NovelToon NovelToon

KUYANG

Episode 1

JAKARTA, JANUARI 1999, MINGGU PERTAMA

”Jadi bagaimana? A’a betah disana?” Siska bertanya.

Yudi mengurungkan niat buat menyendokkan makanan ke mulutnya, tak tahan untuk tak memandang balik pacarnya yang menatap mesra. Diturunkannya sendok disertai anggukan, ”Betah nggak betah, harus dibetah-betahin.”

”Jawabannya bikin bingung,” Siska menanggapi disertai senyum geli. ”Kalau betah ya bilang betah! Kalau nggak bilang nggak!”

”A’a...bilang betah soalnya gajinya gede, semua fasilitas juga tersedia, jadi duitnya bisa ditabung. Tapi mau dibilang betah ya nggak betah, kadang-kadang bosen juga karena disana sepi banget.”

”Memangnya disana A’a nggak punya teman?"

”Banyak, lah! Tapi sepi karena inget sama kamu terus.”

”Idih, gombal,” ujar Siska mengernyit sebal lalu tertawa geli, matanya berkilat jengah menyatakan ketersanjungan mendengar ucapan itu. ”Tapi aku senang A’a bisa dapet kepastian itu akhirnya. Jadi karyawan tetap di Kaltim Persada Coal itu nggak gampang.”

”Memang, apalagi ekonomi lagi lesu. Banyak karyawan lama dirumahkan, untung A’a bisa diangkat jadi pegawai baru sebelum manajemen berubah pikiran, tapi ya itu...harus kerja rodi, ngerjain tugasnya dua-tiga orang sekaligus...”

”Itu artinya berkah dari Allah,” Siska menimpali.

”Kapan kamu mau pindah kesana?” tanya Yudi mengerling.

Siska tersenyum lalu mencubit lengan pacarnya, ”Apaan sih? Bisa digantung aku sama ayah. Kawinin aku dulu,baru boleh memboyong aku kesana.”

”Kalau begitu kamu siap ku lamar? Disana aku bisa punya tempat yang lebih mapan kalau berubah status,” Yudi berkata penuh harap.

Siska mengkeret, ”Aku kan udah bilang aku kepingin ngerasain kerja dulu. Kayaknya nggak worth it udah capek-capek sekolah tapi nggak bisa mempraktekkan ilmu.”

”Kamu selalu bilang begitu tapi sampai sekarang kamu belum kerja juga.”

”Aku baru lulus lima bulan lalu, wajar dong kalau masih nunggu panggilan sana-sini. Seperti A’a bilang, nyari kerjaan kan susahnya minta ampun,” jawab Siska lugas.

”Jadi sampai kapan aku harus nunggu?” tanya Yudi pura-pura kesal.

”Bukannya ini juga enak buat A’a? Tanpa aku disana A’a bisa lebih konsentrasi kerja.”

”A’a kok malah yakin kalau konsentrasi A’a tambah kenceng bila ada kamu disana.”

”Kayaknya lebih enak aku pindah kesana kalau A’a udah jadi Manager.”

”Itu masih tiga atau lima tahun lagi. A’a udah keburu lumutan berteman sama monyet dan kijang di hutan,” erang Yudi yang ditimpali tawa Siska. Setelah tawa gadis itu mereda Yudi menambahkan dengan penekanan nada yang mencuri perhatian Siska, ”Jadi bagaimana? A’a serius, nih...”

”Memangnya A’a sendiri sudah siap?” Siska bertanya dengan pandangan yang bagai menusukkan duri ke seluruh tubuh Yudi, dia tahu apa yang dimaksud pacarnya.

Tiga tahun berhubungan dengannya bukan waktu sebentar untuk mengenal sifat Siska luar-dalam. Sejauh ini dia menyukai semua hal yang ada pada gadis ini, bahkan sampai ke hal terjelek seperti sifat judesnya, dan banyak hal yang dulu didapatinya dengan terkaget-kaget kini bisa ditanggapi dengan wajar. Mereka cocok sebagai kekasih, hanya saja ada satu masalah yang jadi penghambat hubungan mereka untuk melangkah lebih jauh....perbedaan keyakinan...

Meski keduanya bukan fanatik, pun tak juga tekun dengan agamanya, Yudi enggan membicarakan kemungkinan mendirikan keluarga dengan landasan sebuah budaya yang kaku seperti agama. Baginya yang seperti itu seharusnya tidak terlalu dipermasalahkan lagi di jaman modern seperti sekarang. Manusia seharusnya punya hak luhur untuk memadu cinta dengan rasa saling menghormati tanpa perlu memasukkan dirinya dalam pengkotak-kotakan yang kerdil. Kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan orang lain itu bagai laut luas yang seharusnya tidak perlu dibendung-bendung seperti anak sungai yang tertahan oleh bendungan.

Sayangnya,itu bukan cara pikir dari sisi Siska...lebih tepatnya dari sisi orangtua gadis itu. Meski Siska tidak pernah mempermasalahkan soal perbedaan keyakinan diantara mereka tetapi hubungan ini tidak bisa berjalan mulus begitu saja sebab orangtua Siska melarang dirinya pacaran dengan Yudi karena masalah yang satu itu. Orangtua Siska memang agak kolot dan mereka susah sekali diyakinkan bahwa perkawinan tidak bisa jalan hanya dengan landasan cinta. Bagi mereka, sebuah perkawinan seharusnya dilandasi keyakinan yang sama, seperti halnya sebuah negara dilandasi oleh hukum yang sama sehingga ada kesamaan dalil dalam membina hubungan. Dan hal itu yang bikin pusing Yudi selama dua tahun belakangan ini...

Yudi mengangkat alis, ”Siap nggak siap, ya harus disiap-siapin, dong!”

”Tuh, kan! Gitu lagi ngomongnya. Bikin bingung!” Siska mengernyit.

”Kalau nggak siap sekarang, kapan lagi?” tanya Yudi. ”Ntar kematengan keburu basi...”

”Nggak lah, yang namanya cinta mana ada yang basi?” sanggah Siska.

"Supaya kamu tahu, A’a udah nyisain duit cukup banyak buat tabungan kita nikah nanti. Dan A’a juga sudah buka asuransi pendidikan anak, meski nama pewarisnya masih kosong tapi siap diisi kalau kita nikah nanti,” kata Yudi. “Itu bukti A’a serius sama kamu.”

Siska mengaduk-aduk es krimnya dengan sendok, ”Gini, deh. Kasih waktu setahun lagi. Kalau sampai setelah itu aku belum dapet kerjaan juga, aku akan langsung menerima begitu A’a ngelamar.”

”Benar,nih? Serius ya?”

”Serius atau nggak serius, itu kan harus diserius-seriusin,” Siska menirukan gaya bicara Yudi yang menyebalkan.

”Nah, kalau itu nggak nyambung,” timpal Yudi dan keduanya pun tertawa renyah. ”Mau tambah es krim?”

”Nggak, ah. Bisa gendut nanti,” Siska menggeleng.

”Justru kamu terlalu kurus,” goda Yudi.

”Biarin,deh. Yang penting ada yang suka,” kilah Siska. Semenit kemudian gadis itu mendesah.”Nggak terasa ya besok A’a sudah harus balik. Padahal baru Senin lalu ketemuan.”

”Aku kan bisa pulang tiga bulan lagi,” hibur Yudi.

”Itu akan jadi tiga bulan yang lama,” Siska menanggapi seraya menyambut genggaman jemari tangan Yudi.

”Kalau begitu kita puas-puasin malam ini,” kata Yudi. ”Ada ide kemana setelah ini?”

”Firestone?”

Mata Yudi membelalak, ”Kukira kamu tidak akan pernah mau kesana?”

”Pengecualian,lah. Aku tahu A’a kepingin banget ngajak aku kesana. Karena kita baru akan ketemu enam bulan lagi kupikir nggak ada salahnya sekali-kali mengabulkan apa yang A’a mau.”

***

Setengah jam kemudian keduanya telah berada di dalam ruangan besar temaram yang dipenuhi lampu beraneka warna, musik hingar-bingar, sementara segerombolan muda-mudi berjingkrakan di lantai dansa yang memakai pakaian seronok. Yudi melihat Siska merasa jengah, pacarnya itu memang belum pernah ke tempat seperti ini, namun disinilah dirinya sekarang berada, dan Yudi bertekad untuk memberikan suasana senyaman mungkin kepada gadis itu.

”Nari yok...” Yudi menggandeng tangan pacarnya.

Siska menggeleng, tetapi Yudi tetap menariknya hingga mau tak mau Siska pun mengikuti, tak sampai sepuluh menit gadis itu tenggelam dalam ketukan musik yang mengalun seiring debaran jantung. Kedua tangannya memeluk leher Yudi sementara pinggangnya melenggak-lenggok lincah bagai cacing kepanasan. Tanpa terasa satu jam keduanya menari, menyatu dalam kerumunan pasangan-pasangan yang juga terhanyut dalam musik dan diri mereka sendiri, Siska tersenyum dan mengelap peluhnya, ”Udahan dulu, ya...”

”Tanggung, masih asyik nih...” kata Yudi yang masih asyik melenggak-lenggok.

”Aku haus, nih,” kata Siska lalu menarik lengan pacarnya menuju bartender.

”Mau minum apa?” Bartender menyapa disertai senyuman yang tak lepas dari bibir meskipun saat itu dia sedang sibuk beratraksi dengan melempar botol di udara.

”Dua red label,” Yudi menjawab.

”Oke...” kata sang bartender kembali ke rak-rak botol untuk mengambil pesanan Yudi.

”Kok pesan itu? Aku kan nggak minum yang begituan!” kata Siska manyun.

”Kalau kamu pesan air mineral nanti kamu...” dia menengok sebentar ke bertender yang sedang berdiri membelakangi, suaranya berubah nyaris berbisik, ”......dikasih ekstasi.”

”Yang obat terlarang itu?”mata Siska terbelalak.

”Iya. Itu kode disini,” kata Yudi.

”Kok A’a tahu? Sering makai juga, ya?”

”Ya, ampun! Nggak, lah,” Yudi berbohong. Dia memang pernah mengonsumsi ekstasi, tapi itu hanya bila sedang bersantai bersama teman-temannya di kampus dulu.

”Silakan!” sang bartender kembali kepada mereka beberapa saat kemudian dengan gelas pesanan.

”Rasanya apa nih?” tanya Siska kebingungan.

”Udah,coba aja. Kalau nggak suka nanti aku saja yang habisin.”

Siska mengernyitkan hidung lalu menenggakan bibir gelas ke bibirnya. Cairan berwarna merah tua kental beraroma keras itu menerjang kerongkongannya, memainkan lidahnya dengan rasa tajam nan menggelitik. Dia tertawa cekikikan, “Agak pahit tapi enak setelahnya... perut jadi hangat...”

Dan dia menurut ketika Yudi mengajaknya minum beberapa gelas berikutnya, pacarnya itu kelihatannya sedang ingin memanjakannya dengan simpanan uangnya yang kini melimpah, lagipula tegukan itu tak terhitung lagi sejak band naik ke panggung membawakan deretan top forty yang enak didengar.

”Ya,ampun...jam setengah dua belas. Pulang,yuk...” kata Siska yang setengah teler.

”Ayo, deh. Keadaan kamu gawat,” Yudi ketawa.

Walau meminum jumlah gelas yang sama dengan Siska, Yudi masih memiliki kesadaran dan pengendalian kewarasan yang baik, mungkin itu karena dia sudah biasa meminum minuman seperti itu. Pemuda itu memapah tubuh Siska ke mobil kemudian melarikan kendaraan itu ke Graha Kencana, komplek rumah Siska, dengan kecepatan tak masuk akal, yan menghantarkan mereka menempuh jarak lima belas kilometer dalam waktu tiga perempat jam saja. Sesampainya di depan rumah Siska, dia tak bisa membiarkan Siska yang sedang teler berat masuk sendirian, akhirnya dipapahnya gadis itu masuk.

”Kunci pintunya A’..kalau nggak ntar aku masuk angin...” kata Siska lalu meletupkan sendawa yang sungguh sangat memalukan jika dilakukannya sebagai Siska yang biasanya, Siska yang anggun dan terhormat.

”Kamu benar-benar mabok,ya...” Yudi ketawa.

***

Episode 2

Rumah Siska sepi dan gelap seperti yang mereka tinggalkan enam jam lalu. Wajar saja karena orangtua Siska tengah keluar kota menghadari undangan reuni sekolah. Dia membawa Siska sampai ke ruang tidur, sesuatu yang tak mungkin dilakukannya dalam keadaan normal, dinyalakannya lampu kamar sebelum masuk hingga tampak di sekelilingnya kamar tidur yang dipenuhi boneka dan poster anjing. Siska penggila berat hewan itu, dan yang membuat Yudi tersenyum geli adalah bed cover dan bantalnya yang senada, hush puppies. ”Nah, pelan-pelan. Hampir sampai...”

Belum sempat membaringkan Siska kecelakaan terjadi, gadis itu mendadak muntah ke kasur dan muntahannya membanjiri pakaiannya sendiri. Bed cover lucu yang menampakkan wajah lugu spaniel crocker itu berubah menjijikkan, disertai bau busuk yang bikin hidung mengernyit, uap alkohol yang sepertinya enggan ditahan dalam perut Siska pun melayang bebas di langit-langit penuh kemenangan.

”Sial!” maki Yudi dalam hati.

Namun pelakunya berada dalam keadaan tak sadarkan diri, lelap dalam buaian rasa mabuk yang mendominasi, jadi percuma saja mengomelinya. Yudi masih bersyukur karena muntahan Siska tidak sampai mengotori pakaiannya, bisa gawat kalau dia harus pulang dari rumah ini dengan pakaian penuh muntahan!

Yudi segera menarik bed cover dan menidurkan Siska ke ranjang yang beralas bersih. Sejenak pria itu ragu, dia harus melepas pakaian Siska supaya noda muntahan itu tak berbekas esok pagi namun di satu sisi itu berarti dia harus menelanjanginya. Peluh menjalari kening, dia menepuk dahinya, ”Kenapa gue harus terjebak kayak begini, sih?”

”What the hell...” dia akhirnya berkata dalam hati setelah menimbang-nimbang. “Buat apa ragu-ragu? Siska kan tetap akan jadi istrinya, ini hanya masalah waktu...”

Dengan sigap pemuda itu melepas pakaian Siska satu demi satu. Mula-mula dia berusaha menutup pikiran kotornya dengan menutup mata namun yang terpampang di hadapannya merupakan sebentuk makluk indah, matang dalam keranuman usianya yang dewasa, layaknya jeruk yang siap dipetik dan mengundang rasa ingin tahu orang buat mencoba rasa yang tersimpan didalamnya. Nafas Yudi perlahan menderu, tangannya pun gemetaran, berulang kali jemarinya terpeleset, entah sengaja atau tidak, menyentuh bagian intim di dada Siska.

Sekuat-kuatnya Yudi menebalkan iman, dia berada dalam pengaruh alkohol, dan cairan laknat dalam sel-sel tubuhnya itu memacu testosteron ke titik puncak hingga merubah maksud baiknya menjadi sesuatu yang destruktif. Hormon itu memicu sifat kebinatangan dalam dirinya dan itu yang membuat ludahnya menetes tanpa kendali mendapati paha putih mulus dan hutan perawan tanpa cacat yang menaungi kontur dari lembah tak bertuan tersebut.

Matanya menatap nyalang, bukan lagi dengan rasa bersalah, melainkan dengan rasa kewajaran karena disertai alasan bahwa dia harus melakukan itu untuk memakaikan pakaian Siska dengan lebih rapih. Sayangnya, itu hanya pembenaran palsu, alasan yang sangat tidak masuk akal karena selama seperempat jam itu dia tidak melakukan apa-apa pada tubuh polos Siska selain memandanginya. Menikmati tiap lekuknya untuk disimpannya dalam ingatan alam bawah sadarnya yang paling intim. Dia ingin pemandangan terindah di bumi ini terpatri lekat di dalam otaknya dan sanggup dipanggilnya kembali untuk maksud-maksud tertentu.

Hanya saja, alam bawah sadarnya memberi sinyal kuat bahwa dirinya tidak akan mampu menyimpan pemandangan indah ini dalam kapasitas yang tersedia seperti sedianya di hadapan Yudi. Ini terlalu indah. Terlalu personal. Dan untuk itu, otaknya yang telah tergerus berbagai logika dan pengetahuan mustahil menyimpan sensasi pemandangan ini dalam kepolosannya yang paling utuh. Untuk itu dia perlu sebuah alat yang lebih canggih, dan ia diingatkan bahwa dia memilikinya, alat itu tidak jauh dan berada dalam genggamannya, kamera ponselnya.

Tanpa merasa bersalah Yudi mengabadikan tubuh telanjang Siska di kasur dengan empat sampai lima kali jepretan. Semua ini didasarkan dengan alasan bahwa ini hanya akan menjadi koleksi pribadinya, sebagai pelepas kangen manakala dirinya berada di Kalimantan nanti. Tak perlu merasa kuatir karena dia toh tidak berniat berbuat jahat, foto-foto ini kan tidak akan disebarkan di internet atau media. Maka sensasi dari rasa itu pun kini tersimpan rapih dalam bank data memori ponselnya, siap dipanggil dalam keutuhan citra yang penuh bila Yudi rindu menengoknya kembali, dan keutuhan itu tak akan dirusak oleh distorsi yang biasa terdapat pada ilusi. Gambar-gambar ini jelas, lengkap, dan detil.

Yudi selesai dengan kamera ponsel tapi entah kenapa kelaki-lakiannya masih terbius dalam sensasi yang ditimbulkan pemandangan dari sosok di hadapannya. Keringat membanjiri tubuhnya,testosteron memompa suhu tubuhnya tak henti...panas-dingin tak karuan bergantian. Dorongan makluk buas dalam dirinya terlalu kuat, sepertinya enggan dibendung.

Bayangan yang berputar di kepalanya bukan lagi tentang keindahan tubuh Siska tetapi pada apa yang bisa dia lakukan terhadapnya...suatu gaya yang biasa dilakukan para pemain film porno yang dijejalkan teman-teman satu mess-nya kepadanya....dan tanpa menyadari apa yang terjadi selanjutnya, Yudi mendapati dirinya tanpa busana dan berbaring di atas tubuh Siska. Menciumi wangi dari sang bunga yang berada begitu dekat dengannya ini. Dan saat memasukkan kepunyaannya ke dalam kepunyaan Siska, dia makin bersemangat karena Siska tiba-tiba memeluk lehernya.

Otaknya yang membeku membuat Yudi tidak mampu mengartikan seringai di wajah Siska...seringai yang dilihatnya sebagai senyuman dan disalahartikan secara harafiah bahwa gadis itu menerima apa yang diperbuatnya...hingga pemuda itu tak sadar telah bersama gadis itu semalaman penuh. Menulikan telinganya pada rasa bersalah yang memudar pasrah, seolah malu karena gagal melaksanakan tugasnya.

***

BONTANG, JANUARI 1999, MINGGU KETIGA

Suasana di perusahaan ini sebenarnya menyenangkan, diluar beban pekerjaan yang sering memicu stress dan frustrasi di setiap harinya ternyata beberapa orang tidak kehilangan perhatian akan satu dengan yang lain, terbukti hari ini rekan-rekan kerja di divisinya berkumpul di ruang makan kantor demi mengucapkan selamat untuknya. Tidak hanya rekan-rekannya tapi juga sang supervisor, yang biasanya menjaga jarak dengan anak buahnya, ikut memberikan ucapan yang mengejutkan buat Yudi.

Tak ada yang istimewa dari apa yang mereka lakukan sebenarnya, hanya mengucapkan salam dan menjabat tangan namun kenyataan bahwa orang-orang ini mengingat hari istimewa dalam hidupnya membuat Yudi menyadari betapa suasana kekeluargaan yang tercipta disini serasa menggantikan kepingan hilang dari apa yang ditinggalkannya di Jakarta. Ini laksana mata air yang menyejukkan di tengah rutinitas membosankan yang dihasilkan oleh hutan dan suasana tambang batubara yang muram di kota Bontang.

Meskipun begitu, kepingan hilang yang ada di Jakarta merupakan sesuatu yang tidak bisa dilupakan begitu saja sebab saat Yudi tersenyum mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada kawan-kawannya yang memberi ucapan selamat, pikiran Yudi melayang ke loker miliknya di ruang kerja. Di dalam loker itu terdapat kado dari Siska yang baru saja diterimanya tadi pagi. Kado yang belum sempat dibuka karena sepanjang hari ini berhadapan dengan tumpukan kerjaan yang membuat dia belum bisa kembali ke ruang kerja, dan rasa penasaran untuk mengetahui isi kado dari Siska terus menggelayuti benak Dia berniat membukanya sebentar lagi...setelah makan siang ini berakhir...

”Yudi, selamat, ya...” sapa pria berperawakan kerempeng bermata cekung dan rambut lurus seperti sikat. Penampilannya mirip hyenna lapar yang tengah menatap buruannya.

Pria itu, Wayan Suritno namanya, dan biasa dijuluki pak Wayang oleh setiap orang di divisi mereka karena tubuhnya yang kurus, gepeng dan tipis laksana boneka wayang kulit. Anehnya tidak seorang pun berani menyebut nama julukan ini di depan Wayan Suritno. Mungkin karena dia bukan orang yang terlalu disukai di divisinya. Pak Wayang tipe orang yang frontal dan suka meremehkan orang lain. Sikapnya tidak ada pengecualian kepada siapapun yang dianggapnya bodoh, tak terkecuali supervisor mereka.

Tak ada yang berani macam-macam dengan orang ini, pekerja senior berpengalaman macam Pak Wayang dilindungi begitu rupa oleh perusahaan. Profesional di bidangnya sebagai peledak tambang tanpa memiliki cacat atau kegagalan misi sepanjang karirnya membuka tambang-tambang baru bagi perusahaan. Tak heran perusahaan lebih suka menyingkirkan siapapun yang bermasalah dengan Wayan Suritno daripada menghadapi kenyataan pekerja yang satu ini mundur dan dipekerjakan perusahaan lain.

Untungnya, Yudi belum pernah bermasalah dengan pria ini hingga dia dengan enteng berdiri dan menyambut jabatan tangan lelaki tersebut, ”Terima kasih, pak...”

Wayan menatap ke arahnya, terbelalak seolah tak percaya mendapati Yudi berani menanggapi dirinya, bibirnya tertarik sedikit ke atas membentuk seringai menyepelekan sang lawan bicara sebelum lelaki itu menepuk bahu Yudi dan berbalik untuk berbicara dengan orang-orang lain yang dipandangnya lebih layak diajak bicara.

Yudi tidak mau ambil pusing dengan sikapnya, baginya orang itu sekedar angin lalu, diperhatikan saat datang tetapi segera dilupakan saat pergi. Jadi lelaki itu meneruskan ngobrol dengan rekan-rekannya yang lain sampai lewat jam makan siang dan orang-orang disitu menghilang satu persatu untuk kembali pada kesibukannya, termasuk Yudi.

Waktu yang terlewati di depan komputer ruang administrasi sungguh membosankan. Selama tiga jam itu Yudi menatap layar dengan kosong, memperhatikan tanpa makna bagan conveyor yang harus diperbaikinya minggu ini. Tiang-tiang di seksi C1 itu sulit diperbaiki tanpa membongkar pondasinya. Agar tidak mengganggu proses produksi harus dibangun tiang-tiang sementara untuk menopangnya, dan itu berarti bebatuan yang menjepitnya di sisi kanan harus disingkirkan dengan cara diledakkan. Minggu lalu dia sudah sekitar tiga kali bertemu Wayan Suritno untuk mengerjakan masalah peledakan dan lagi-lagi oleh suatu kebetulan aneh lain, kini dia juga harus bertemu kembali dengan orang itu.

Setelah membuat proposal dan surat tugas yang harus ditandatangani atasannya untuk bekerja sama dengan bagian dimana Wayan Suritno berada, Yudi baru sadar kalau dia sebenarnya hendak membuka kado kiriman dari Siska begitu kembali dari lapangan tadi pagi. Niat itu tertunda sesaat setelah mendapat kiriman SMS dari supervisornya yang meminta penyelesaian laporan dari pekerjaan yang baru saja dikirimkannya. Jadi rasanya sekarang waktu yang tepat untuk membuka hadiah itu dan mengintipnya sebentar...

Baru saja Yudi bangun dari kursi,seseorang menepuk bahunya dari belakang, ”Rajin sekali masih kerja jam segini...”

Yudi tersenyum dan berbalik dari kursinya, ”Kamu juga!”

”Soalnya ada yang bilang mau traktir aku,” balas gadis di belakangnya.

Hati Yudi berdesir sejenak melihat Mirna Ende yang memberinya senyum manis, meski gadis itu berpostur kurus tinggi, bagian-bagian tubuhnya yang menonjol tampak penuh dan membusung, wajahnya yang oval dengan rambut belah tengahnya yang lurus menambah indah pesonanya yang disertai senyum memikat. Tidak heran banyak pria di kantornya yang terpikat padanya.

“Kemana tadi siang?” Yudi bertanya bagai anak kecil yang kehilangan temannya saat dia punya mainan hebat untuk dipamerkan. ”Kukira kamu mau datang pas makan siang.”

”Maaf,” sahut Mirna. ”Aku sibuk sekali. Bagaimana acaranya? Ramai?”

”Kebanyakan sih dari divisiku.”

”Kalau begitu untung aku nggak datang,” canda Mirna.

”Payah, nih! Makanya kamu terkenal nggak gaul.”

“Enak aja. Aku kenal lebih banyak orang disini dibanding kamu, anak baru!” Mirna menanggapi disertai cekikikan. “Yang tadi siang maaf sekali lagi, aku lupa banget.”

“Dimaafkan kalau kamu traktir aku.”

“Yang ulang tahun kamu...kok yang traktir aku?” Mirna menyahut dengan bibir tercibir.

“Kan dengan satu syarat...” Yudi nyengir. “...itu kalau kamu ingat.”

“Dan aku ingat...” gadis itu mengeluarkan tangannya yang sedari tadi dilipat ke belakang dan ternyata disana terdapat sepotong tart coklat berukuran mini. “...selamat ulang tahun.”

Mata Yudi terbelalak, “Ya, ampun! Kok jadi beneran, ya? Aku kira kamu cuma bercanda waktu bilang mau bikinkan tart ultah buatku.”

“Beneran, dong!” ujar Mirna. “Dan kuharap kamu nggak bercanda ya waktu bilang mau traktir aku sebagai balasannya kalau aku membuatkan tart buat kamu.”

“Kamu membuatnya sendiri?”

“Coba dulu dong supaya kamu tahu...”

Yudi menatap tart itu dengan mata berbinar tapi kemudian menggeleng, “Nanti deh, kita cicip sama-sama setelah kita dinner.”

”Aku sudah siap dari tadi,” sahut Mirna tersenyum. Senyumnya bagai malaikat sehingga membuat hati Yudi teranja-anja dan melupakan Siska untuk sejenak.

”Kalau begitu kita berangkat...” Yudi kemudian mematikan komputernya.

***

Episode 3

Waktu menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit saat Yudi memacu motor dengan santai. Situasi jalanan yang lengang seperti inilah yang selalu dirindukannya setiap kali berada di Jakarta. Lepas dari kegilaan dan frustasi akan kemacetan. Mirna yang membonceng di belakang membisu hingga tiba di tempat makan pilihan mereka sepuluh menit kemudian.

Berbeda dengan kebanyakan karyawan wanita di kantornya, Mirna berdandan feminim dengan kemeja kerja wanita yang tipis dan rok lima senti diatas lutut. Mungkin itu sebabnya gadis tersebut banyak diam sepanjang perjalanan, bukan karena tidak biasa naik motor tetapi sibuk menjagai pahanya agar tidak tersingkap kemana-mana.

Angin yang menderu dari samping sesekali menguarkan wangi parfum dari sosok yang duduk di belakangnya. Malam ini Mirna sepertinya lebih berdandan dengan memoleskan maskara dan lain sebagainya, yang bikin mata pria manapun terbelalak, dan itu didapatinya ketika gadis itu melangkah di sisinya saat memasuki Pondok Ikan Banara, restauran yang mereka tuju..

”Bagaimana Jakarta?” tanya Mirna setelah Yudi selesai menulis pesanan.

”Cepat berubah seperti halnya kota besar. Baru meninggalkan kota itu seminggu saja sudah ada bangunan baru berdiri...apalagi baru setelah enam bulan balik kesana...”

“Sepertinya ada yang sudah nggak betah di sini?” Mirna tersenyum menggoda.

Yudi mengangkat bahu, “Hanya kangen ibu kota,kadang-kadang...tapi bukan kangen lalu-lintasnya yang jelas."

”Apa kamu berpikir untuk pergi dari KPC suatu saat nanti ?”

”KPC oke, tapi aku ingin kerja di luar negeri. Itu cita-citaku dari dulu.”

”Oh,ya? Kemana misalnya?”

”Inggris.”

Mirna terkikik,”Jangan bilang kamu ingin kerja di Inggris supaya bisa nonton Liverpool setiap akhir pekan.”

”Salah satu alasannya itu,” Yudi tertawa karena Mirna mengingat tim sepak bola favoritnya. ”Kalau kamu sendiri? Betah kerja di situ?”

”Aku lahir dan besar di Kutai. Bisa dapat pekerjaan di perusahaan paling oke di Bontang nggak pernah terbayang dalam pikiranku. Jadi rasanya nggak ada alasan untuk pergi dari sini,” Mirna menyerocos. “Nggak terbayang kerja di tempat yang selama tiga bulan penuh salju.”

”Ngomong-ngomong tentang salju, dua hari lalu istri Mr.Felds jadi datang dari Amerika. Aku dengar dia khusus ke mari untuk menghindari musim dingin,”ujar Yudi.

“Mr.Felds...Rick Felds yang Head Operation di divisimu, kan?” Mirna mengulangi. “Tahu nggak, bule-bule yang lain bilang istrinya itu paling cantik di antara istri para ekspatriat KPC.”

“Masa? Aku belum pernah melihatnya, sih...hanya baru dengar cerita saja.”

”Stella Felds itu mantan Miss California. Dia juga sempat jadi foto model majalah di era delapan puluhan,” Mirna menerangkan. “Kok dia kemari? Aku pikir Mr. Felds mau balik kesana.”

”Rekomendasi dokter supaya istrinya itu meninggalkan Chicago dan mencari daerah yang lebih tenang, juga berudara segar, untuk melindungi janinnya dari stress dan polusi.”

”Janin?” tanya Mirna. ”Jadi dia sedang hamil?”

”Kok suaramu jadi aneh gitu dengar istrinya hamil?” Yudi bertanya seraya mengangkat alis melihat ekspresi aneh itu.

”Nggak! Aku cuma senang soalnya Rick kan sudah lama ingin punya anak. Syukurlah, akhirnya itu terjadi. Sudah berapa bulan kandungannya?”

”Enam bulan. Perut orang bule itu lebih lucu dari wanita asia kalau sedang hamil, gendut seperti balon, dan bentuk gelembungnya itu sepertinya siap meledak sewaktu-waktu.”

”Norak. Wanita manapun kalau sedang hamil perutnya ya seperti balon,” Mirna terkikik geli. “Dia ke sini hanya sampai bayinya melahirkan atau pindah selamanya di sini?”

“Aku tidak tahu,” sahut Yudi. “Kalau untuk selamanya apa mungkin mengingat Felds masih warga Amerika?”

“Kudengar dari HRD dia sedang mengajukan diri supaya bisa jadi warga Indonesia,” jawab Mirna. ”Nah, Mr. Felds sudah membuktikan Bontang jauh lebih menyenangkan daripada Chicago. Jadi buat apa pindah ke luar negeri?”

Yudi tersenyum kecut namun belum sempat memberi jawaban ketika mendadak Mirna menjerit ketakutan, gadis itu bahkan sampai melompat ke atas kursi hingga membuat hampir sebagian besar tamu yang sedang makan di tempat itu menoleh ke arah meja mereka. Pemandangan seorang gadis memakai rok mini berjongkok di atas kursi jelas bukan hal biasa, tetapi wajah Mirna betul-betul ketakutan hingga akhirnya Yudi berdiri dan menyeberang ke sisi Mirna untuk melihat apa yang membuat gadis itu histeris, ”Ada apa?”

”Jauhkan benda itu dariku...” teriak Mirna.

”Ada apa,sih?”

Seekor anjing tekel lucu dengan wajah tanpa dosa berdiri di samping kursi Mirna. Hewan itu menggeram kepada Mirna, mungkin untuk mengatakan bahwa bukan hanya gadis itu yang kaget, tapi beberapa kemudian si kaki empat langsung berbalik dan mengibas-ngibaskan ekornya pada Yudi.

`

”Anjing yang lucu,” ucap Yudi mengelus-ngelus tengkuk si anjing mungil.

”Yudi, jauhkan dia dari sini.”

”Ah, rupanya kesini kamu pergi...”

Yudi mendongak dan melihat Pak Wayang ada disitu. Lagi-lagi suatu kebetulan yang aneh dia bertemu dengannya di tempat ini. Namun logikanya mengatakan itu wajar saja karena Bontang kota kecil, bertemu di restauran terkenal macam Pondok Ikan Banara sangat besar kemungkinannya. Si anjing tekel yang mengenali tuannya datang menghampiri dengan ekor terkibas. Yudi sempat melirik Mirna yang mengernyit sekaligus lega melihat hewan itu akhirnya menjauh.

Dengan malu-malu gadis itu turun dari kursi karena kondisinya saat itu, apalagi dengan rok yang kelewat tinggi, membuat semua orang, termasuk para tamu lelaki, menatapnya tanpa berkedip. Tanpa sepengetahuan keduanya, saat itu Wayan mengarahkan benda menyerupai kaca pembesar kepada Mirna. Pria itu mengangguk-angguk puas, dan segera menyembunyikan benda di tangannya ketika Yudi berpaling lagi kepadanya. Pak Wayang menghampiri dengan menggendong si anjing tekel dalam pelukannya, di wajahnya tersungging senyum mengejek, sepertinya gembira karena menangkap basah Yudi dan Mirna yang sedang makan berduaan.

Dia mengajukan pertanyaan yang bikin Yudi jengah, ”Melanjutkan perayaan tadi siang? Atau ini acara khusus tanpa mengundang orang lain?”

Saat itu seorang pria tinggi besar dengan kumis melintang dan berdada bidang datang menghampiri. Dari seragamnya tampak orang itu karyawan di restauran ini dan dia segera menegur Pak Wayang dengan wajah kaku, ”Maaf, pak! Tempat ini melarang membawa binatang kemari.”

“Sepertinya restauran ini juga tidak menginginkan kehadiran anda disini,” sahut Yudi dingin. Walau menyukai si anjing tekel, Yudi tidak senang karena Pak Wayang membiarkannya berkeliaran sehingga bikin Mirna ketakutan sedemikian rupa, yang juga tentunya mempermalukan gadis itu di hadapan banyak orang.

Wajah Wayan Suritno seperti terkejut mendengar itu, ini kali kedua dimana Yudi berani menanggapi dirinya, dan kali ini bahkan dengan sikap kurang ajar. Pria itu tersenyum kalem menanggapi si karyawan restauran seraya mengelus-elus kepala anjingnya yang mengerut ketakutan melihat kedatangan karyawan tersebut, ”Maaf, saya hanya pesan makanan buat dibawa pulang. Kebetulan anjing saya ini lepas dari mobil dan lari menyusul, atau mungkin juga karena mencium bau ikan...” Wayan Suritno sempat menengok ke arah Mirna saat menekankan ucapan tersebut.

Si karyawan restauran menyipitkan mata, ”Baiklah, bapak sudah mendapatkan anjing itu. Tolong sekarang tunggu di luar. Saya tidak mau pelanggan saya kabur karena kutu yang dia sebarkan disini.”

”Anjing saya tidak berkutu. Kalau anda mau berdebat saya berani taruhan anjing saya lebih bersih dari restauran anda.”

Si karyawan melotot, mulutnya membuka dan bermaksud hendak membalas perkataan itu namun Wayan sudah keburu pergi membawa anjing dan bungkusan makanan pesanannya. Lelaki itu bukan hanya merusak mood si karyawan tetapi juga membunuh selera makan Yudi dan Mirna di malam yang indah itu. Gadis itu sama sekali tidak berselera ketika makanan yang mereka pesan terhidang di meja. Disendoknya nasi tanpa gairah, tak satu pun lauk disentuhnya.

“Kamu mau kita pindah dari tempat ini?” Yudi bertanya, Dipahaminya perasaan gadis itu. Meloncat ke atas kursi dengan wajah ketakutan gara-gara seekor anjing memang membuat siapapun jadi terlihat konyol, dan itu sungguh tidak menyenangkan bila terjadi di tempat ramai.

“Aku mau pulang saja, deh,” desis Mirna. “Maaf banget, ya...seharusnya kita mengakhiri ini dengan makan tart ulang tahun kamu sama-sama tapi aku...aku benar-benar lagi nggak bisa saat ini...”

Yudi mengangguk, “Nggak apa-apa. Aku mengerti, kok! Ayo aku antar kamu pulang.”

Mirna berdiri seraya menyangklong tasnya, “Tidak apa-apa. Aku pulang sendiri saja.”

”Ini kan sudah malam,” ucap Yudi. “Aku antar kamu pulang dulu nggak apa-apa?

”Nggak apa-apa. Aku sudah janjian sama bunda ketemu di swalayan di ujung jalan ini,” Mirna menyahut.

”Kalau begitu biar aku antar kalian sekalian,” kata Yudi berkeras.

“Naik motor bertiga?” Mirna mengangkat alis kebingungan.

“Motorku biar ditinggal disini dulu. Aku bisa pesan taksi untuk kita bertiga.”

“Jangan repot-repot!” Mirna menolak. ”Bunda kolot orangnya. Dia nggak senang kalau tahu aku jalan dengan laki-laki yang hanya teman, apalagi sampai makan malam sama-sama.”

”Kenapa nggak sekalian kenalin aku sama bundakamu? Siapa tahu kalau kami sudah kenalan, beliau tidak keberatan aku mengajakmu jika ada hari-hari lain seperti ini...”

“Maksud kamu?”

”Aku ingin ajak kamu makan malam lagi lain kali. Tanpa insiden. Yang itu tadi sungguh merusak suasana. Aku ingin memperbaikinya.”

Mirna menggeleng, ”Sudahlah! Itu bukan salah kamu,kok. Aku tidak menyalahkanmu.”

”Janji kamu akan baik-baik saja?” tanya Yudi yang merasa tidak enak membiarkan seorang wanita sendirian di tengah malam apalagi itu karena ajakan kencannya.

”Aku preman di kota ini,” Mirna mengingatkan bahwa dia mengenal Bontang lebih baik dari Yudi dan itu benar adanya. “Lagipula swalayan itu hanya beberapa meter dari sini kok.”

”Oke, deh...”

”Makasih buat makan malam sama perlindungan kamu, ya...” walau suasana masih terasa canggung tapi Mirna mengecup pipi Yudi sebelum meninggalkannya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!