Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai-tirai sutra yang menjuntai di kamar tidur Citra. Kamarnya yang luas dengan perabotan mewah dan hiasan-hiasan artistik tampak berkilauan. Di sisi tempat tidurnya, meja kecil penuh dengan kosmetik dan parfum mahal. Citra terbangun dari tidurnya dengan malas, meraih ponselnya, dan mulai memeriksa pesan-pesan yang masuk.
"Selamat pagi, Nona Citra," sapa Maria, pelayan pribadi Citra, sambil membawa nampan berisi sarapan lengkap dengan jus jeruk segar.
"Selamat pagi, Maria," jawab Citra singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Apa agenda hari ini?"
Maria meletakkan nampan di meja samping tempat tidur dan membuka buku catatannya. "Hari ini, Nona punya jadwal spa pukul 10.00, pertemuan di kampus dengan dosen pembimbing pukul 14.00, dan makan malam dengan keluarga di restoran La Grande pukul 19.00."
Citra mengangguk. "Baiklah. Pastikan mobil siap sebelum pukul 9.30. Aku tidak mau terlambat ke spa."
"Siap, Nona Citra," jawab Maria dengan hormat, lalu meninggalkan kamar.
Setelah sarapan, Citra berjalan menuju lemari pakaiannya yang besar. Deretan pakaian desainer dan aksesori mahal tersusun rapi di dalamnya. Ia memilih gaun kasual namun elegan dan memadukannya dengan sepatu hak tinggi. Sebelum keluar, ia melihat dirinya di cermin besar di sudut kamar, memastikan penampilannya sempurna.
Di lantai bawah, ayah dan ibu Citra sedang menikmati sarapan di ruang makan yang luas. Ayahnya, Pak Gunawan, adalah seorang pengusaha sukses dengan kerajaan bisnis yang luas. Ibunya, Bu Ratna, adalah seorang sosialita terkenal yang sering muncul di majalah-majalah mode.
"Selamat pagi, Ayah, Ibu," sapa Citra sambil duduk di kursinya.
"Selamat pagi, sayang," jawab Bu Ratna dengan senyum. "Bagaimana tidurmu?"
"Seperti biasa, Ibu. Aku hanya sedikit lelah dengan jadwal yang padat," kata Citra sambil mengaduk-aduk secangkir kopi.
Pak Gunawan menurunkan korannya dan melihat ke arah Citra. "Ingat, nak, kerja keras dan disiplin adalah kunci sukses. Ayah bangga melihatmu mengikuti jejak kami."
Citra tersenyum tipis. "Tentu, Ayah. Aku akan melakukan yang terbaik."
Setelah sarapan, Citra menuju garasi di mana mobil sport merahnya sudah menunggu. Supir pribadinya, Pak Arif, membuka pintu mobil dan menunggu Citra masuk.
"Ke spa, Pak Arif," perintah Citra.
"Baik, Nona," jawab Pak Arif sambil menyalakan mesin dan mengarahkan mobil keluar dari halaman rumah.
Di perjalanan, Citra memandangi pemandangan kota dari balik jendela mobil. Gedung-gedung tinggi, toko-toko mewah, dan keramaian jalanan semuanya terasa seperti bagian dari dunianya yang sempurna. Sesampainya di spa, Citra disambut oleh staf yang sudah mengenalnya dengan baik.
"Selamat datang, Nona Citra. Kami sudah menyiapkan semua perawatan untuk Anda," kata salah satu staf dengan senyum ramah.
"Terima kasih," jawab Citra sambil melepas kacamata hitamnya dan menyerahkannya pada staf. "Aku ingin relaksasi total hari ini."
Perawatan di spa berlangsung selama beberapa jam, membuat Citra merasa segar dan siap menghadapi hari. Setelah selesai, ia kembali ke mobil dan menuju kampus. Sesampainya di kampus, Citra berjalan dengan percaya diri menuju gedung fakultas, menarik perhatian banyak mahasiswa yang mengenalnya.
Di ruang dosen, ia bertemu dengan Pak Hendra, dosen pembimbingnya.
"Selamat siang, Pak Hendra," sapa Citra sambil duduk di kursi di depan meja dosen.
"Selamat siang, Citra. Bagaimana progres penelitianmu?" tanya Pak Hendra.
"Semua berjalan lancar, Pak. Saya sudah mengumpulkan data yang diperlukan dan sedang dalam tahap analisis," jawab Citra dengan percaya diri.
"Bagus. Pastikan kamu menyelesaikannya tepat waktu. Ini adalah proyek penting," kata Pak Hendra dengan nada serius.
"Tentu, Pak. Saya akan bekerja keras untuk itu," jawab Citra.
Citra tidak hanya menunjukkan sikap angkuh dan sombong melalui perkataan, tetapi juga melalui tindakannya sehari-hari. Ia sering kali berbicara dengan nada merendahkan kepada orang-orang yang bekerja untuknya, seperti Maria dan Pak Arif. Ketika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginannya, ia tak segan-segan untuk menyalahkan mereka tanpa alasan jelas.
Di kampus, Citra menunjukkan sikap yang sama. Ia sering menganggap remeh teman-temannya dan tidak mau bergaul dengan mereka yang dianggapnya tidak sepadan. Saat berbicara dengan Pak Hendra, dosennya, ia lebih fokus pada penampilannya dan bagaimana ia terlihat di mata orang lain, daripada benar-benar memperhatikan nasihat dan bimbingan yang diberikan.
Citra juga terkenal suka memamerkan kekayaannya. Saat berkumpul dengan teman-temannya, ia sering membicarakan barang-barang mewah yang dimilikinya, perjalanan-perjalanan eksotis yang pernah ia lakukan, dan pesta-pesta mewah yang ia hadiri. Hal ini membuat banyak orang di sekitarnya merasa tidak nyaman, namun Citra tidak peduli.
Dalam situasi sosial, Citra tidak sungkan untuk memotong pembicaraan orang lain dan memonopoli perhatian. Ia selalu ingin menjadi pusat perhatian dan tidak suka jika ada orang lain yang mendapatkan sorotan lebih darinya. Sikapnya yang egois ini membuatnya dijauhi oleh banyak orang, namun Citra tidak menyadarinya karena ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
.
.
Setelah pertemuan di kampus, Citra kembali ke rumah untuk bersiap-siap menghadiri makan malam keluarga di restoran mewah. Malam itu, mereka duduk di meja yang dikelilingi oleh suasana elegan dan mewah.
Malam itu, setelah makan malam bersama keluarganya di restoran mewah, Citra memutuskan untuk pergi ke klub malam favoritnya. Ia segera mengirim pesan ke teman-temannya untuk mengatur pertemuan di klub tersebut.
Di rumah, setelah selesai bersiap-siap, ia turun ke lantai bawah dengan gaun malam yang glamor. Pak Arif sudah menunggu di garasi dengan mobil sportnya.
"Ke klub malam Blue Lounge, Pak Arif," perintah Citra dengan nada bosan.
"Baik, Nona Citra," jawab Pak Arif sambil menyalakan mesin dan mengarahkan mobil keluar.
Saat tiba di klub malam, Citra langsung disambut oleh staf yang mengenalnya dengan baik. Ia berjalan dengan anggun menuju area VIP yang sudah dipesan sebelumnya. Di sana, teman-temannya sudah menunggu.
"Citra! Kamu selalu tampil memukau!" seru Rina, salah satu teman dekatnya, sambil memeluknya.
"Tentu saja, sayang. Apa gunanya hidup kalau tidak dinikmati?" jawab Citra sambil tertawa.
Malam itu, Citra dan teman-temannya menghabiskan waktu dengan menari, minum-minum, dan menghamburkan uang tanpa pikir panjang. Setiap kali pelayan datang dengan minuman baru, Citra dengan angkuh menyodorkan kartu kredit ayahnya tanpa melihat total tagihan.
"Pesan lagi, malam ini kita pesta sampai pagi!" seru Citra sambil mengangkat gelasnya.
"Tentu, Citra! Kamu memang yang terbaik!" sahut teman-temannya dengan penuh semangat.
Sambil menikmati musik yang berdentum keras dan lampu-lampu berwarna-warni, Citra merasakan kepuasan dari perhatian yang ia dapatkan. Namun, di balik senyum dan tawa, ada perasaan kosong yang mulai merayap di hatinya.
Pukul tiga pagi, saat klub mulai sepi, Citra dan teman-temannya memutuskan untuk pulang. Di luar, Pak Arif sudah menunggu dengan sabar.
"Ke rumah, Pak Arif," perintah Citra dengan nada sedikit mabuk.
"Baik, Nona Citra," jawab Pak Arif dengan nada prihatin.
Dalam perjalanan pulang, Citra memandangi pemandangan kota yang perlahan sepi. Ia teringat nasihat ayahnya tentang kerja keras dan disiplin, namun dengan cepat menepisnya dari pikiran. Baginya, hidup adalah tentang menikmati setiap momen, meski harus menghambur-hamburkan uang ayahnya.
Keesokan paginya, Citra terbangun dengan kepala yang berat akibat pesta semalam. Maria datang membawa sarapan seperti biasa.
"Selamat pagi, Nona Citra. Bagaimana malam Anda?" tanya Maria dengan sopan.
"Biasa saja, Maria. Seperti malam-malam sebelumnya. Aku butuh aspirin, kepalaku sakit sekali," jawab Citra sambil memijat pelipisnya.
"Tentu, Nona. Akan saya ambilkan," kata Maria sambil bergegas keluar.
Setelah Maria pergi, Citra duduk di tempat tidurnya dan menatap sekeliling kamarnya yang mewah. Sekilas, hidupnya tampak sempurna, namun ia mulai merasakan ada sesuatu yang hilang. Ia merasa semakin sulit menemukan kebahagiaan sejati di balik kemewahan dan pesta-pesta yang ia jalani.
Hari itu, Citra memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah, merenungkan hidupnya dan mencari jawaban atas perasaan kosong yang mulai menghantui hatinya. Tanpa disadari, hidupnya sedang menuju titik balik yang akan mengubah segalanya.
Namun, di malam berikutnya, Citra kembali ke klub malam Blue Lounge dengan harapan bisa melarikan diri dari perasaan hampa yang terus menghantuinya. Saat tiba di klub, suasana meriah langsung menyambutnya. Musik berdentum keras, lampu berkilauan, dan aroma minuman memenuhi udara. Citra segera menuju area VIP, di mana teman-temannya sudah menunggu.
"Citra! Kamu telat, kita sudah mulai tanpa kamu," seru Rina sambil mengangkat gelasnya.
"Aku butuh sesuatu yang lebih kuat malam ini," jawab Citra sambil duduk dan mengambil segelas minuman dari meja.
Beberapa jam berlalu, dan Citra merasa semakin mabuk. Namun, perasaan kosong itu tetap ada. Ia mulai memperhatikan sekeliling, mencari sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih hidup.
"Hei, Rina, aku dengar ada seseorang di sini yang bisa memberikan 'hiburan' tambahan. Kamu tahu siapa dia?" bisik Citra ke teman dekatnya.
Rina tersenyum dan memberi isyarat kepada seorang pria yang berdiri di sudut ruangan. "Itu dia, namanya Anton. Dia bisa memberikan apa yang kamu butuhkan."
Citra mendekati Anton dengan langkah anggun. "Aku dengar kamu bisa memberikan sesuatu yang lebih kuat dari minuman ini," katanya dengan tatapan menggoda
Anton mengangguk dan mengeluarkan sebuah paket kecil dari saku jaketnya. "Ini, tapi hati-hati. Ini bukan mainan," katanya sambil memberikan paket itu kepada Citra.
Tanpa ragu, Citra mengambil paket itu dan berjalan kembali ke meja VIP. Teman-temannya memperhatikan dengan penasaran saat ia membuka paket itu dan menemukan beberapa pil berwarna cerah. Dengan cepat, Citra menelan satu pil dan meneguk minumannya.
Beberapa menit kemudian, Citra mulai merasakan efek dari pil tersebut. Seakan Dunia milih dia sendiri dan teman-teman nya. Citra menikmati sensasi yang tubuh nya rasakan.
Tiba-tiba, seseorang dari staf keamanan klub mendekati meja mereka. "Maaf, Nona Citra, tapi kami mendapat laporan tentang penggunaan obat terlarang di sini. Kami harus memeriksa tas Anda," kata pria itu dengan tegas.
Teman-teman Citra langsung panik, namun Citra hanya tertawa. "Kamu bercanda? Ini klubku, semua orang di sini mengenalku," katanya dengan nada mengejek.
"Maaf, Nona, tapi aturan tetap aturan," jawab pria itu sambil mengulurkan tangan untuk memeriksa tas Citra.
Saat pria itu menemukan sisa pil di dalam tas Citra, ekspresi wajahnya berubah serius. "Nona Citra, Anda harus ikut kami ke ruang belakang untuk klarifikasi lebih lanjut," katanya.
Teman-temannya mulai berbisik-bisik, dan beberapa dari mereka bahkan mulai menjauh. Citra merasakan gelombang ketakutan dan malu menghantam dirinya. Ia menatap Rina, yang hanya bisa membalas dengan pandangan kosong.
Di ruang belakang, Citra diinterogasi oleh manajer klub dan staf keamanan. Mereka memberitahu bahwa meskipun ia pelanggan tetap, penggunaan dan distribusi obat terlarang tidak bisa ditoleransi. "Ini adalah peringatan terakhir, Nona Citra. Jika ini terjadi lagi, kami tidak akan ragu untuk melibatkan polisi," kata manajer dengan nada serius.
Citra hanya bisa mengangguk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Setelah selesai, ia diantar keluar oleh staf keamanan.
Pak Arif sudah menunggu di luar dengan mobil mewah nya. Rasanya citra ingin sekali melampiaskan kemarahan nya tapi tubuh Citra tidak bisa dia kendalikan, mungkin efek obat yang dia konsumsi tadi.
"Dari mana saja, Nona? Saya khawatir sekali," kata Pak Arif dengan nada prihatin.
"Ke rumah, Pak Arif. Cepat," jawab Citra dengan suara gemetar menahan marah dan juga tangis
Dalam perjalanan pulang, Citra merenungkan apa yang baru saja terjadi. Ia merasa malu dan marah pada dirinya sendiri. Perasaan kosong itu semakin menghantuinya, membuatnya sadar bahwa mungkin sudah saatnya mencari cara lain untuk menemukan kesenangan lain.
.
Setelah kejadian memalukan di klub malam, Citra merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia merasa lelah dengan kehidupan glamor yang selama ini dijalaninya. Meskipun memiliki segala yang diinginkan, mulai dari kekayaan, kemewahan, hingga teman-teman yang selalu ada di sekitarnya, perasaan kosong itu tetap ada dan semakin menguat.
Keesokan harinya, Citra bangun dengan perasaan gelisah. Ia berjalan ke balkon kamarnya dan menatap pemandangan kota dari atas. Cahaya matahari pagi menyinari wajahnya, tetapi tidak mampu mengusir awan kelabu yang terus membayangi hatinya. Citra merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya, namun ia belum bisa mengidentifikasi apa itu.
Citra memiliki segalanya, namun tidak pernah merasakan cinta dan perhatian yang tulus dari orang tuanya. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan dan bisnis, meninggalkan Citra dalam kemewahan tanpa bimbingan atau kasih sayang yang nyata.
Ayahnya, seorang pengusaha sukses, selalu mengajarkan pentingnya kerja keras dan disiplin, tetapi tidak pernah hadir dalam momen penting hidupnya. Ibunya, seorang sosialita terkenal, lebih sering bepergian daripada berada di rumah.
Malam itu, Citra duduk di balkon kamarnya dan membuka album foto lama. Di sana, ia melihat foto-foto masa kecilnya, saat ia masih bahagia dan tidak terbebani oleh ekspektasi orang lain. Dalam foto-foto itu, ada senyum yang tulus dan keceriaan yang murni. Citra menyadari bahwa kebahagiaan sejatinya tidak pernah datang dari harta atau pesta, melainkan dari momen-momen sederhana bersama orang-orang yang ia cintai.
Di tengah renungannya, Citra teringat akan neneknya yang dulu sering bercerita tentang arti kebahagiaan sejati. Neneknya selalu mengatakan bahwa kebahagiaan datang dari dalam hati, dari rasa syukur dan kasih sayang. Citra merasa sudah terlalu lama mengabaikan nasihat neneknya, terlalu sibuk mencari kebahagiaan di tempat yang salah.
.
Citra duduk di meja riasnya, merenung dengan perasaan yang campur aduk. Pikirannya dipenuhi keraguan dan ketakutan, namun ia tahu bahwa ia harus berbicara dengan orang tuanya. Hari ini adalah titik balik dalam hidupnya.
Setelah berjam-jam merenung Citra memutuskan untuk menghadapi orang tuanya dan mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam. Dengan langkah tegas, ia meninggalkan kamarnya menuju ruang makan, di mana ayah dan ibunya sedang makan malam.
Di ruang makan, suasana yang awalnya hangat berubah menjadi tegang saat Citra memasuki ruangan. "Ayah, Ibu, kita perlu bicara," kata Citra dengan nada tajam.
Pak Surya, ayah Citra. menatapnya dengan kening berkerut. "Ada apa, Citra? Kenapa bicaramu seperti itu?"
Citra menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. "Aku merasa hidupku hampa. Semua kemewahan ini tidak memberikan kebahagiaan yang sejati."
Bu Dina ( Ibu Citra ) menggelengkan kepala. "Citra, kamu punya segalanya. Apa lagi yang kamu inginkan? Kami memberikan yang terbaik untukmu."
"Tapi kalian tidak pernah hadir untukku! Aku selalu sendirian, meskipun dikelilingi oleh harta dan teman-teman palsu. Kalian terlalu sibuk dengan urusan kalian sendiri," balas Citra dengan suara bergetar.
Pak Surya meletakkan sendoknya dan menatap Citra dengan serius. "Citra, kehidupan ini tidak mudah. Kami bekerja keras untuk memastikan kamu memiliki segala yang kamu butuhkan."
"Apa gunanya semua itu jika aku tidak pernah merasakan cinta dan perhatian dari kalian? Aku butuh lebih dari sekadar uang," kata Citra sambil menahan air mata yang mulai mengalir.
Pak Surya mengernyit, merasa tersinggung oleh kata-kata Citra. "Kamu tidak tahu seberapa beratnya usaha yang kami lakukan untuk mencapai semua ini. Kamu tidak bisa begitu saja mengabaikan apa yang telah kami korbankan."
Citra merespons dengan suara yang lebih tegas.
"Aku tidak mengabaikan kerja keras kalian, Ayah. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan hampa yang aku rasakan setiap hari. Aku butuh kehadiran kalian, bukan hanya materi."
"Kehadiran kami? Setiap hari kami bekerja untuk memastikan masa depanmu terjamin. Itulah bentuk cinta kami." Ujar Pak Surya dengan nada tinggi
Citra menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. "Masa depan yang terjamin, tapi masa kini yang kosong. Aku merasa seperti asing di rumahku sendiri. Tidak ada percakapan yang berarti, tidak ada momen kebersamaan."
Pak Surya menggelengkan kepala, tampak frustasi. "Kamu terlalu manja, Citra. Hidup ini tidak hanya tentang perasaan. Kami harus memastikan kamu bisa hidup dengan nyaman dan aman kelak nantin.”
Citra menggelengkan kepala dengan putus asa. "Ini bukan soal manja, Ayah. Ini tentang rasa kesepian yang terus menghantui. Aku butuh lebih dari sekadar kenyamanan materi. Aku butuh perhatian, cinta, dan pengertian."
Pak Surya menatap putrinya dengan tatapan keras. "Perhatian? Cinta? Apakah kamu tidak melihat semua yang telah kami lakukan untukmu sebagai bukti cinta kami?"
Citra menghela napas panjang. "Cinta yang hanya berupa uang dan kemewahan belum cukup. Aku ingin merasakan kehadiran kalian di hidupku, berbicara, berbagi cerita, merasakan kehangatan keluarga yang sesungguhnya."
Pak Surya merapatkan bibirnya, seakan menahan kata-kata yang ingin dilontarkannya. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan suara yang lebih lembut namun tegas.
"Citra, cinta kami mungkin tidak terlihat seperti yang kamu inginkan, tapi itu bukan berarti tidak ada. Kami mencintaimu dengan cara kami."
Citra menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.
"Cara yang membuatku merasa sendirian, Ayah. Aku ingin hubungan yang lebih dekat dengan kalian. Aku ingin merasa dicintai, bukan hanya diberi."
Pak Surya terdiam, merasa tertantang oleh kata-kata putrinya. Ia menyadari bahwa meskipun ia telah memberikan segalanya dalam bentuk materi, ia mungkin telah mengabaikan kebutuhan emosional Citra. Namun, kebanggaan dan egonya membuatnya sulit untuk mengakui kekurangan tersebut.
Setelah melepas keluh kesahnya di depan orang tua, Citra kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Perdebatan tadi membuatnya merasa lelah, tetapi juga ada perasaan lega karena telah mengungkapkan apa yang selama ini terpendam di hatinya. Namun, ada juga rasa kesal yang tak bisa ia abaikan. Bagaimana mungkin orang tuanya tak bisa memahami apa yang ia rasakan?
Malam ini, Citra sudah ada janji dengan teman-temannya untuk pergi ke club langganannya. Tempat itu adalah satu-satunya pelarian baginya, di mana ia bisa melupakan sejenak segala masalahnya dan menikmati gemerlap dunia malam. Tanpa banyak berpikir, ia membuka lemari pakaian dan memilih pakaian yang biasa ia kenakan saat keluar malam.
Citra mengenakan crop top hitam yang menonjolkan kulitnya yang cerah, jaket denim hitam yang kasual namun chic, dan celana pendek warna senada dengan manik-manik permata yang berkilauan. Selesai berdandan dan merias wajahnya dengan makeup yang sempurna, Citra melihat dirinya di cermin. Ia tersenyum kecil, merasa puas dengan penampilannya yang memancarkan kepercayaan diri dan kekuasaan.
Citra memutuskan untuk mengemudi sendiri, melawan kebiasaannya yang selalu mengandalkan sopir pribadi. Ketika ia membuka pintu garasi besar keluarga Surya, aroma khas cat mobil dan kulit asli menyambutnya. Di depan matanya, deretan mobil mewah terpajang rapi, seolah memamerkan kekayaan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Matanya terpaku pada coupe hitam dengan aksen merah mencolok—mobil yang dulunya sering ia kemudikan sebelum tenggelam dalam kenyamanan hidup yang diatur orang lain.
Ia menyalakan mesin, dan suara gemuruh yang menggelegar memicu semangat yang sudah lama pudar. Citra melesat keluar dari gerbang, menembus malam dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang lengang memberinya kesempatan untuk merenung, membiarkan pikirannya melayang bebas.
Saat Citra melaju di jalanan kota dengan kecepatan tinggi, pikirannya melayang-layang. Ia mengingat kembali perdebatan dengan orang tuanya dan betapa tidak dipahaminya ia oleh mereka. Di sisi lain, ada rasa puas terselubung—perasaan bahwa ia mampu bertahan dan tetap mendapatkan apa yang diinginkannya.
“Aku bisa mengatasi ini. Aku tak butuh mereka… Aku tak butuh siapa pun. Mereka yang tidak mengerti, bukan aku.” Citra terus bergumam disepanjang perjalanan
Namun, di persimpangan jalan yang sepi, pandangannya kabur oleh angan-angan dan emosi yang bercampur aduk. Ia tidak menyadari ada seseorang yang tengah menyeberang di depan mobilnya hingga terlambat.
Dentuman Keras
Mobil itu berhenti mendadak, suara dentuman keras memecah malam yang tenang. Jantung Citra berdegup kencang, dan tubuhnya gemetar karena benturan. Ia terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Perlahan, ia keluar dari mobil dengan langkah yang goyah.
Di jalan yang diterangi lampu-lampu kota yang temaram, tergeletak sosok seseorang yang tak bergerak. Orang-orang mulai berkumpul di sekitar, beberapa mulai memanggil ambulans, sementara yang lain memandang Citra dengan tatapan penuh tuduhan.
“Kamu menabraknya! Kamu harus bertanggung jawab!" teriak seorang pria dari kerumunan, suaranya menggema dengan amarah.
Namun, Citra tidak gentar. Dengan wajah datar dan mata yang kosong, ia menatap mereka tanpa perasaan. "Berapa pun uang yang kalian minta, aku akan membayarnya. Ini bukan masalah besar," ujarnya dengan nada dingin, seolah nyawa yang hilang hanyalah sekadar angka di buku tabungan.
Yang tadinya suasana sangat ramai dengan teriakan dan juga umpatan pada Citra seketika hening mendengar perkataan Citra.
Orang-orang di sekitarnya tercengang, terkejut dengan ketidakpedulian yang ditunjukkan Citra. Mereka tidak dapat memahami bagaimana seorang gadis yang tampak anggun dan berkelas bisa begitu dingin.
Ibu korban tertegun mendengar kata-kata Citra. Hatinya terasa hancur seolah-olah dunia runtuh di sekelilingnya. Tangannya masih gemetar kemudian ia jatuh berlutut di samping tubuh anaknya yang sudah tergeletak di jalan dan tidak bernyawa.
"UANGGGGG? Kau pikir uang bisa mengembalikan nyawa anakku? Kau pikir uang bisa menghapus rasa sakit ini?" Teriak ibu korban sambil menunjuk Citra
Tiba-tiba seorang pria parubaya mendekat, dia adalah ayah korban. Wajahnya yang kusut dan penuh duka kini tampak memerah oleh kemarahan yang terpendam. "Apa kau tidak punya hati? Anak kami satu-satunya, harapan kami, kini telah tiada! Dan kau hanya bicara soal uang?!"
Citra mendengus pelan, seolah tak terganggu oleh kemarahan yang meluap di hadapannya. "Uang adalah segalanya di dunia ini. Dengan uang, kalian bisa melanjutkan hidup kalian. Jangan buat ini lebih sulit," ucapnya dingin, lalu ia dengan santai merogoh tas tangan mahalnya, mengeluarkan sebuah kartu nama berlapis emas dan melemparkannya ke tanah di depan pasangan itu.
"Ini, hubungi ayahku. Katakan berapa yang kalian inginkan," lanjutnya tanpa menoleh lagi pada wajah-wajah penuh kepedihan itu. Citra mulai melangkah pergi, meninggalkan orang-orang yang menatapnya dengan penuh kebencian.
Wanita paruh baya itu mengambil kartu nama yang tergeletak di tanah, pandangannya buram oleh air mata. "Kau pikir uang bisa membeli segalanya, tapi kau salah. Kau akan mendapat balasan atas perbuatanmu ini." Suaranya rendah, hampir seperti bisikan, namun penuh dengan tekad yang menyala di balik duka.
Citra hanya tersenyum tipis selayak nya meremehkan mereka tanpa menghiraukan lagi. Di dalam pikirannya, dia merasa dirinya masih di atas angin, tak tersentuh oleh amarah atau kesedihan mereka.
Namun, benih-benih dendam mulai tumbuh di hati pasangan parubaya itu, dan mereka tahu bahwa tidak ada uang yang bisa menghapus keadilan yang mereka cari.
.
Citra tiba di club favoritnya dengan perasaan masih kacau, namun ia berhasil menutupi semuanya dengan senyuman tipis saat bertemu teman-temannya di dalam. Mereka langsung menyambutnya dengan ceria, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Namun, meskipun Citra mencoba untuk larut dalam musik keras dan gemerlap lampu, bayangan wajah orang yang ia celakai terus menghantui pikirannya. Setiap kali ia menutup mata, bayangan itu semakin jelas. Tapi, seperti biasa, Citra menolak untuk menunjukkan kelemahannya. Ia tetap tersenyum, tertawa, dan menari sambil menenggak sekloci minuman , berusaha keras untuk mengubur rasa bersalah yang mulai muncul di hatinya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!