Semenjak kepulangakan kami ke ponpes saat itu, hidup ini aku susun agar berjalan normal seperti biasanya.
Aku menyibukan diriku dengan kembali mengajar, yang berbeda adalah, kini dalam gendonganku ada seorang anak laki-laki yang Allah titipkan untuk ku besarkan dan kini selalu ku bawa kemanapun kaki ku melangkah.
Aku harus bangkit, membangun kehidupan ku dengan kesendirianku, aku harus kuat demi anak kami, anak aku dan Almarhum Mas Alfath suamiku tercinta. Aku menguatkan hatiku, demi buah cinta kami, demi membesarkan dirinya.
Aku bekerja dari jauh juga untuk perusahaan yang Mas Alfath titipkan. Yaaa, perusahaan yang menjadi warisan untuk anak sematawayang kami. Aku menjalankan dan menggantikan posisi Mas Alfath untuk perusahaan itu, sampai ku menunggu anak kami besar dan sanggup untuk mengelolanya sendiri, nanti.
Arkana kini semakin besar, ia selalu mencoba hal baru dalam dunianya. Repot? Tentu sangat repot. Bukan tak ingin aku titipkan Arkana pada Umma, atau pengasuh.
Tapi ku nikmati segalanya, karena aku ingin anakku merasakan belaian lembut tangan ibunya sendiri.
Tak jarang beberapa kajian tak jadi mengundangku untuk mengisi tausiyahnya, karena aku selalu membawa putra sematawayang ku.
Aku hidup menjanda, dan membesarkan Arkana seorang diri. Aku relaaa, karena aku hanya ingin berkumpul dalam cinta yang sama bersama suamiku, di surganya Allah.
Aku dibantu Umma dan Aba untuk mendidik putra sematawayang ku.
Umma dan Aba tidak pernah menyuruhku untuk menikah lagi dengan pria yang akan menggantikan Almarhum suamiku, karena mereka begitu mengerti dengan perasaanku.
Sementara keluarga mertua ku, Umi dan Papa mereka ikhlas dan mengizinkan Nisa untuk menikah lagi dengan siapapun pilihan Nisa bila mana Allah berikan jodoh lagi. Tapi hati ini rasanya mati untuk pria lain selain kepada almarhum suami tercinta.
Umi dan Papa, mertua yang amat menyayangiku dan juga cucunya, mereka selalu mengunjungi kami, dalam sebulan beberapa kali mereka datang berkunjung ke Indonesia untuk kami.
Hatiku begitu senang rasanya, karena Umi dan Papa tetap menganggap aku adalah menantunya sama seperti dulu saat masih ada Almarhum suamiku. Mereka juga masih memperlakukan ku sama seperti dulu, tak ada bedanya.
Arkana pun tidak pernah kekurangan kasih sayang dan perhatian dari semua keluarga kami. Semua begitu memperhatikan kehidupan kami, bahkan sampai pendidikan Arkana, Umi dan Papa juga begitu memperhatikan.
Aku selalu ingat pesan dari Papa mertua ku
"Jangan kamu ikut campur tentang keinginannya dalam masa depannya, cukup dukung kearah yang baik dan doakan, biarkan saja kemana langkah kakinya ia mau, asal tetap dalam jalan Allah"
Papa selalu ingin cucu laki-lakinya ini bisa menjadi orang sholih seperti Almarhum ayahnya.
Yaaa aku sangat mengerti. Sama seperti inginku, aku ingin sekali Arkana putraku, bisa menjadi penerus ayahnya, dan mewarisi sifat dermawan Almarhum ayahnya itu.
******
Hari ini Nisa di undang dalam sebuah kajian di Universitas yang dulu ia pernah bertemu dengan kakak tingkatnya sewaktu kuliah, Azam. Nisa mau mengisi kajian disana karena ia berfikir tidak akan bertemu lagi dengan Azam karena mereka pernah bertemu di Surabaya waktu itu.
Kajian ini bertemakan "Sehidup sesurga", Nisa begitu semangat karena ia ingin membagikan kisahnya bersama dengan suaminya sendiri. Ia ingin kisah cinta yang ia alami dalam hidupnya menjadi inspirasi pasangan muda untuk berfikir cinta sampai mati.
Nisa yang sedang memulai acara tersebut dalam sebuah gedung aula kampus, dengan pengeras suara, membuat suaranya terdengar jelas dibeberapa sudut kampus itu.
Nisa juga menjelaskan tentang suaminya yang kini sudah berpulang kembali kepada sang maha pencipta dan keadaan Nisa yang kini tetap mempertahankan cintanya untuk almarhum suaminya dan menjanda, semua para pendengar yang kebanyakan dari mereka adalah mahasiswi dan mahasiswa ikut larut dalam kesedihan saat mendengar kisah dari Nisa.
Acarapun selesai, semua pendengar sudah berhamburan keluar meninggalkan gedung aula tersebut. Nisa masih duduk terdiam, menunggu suasana menjadi aga sepi untuk kembali pulang.
Dalam gendongannya, ada bayi laki-laki yang sedang tertidur pulas. Beberapa panitia yang mengadakan acara itu pun mendekat kepada Nisa.
"Ibu wanita hebat.." ucap Sifa, panitia acara itu
Nisa hanya tersenyum yang terlihat dari matanya.
"Insya Allah.. doakan yaaa" jawab Nisa sembari menepuk pundak sifa, gadis cantik dengan jilbab merah itu
Sifa hanya membalas dengan senyum ramahnya.
Gedung Aula mulai terlihat sepi, hanya tinggal beberapa orang yang tersisa.
Nisa memutuskan untuk segera melangkahkan kakinya keluar meninggalkan Aula dan hendak pulang. Nisa berjalan menyusuri koridor kampus, hendak ke parkiran untuk ke mobil kesayangannya sedari dulu. Tiba-tiba langkah kaki itu terhenti, oleh suara yang memanggil namanya dari belakang.
"Annisa..." panggilnya, suara yang Nisa rasa tak asing lagi, suara yang ia rasa mengenalinya
Nisa tak berani menolehnya
"Iya.." jawab Nisa sembari menghentikan langkah kakinya
Terdengar suara sepatu dari langkah kaki, mulai mendekat dimana Nisa berada.
"Apa kabaaar..?" tanyanya langsung dengan memposisikan dirinya disamping Nisa
Nisa menoleh dengan perlahan, melirik kearah suara itu berasal, tanpa menjawabnya terlebih dahulu.
"Kak Azam?" ucap Nisa dengan ekspresi wajah tak menyangka
"Iya, ini saya.." jawab Azam dengan senyum terlukis diwajahnya
"Apa Kabar? Sekarang mengisi lagi kajian yaaa?" tanya Azam langsung
"Alhamdulillah baik.. I-iyaaa" jawab Nisa dengan kakunya
Azam mengangguk-anggukan kepalanya.
"Ini anak kamu?" lagi-lagi tanya Azam penasaran
"Iya, Kaaa.." jawab Nisa dengan cepat
"Apa betul suami kamu sudah meninggal?" tanya Azam terlihat sangat hati-hati
"eeeuuhhh itu tadi saya dengar dari pengeras suara.." lanjut Azam sembari salah tingkah
"Iya Kaa.." jawab Nisa dengan lesu
"Inna lillahi waa inna illaihi raaji'un.." ucap Azam dengan pelan
"Meninggalnya kenapa, Nis?" lanjut Azam masih penasaran
"Mungkin sudah patokan umurnya saja, Kak Azam.." jawab Nisa tak ingin banyak cerita lagi
"Ya Allah.. kasihan anak kalian.." ucap Azam sembari menoleh kearah bayi yang ada dalam dekapan Nisa
Nisa hanya membalas dengan tersenyum. Rasanya tak ingin ia bertemu lagi dengan Azam.
"Kapan suami mu meninggalnya?" tanya Azam lagi-lagi
"sudah hampir setahun kak.." jawab Nisa
"Oh iya, Kak Azam, Nisa pamit pulang yaaa.. Kasihan Arkana sudah pegal digendong, ingin rebahan.. Permisi yaaa, Assalamu'alaikum.." lanjut ucap Nisa berpamitan demi mempersingkat percakapan dengan Azam.
Belum sempat Azam menjawab, Nisa sudah berlari kecil terburu-buru untuk masuk kedalam mobilnya itu, dan berlalu dari Azam.
Nisa menidurkan Arkana di bangku tengah, tubuh Arkana yang semakin besar, jadi bisa ditidurkan di sofa mobil dengan bantal-bantal yang Nisa susun sedemikian rupa agar tetap merasa nyaman.
3 tahun kemudian.
Setelah kejadian 3 tahun lalu, ketika Nisa bertemu dengan Azam saat itu. Nisa jadi tidak ingin lagi mengisi kajian di kampus itu, bahkan Nisa tak lagi mengisi kajian diluar Ponpes. Hati Nisa begitu tak nyaman rasanya.
Arkana kini berusia 4 tahun, tentunya sudah menjadi anak balita yang cerdas dan selalu banyak bertanya pada Ibu juga Nenek dan Kakeknya.
Arkana kini lebih sering bersama Umma, diajak ke PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang berada di lingkungan Ponpes juga, sementara Nisa mengajar di MI, juga MTS di Ponpes milik keluarganya itu.
Waktu sudah masuk jam istirahat, semua santri sudah siap untuk makan siang bersama, sementara Nisa selalu pulang untuk melihat putranya itu.
Sesampainya dirumah, Nisa melihat Umma sedang menemani Arkana makan siang.
"Assalamu'alaikum Umma.. Arkaaa" ucap Nisa dengan riang
"Walaikumsalam Ibuuu..." jawab Arkana saat melihat kedatangan wanita bercadar yang sudah sangat ia kenali itu
"Walaikumsalam.." jawab Umma dengan senyum dan menoleh kearah Nisa
"Kok makannya diluar, kenapa tidak didalam sayang? Kakek mana?" tanya Nisa bertubi-tubi sembari mengelus lembut rambut anaknya itu
"Kakek belum pulang, makanya Arka makan diluar.." jawab Arka dengan sangat polos
"Aba kemana Umma?" tanya Nisa setelah mendengar jawaban anaknya itu
"Umma juga tidak tahu pasti, mungkin ada tamu tiba-tiba deh.." jawab Umma menerka-nerka
*******
Aba sedang berada di ruang tamu, ruang pertemuan dengan tamu yang ingin mengunjungi siapapun penghuni ponpes.
Aba menemui 2 orang laki-laki dengan sorban putih.
Aba kemudian menghampiri dan menyalami keduanya, lalu duduk di kursi kosong yang ada dihadapan mereka berdua.
"Maaf bapak ini siapa? Dan ada keperluan apa kepada saya?" tanya Aba tanpa basa-basi
"Saya Azam, Pak Ustadz" jawab pria yang ternyata adalah Azam
"Saya ini teman Annisa, kakak tingkat sewaktu kuliah dulu." tambah Azam memperkenalkan diri
"Oh iya iyaaa... Saya ayah nya Annisa.." ucap Aba dengan senyum ramah khas dirinya
"Ada keperluan apa yaaa anak muda?" lagi-lagi tanya Aba
"Begini Pak Ustadz, saya ingin mengetahui keadaan Nisa sekarang. Saya tahu bahwa Nisa ditinggal suaminya, dan sampai saat ini belum menikah lagi. Saya punya niatan baik.." ucap Azam panjang lebar dan seketika terhenti karena tangan Aba menyentuh tangan Azam yang berada diatas meja
"Wahai anak muda, Annisa kini menjanda dan memiliki satu anak dari suaminya.." ucap Aba tertahan, air mata sudah mengumpul di matanya
"mungkin saya tidak berhak untuk menolak niat baik nak Azam, tapi saya ingin memberitahu bahwa Annisa putri saya adalah wanita yang tegar, dia selalu memberitahu kami bahwa tak ada niat untuk menikah lagi" tambah Aba sembari meneteskan air matanya
Azam seketika terdiam, ia menundukan pandangannya. Jelas selama ini Azam belum pernah menikah, hatinya masih untuk Nisa. Walau sebenarnya ia selalu mencari pengganti Nisa, tapi selalu gagal.
"Ustadz, Azam ini belum pernah menikah. Sewaktu dulu, sebelum hari pernikahan Annisa dengan Almarhum suaminya kami Azam dan kedua orangtuanya pernah datang kemari untuk mengkhitbah Annisa, tapi hanya bertemu dengan Ibu, dan diberitahu bahwa Annisa sudah akan menikah.." ucap teman Azam, Rizal
Aba terdiam seketika, apa mungkin Azam masih mencintai Annisa batin Aba.
"Oh begitu. Kenapa belum menikah? Bukankah kejadian itu sudah sangat lama?" tanya Aba
"Saya sempat mencari yang lain setelah mendengar Annisa menikah, tapi selalu gagal. Mungkin belum jodohnya" jawab Azam dengan terus menundukan pandangannya
Aba mengangguk-anggukan kepalanya.
"Ya sudah, agar tidak penasaran saya akan pertemukan nak Azam dengan Annisa putri saya.." ucap Aba sembari mencari ponsel dalam sakunya
"Yang berhak memutuskan hanyalah Annisa. Saya sangat berterimakasih dengan niat baik Nak Azam ini.." lanjut Aba
Aba mencari nama kontak Nisa di phonebook, lalu dengan segera menekan panggil.
"Ndo.. kemarilah, Aba di ruang tamu" ucap Aba setelah menjawab salam Nisa
Nisa yang baru saja selesai makan, dan menidurkan Arkana dengan segera menyiapkan diri dan berjalan menuju ruang tamu, tanpa pamit kepada Umma karena sedang tidur juga.
Sesampainya diruang tamu, begitu kagetnya Nisa melihat Azam yang sedang duduk berhadapan dengan Aba. Hatinya dagdigdug tak karuan rasanya, batinnya terus menerka-nerka.
"Ternyata Kak Azam tamu Aba! Ada apa Kak Azam bertemu Aba?" ucap Nisa dalam hatinya, sembari terus mendekat sembari menundukan pandangannya.
"Assalamu'alaikum.." ucap Nisa dengan pelan tetap menundukan pandangannya
"Walaikumsalam.." jawab Aba, Azam dan Rizal berbarengan
"Duduk ndooo.." ucap Aba sembari menarik kursi dan didekatkan dengan kursi dirinya
Nisa duduk disamping Aba.
"Ada apa ya Aba?" tanya Nisa langsung
Sebenarnya Nisa sangat merasa tidak nyaman. Sudah lama ia menghindari untuk bertemu dengan Azam, bukan karena ia masih menyimpan rasa padanya, tapi karena ada rasa canggung dan tak nyaman sama seperti yang ia rasakan dulu saat suaminya merasa cemburu karena Azam.
"Begini Ndo, ini nak Azam ada niat baik.." ucap Aba pada Nisa
Hati Nisa mulai tak karuan rasanya, jantung yang langsung berdegup kencang ia rasakan, bahkan ia takut suara detak jantungnya terdengar oleh orang lain.
"Nak Azam jelaskan.." ucap Aba pada Azam
"eeeuu.." ucap Azam gugup, dan pandangan yang tertunduk
"Annisa sudah melewati masa idah bukan? Apa Annisa mau untuk menikah dengan saya?" ucap Azam terbata-bata, dan mulai merasa keringat dingin
Jantung Nisa terasa berhenti seketika, matanya terbelalak mendengar semua itu.
"Ada apa ini? Apa ini cuma mimpi..." ucap batin Nisa, Nisa mencoba menelan air liurnya dengan susah payah
"Ya allah apaaa ini... apa maksud semua ini..." lagi-lagi batin Nisa
"Annisa... Apa kamu mau?" tanya Azam lagi-lagi memastikan
"Maaf Kak Azam, Nisa tidak bisa.." jawab Nisa cepat
Aba sudah sangat mengerti, dan sudah menduga bahwa putrinya akan menjawab seperti itu. Aba hanya terdiam, tak sepatah katapun, tak ingin rasanya mencampuri dulu.
"Apa tidak di ikhtiarkan dulu dalam sepertiga malam?" tanya Rizal yang ingin sekali temannya itu segera menikah
"Maaf Kak, jawaban Nisa sudah bulat. Nisa tidak akan menikah lagi dengan siapapun, Nisa hanya ingin berkumpul di surga bersama suami dan ayah dari anak Nisa.." jawab Nisa dengan tegas
"Maaf jika sudah tidak ada yang ingin dibicarakan lagi dengan Nisa, Nisa pamit. Kelas akan segera dimulai..." lanjut Nisa sembari bangkit dari duduknya dan berjalan berlalu meninggalkan meja itu
"Assalamu'alaikum.." ucap Nisa sembari berlalu
Semua hanya terdiam mendengar penjelasan Nisa dan hanya menjawab salam pamitan dari Nisa.
"Nak Azam, maaf yaa.. Maafkan putri saya. Mungkin hatinya sudah milik almarhum Alfath, suaminya..." ucap Aba dengan ramah
Azam dan Rizal berlalu meninggalkan ponpes itu, dengan hati yang kecewa.
Nisa duduk dalam kesunyian dikamarnya, lampu utama yang tak ia nyalakan, juga suasana yang hening. Nisa menempelkan wajahnya diatas meja belajar, hanya dengan cahaya lampu belajar yang kecil. Air matanya mengalir deras setelah kejadian tadi. Hatinya sangat kaget, sekaligus merasa tak menyangka.
Nisa berusaha menahan suara isak tangisnya agar tidak terdengar oleh Umma ataupun Arkana yang sedang tidur siang. Tapi nyatanya suara itu tak bisa ditahan. Umma mendengar walau sangat pelan.
Umma masuk kedalam kamar Nisa, yang dimana pintunya sedikit terbuka itu.
"Nis..." ucap Umma dengan sangat lembut dan halus sembari mendekatkan langkah kakinya sedikit demi sedikit kearah Nisa
"Ummaaaa.." ucap Nisa sembari dengan cepat menghapus air matanya yang membasahi pipinya, dan berusaha menghentikan tangisnya
"Kenapa nak? Ada apa? Ceritalaaah.." ucap Umma sembari memeluk bahu Nisa dari belakang
"Ummaaaaa..." ucap Nisa, diikuti dengan tangis kembali, yang semakin pecah dan berbalik memeluk Umma
"Ada apa sayang? Kamu kenapa?" tanya Umma dengan nada suara paniknya
Nisa menceritakan kejadian barusan, tentang Azam yang mencoba langsung melamarnya ke Aba, dengan suara yang susah payah dan terbata-bata.
"Ya Allah..." ucap Umma pelan setelah mendengar cerita dari Nisa.
"Nisa tidak ingin lagi menikah dengan siapapun, Umma..
Nisa hanya ingin berkumpul dengan Mas Alfath di Surganya Allah" ucap Nisa dengan menahan-nahan tangisnya
"Iya sayang, Umma ngerti.." jawab Umma, sembari mengelus lembut puncak kepala Nisa
******
Waktu senja datang, pangeran kecil berwajah tampan dan berkulit bule itu sudah berganti pakaian setelah mandi sorenya barusan.
Arkana yang begitu dekat pada sosok sang Ibu, begitu manja. Nisa yang duduk di sofa ruang keluarga, digelendoti oleh tubuh mungil putranya itu.
"Buuu.. teman-teman disekolah cerita kalau mereka dibawakan mainan setelah ayahnya pulang kerja. Kalau Arkana bisa tidak Bu seperti itu?" ucap Arkana dengan polos
Sedari kecil Nisa selalu berusaha menceritakan sosok Alfath, ayah dari Arkana walau sudah tiada. Nisa berharap Arkana bisa mencontoh sifat baik ayahnya itu.
"Bisaaa dong, Arka mau apa sayang? Ibu yang belikan yaaa.." ucap Nisa dengan senyum lembutnya
"Arka maunya sama Ayah, Bu..
Ayah memang tidak akan pulang?" tanya Arkana dengan polosnya
"Ayah sedang menunggu kita, sayang.. Ayah sudah ditempat yang sangat indah, Ibu yakin sekali.." jawab Nisa dengan hati yang bergetar sembari menahan air matanya
"Ayah itu nunggu dimana sih Bu? Kenapa kita gak cepat kesana sih Bu? kan tempatnya indah..." ucap Arkana begitu polos
Umma dan Aba yang mendengarnya hanya tersenyum melihat Arkana sembari gelendotan manja pada tubuh Ibu nya itu.
"Di surganya Allah, sayang... Kita pasti kesana, kita sedang menunggu waktu saja" jawab Nisa dengan sabar menjelaskan
"Surga Allah jauh ya Bu?" lagi-lagi pertanyaan Arkana dengan polosnya
Nisa hanya tersenyum, begitu juga dengan Umma dan Aba yang memperhatikan sedari tadi.
"Arkana harus jadi anak sholih, biar bisa ke Surga Allah dan berkumpul sama ayah.." ucap Nisa dengan haru, sembari mencium kepala Arkana
"Arka harus jadi orang baik kayak Ayah ya Bu, biar bisa ke tempat yang indah itu?
Arka pasti jadi anak sholih, Bu..." ucap Arkana dengan semangat
Nisa hanya mengangguk-anggukan kepalanya, sembari terus menahan tangisnya dengan susah payah.
"Iya dooong.. Arka gak boleh ninggalin sholat 5 waktunya, harus rajin ngaji baca Al-Qur'an, berbakti sama Ibu dan terus jagain Ibunya yaaa..." ucap Aba sembari berjalan mendekat ke sofa dimana Nisa dan Arkana duduk
"Arka bakal jadi superhero buat Ibu..." ucap Arkana sembari mengangkat kedua tangannya mengikuti gaya superhero kesukaannya
"I love you Ibu, kakek, nenek..." ucap Arkana lalu mendekap Nisa sembari mengecup lembut pipi Ibunya.
*****
Arkana tumbuh menjadi anak yang cerdas, banyak sekali pertanyaan yang selalu ia lontarkan pada Ibunya, terkadang membuat Nisa juga susah menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil Arkana. Bukan karena tidak ada jawaban, tapi Arkana yang masih kecil membuat Nisa berpikir bahwa jawaban sesungguhnya terlalu berat untuk sosok mungil Arkana diumurnya ini.
Arkana tumbuh dalam cerita sang Almarhum Ayah, yang selalu Nisa ceritakan. Bukan apa-apa, melainkan ingin Arkana tetap merasakan kedekatan dengan sang Ayah, yang belum sempat ia kenal. Selain itu juga Nisa ingin Arkana tumbuh menjadi pribadi penyayang sama seperti Ayahnya, dan tidak merasa, tidak memiliki sosok ayah.
Nisa selalu memperlihatkan foto-foto kenangan dalam sebuah album bersama Alfath, kepada Arkana. Membuat Arkana bisa membayangkan sosok hangat ayahnya.
Pagi di hari Minggu, dimana Nisa dan Aba off dalam kesibukan keseharian mereka. Hari ini dimana Nisa fokus bermain bersama Arkana sepanjang hari. Aba dan Umma berolahraga kecil dihalaman belakang rumah, begitupun Arkana dan Nisa yang ikut-ikutan, setelah beberapa gerakan pemanasan Arkana memilih untuk duduk dan menikmati secangkir susu hangat buatan Nisa, lalu diikuti oleh Nisa yang memutuskan untuk beristirahat dulu, lalu meneguk air mineral dalam botol minum miliknya.
"Ibu... apakah dirumah Ayah di Surabaya suasananya sama seperti disini?" tanya Arkana tiba-tiba, yang sedari tadi memperhatikan suasana disekeliling
"Sama sayang, disana juga begitu asri. Karena disana juga ada halaman belakang yang luas, pepohonan juga beberapa tanaman dan satu kolam renang besar.." ucap Nisa setelah menelan air minumnya
"Kenapa Arka tidak pernah diajak kesana?" tanya Arkana setelah mendengar jawaban Ibunya itu
"Semenjak hari itu... Kepulangan kami saat kamu masih bayi, Ibu juga belum pernah kesana lagi..." jawab Nisa sembari menatap pandangan kosong seperti melamun
Aba dan Umma yang mendengarnya langsung menghentikan olahraganya dan menghampiri Ibu dan Anak tersebut.
"Kenapa Bu? Arka ingin sekali kesana.. Liburan disana.. Apa boleh Arka kerumah ayah?" ucap Arkana tanpa henti
Nisa melamunkan pikirannya, pandangan matanya kosong tanpa arah. Umma langsung memeluk hangat Nisa dengan memegang bahu Nisa, Aba duduk disamping Arkana cucunya.
"Boleh dong sayang. Rumah ayah juga kan rumah kamu dan Ibu.." jawab Aba dengan lembut
"Asiiikkkk Arka bisa kesana dooong.." jawab Arkana dengan polosnya, begitu bahagia mendengar jawaban kakeknya.
"Arkana senangkan?" tanya Aba dengan senyum manis kepada cucunya itu
"Arkana bakalan seneng banget, Kek.. Arkana pengen tidur dikasur Ayah, biar ngerasain hangatnya pelukan ayah.." ucap Arkana dengan semangat
Nisa yang mendengar ucapan anaknya itu langsung menoleh kearah anaknya perlahan, air matanya menetes tanpa tertahan.
Banyak alasan mengapa Nisa belum mau kembali kerumah itu. Nisa masih belum siap, bayangan akan suaminya, dan kebersamaan mereka sehari-hari pasti akan terbayang-bayang dalam pikirannya. Bukan belum ikhlas, tapi masih belum bisa move on dari cinta kepada suaminya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!