Happy reading
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Terlihat seorang wanita berambut panjang sedang melumuri sunblock ke tubuh putihnya.
"Mama! Ayo cepat dong!" panggil seorang bocah laki-laki berusia 5 tahunan bernama Jeri. Bocah kecil itu menggetuk pintu dengan tidak sabaran.
"Iya, Jeri sayang. Mama sudah siap kok!" jawab Maudy bergegas keluar.
"Mama kenapa lama sekali? Nanti keburu malam!" tarik Jeri dengan tidak sabaran.
Tidak lama mereka sampai di sebuah taman. Jeri bermain bola sendiri di taman itu. Sementara Mamanya,
"Mama, ayo kita main!" ajak Jeri melihat mamanya malah berteduh di bawah pohon.
"Ayo, kita pulang saja!" ajak Maudy. Sore ini matahari masih begitu terik dan ia takut kulitnya jadi gosong.
Sebenarnya Maudy sangat malas menemani sang putra bermain di taman, tapi mau bagaimana lagi. Ia ingin menjadi ibu yang baik bagi putranya.
Sementara bocah kecil itu kembali bermain bola sendiri. Saat sedang asyik bermain, tatapan Jeri tertuju pada seorang anak yang bermain dengan papanya.
Anak itu tampak sangat senang dan bahagia sekali. Dan itu membuat Jeri jadi sedih dan iri. Rasanya ia ingin seperti itu, bermain dengan papanya. Tapi kata mama Maudy ia tidak punya papa.
Melihat Jeri tidak bermain dan hanya diam sambil memegang bola, membuat Maudy jadi bingung. Ia pun melihat ke arah pandang sang anak.
Ternyata sang anak sedang melihat anak yang seusianya sedang bermain dengan papanya. Pasti Jeri ingin seperti itu juga.
Maudy menggelengkan kepala dengan cepat. Menurutnya Jeri tidak butuh papa. Ia yang akan merangkap menjadi papa dan mama bagi putranya.
"Jeri... ayo kita main, nak!" ajak Maudy. Ia pun mengambil bola yang dipegang sang anak. Hanya bermain bola seperti itu saja, ia juga bisa.
Jeri sejenak lupa dengan papa dan anak yang sedang bermain itu. Sekarang ia sedang bermain bersama mamanya. Mereka tertawa bersama.
Dan tidak lama,
"Jeri, sudah ya mainnya, nak! Ayo kita pulang!" Maudy ngos-ngosan. Baru bermain sebentar itu saja ia sudah kelelahan. Energinya seperti sudah terkuras habis.
Jeri pun jadi mengangguk. Mama Maudy tampak begitu kelelahan, jika pingsan di taman ini bagaimana ia akan membawa mamanya pulang.
Akibat terlalu bebas dan liar di masa lalu, membuat Maudy memiliki seorang anak. Denis, pria yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab sama sekali. Malah menuduh dirinya hamil dengan pria lain dan berniat menjebak agar anak itu memiliki ayah.
Maudy sangat sedih sekali saat itu, saat sang putra tidak diakui dan baginya itu sangat kejam.
Walau ia terus meyakinkan pada pria itu bahwa ia memang mengandung anak mereka, bahwa ia hanya melakukan hal tersebut hanya dengan pria itu saja dan Denis tetap tidak percaya dan peduli.
Jeri ditolak dan tidak diakui oleh pria itu. Bahkan yang lebih menyakitkan, putranya dikatakan sebagai anak haram.
Karena penolakan itu, Maudy pun bertekad akan membesarkan sang putra. Ia akan menjadi ayah dan ibu bagi putranya. Jeri tidak perlu seorang ayah.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Jeri sedang menonton dengan Maudy. Ada juga Opa Agus dan Oma Novia di sana. Mereka orang tua wanita itu.
Bocah kecil itu menonton sambil tiduran di pangkuan mamanya. Ia begitu senang karena tangan lembut yang mengelus kepalanya. Terasa begitu hangat dan menenangkan.
Sambil menonton, Maudy menjelaskan apa yang sedang mereka tonton agar putranya mengerti.
"Kita tidak boleh berbuat jahat pada orang lain, Jeri. Itu tidak baik. Nanti bisa masuk neraka, makanya kita harus berbuat baik pada orang lain." Jelas Maudy yang membuat Jeri mengangguk mengerti.
Maudy tahu, masa lalunya luar biasa sekali. Ia bukanlah orang baik. Dahulunya ia terlalu banyak menyakiti orang lain.
Tapi setelah kehadiran Jeri dalam hidupnya, ia mulai berubah. Maudy ingin menjadi ibu baik yang membanggakan anaknya. Juga menjadi ibu yang bijak.
"Opa, oma." panggil Jeri yang membuat pria dan wanita tua itu melihat ke arahnya.
"Kenapa? Jeri sudah mengantuk?" tanya Oma. Hari sudah makin malam.
"Papa mana? teman-teman Jeri di sekolah semua punya papa." ucapnya sambil melihat kedua orang tua itu dengan wajah polosnya.
Jeri kini sudah masuk tk. Di tk, teman-temannya diantar jemput papa mereka.
Opa Agus dan Oma Novia merasa sedih mendengar perkataan cucunya.
"Jeri, mama kan sudah bilang. Papamu itu sudah mati dimakan cacing!" jawab Maudy segera. Untuk hal yang menyangkut tentang pria jahat itu, Maudy harus tegas.
"Maudy!" Opa Agus menggeleng. Putrinya selalu mengatakan hal seperti itu pada cucunya.
Padahal bisa dijelaskan pelan-pelan bahwa Denis sudah meninggal, karena mobil yang dikendarainya terjun ke jurang. Meskipun mayatnya saat itu tidak ditemukan.
Ini putrinya malah bilang begitu pada cucunya. Alasan yang sangat tidak mendidik.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Maudy keluar dari kamar setelah menidurkan Jeri. Ia pelan-pelan menutup pintu agar suara pintu tidak membangunkan putranya yang baru terlelap.
"Maudy, mama dan papa mau bicara sama kamu." ucap oma Novia.
Maudy menurut, kini ia berada di ruang tamu bersama kedua orang tuanya.
"Jeri sepertinya merindukan sosok seorang ayah." ucap opa Agus memulai pembicaraan.
Maudy mengcemberutkan wajahnya. Ia tidak butuh pria seperti Denis yang tidak mau mengakui anaknya. Lagian juga pria itu sepertinya sudah mati. Mobil terjun ke jurang, mustahil bisa selamat.
"Pa, ma. Aku bisa membesarkan Jeri sendiri. Aku bisa menjadi ibu dan ayah baginya!" ucap Maudy yakin. Ia tidak mau kedua orang tuanya mencari tahu pria bernama Denis itu lagi.
"Denis tidak mengakui Jeri anaknya, lagian orang itu sudah mati. Pa, ma!" ucap Maudy mengingatkan kembali.
"Bukan begitu maksud kami! Kamu dengarkan dulu kalau orang tua masih bicara!" ucap oma Novia jadi kesal. Mereka baru bicara sedikit, malah putrinya membahas pria yang tidak bertanggung jawab itu.
"Jadi?" tanya Maudy. Ia sangat malas membahas Denis.
"Apa kamu tidak ingin menikah, Maudy? Dengan kamu menikah, Jeri akan memiliki sosok seorang ayah. Kamu juga akan memiliki suami. Jadi ada yang menjaga kamu dan Jeri nantinya." jelas opa Agus. Ia ingin putrinya segera menikah.
Maudy membuang nafasnya dengan kasar. "Siapa yang mau menikah denganku, pa, ma?"
Wanita itu sadar masa lalunya begitu kelam. Ia memiliki anak karena terlalu bebas. Melakukan hubungan badan tanpa adanya ikatan pernikahan dan ia malah hamil.
Seharusnya jika bebas tidak akan hamil. Saat itu ia tidak bisa menjaga diri. Kesalahannya itu menghadirkan Jeri.
Sekarang ia dibilang janda, dia juga bukan janda. Tidak pernah menikah dengan siapapun.
Dibilang anak perawan, juga bukan. Dia sudah memiliki anak.
"Pasti ada pria baik yang mau menikah denganmu. Kalau kamu tidak mau membuka hati, bagaimana kamu tahu pria itu mau menikahimu atau tidak." jelas oma Novia. Putrinya membuat kesimpulan sendiri.
Selama ini putrinya menutup diri dari yang namanya pria.
"Aku bukan wanita baik." jawab Maudy segera. Ia sadar diri.
"Sudahlah, papa sama mama tenang saja. Maudy akan membesarkan Jeri. Kalian tahu aku sangat menyayangi putraku." masih meyakini bahwa ia tidak butuh pria.
Kedua orang tuanya membuang nafas pelan. Terserah putrinya sajalah.
.
.
.
Semoga suka dan terhibur ya🙂🙂🙂
Pagi-pagi Maudy sudah sibuk di dapur. Ia membuatkan sarapan sekaligus bekal untuk putranya.
Setelah selesai, Maudy berjalan ke kamar putranya. Karena sudah berumur 5 tahun, Jeri punya kamar sendiri. Sudah tidak tidur bersamanya lagi.
"Jeri, ayo bangun anak ganteng mama!" ucap Maudy sambil mengelus pipi polos yang begitu menggemaskan.
Jeri menguap dan dengan cepat Maudy menutup mulutnya.
"Ayo bangun, anak kesayangan mama!" Maudy menggendong putranya yang masih mengantuk. Ia akan memandikannya.
Tak lama Jeri sudah rapi berpakaian seragam tk-nya dan sedang sarapan. Mamanya membuatkan sarapan yang sangat lezat. Lengkap dengan susu dan buah.
Ya, Maudy sangat menjaga nutrisi makanan Jeri. Asupan yang bergizi dan sehat pastinya.
"Ayo, kita berangkat! Jeri salam opa dan oma dulu!" ucap Maudy mengajarkan anaknya. Ia lalu mengambil tasnya.
Jeri menyalami opa dan omanya. Dan keduanya membalas dengan menciumi cucu semata wayangnya.
"Nanti oma yang jemput Jeri ya." ucap oma Novia. Maudy hanya mengantar saja, yang menjemput ia dengan supir.
Jeri mengangguk dan melambaikan tangan pada opa dan omanya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Maudy menggandeng Jeri masuk ke area tk. Ia tersenyum, putranya sudah besar saja. Padahal perasaan baru kemarin Jeri lahir. Ternyata waktu cepat sekali berlalu.
"Jeri, masuk ya. Belajar yang rajin. Mama sayang sekali sama Jeri." Maudy berjongkok, ia menciumi putranya itu. Meski Jeri hadir karena kesalahannya, tapi ia tidak mau menganggap putranya itu aib. Jeri itu anugerah terindahnya.
"Mama ke kantor dulu ya. Mau cari uang yang banyak untuk Jeri." ucapnya lagi.
"Mama hati-hati di jalan ya." ucap Jeri sambil melambaikan tangan.
Maudy pun berjalan pergi, ia akan segera ke kantor. Saat sudah beberapa langkah, ia berbalik untuk melihat putranya.
Terlihat Jeri berdiri sambil melihat temannya yang diantar papanya. Wajah putranya jadi tampak murung lalu tidak lama Jeri pun masuk ke kelas.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Di sebuah ruangan, Maudy tampak berpikir serius. Ia teringat wajah putranya. Dan jadi mengiyakan jika Jeri merindukan sosok seorang ayah.
'Apa aku harus menikah, agar Jeri punya papa?' pikir Maudy. Melihat putranya bersedih, membuat hatinya ikut sakit.
'Kalau pria itu sayang sama anakku, kalau pria yang ku nikahi tidak menyayangi Jeri bagaimana?' Maudy mulai dengan kebingungannya.
Menerima anak orang lain pasti cukup sulit. Ia saja jika menikah dengan pria yang sudah memiliki anak, pasti mikir panjang juga.
Tapi, Maudy juga tidak mau putranya terus bersedih. Jeri masih kecil, jika merasa sedih terus akan mempengaruhi pertumbuhannya.
Maudy pun meraih ponselnya dan menelepon.
"Halo, ma."
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Maudy setuju dengan rencana papa dan mamanya. Ia harus menikah agar Jeri punya papa. Pria yang bisa menyayangi putranya seperti menyayangi anak kandung sendiri.
Dan di sinilah Maudy sekarang. Ia berada di sebuah kafe dengan Jeri. Mereka akan menunggu calon papa baru. Papa untuk Jeri.
Maudy meminta bantuan papa dan mamanya untuk mengenalkannya dengan beberapa pria. Jika ada pria yang bisa menyayangi anaknya, maka ia akan menikah dengan pria itu.
Maka saat pertemuan pertama, Maudy sengaja membawa Jeri. Ia ingin tahu bagaimana perlakuan pria itu dengan putranya. Karena itu yang terpenting.
"Kamu Maudy?" tanya seorang pria berpakaian rapi yang menghampirinya.
Wanita itu pun mengangguk. Ia melihat pria itu cukup tampan.
"Saya Roy."
"Saya Maudy."
Keduanya pun berjabatan tangan saling berkenalan.
Pria itu tersenyum, wanita yang dikenalkannya sangat cantik. Dan senyumnya luntur melihat bocah di sampingnya. Ia melupakan hal lain.
"Kamu bawa anak?" tanya Roy. Ia tahu jika Maudy mempunyai anak. Tapi tidak harus jugalah di pertemuan pertama mereka, membawa anak itu.
"Iya, ini Jeri anakku. Jeri, salam om-nya dulu!" Maudy meminta putranya menyalami calon papa baru.
"Tidak ada yang menjaga Jeri di rumah, jadi aku bawa saja!" sambung Maudy kembali memberi alasan.
Roy terpaksa mengangguk dan melihat Jeri mengulurkan tangan. Ia pun mengulurkan tangannya juga.
'Astaga! anak jorok!' maki Roy dalam hati. Tangannya jadi jorok kena es krim yang menempel di mulut bocah tersebut.
Tadi sambil menunggu pria itu datang, Maudy sempat memesankan es krim untuk Jeri.
"Aduh, maaf. Tangan kamu jadi jorok. Jeri makan es krimnya berlepotan." Maudy meminta maaf, ia mengambil tisu dan mengelap tangan Roy.
"Tidak apa. Biasa namanya anak kecil." Roy berpura-pura akan mewajarkan hal itu, padahal dalam hatinya sudah sangat kesal.
Roy tahu, Maudy itu putri dari pemilik perusahaan besar. Dengan menikahi wanita itu, maka ia akan bisa memiliki perusahaan besar itu. Apalagi Maudy anak semata wayang, otomatis semua harta orang tuanya akan diwariskan ke wanita itu. Dan ia berencana akan mengambil itu semua.
Dan Maudy, saat Roy berkata tidak masalah saat Jeri mengotori tangannya. Sedikit tersentuh. Sepertinya pria itu penyayang anak-anak dan pasti bisa menyayangi putranya.
Maudy kini membersihkan mulut anaknya yang berlepotan es krim. Ia tersenyum karena Jeri begitu menggemaskan.
"Mama ke toilet dulu mau cuci tangan." ucapnya dan Jeri mengangguk.
"Aku ke toilet sebentar. Titip Jeri ya, Roy." Maudy mengatakan pada Roy.
Roy mengangguk dan Maudy berlalu pergi.
Makanan yang dipesan pun datang. Jeri mengambil makanan dengan sendok bekas es krimnya.
"Anak jorok!" ucap Roy seraya menghempas sendok tersebut, ia tidak suka kelakuan anak itu. Lalu berdiri dan akan menampar Jeri.
"Apa yang kamu lakukan pada anakku?!" Maudy mengeluarkan taringnya menahan tangan pria itu. Ia sudah kembali dari toilet dan melihat Roy malah akan main tangan pada putranya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Gagal dengan Roy, kini Maudy bertemu pria yang lain. Kali ini ia tidak membawa Jeri saat bertemu.
Maudy mengobrol dengan Sami. Sami, pria baik dan enak diajak ngobrol. Obrolan mereka mengalir hangat.
"Setelah kita menikah, anakmu kembalikan saja ke ayahnya. Ayahnya harus bertanggung jawab pada putranya."
Obrolan itu mulai membahas masa depan dan anak bawaan Maudy.
Maudy mulai tidak senang, ia mau menikah demi Jeri.
"Aku sudah katakan, ayahnya Jeri sudah meninggal." jelas Maudy masih menahan emosinya.
"Kembalikan saja ke keluarga ayahnya, biar mereka yang urus. Itu kan sudah menjadi tanggung jawab mereka. Aku tidak bisa merawat anak orang-"
Byur...
Maudy menyiramkan air ke wajah pria itu lalu berlalu pergi. Ia tidak peduli pria itu marah sambil memakinya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Maudy kembali akan berkenalan dengan pria ketiga. Mereka bertemu di kafe dan ia tidak membawa Jeri.
Keduanya sejenak mengobrol sambil makan. Obrolan ringan.
"Aku mau menikah denganmu dan menerima anakmu."
Maudy bernafas lega. Ternyata ada yang bisa menerima dirinya dan anaknya.
"Tapi, dengan satu syarat." ucap pria itu kembali.
Mata Maudy menyipit. Baru kenal kenapa memberi syarat segala.
"Setelah kita menikah, kamu harus mengizinkanku menikah lagi."
"Apa?" tanya Maudy. Apa ia salah dengar?
"Aku berencana akan menikah 10 kali."
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Sudah 3 kali gagal, Maudy tidak mau dipertemukan dengan pria lagi.
Tidak ada yang sesuai keinginannya.
"Sudahlah, pa, ma. Jeri cukup butuh aku saja!"
.
.
.
"Nona Maudy sudah menikah belum sih? Kok sudah punya anak saja!"
"Sepertinya belum menikah."
"Pasti waktu pacaran terlalu bebas,"
"Benar-benar. Begitu hamil ditinggal begitu saja!"
Di toilet kantor beberapa wanita sedang menggosipi atasan mereka. Gosip yang sepertinya begitu sangat seru, sampai membuat mereka tertawa-tawa.
Bugh... Suara salah satu pintu kamar mandi.
Wanita-wanita itu terkejut batin melihat orang yang keluar. Mereka langsung saling menjaga jarak aman dan menunduk.
"Serahkan surat pengunduran diri kalian!" ucap Maudy. Berani-beraninya ia terus menjadi bahan gosipan.
"Ma-maaf, Nona." kompak mereka menundukkan kepala berkali-kali.
Maudy sudah sering mendengar ia digosipkan orang-orang di kantor perihal memiliki anak tanpa ikatan pernikahan. Ia hanya memarahi mereka saja dan ternyata itu tidak berpengaruh.
Wanita itu berpikir harus membuat efek jera. Jadi jika mau menggosipinya lagi, akan berpikir 2 kali. Mereka masuk ke perusahaan ini untuk bekerja, bukan untuk membahas dirinya.
"Kamu, kamu, dan kamu! Aku memecat kalian!" tunjuk Maudy pada wanita-wanita itu. Ia akan bersikap tegas.
"Ja-jangan, nona! Maafkan kami!" mereka pun memelas meminta maaf. Merasa menyesal seharusnya tadi lihat-lihat situasi jika mau menggosip.
"Aku tidak butuh karyawan seperti kalian!" jelas Maudy sambil berkacak pinggang, lalu meraih ponselnya.
"Sat, kamu urus pemecatan..." Maudy menyebutkan nama-nama wanita itu. Melihat nama di bad yang tergantung.
"Nona, anda tidak boleh mencampurkan masalah pribadi ke pekerjaan!" salah satu dari mereka protes. Ia tidak terima gara-gara hal sepele, malah dipecat.
Maudy mengangguk. "Apa yang tadi kalian bicarakan itu urusan pekerjaan?"
Pertanyaan balik dari Maudy membuat mereka menciut. Mana tatapan atasan mereka itu menyeramkan.
"Ta-tapi nona sangat keterlaluan. Kami hanya membicarakan kenyataannya! Jika nona wanita baik-baik tidak mungkin punya anak tanpa menikah!"
Tanduk Maudy rasanya akan keluar. Karyawannya itu sangat menyebalkan sekali.
"Terus urusannya dengan kalian apa???"
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Pemecatan wanita-wanita pengghibah itu, menjari perbincangan di perusahaan itu.
Maudy terkenal sebagai wakil direktur yang pemarah dan sombong juga angkuh. Kini julukannya bertambah menjadi super tega.
Harus tega, karena dengan begitu tidak akan terdengar lagi karyawan yang mengghibahi nya. Mereka akan berpikir panjang kali lebar jika mau membahas dirinya.
"Nona, 30 menit lagi kita akan bertemu klien di luar kantor." ucap Satria, asistennya.
"Sudah kamu siapkan semua?"
"Sudah, nona! Aman terkendali!" jawab Satria dengan semangat. Soal pekerjaan, Maudy memang sangat profesional.
Maudy membenarkan makeupnya terlebih dahulu. Bukan karena akan bertemu dengan siapa, tapi tampil cantik tetap menjadi kewajibannya. Wanita itu sangat menjaga penampilan.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Nanti hari minggu aku mau ke pantai sama papaku, Jeri." ucap Nanda, teman sekelas Jeri. Ia bercerita.
Jeri diam saja mendengarnya, sejenak ia jadi membayangkan bermain bersama papanya. Dalam bayangannya muka papanya samar-samar.
"Papaku sangat sayang padaku. Papa sering membelikanku mainan." sambungnya lagi.
Jika mainan saja, mamanya pun sering membelikan mainan. Mainannya juga sangat banyak.
"Papamu mana, Jeri? Kenapa tidak pernah mengantar ke sekolah?" tanya Nanda lagi. Ia pergi selalu diantar papa dan pulang dijemput mama.
"Papaku lagi sibuk." jawab Jeri. Kata mama papanya sudah mati dimakan cacing. Jika ia bilang seperti itu, nanti bisa diledeki temannya.
"Papaku juga sibuk, tapi selalu mengantarku."
"Papaku sibuk sekali!" jelas Jeri kemudian.
"Kamu tidak punya papa kan! Jeri tidak punya papa! Jeri tidak punya papa!" Nanda pun mengejek Jeri.
"Aku punya papa!" jawab bocah itu dengan mata berair.
"Kamu tidak pernah pernah diantar papamu, mana papamu? Jeri tidak punya papa!" Nanda masih meledek juga.
"Jeri punya papa!" balas Jeri sambil mengusap air matanya.
"Jeri tidak punya papa, kata mamaku Jeri itu anak haram. Jeri anak haram! Jeri anak haram!" nanda berkali-kali mengucapkan kata haram. Arti dari kata haram itu sendiri, anak kecil itu saja tidak mengerti.
"Jeri anak mama!" Jeri pun jadi menangis.
Guru yang melihat itu segera menghampiri.
"Jeri kenapa menangis?" tanyanya.
"Kata Nanda, Jeri tidak punya papa. Jeri punya papa, Bu." jawab Jeri dengan terisak-isak.
"Kata mama, Jeri tidak punya papa. Dia juga anak haram." ucap Nanda yang sering mendengar mamanya bicara seperti itu.
"Nanda, kamu tidak boleh bicara begitu ya. Itu tidak baik!" Bu guru menasehati. Ucapan itu tidak bagus.
"Minta maaf pada Jeri. Kalian kan teman!"
"Jeri tidak mau berteman dengan Nanda. Dia jahat!" Jeri menolak.
"Aku juga tidak mau berteman dengan anak yang tidak punya papa!"
"Aku bilang mamaku kamu ya!" Jeri makin menangis.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Terima kasih atas kerja samanya." Maudy menyalami klien. Ia telah selesai meeting.
Setelah kliennya pergi, Maudy duduk sambil bernafas lega. Kerja samanya berjalan lancar.
"Akhirnya selesai juga!" ucap Maudy sambil membereskan berkas-berkasnya.
"Nona, mau makan siang di mana?" tanya Satria. Mereka sedang di luar, jadi sekalian saja.
"Ini masih pukul 10, Sat. Belum waktunya makan siang. Ayo kembali ke kantor!"
Satria mengangguk pelan, memang masih pukul 10. Tapi ia sudah lapar saja.
Tidak berapa lama, Satria mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Ia melirik ke spion belakang, nona Maudy memejamkan mata. Sepertinya tidur.
"Lihat jalan depan, Sat! Jika kamu menabrak, saya potong gajimu!" walau sedang terpejam, Maudy tahu jika asistennya itu melihatinya.
"Maaf, nona. Saya mau menawarkan mungkin anda ingin mampir untuk minum kopi." Satria melihat Maudy yang sangat mengantuk. Mungkin butuh kopi untuk membuka mata.
"Segera kembali ke kantor!"
Melihat mata terbuka dan menajam padanya, membuat Satria ciut. Ia pun segera fokus pada jalanan.
Maudy merogoh ponsel, ada panggilan masuk.
"Halo, selamat siang bu guru." jawab Maudy. Itu telepon dari guru tk anaknya.
"Apa? Baiklah, saya akan segera ke sana!" lalu mengakhiri panggilan.
"Sat, menepi!" pinta Maudy kemudian.
Setelah mobil menepi, Maudy turun dan berjalan ke arah pintu pengemudi.
"Turun!" pintanya.
"Ba-baik, nona!" jawab Satria menurut.
Maudy segera masuk mobil dan memasang sabuk pengamannya. Ia membuka kaca mobil.
"Sat, saya ada urusan penting. Kamu kembali ke kantor sendiri!" ucap Maudy lalu melajukan mobilnya.
Satria menggaruk kepalanya setelah mobil itu berlalu. Ia ditinggal atasannya di pinggir jalan. Sungguh tega sekali.
Kruk... bunyi suara perut.
Sebelum kembali ke kantor, Satria makan dulu. Ia mengisi perutnya.
Setelah perut kenyang, Satria akan kembali ke kantor. Ia melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 11 siang. Begitu sampai kantor pasti sudah jam makan siang.
'Mana ojeknya?' pria itu sudah memesan ojek. Ia akan kembali ke kantor naik itu. Mau naik taksi, sudah bulan tua. Jadi harus berhemat.
"Atas nama mas Satria?" ucap pengendara motor menghampiri.
"Benar, mas." jawab Satria. Ojeknya sampai juga.
Pengendara itu memberikan helm dan Satria menerimanya.
"Terima ka-" Satria menjeda ucapannya saat melihat pengendara ojek. Seperti pernah mengenal dan berusaha mengingatnya.
"Pak-pak Roni ya?"
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!