NovelToon NovelToon

Ketentuan

BAB 1

Seorang gadis yang baru saja turun dari sebuah bus, berangkat dari terminal Arjosari Malang dengan tujuan terminal Bungurasih Surabaya. Gadis itu berbalut jilbab pastel rawis dan tengah melambaikan tangan pada seorang waita paruh baya yang berada diseberang jalan. Indara Putri Khairul, seorang gadis yang baru saja menamatkan kuliahnya di Malang, lebih memilih untuk tinggal dan membantu usaha bakery bude’nya di Surabaya. Walaupun di tempat kediamanannya, Yogyakarta memiliki kedua orang tua mempunyai W.O yang terbilang cukup sukses.

Gadis tersebut ingin lebih lama tinggal di Jawa Timur tepatnya di Surabaya tempat sang mama dilahirkan. Walaupun cuaca Surabaya terbilang panas namun tak menghentikan niat gadis itu untuk tetap tinggal beberapa lama dengan sang bude’. Hayatunnufus atau akrab disapa bude’ Aya oleh Indara sudah menjadi single parents untuk kedua putranya sejak sepuluh tahun yang lalu.

“Budeeee’.” Indara melambaikan tangan sambil berlari kerah bude’nya.

“Assalamualaikum sayang.” Sapa Bude’ Aya dengan senyum manis sambil berdiri didepan mobilnya.

“Hehehe, lupa bude’. Waalaikumussalam.” Jawab Indara.

“Ya udah, ayo pulang. Tas jinjing kamu dimasukin bagasi ya.” Ajak bude’ Aya padanya.

“Siip bude’.”

Memang dari Malang Indara membawa ransel yang berisi laptop dan tas jinjing yang berukuran cukup besar. Barang-barannya telah lebih dulu dikirim, sebagian dikirim ke Yogya tempat orang tuanya dan sebagian lagi dikirim ke Surabaya tempat bude’nya. Barang-barang yang dikirim ke Surabaya adalah beberapa barang yang memang dibutuhkan oleh Indara.

Indara adalah sosok yang periang dan humble, namun jika bertemu dengan orang baru maka ia akan diam seribu bahasa atau bahkan menjadi acuh tak acuh.

Setelah memasukkan tas jinjingnya ke dalam bagasi mobil Indara pun masuk dan duduk disamping bude’nya yang siap untuk membawa mereka kerumah. Sepanjang jalan mereka tak henti-hentinya bercanda. Walaupun baru beberapa minggu lalu bude’ Aya ke Malang untuk menghadiri wisudanya tentu dengan kedua orang tuanya, dan tak ketinggalan kedua putra bude’nya.

“Kira-kira motornya Indara kapan nyampe Surabaya bude’ ? Tanyanya pada Bude’ Aya perihal motor yang dikirimnya.

“Kata mas Arfanmu sih ntar sore atau paling lambat besok Ra.” Jawab bude’ Aya yang tetap fokus menyetir.

“Hmm, okeh-okeh bude’.”

“Kamu udah makan Ra ?” Tanya bude’.

“Belum bude’, tadi dikosan sempat mengharu biru gitu bude’. Katanya mereka sedih pisah sama Ara. Trus peluk-pelukan gitu deh bude’." Terangnya sambil mempraktekkan adegan pelukan dengan teman kosannya pada bude’ Aya. “Eh Ara nggak sempat makan dong, soalnya mas ojek online yang nganter Ara udah didepan kosan. Padahal tadi udah beli makan, trus Ara kasih buat teman samping kamar Ara.” Jelasnya lagi tanpa melepas pelukan dari bude’nya.

“Hmm, ya udah. Hari ini mbak Ila (Istri Arfan) sama mbak Iza (Istri Akmal) ada dirumah kok. Tadi mereka niatnya ke bakery tapi bude’ tahan dulu dirumah, bude’ suru masak dulu buat kita.” Ucap bude’ Aya dengan cekikan mengingat tadi dia mencegat kedua menantunya.

“Waaah, pasti enak tuh bude’. Yeee dimasakin.” Ucap Indara senang.

“Enak masakan bude’ atau masakan kedua mbakmu ?” tanya bude’.

“Enak masakan mama bude’. Hahaha.” Jawabnya langsung.

“Berarti masakan bude’ nggak enak ni ? Berarti kalau bude’ ngirim makanan kekamu pas masih ngekos nggak dimakan ni ?” Ucap bude’ dengan nada bercanda.

“Enak kok bude’ enaaaaak banget. Ara suka.” Jawabnya dengan mengangkat kedua jempolnya. “Tapi, masakan mama juga nggak kalah enak sama masakan bude’.”

“Hmm.” Jawab bude’ Aya singkat dan memperlihatkan senyum tipis.

“Kapan Ara bisa mulai kerja bude’ ?” Tanya nya kembali pada Bude’ Aya.

“Kapan kamu mau aja Ra.” Jawab bude’ dengan singkat, karena memang ia tak ingin membebani keponakannya itu.

Bude’ Aya sudah menganggap Indara seperti anak sendiri, karena tidak mempunyai anak perempuan. Sehingga begitu menyayangi Ara anak dari adik satu-satunya itu.

***

Sesampainya dirumah bude’ Aya, Indara langsung membuka pintu bagasi mobil dan mengambil tas jinjingnya. Sementara bude’ Aya sudah lebih dulu menyapa kedua menantunya yang tengah berada diruang keluarga untuk sekedar bersantai setelah memasak dan dibantu oleh asisten rumah tangga mertuanya.

“Assalamualaikum semuaaaa.” Sapa Indara dan merentangkan tangannya sehingga membuat tas jinjingnya menyentuh lantai teras rumah bude’ Aya.

“Waalaikumussalam.” Jawab bude’ Aya dan kedua menantunya.

“Ini nggak ada yang mau peluk Ara ?” Tanyanya dan membawa tas jinjing juga ranselnya yang kini juga menjadi tas jinjing.

Indara melihat kedua kakak iparnya itu dan mamanyunkan bibirnya. “Jadi nggak ada yang kangen aku nih ?” tanyanya sekali lagi.

“Kangen kok, tapi nggak banyak.” Jawab Gamila dan memeluk adik sepupu dari suaminya itu.

“Hehehehe.” Indara membalas pelukan Gamila. “Ehhh ponakan tante sudah besar yah ternyata. Huuuuu.” Ucapnya sambil mengelus perut buncit Gamila dengan gemas.

Lafiza mengelus punggung Ara dan membuatnya langsung berbalik berhadapan dengan istri Akmal yang baru beberapa bulan lalu menikah.

“Kangen kan ke Ara ?” Tanyanya dengan menggoda.

Iza cuma bisa mengangguk kecil dan memeluk Indara.

“Ini sudah ada isinya ?” Tanya Indara sambil mengelus perut rata milik Iza.

“Sudah, untuk sementara ini masih lemak dan makanan. Doakan ya dek.” Jelas Iza dengan kekehan kecil.

Penjelasan Iza langsung menimbulkan tawa bagi keempat wanita yang berada diruang keluarga tersebut.

“Sudah, sudah, ayo makan dulu. Katanya tadi Ara belum makan kan ?” Tanya bude’ Aya sambil berdiri dari tempat duduknya.

“Iya, Ara belum ada makan dari tadi. Tadi pagi cuma makan roti sama minum air aja.” Jawabnya sambil berjalan menuju dapur.

“Mas Arfan dan Akmal akan pulang ma. Mereka sedang dalam perjalanan katanya. Nggak apa-apa kan ma nunggu mereka dulu ?” Tanya Gamila.

“Iya ma.” Ucap Lafiza kemudian.

“Iya sudah nggak apa-apa. Ara nggak apa-apa kan nak, nunggu kedua masmu pulang dulu ?” Tanya Bude’ Aya yang kini mendaratkan bokongnya kembali kesofa.

“Hmm, iya udah deh nggak apa-apa. Ara ngemil aja dulu kali yah.” Ucapnya tanpa menghentikan langkah yang awalnya menuju meja makan dan sekarang menuju depan kulkas.

Dibukanya pintu kulkas dan melihat beberapa jenis makanan yang bisa mengganjal perutnya. “Bude’ Ara bisa makan yang mana ini ?” Tanyanya pada Bude’ Aya.

“Apa aja yang kamu mau nak.” Jawab bude’ dari arah ruang keluarga.

Indara kembali keruang keluarga dengan membawa beberapa buah dan beberapa potongan cake yang tersaji dalam satu piring.

“Ayo mbak makan.” Ajaknya pada kedua kakak iparnya.

“Kamu aja dek, kita tadi sudah ngemil juga kok.” Tolak Iza dengan halus dan melanjutkan pandangannya ke depan TV.

“Ya udah.” Timpal Indara.

“Ra, nanti kamar kamu disamping kamar bude’ ya nak. kamar yang biasa kamu pake.” Terang bude’ Aya tanpa mengalihkan pandangannya dari depan TV.

“Siap bude’.” Katanya singkat dengan mulut yang dipenuhi oleh buah yang digigitnya.

“Barang-barangmu yang kemarin dikirim sudah kami atur juga dek. Ntar kamu bisa ganti tempatnya kalau ada yang meurutmu nggak enak diliat.” Ucap Gamila, dan mengalihkan pandangannya pada Ara yang sibuk mengunyah.

“Hmmm, makasih mbak-mbakku yang cantik. Sayang deh.” Ucap Indara dengan penuh semangat karena ia hanya akan mengatur barang-barang yang dibawanya tadi.

Dari arah pintu terdengar suara dua orang laki-laki yang memberi salam.

“Assalamualaikum.” Salam Arfan dan Akmal.

“Waalaikumussalam.” Ucap keempat wanita yang sedang berada diruang keluarga itu.

Kemudian dengan setengah berlari Ara menuju pintu dan melihat kedua kakak sepupunya itu.

“Maaas.” Kemudian menyalami kedua kakak sepupunya itu.

Lama diperhatikan kedua kakak sepupunya itu, hingga kedua laki-laki itu menjadi salah tingkah.

“Makin jelek.” Ujarnya singkat dan mendahului kedua laki-laki tersebut menuju ruang keluarga.

“Astaga mas. Tu anak nggak ada berubah-berubahnya.” Ujar Akmal yang tak terima dengan ucapan Indara.

“Kamu mungkin yang makin jelek.” Ucap Arfan mengejek adiknya dan berjalan mengikuti Indara.

Sementara Akmal hanya mendengus kecil dan mangikuti saudaranya.

“Mama, nggak salah ngajak dia tinggal disini. Ketenangan mama bisa terusik ntar.” Celetuk Arfan setelah menyalami bude’ Aya dan mencium sang istri. Hal yang sama juga dilakukan oleh Akmal.

"Nggak apa-apa ketimbang rumah ini sepi Fan. Biar kami bertiga makin banyak teman rumpi. Ntar takut-takut juga kalau ada maling biar dia yang jadi sirenenya." Jawab Bude' Aya setengah menggoda.

Mendengar ucapan bude’ Aya sontak membuat semuanya tertawa. Sementara Indara masih sibuk mengunyah dan menatap Arfan dengan sengit.

“Ayo makan dulu. Kasian Arfan sama Akmal kan ntar harus balik kekantor lagi.” Ajak bude’ Aya dan beralih dari tempat duduk. Kemudian diikuti oleh yang lainnya.

Arfan dan Akmal bekerja disalah satu perusahaan swasta di Surabaya, namun keduanya tidak sekantor. Keduanya sering terlihat disatu mobil karena kantornya searah.

BAB 2

Keluarga yang tadi sempat berada diruang keluarga kini tengah menikmati makan siangnya. Kali ini makan siang itu berbeda karena ada Indara yang tinggal bersama bude’ Aya dalam batas waktu yang belum ditentukan.

“Motormu akan sampai nanti sore kayaknya Ra, atau paling lambat besok pagi.” Ucap Arfan membuka pembicaraan.

“Iya mas, tadi bude’ udah ngamong.” Timpalnya yang masih sibuk mengunyah. “Kenapa makanan ini enak. Tidak seperti yang aku buat. Padahal ini sama-sama ayam kecap.” Ucapnya pelan.

“Iya karena mbak-mbakmu sama bu Titi yang masak, makanya enak.” Celetuk Akmal yang mendengar gerutu Indara.

Indara hanya menatap Akmal sesaat, “padahal tadi aku sudah ngomong pelan-pelan tapi masih didengar juga.” Gerutunya.

“Ucapan pelanmu saja mampu membuat kita semua yang disini mendengarnya, apalagi teriakanmu mungkin akan mampu didengar oleh seantero perumahan ini.” Celetuk Arfan yang selalu menggoda Indara.

Indara hanya melihat Arfan dengan tatapan kesal tanpa berniat mengomentari ucapan sepupunya itu. Sedangkan bude’ Aya, Gamila, dan Lafiza hanya menggeleng dan tersenyum kecil melihat kelakuan ketiganya.

Setelah menyelesaikan makan siang, Arfan dan Akmal langsung kembali kekantornya. Bude’ Aya memilih untuk duduk bersantai di ruang keluarga tempat mereka berkumpul tadi. Indara sibuk membantu kedua kakak iparnya untuk membereskan meja makan dan mencuci piring sedangkan asisten rumah tangga bude’ Aya sedang membuat beberapa macam bumbu dapur.

Tepat setelah mencuci piring terdengar suara bude’ Aya yang memanggil Indara karena dari tadi HP gadis cantik tersebut berdering. Dengan segera Indara berlari menuju ruang keluarga tempat ranselnya berada dan meraih HP dalam kantong ranselnya.

Dilihat layar HP, ternyata sang mama melakukan panggilan video dengannya. Kemudian diusapnya lingkaran hijau pertanda bahwa dia menyambungkan panggilan tersebut dengan sang mama.

“Assalamualaikum maa.” Salam Indara.

Waalaikumussalam sayang, sudah sampai ditempat bude’ ? Tanya sang mama.

“Sudah beberapa waktu yang lalu ma. Ini bude’. Jawabnya dan mengalihkan HP kearah bude’ Aya.

Syukurlah, mbak titip dia ya. Kalau nakal pukul aja nggak apa-apa. Ucap Lestari sambil terkekeh pada kakaknya.

“Iya dek, kalau macam-macam kusuruh dia buat adonan roti. Hahaha.” Timpal bude’ Aya.

“Papa mana ma ?” Tanya Indara yang mencari keberadaan sang papa, dan kemudian mengalihkan HP kembali padanya.

Lagi nemuin klien sayang. Oh iya mungkin beberapa hari kedepan mama nggak bisa sering-sering ngabarin yah sayang. W.O. lagi sibuk-sibuknya ini, nggak apa-apa kan ? Tanya Lestari pada putri satu-satunya.

“Iya ma, nggak apa-apa.” Jawab Indara singkat.

“Hay tante Esta.” Panggil Gamila dan lambaian tangan dari Lafiza yang berjalan dari arah mushollah.

Hay, dua ponaan tante. Kalian apa kabar ? Ila sehat ? Iza juga sehat kan ? Tanya Lestari dengan semangat dari seberang telepon.

“Iya tante Alhamdulillah sehat.” Jawab Gamila dan Lafiza.

Ya udah yah nak, mama tutup dulu. Sampai jumpa. Baik-baik dibude’ mu. Nasehat Lestari pada Indara.

“Iya ma. Assalamualaikum.” Ucap Indara dan melambaikan tangan.

Waalaikumussalam.

Setelah memutuskan panggilan video dengan sang mama, Indara kini tengah beranjak dari tempat duduk akan meraih ransel dan tas jinjingnya untuk dibawa kekamar.

“Ara.” Panggil bude’ Aya.

“Iya kenapa bude’ ?” Tanya Indara dan mengurungkan niatnya untuk meraih ransel dan tas jinjingnya.

“Bude’ sama mbak-mbak mu ke toko yah nak. Nggak apa-apa kan kamu disini sama bu Titi ?” Tanya Bude’ Aya.

“Iya nggak apa-apa bude’. Bude’ kapan pulangnya ?” Tanyanya kembali.

“Paling nanti sore atau sehabis Magrib nak.” ucap Bude’ Aya dan tengah bersiap untuk ke toko.

“Mbak Ila sama mbak Iza juga pulang kesini kan ntar ?” Tanyanya lagi pada kedua kakak iparnya.

“Nggak dek. Kan mbak Ila sama mbak Iza harus pulang kerumah. Nanti kan dijemput sama masmu ditoko.” Jelas Iza yang tengah sibuk menyelempangkan tasnya.

“Hmm, ya udah.” Jawabnya singkat dengan nada kecewa kemudian mengambil ransel dan tas jinjingnya.

Bude’ Aya berjalan kearah dapur, rupanya ia menitipkan Indara pada bu Titi. Kemudian segera beralih menuju ruang keluarga tempat kedua menantunya menunggu.

“Bude’ udah ngomong ke bu Titi. Ara kalau ada apa-apa ngomong ke bu Titi ya nak.” nasehat Bude’ Aya.

“Iya bude’. Hati-hati ya.” Kemudian menyalami ketiga wanita yang berada didepannya itu.

“Kita pamit yah.” Ucap Bude’ Aya. “Assalamualaikum.” Pamit ketiga wanita berhijab itu dan segera beranjak dari ruang keluarga.

“Waalaikumussalam.” Jawab Ara, kemudian beralih menuju kamarnya yang berada dilantai dua.

Sesampainya dikamar Indara dibuat terkagum-kagum dengan rapinya kamar yang ditata oleh kedua kakak iparnya. Dihempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.

“Huuuu, nyamannya.” Ucapnya sambil membuat gerakan kupu-kupu dengan kedua tangan dan kakinya.

Sesaat kemudian dilihatnya jam yang berada dipergelangan tangannya. “Astaga, sudah jam setengah dua, dan aku belum sholat Dzuhur. Kok nggak ada yang ngingetin aku sih.” Gerutunya dan segera membuka jilbab kemudian berjalan menuju mushollah yang berada disamping dapur.

Setelah melakukan sholat Dzuhur dia berjalan menuju belakang dan dicarinya bu Titi yang masih sibuk membuat bumbu dapur dan sekarang terlihat tengah mengupas bawang merah.

“Bu Titi apa kabar ?” Tanya Indara.

“Ehh, mbak Ara. Alhamdulillah baik mbak.” Jawab bu Titi tanpa menghentikan pekerjaanya.

“Saya bantu boleh bu Titi ?” Tanyanya kemudian.

“Nggak usah mbak, ini sudah mau selesai kok. Ntar tinggal diiris aja pake alatnya.” Tolak bu Titi halus.

“Emang mau buat apa bu ?” Tanyanya lagi.

“Buat bawang goreng mbak.” Jawab bu Titi lembut.

“Ya udah bu, saya kekamar dulu ya. Ntar kalau udah Ashar minta tolong bangunin saya bu, kali aja saya ketiduran.” Ucap Indara.

“Oke mbak.”

Kemudian Indara beranjak kekamarnya, dan benar saja belum ada lima menit kepalanya menyentuh bantal dia langsung menyelami alam mimpi.

Tok tok tok

Terdengar suara ketukan pintu dari balik kamarnya, membuat Indara mengerjap beberapa kali dan mulai menyadarkan diri.

“Mbak Ara, ini sudah Ashar mbak.” Suara Bu Titi terdengar ditelinganya.

“Oh iya bu ini sudah bangun kok.” Jawabnya dengan suara sedikit parau karena baru saja terbangun dari tidur.

Diraihnya Jam weker yang ada di atas nakas samping tempat tidur, ternyata sudah menunjukkan pukul 15:45. Dengan segera ia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri juga berganti baju, kemudian berjalan menuju mushollah.

Kewajiban Asharnya kini sudah terselesaikan, ia mengedarkan pandangannya. Rupanya ia melihat Bu Titi yang sedang memasak. Dilangkahkan kakinya menuju dapur untuk menemui Bu Titi.

“Bu saya bisa bantu apa ?” Tanyanya pada Bu Titi.

“Nggak apa-apa mbak ?” Tanya Bu Titi.

“Iya nggak apa-apa bu.”

“Ya udah, mbak Ara potong-potong bumbu sama sayur-sayur aja ya. Biar ibu yang masak-masak.” Nego bu Titi.

“Okeh bu.” Kemudian mengambil pisau dapur yang tadi sempat dipegang oleh bu Titi.

“Hmmm bu, anak ibu yang perempuan itu di mana ?” Tanya Indara.

“Naura yang mbak maksud ?” Tanya Bu Titi.

“Namanya Naura ? Bagus bu namanya.” Ucapnya sambil memotong sayur.

“Iya mbak. Dia bantu-bantu ditoko mbak. Kalau pulang kuliah biasanya langsung ke toko. Kalau toko tutup baru pulang mbak. ” Ucap Bu Titi.

“Ohhh jadi dia juga di toko bu ? Waaah asyik dong aku punya teman yang serumah juga di toko selain bude’.” Ujar Indara dengan semangatnya.

Bu Titi dan Naura memang tinggal dirumah Bude’ Aya karena Bu Titi dari keluarga yang kurang mampu. Suaminya sudah lama meninggal dunia sehingga bude’ Aya meminta bantuan Bu Titi untuk mengurus rumahnya. Sedangkan Naura membantu Bude’ Aya untuk mengurus toko.

Namun karena selama ini Indara hanya berkunjung barang satu atau dua hari kerumah bude’nya selama masih kuliah di Malang. Membuatnya tidak terlalu akrab dengan Naura yang dua tahun dibawahnya.

“Bu, biasanya bude’ pulang jam berapa ?” Tanya Indara kembali.

“Tergantung mbak, kadang sampai toko tutup, atau biasanya sebelum tutup.” Jawab bu Titi.

“Hmm, ini udah bu. Ara kekamar dulu nggak apa-apa bu ? saya mau beres barang-barang dulu.” Ucap Indara.

“Iya mbak nggak apa-apa. Makasih mbak udah bantu ibu.” Kata Bu Titi.

“Siip bu.” Ucap Indara dan melangkah menuju kamarnya.

Indara terlihat sibuk merapikan barang-barang dan memasukkan pakaiannya ke lemari. Hingga tak terasa kini suara sholawatan dari arah masjid mulai terdengar, menandakan bahwa waktu Magrib akan segera tiba.

Indara yang sudah membereskan pakaiannya kedalam lemari, segera turun untuk menunggu waktu Magrib di ruang keluarga. Tak lama mulai terdengar suara adzan dari arah masjid, dan bergegas ia menuju mushollah. Ternyata disana sudah ada bu Titi.

Dua wanita beda generasi itu larut dalam sholatnya, hingga salam dan dilanjutkan dengan doa. Setelah berdoa bu Titi memilih untuk beranjak dari mushollah dan menuju dapur untuk mempersiapkan makan malam. Sementara Indara memilih untuk membaca Al-Qur’an.

Sudah beberapa tahun ini Indara mulai mantap dan tak melepas pasang jilbabnya. Ia juga mulai memperdalam ilmu agama dengan mendengarkan ceramah-ceramah dimedia online dan kadang juga mendengarkan murottal.

Hingga waktu Isya berlalu belum juga ada tanda-tanda Bude’ Aya akan pulang. Kini Indara sedang berada dimeja makan sambil mengecek ponselnya dengan masih mengenakan mukenah.

“Bu Titi, kok bude’ belum pulang.” Tanyanya pada bu Titi yang sedang mengupas buah untuknya.

“Mungkin masih diperjalanan mbak. Paling sebentar lagi pulang kok.” Hibur Bu Titi padanya.

“Oh iya bu. Apa setiap akan masuk waktu Magrib dan setelah adzan ada orang yang sholawatan di masjid bu ?” Tanyannya pada bu Titi karena diliputi dengan rasa penasaran.

“Iya mbak, nggak jauh dari rumah ada pondok pesantren makanya tiap hari akan terdengar suara orang sholawatan dari arah masjid.” Jawab bu Titi dengan jelas sembari membawa beberapa potongan buah untuk Indara.

“Ooo, kok saya nggak tau ya bu kalau gitu. Hehehe.” Ucapnya pada bu Titi.

“Iya kan biasanya mbak kesini cuma nginap sehari dua hari, itupun keluar jalan-jalan sama Ibu Haya dan kadang malam baru pulang. Ya pantas mbak Ara ndak tau toh.” Jelas bu Titi.

“Oh iya ya bu. Hehehe.” Ucapnya dengan cengengesan.

Setelah menunggu beberapa lama terdengar suara mobil yang berhenti didepan rumah Bude’ Aya.

“Nah itu Ibu pulang mbak.” Ucap Bu Titi dan berlari kecil menuju luar rumah untuk membuka gerbang.

“Assalamualaikum.” Terdengar salam dari dua orang yang sedang berada diambang pintu.

“Waalaikumussalam.” Jawab Indara dan segera menghampiri dan menyalami bude’ nya.

“Ara, ini Naura nak. Anaknya bu Titi. Kamu udah tau kan ?” Tanya Bude’ Aya pada ponakannya itu.

“Iya bude’ tau. Tapi baru tadi tau namanya dari bu Titi. Hehehe.” Jawabnya dengan cengengesan.

“Hay aku Indara, panggil saja cantik yah.” Ucap Indara dan mengulurkan tangan pada Naura.

“Iya aku Naura mbak cantik.” Ucap Naura dengan sopan dan menerima uluran tangan Indara dengan senyum kecil.

“Eh, beneran aku dipanggil cantik bude’.” Ucapnya yang setengah terkejut ternyata Naura memanggilnya seperti yang dimintanya. Bude’ Aya dan Bu Titi hanya terkekeh melihat ekspresi Indara. “Terima kasih.” Ucapnya pada Naura.

“Ayo kita makan dulu. Kamu pasti nungguin bude’ dan belum makan kan.” Terka bude’.

“Iya Ibu, dari tadi sore mbak Ara nanyain ibu terus.” Celetuk Bu Titi.

Indara hanya tersenyum manis dan dirangkul oleh Bude’ Aya untuk menuju meja makan. Hal serupa juga dilakukan oleh Bu Titi pada Naura. Malam itu mereka makan berempat, jika biasanya bude’ Aya makan malam ditemani oleh Naura dan Bu Titi, dan tak jarang bersama kedua anak dan menantunya bila berkunjung.

Setelah menikmati makan malam, Indara menawarkan bantuan untuk membantu bu Titi dan Naura membersihkan dapur. Namun ditolak dan menyuruh Indara beristirahat. Sementara Bude’ Aya sudah beranjak kekamarnya lebih dulu. Dengan berat hati Indara kembali kekamar dan memilih untuk membaca buku yang belum dituntaskannya.

BAB 3

Tok tok tok

“Mbak cantik, bangun mbak. Ini sudah Subuh.” Panggil Naura dari balik kamar Indara.

Rupanya gadis itu ketiduran saat membaca buku yang kini sudah berada dibawah tempat tidurnya. Samar-samar Indara mendengar seseorang yang mengetuk pintu kamar. Gadis yang baru keluar dari mimpi itu segera mengerjapkan mata beberapa kali, dan menajamkan pendengaran.

Tok tok tok

“Mbak cantik ?” Panggil Naura kembali.

“Iya Naura. Ini aku bangun kok.” Sahut Indara dari dalam kamar.

Naura yang sudah mendengar jawaban segera meninggalkan depan kamar Indara dan beralih kedapur. Sementara Indara langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan segera berwudhu.

Subuh itu Indara memilih untuk sholat dikamar karena ia berencana untuk melanjutkan tidurnya setelah Subuh. Namun, rencana hanya tinggal rencana, tepat setelah merapikan mukenah ia mendengar suara Bude’ Aya yang memintanya untuk tidak tidur kembali. Dengan malas iapun meng”iya”kan, dan memilih untuk membersihkan tempat tidur.

Setelah dirasa sudah rapi, kemudian ia beralih menuju dapur untuk membantu Naura yang sedang memasak. Sementara Bu Titi sedang mencuci dan Bude’ Aya sedang menyirami tanamannya yang berada dihalaman depan.

“Naura, aku bantu boleh ?” Tanyanya pada gadis yang masih mengenakan piyama tersebut.

“Eee, nggak usah mbak cantik. Biar saya saja.” Tolak Naura sopan.

“Kamu jangan panggil aku mbak cantik dong, panggil mbak aja.” Pinta Indara.

“Kan mbak yang minta semalam toh.” Ucap Naura sambil terkekeh.

“Iya sih, tapi—.” Ucapan Indara dipotong oleh Naura.

“Nggak apa-apa mbak, saya suka panggil mbak gitu. Lah emang cantik kok.” Ujar Naura dan membuat Indara salah tingkah.

“Aku udah lama nggak jogging. Apa aku jogging aja kali ya.” Gumamnya sambil mengamati Naura yang sibuk memasak.

“Iya mbak cantik, biar ntar di toko lebih seger gitu.” Saran Naura yang mendengar gumaman Indara.

“Okeh deh kalau gitu.” Indara menyetujui saran Naura.

Dengan segera Indara beranjak menuju kamar dan mengganti pakaiannya dengan yang dirasa pantas untuk berlari pagi ini. Setelah itu ia segera menuju tempat sepatu dan memasang dikedua kaki mungilnya.

“Bude’ Ara mau jogging bentar ya.” Ucapnya pada Bude’ Aya yang sedang sibuk menyiram tanamannya.

“Iya, jangan lama-lama.” Kata Bude’ Aya.

“Iya. Assalamualaikum.” Kemudian membuka gerbang rumah dan mulai melakukan pemanasan.

“Waalaikumussalam.” Jawab Bude’ Aya.

Setelah melakukan pemanasan, Indara mulai berlari kecil mengikuti jalan setapak dibahu jalan yang memang khusus untuk pejalan kaki. Indara merasa sudah cukup jauh berlari kecil hingga ia sampai didepan bangunan yang terbilang cukup besar dan luas. Lama diperhatikan bangunan tersebut, dan matanya kini teralihkan pada papan nama dengan tulisan “Pondok Pesantren Al-Ali."

“Oh ini pondok pesantren yang dimaksud Bu Titi. Lumayan menguras tenaga sih ini kalau kesini jalan kaki.” Bergumam sambil mengamati pondok yang ada didepannya kini.

Tepat didepan pondok tersebut ia memutar balik tubuhnya untuk pulang, karena dirasa sudah cukup jauh berlari untuk hari ini. Iapun berlari kecil dan kali ini berlari dibahu jalan sebelah kiri. Setelah sampai didepan rumah Bude’ Aya ia hendak menyebrang dan betapa kagetnya ia daei arah belakang seorang pengendara motor melaju cukup kencang dan menyerempetnya dan terpental cukup keras.

“Astagfirullah.” Pekiknya yang sudah dalam keadaan terduduk dan memegang tulang betisnya yang kanan.

Sementara pengendara motor yang menyerempetnya tidak sampai terjatuh, kemudian segera membantu Indara untuk bangun.

“Jangan pegang.” Ujar Indara kasar saat melihat tangan laki-laki membantunya berdiri.

“Maaf, maaf.” Ucap laki-laki tersebut.

***

Sebelum Indara terserempet

Ibrahim Afnan adalah sorang pemuda yang lahir dan besar dipondok pesantren Al-Ali, tempat yang tadi diperhatikan oleh Indara. Ia merupakan putra satu-satunya dari pemilik pondok tersebut dan digadang-gadang akan menjadi penerus. Namun, ia tak terlalu menginginkannya karena ia masih mempunyai kakak perempuan. Pemuda tersebut akrab disapa Ibam dan saat ini ia menjadi seorang perawat disalah satu Rumah Sakit yang terletak tak jauh dari kompleks pondok pesantren.

Pagi ini giliran ia piket dan sebelumnya akan menjemput temannya dirumah karena alasan enggan untuk menyetir sendiri. Sehingga Ibam dengan berat hati menjemputnya. Tepat saat mengendarai motor ia merasakan ponselnya berdering, dan tanpa berhenti lebih dulu ia memilih mengangkat panggilan tersebut. Rupanya seorang teman yang bernama Hariri Ilham atau akrab dipanggil Ari sedang meneleponnya.

“Iya, Assalamualaikum. Udah tunggu aja ini aku lagi otw.” Ucap Ibam yang mulai kesal dengan temannya itu.

Waalaikumussalam. Okeh, aku tunggu. Tapi jangan telat yah. Tau sendiri kan ntar gimana. Peringat Ari dari seberang telepon.

“Iya, bawel banget sih kamu.” Ucap Ibam sambil menyetir.

Aku tutup nih. Assalamualaikum. Suara Ari dari balik telepon.

“Waalaikumussalam.” Jawab Ibam kemudian mematikan panggilannnya dengan Ari.

Tepat didepannya ada seorang gadis yang akan menyeberang jalan. Belum sempat gadis tersebut menoleh, tubuhnya sudah terserempet.

Kejadian tersebut terjadi begitu cepat dan Ibam tak sempat menghindar. Dengan sekuat tenaga ia berusaha agar tak terjatuh. Setelah motornya benar-benar berhenti ia menoleh kearah gadis yang diserempetnya tadi.

Dengan setengah berlari ia menghampiri gadis tersebut bermaksud untuk membantunya, namun gadis itu menolak dengan kasar.

***

Setelah mendapat penolakan Ibam mengarahkan pandangannya pada punggung tangan Indara yang lecet dan mengeluakan darah. Tangan itu juga yang digunakan untuk memegang tulang betisnya sambil meringis sakit.

“Astaga tanganmu berdarah.” Ucap Ibam panik.

“Ara.” Suara seseorang yang baru saja memarkirkan motor didepan rumah bude’ Aya dan disusul dengan sebuah mobil dibelakangnya.

“Mas.” Ucap Indara disela ringisannya.

Dengan setengah berlari Arfan menghampiri Indara yang berada diseberang rumah, Akmal dengan segera keluar dari mobil dan mengikuti kakaknya.

“Dia kenapa ?” Tanya Arfan pada laki-laki yang mengenakan baju perawat tersebut.

“Tadi saya nggak sengaja nyerempetnya mas.” Ucap Ibam dengan jujur.

“Astaga Ara. Ayo berdiri dek.” Ucap Akmal dan segera membantu adik sepupunya berdiri kemudian memapahnya kedalam rumah.

“Awas kalau dia kenapa-kenapa.” Ucap Arfan dengan menahan amarah pada Ibam, kemudian mengikuti Indara dan Akmal yang sudah lebih dulu menuju rumah.

Ibam yang ditinggal sendiri langsung saja mengikuti Arfan menuju rumah Bude’ Aya.

“Kamu ngapain ikut ?” Tanya Arfan tanpa berhenti, setelah memasukkan motor Indara kehalaman depan rumah.

“Saya akan memeriksanya mas.” Ucap Ibam dengan nada rendah pertanda menahan takut.

Arfan tak menggubris Ibam dan segera menuju ruang keluarga tempat Indara dibawa.

“Astaga nak, kamu kenapa ?” Pekik Bude’ Aya yang melihat Indara dipapah oleh Akmal.

“Keserempet ma.” Jawab Akmal dan mendudukkan Indara disofa.

“Bude’ sakit.” Indara meringis menahan sakit dan terlihat air mata mengalir dari pelupuknnya.

“Biar saya liat bu.” Ucap Ibam dengan tiba-tiba dan langsung menunduk didepan Indara.

“Nggak, nggak mau.” Ucap Indara dan menghindar dari Ibam.

“Nggak apa-apa Ra. Biar diliat sama nak Ibam ya sayang.” Kata Bude’ Aya dan mengelus puncak kepala Indara yang terbalut jilbab.

Indara hanya mengangguk dan membiarkan Ibam melepas sepatu beserta kaus kakinya.

“Maaf.” Suara Ibam pelan, kemudian melihat beberapa tetes darah yang mengalir dari betis Indara dengan sigap Ibam mengangkat training yang dikenakan Indara.

“Ini lukanya cukup parah mbak. Tapi nggak kerumah sakit juga nggak apa-apa.” Ucap Ibam sambil memperhatikan luka Indara.

“Kamu urus luka dia.” Ucap Akmal yang sedari tadi diam dan menatap Ibam dengan ganas.

“Ra, ini kunci motormu dek. Mas sama mas Akmal kekantor dulu. Kalau ada apa-apa hubungi kami.” Ujar Arfan yang meletakkan kunci motor Indara di atas meja, dan berpamitan kepada meraka yang berada diruang keluarga.

Kedua laki-laki tersebut kini meninggalkan Ibam yang masih sibuk mengamati luka Indara dan berkata “Ini lukanya dibersihkan dulu bu. Apa ada kotak P3K ?” Tanya Ibam pada Bude’ Aya.

“Oh ada, sebentar ya.” Jawab Bude’ Aya dan beralih untuk mengambil kotak P3K.

Indara hanya bisa terisak sambil menahan sakit dibetisnya yang cukup parah.

Tak berapa lama Bude’ Aya kembali dengan menenteng kotak P3K, dan memberikannya pada Ibam. Terlihat Ibam sangat cekatan untuk mengurus luka Indara, dan saat akan membersihkan luka Indara menggunakan obat merah, Ibam berkata lirih padanya.

“Tahan yah, ini akan sedikit sakit.” Ucap Ibam.

Benar saja apa yang dikatakan oleh Ibam, Indara langsung meringis dan menenggelamkan kepalanya pada bude’ Aya yang ada disampingnya. Naura dan Bu Titi yang mendengar Indara meringis segera menuju keruang keluarga.

“Mbak cantik kok bisa luka gitu ?” Tanya Naura yang terlihat menghampiri Indara dan diikuti oleh Bu Titi dibelakangnya.

“Tadi nggak sengaja saya serempet.” Ucap Ibam yang masih fokus membalut luka dibetis Indara.

“Loh, mas Ibam.” Kata Naura, ia mengenal laki-laki yang tengah berseragam perawat itu.

Ibam hanya tersenyum sekilas dan membereskan perlengkapan yang tadi digunakannya.

“Udah, ini perbannya jangan sampai basah ya. Kalau basah ada baiknya diganti ya.” Ucap Ibam dengan lembut pada Indara yang menatapnya dengan dingin.

“Sekali lagi aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja.” Ucap Ibam kemudian.

“Iya nak nggak apa-apa.” Jawab Bude’ Aya dan menatap kearah Indara.

“Terima kasih bu Haya. Insya Allah nanti saya akan kembali lagi untuk mengecek lukanya. Saya pamit dulu, Assalamualaikum.” Pamit Ibam dan meninggalkan ruang keluarga Bude’ Aya.

“Waalaikumussalam.” Jawab orang yang berada diruang keluarga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!