denganku?] ~ Kak Adam.
Hatiku berbunga-bunga membaca balasan chat Adam, sebab dia mengajakku untuk bertemu berdua.
"Istighfar Zara, belum halal" aku berbicara kepada diriku sendiri.
[Ya aku bersedia, kapan dan di mana?] ~ Zara Amani.
[Kamu maunya di cave atau di taman? Terus kamu ada waktu free kapan?] ~ Kak Adam.
[Aku bisa di mana saja, besok hari Minggu, hari libur.] ~ Zara Amani.
Aku tidak masalah apakah itu di taman atau cave.
[Kalau di taman kota saja bagaimana? Di sana biasanya jika hari Minggu ramai pengunjung, jadi kita tidak hanya berduaan saja.] ~ Kak Adam.
[Ya, tidak ada masalah, aku setuju untuk itu] ~ Zara Amani.
Taman kota adalah pilihan yang tepat, selain di saja ramai pengunjung, suasanya juga lebih adem, sebab banyak tumbuhan bunga dan pepohonan di sana. Lokasinya juga bersih, dengan ada air mancur di tengah-tengah taman.
[Baiklah, kita akan bertemu di Taman tepat pukul 9 pagi. Boleh?] ~ Kak Adam.
[Ya, InsyaAllah] ~ Zara Amani.
Dia hanya membaca chat terakhirku, Kak Adam tidak membalas lagi. Aku tak masalah untuk itu.
Setelah itu, aku membuka laptop, dan memutuskan untuk membuka CV milik kak Adam di laptop saja. Agar lebih jelas.
"Adam Nugraha" aku mulai membaca dari namanya, kemudian tanggal lahirnya. Semua info di dalam CV itu aku baca, tanpa ada satu hurufpun yang aku lewatkan. Dan aku baru tahu kalau dia menikah pada tanggal 12 Januari 2020 dan bercerai pada tanggal 12 Februari 2020> Itu artinya pernikahan kak Adam dengan mantan istrinya hanya berlangsung selama kurang lebih satu bulan saja. Kira-kira apa ya penyebab perceraian mereka? Aku jadi penasaran, tetapi itu masa lalu kak Adam, aku tidak akan mengungkit-ungkit masa lalunya. Biarlah dia kubur dalam-dalam pengalaman pahitnya.
Setelah aku membaca CV kak Adam sampai habis, aku semakin jatuh cinta kepadanya. Ia benar-benar sempurna, meski predikat duda telah pun disandangnya. Beberapa pengajian dia ikuti secara langsung, dan beberapa kali memenangkan lomba Musabaqoh Tilawatil Qur'an tingkat sekolah, tingkat kampus, tingkat kabupaten, dan provinsi. Dia berwajah tampan, bertubuh tegap, tidak punya daftar mantan pacar, dan Ia juga merupakan lulusan dari sekolah-sekolah dan kampus yang memiliki nama besar. Selain itu kak Adam juga punya beberapa restoran kuliner di Jawa, dan ia akan membuka restoran baru di daerah kami. Dia benar-benar calon suami idaman.
Dia mengatakan tujuan dia membuka restoran baru di daerah kami adalah agar nanti setelah menikah, dia dan istrinya akan tinggal dan berdomisili di sini, di Sumatra tanah kelahiranku dan dirinya. Ekspektasi nya mengenai seorang istri juga tidak muluk-muluk, ia hanya mencari wanita yang mau menerima dirinya apa adanya, dan mau sama-sama mendekatkan diri kepada Allah. Saya rasa, aku memenuhi kriteria itu.
'Love you kak Adam, sampai jumpa di pelaminan!' ahhh aku semakin gila saja rasanya.
"Assalamu'alaikum," pintu di ketuk, itu suara ibu.
"Wa'alaikumussalam, masuk Bu," teriakku dari dalam kamar.
Ibu masuk, aku belum bisa menyembunyikan senyumku, namun aku berusaha berpura-pura berwajah datar.
"Bagaimana dengan laki-laki yang tadi sore, kamu suka tidak? Ibu lihat kamu tadi saat pertemuan dengan keluarga nak Adam, kamu tidak banyak bertanya. Padahal sebelum-sebelumnya jika ada pria yang dijodohkan untukmu, kamu pasti banyak tanya." Ibu bertanya, setengah menggodaku.
"Ya, Alhamdulillah Bu. Lagipula aku juga sudah janjikan kepada ibu dan bapak kalau aku tidak akan menolak siapapun yang ibu dan bapak pilihkan untukku, jadi ibu tenang saja aku tak akan menolaknya." Gumamku.
"Ah, yang benner karena janji itu. Tadi sore ibu lihat kamu selalu curi-curi pandang kepada nak Adam. Kakakmu Farah juga melihat hal sama dengan ibu," rayu ibu, yang membuatku tak bisa menyembunyikan lagi senyum bahagiaku.
"Allah itu Maha Baik ya Bu," ucapku, menatap langit-langit kamar.
"Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu?" tanya ibu, penuh selidik merangkul pinggangku dari samping. Kami berdua duduk di pinggir kasur.
"Ya Bu, itu tahu tidak siapa pria yang Zara suka selama ini?" tanyaku, seraya menatap dalam dalam kedua manik mata indah milik wanita yang telah melahirkan ke dunia ini.
"Siapa?" tanya ibu, raut wajah penasaran terpancar jelas di wajah ibu.
"Kak Adam."
"Adam Nugaraha, yang tadi sore datang ke rumah Bu. Dialah laki-lki yang selama ini Zara suka Bu," ucapku dengan mata berkaca-kaca, aku tidak menyangka Allah akan mengabulkan do'aku. Padahal sewaktu aku melihat postingan pernikahannya, aku merasa bahwa harapanku untuk memilikinya pupuslah sudah. Tetapi ternyata Allah, punya rencana lain di balik itu semua.
"MasyaAllah, yang benner Zara?" tanya ibu tak percaya. Aku langsung memeluknya, dan mengangguk-angguk kepalaku dalam pelukannya. Aku sudah menangis, aku tak kuasa lagi berbicara.
"Kok bisa? kamu juga tidak pernah memberitahu ibu hal itu sebelumnya," ujar ibu melepas pelukanku. Tampaknya ibu juga belum percaya bahwa Adam adalah pria yang selama ini ku sukai. Memang aku tak pernah menceritakannya kepada ibu, atau kepada siapapun. Aku hanya memendam perasaan itu sendiri. Karena menurutku diungkapkan pun akan percuma, sebab aku merasa wanita idaman Kak Adam bukanlah seperti diriku.
"Heiii, kok bisa ibu tidak tahu hal sebesar ini? Bagaimana mungkin ibu tidak tahu siapa pria yang disukai oleh putri ibu ini," tanya ibuku lagi. Aku menunduk.
"Maafkan Zara Bu, karena Zara enggak pernah cerita terbuka sama ibu mengenai siapa lelaki yang Zara suka. Itu karena selama ini Zara merasa bahwa tipe kak Adam bukanlah seperti Zara. Kak Adam itu sangat sempurna di mata Zara Bu, jadi Zara insecure, Zara merasa tidak pantas untuk Adam. Tetapi, Allah Maha Baik bu, Allah tahu kalau Zara sangat menyukai kak Adam. dan Allah satukan Zara dengan kak Adam dengan cara yang tidak disangka-sangka Bu," terangku. Ibu langsung memelukku, dan membelai kepalaku.
"Alhamdulillah nak, ibu sangat senang mendengarnya, kalau ternyata laki-laki yang akan kamu nikahi ini adalah lelaki yang selama ini kamu kagumi. Ibu sangat senang nak," ucap ibu ikut meneteskan air mata. Mungkin ia juga terharu, sebab siapa yang menyangka aku akan mendapat takdir seindah ini.
"Jadlah istri shaleha untuk dirinya nantik nak, jangan sia siakan anugerah dan karunia yang Allah berikan padamu ini," ucap ibu. Dan aku mengangguk dalam pelukannya. Pasti. Aku sudah berjanji akan menjadi istri shaleha baginya, sebab selain itu sebagai tanda aku mencintainya tertapi itu juga sebagai bukti bahwa aku beriman kepada Allah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!