"Saya terima nikah dan kawinnya Aruna Nareswari binti Almarhum Bagas Kalandra dengan maskawin tersebut tunai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah."
Gema suara beberapa orang yang sedang berada di sebuah ruangan dengan desain yang minimalis itu memenuhi seluruh ruangan.
Raut bahagia juga nampak pada wajah sang mempelai pria dan wanita yang hari ini telah sah menjadi suami istri. Ya, merekalah Aruna dan Narendra.
Bukan mereka berdua saja yang merasakan kebahagiaan, namun dua temannya yang datang juga merasakan hal yang sama. Memang tak banyak yang datang, karena itu hanyalah acara akad, belum pada pesta pernikahannya.
Untuk keluarga? Aruna dan Narendra sama-sama anak yatim piatu. Perbedaannya, Narendra masih memiliki ibu dan adik tiri yang saat ini juga ikut hadir di sana, sedangkan Aruna sudah tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini. Namun, wajah dari ibu dan adik tiri Narendra terlihat tidak begitu bahagia.
"Akhirnya kamu sudah resmi menjadi istriku," bisik Narendra tepat di samping telinga sang istri.
Aruna yang mendengar suara lembut dari sang suami pun langsung menoleh dan tersenyum, "Aku bahagia bisa menjadi istrimu."
Aruna Nareswari, seorang wanita cantik dengan tubuh tidak terlalu tinggi, berkulit putih, rambut panjang berwarna hitam, dan memiliki mata coklat yang indah.
Walaupun hidup sebatang kara, Aruna tidak pernah merasa putus asa. Dia menggunakan harta peninggalan dari keluarganya untuk membangun sebuah butik, dan pada usia dua puluh lima tahun ini dirinya sudah berhasil menjadi pemilik butik yang sukses.
Narendra Mahardika, pria tampan dengan tubuh tinggi itu adalah suami Aruna. Badannya yang kekar, kulit kuning langsat, rambut bergayakan potongan undercut, alis yang tebal, dan tatapan tajam dari mata coklatnya membuat dirinya terlihat sempurna di mata para wanita.
Hidupnya tidak semenyedihkan Aruna, karena ia masih memiliki keluarga. Dia pun dari kalangan keluarga atas, sehingga hidupnya tidak akan kekurangan harta sedikitpun. Pada usia dua puluh tujuh tahun ini, ia berhasil membawa perusahaan peninggalan sang ayah pada puncak kejayaannya.
"Aku nggak rela kamu jadi istri Naren gadis miskin!" batin Maya yang menatap Aruna dengan penuh kebencian.
"Gue pastikan rumah tangga kalian akan hancur." Begitu pula dengan Diandra yang berada di samping sang mama.
Maya Anggelina atau biasa dipanggil Maya, dialah ibu tiri Narendra. Dahulu dirinya adalah seorang model terkenal, dan setelah menikah dengan Evan Mahendra atau ayahnya Narendra, dia memutuskan untuk berhenti dari seluruh pekerjaannya. Ia juga memutuskan untuk memilih seorang anak, dan tidak mau memiliki anak lagi.
Untuk penampilannya saat ini dia masih menjadi seorang yang modis, karena ia memang mantan model. Kulitnya putih bersih, tubuh cukup tinggi, rambut panjang berwarna coklat, dan juga matanya yang berwarna coklat. Untuk wajahnya dia terlihat sangat angkuh dan terlihat sulit untuk didekati.
Setelah Evan meninggal, sikapnya yang dulunya lembut terhadap Narendra sedikit demi sedikit berubah menjadi angkuh. Dia juga selalu menginginkan Narendra mematuhi setiap perkataannya, termasuk dengan tidak menikah dengan Aruna.
Namun Narendra yang sudah dewasa sangat susah ditaklukkan, ia hanya ingin melakukan sesuai dengan kata hatinya, dan tidak menuruti setiap perkataan Maya.
Diandra Faranisa, dialah adik tiri Narendra yang sifatnya sebelas dua belas dengan sang ibu. Sifatnya cukup manja karena sejak kecil Evan memang sudah memanjakannya. Karena hal itu lah ia tidak bisa mandiri dan menjadi gadis pemalas.
Untuk penampilan Diandra sendiri tak kalah dengan sang ibu. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, kulitnya juga berwarna putih, rambut pendek berwarna hitam sedikit kemerah-merahan, dan matanya juga berwarna coklat. Wajahnya terlihat biasa saja, namun cukup mengesalkan untuk dipandang.
"Semoga kamu bahagia Naren, walaupun bahagiamu bukan bersamaku. Andai saja aku punya keberanian, mungkin yang ada di sampingmu saat ini aku, bukan wanita sialan itu." Batin Elena yang duduk agak jauh dari semua orang, dan selalu menunjukkan senyuman palsunya.
Elena Permata adalah sekretaris dari Narendra. Dia mulai bekerja di Alister Group semenjak Narendra yang menjadi CEO. Karena sering bersama, dirinya memiliki perasaan terhadap sang atasan. Namun ia tak berani mengungkapkannya dan lebih memilih untuk memendam perasaannya seorang diri.
Penampilannya juga cukup membuat mata laki-laki terpikat dengannya. Tubuh yang tidak tinggi, kulit putih, rambut pendek berwarna hitam, mata coklat dan make-up yang terlihat natural. Itulah yang membuat beberapa laki-laki menyukainya, namun hatinya sudah tertutup untuk Narendra seorang.
.
Setelah penghulu selesai membacakan doa, dan buku nikah juga sudah ditandatangani oleh Aruna dan Narendra, papak penghulu tersebut langsung berpamitan untuk pulang.
"Selamat untuk tuan Naren dan nona Aruna, semoga pernikahan kalian bisa langgeng dan menjadi keluarga yang bahagia," ucap bapak penghulu sembari menjulurkan tangannya ke hadapan Narendra dan Aruna secara bergantian.
"Terima kasih banyak pak," jawab Narendra yang membalas uluran tangan bapak penghulu.
"Terima kasih," sambung Aruna sembari melakukan hal yang sama seperti Narendra dengan senyumannya.
Bapak penghulu tersebut pun tersenyum, "Baik kalau begitu saya permisi dulu," ucapnya seraya berdiri.
Narendra yang melihat itu pun ikut berdiri, "Mari saya antar ke depan,"
"Terima kasih."
Mereka berdua pun akhirnya berjalan menuju ke luar dari rumah Aruna secara bersebelahan.
"Mari nyonya." Ucap bapak penghulu ketika melewati Maya.
Maya yang memang tidak begitu suka dengan pernikahan ini pun hanya menjawabnya dengan senyuman paksa.
Narendra yang tidak mau malu karena sikap sang ibu pun lebih memilih untuk segera mengajak bapak penghulu keluar.
.
Setelah kepergian Narendra, teman Aruna yang bernama Kania pun langsung menghampirinya bersama sang kekasih.
"Selamat ya Na, akhirnya sahabat gue nikah juga!" seru Kania yang terlihat senang dengan pernikahan sahabatnya itu.
"Selamat ya Na," sambung Danu, kekasih Kania yang ternyata juga teman dari Narendra.
Kania adalah teman sekaligus orang yang Aruna percaya untuk membantunya mengelola butik. Kania juga bisa berpacaran dengan Danu, karena dulu dirinya sering mengantarkan Aruna bertemu dengan Narendra, dan saat itu pula Narendra mengajar sahabatnya itu.
Karena sering bertemu akhirnya Kania dan Danu sama-sama memiliki perasaan satu sama lain, sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan.
Untuk pekerjaan Danu sendiri adalah seorang dosen di sebuah kampus ternama di kota tempat mereka tinggal.
"Thanks," jawab Aruna dengan tersenyum.
"By the way, kapan nih kalian berdua nyusul?" sambungnya lagi.
"Gue mah ngikut sama dia aja Na, yakali cewek yang ngelamar cowok duluan!" cetus Kania yang terlihat sedikit tidak nyaman karena pertanyaan Aruna.
"Tunggu aja waktunya tepat, nanti pasti lo sama Naren akan menjadi orang pertama yang mengetahui kabar gembira ini!" seru Danu seraya merangkul pundak Kania untuk menenangkannya.
"Jangan lama-lama Nu, nanti takutnya Kania pindah ke lain hati." Celetuk Narendra yang baru saja datang dan langsung merangkul pundak sang istri dengan mesra.
"Lo tentang aja Ren, nanti pasti gue akan-."
Perkataan Danu terpotong oleh Elena yang datang menghampiri mereka. Ya, wanita itu cukup akrab dengan sahabat Narendra, jadinya dia berani memotong perkataannya.
"Selamat atas pernikahan kalian berdua pak Narendra, dan bu Aruna." Ucap Elena dengan senyuman palsunya, sembari mengulurkan tangannya ke hadapan Aruna.
Aruna, Narendra, Kania dan juga Danu pun dengan serempak menoleh ke arah Elena yang baru saja datang.
"Terima kasih Elen," jawab Narendra dengan tersenyum kecil.
Aruna yang memang mendapat uluran tangan dari Elena pun langsung membalasnya dengan tersenyum manis, "Terima kasih ya sudah menyempatkan datang ke pernikahan kami,"
"Sama-sama bu Aruna," jawab Elena sembari menarik tangannya kembali.
"Kalau begitu saya permisi dulu, masih ada beberapa keperluan yang belum selesai untuk acara nanti malam," pamitnya kemudian.
"Iya El, hati-hati." Hanya Aruna yang menjawabnya, masih dengan senyuman manis yang tidak luntur.
Elena kembali menunjukkan senyumannya, dan pada akhirnya dia bergegas keluar dari rumah tersebut. Tidak betah sekali rasanya menyaksikan kebahagiaan dari laki-laki yang sangat ia suka dan cintai.
Hatinya patah sepatah-patahnya, dan tidak ada yang mengetahui hal tersebut kecuali dirinya sendiri. Cinta dalam diam memanglah sesakit itu.
Setelah kepergian Elena, mereka berempat pun memilih untuk duduk di kursi bekas acara akad nikah tadi.
"Tuh orang nggak tau sopan santun apa ya? Main motong pembicaraan orang aja!" gerutu Danu yang merasa kesal.
"Sabar sayang," Kania yang ada di sampingnya pun langsung mengusap lengannya dengan lembut.
"Tadi lo mau ngomong apa?" tanya Narendra yang masih penasaran dengan ucapan Danu tadi.
"Gue-,"
"Naren, mama sama adik kamu mau pulang dulu."
Lagi dan lagi, perkataan Danu terpotong oleh orang lain. Dan kini orang tersebut adalah Maya. Seperti biasa, wanita itu datang dengan sangat angkuh, bahkan tidak mau mengucapkan selamat kepada sepasang pengantin baru tersebut.
"Iya ma." Jawab Narendra singkat.
Tak ada percakapan lagi antara mereka, Maya dan Diandra langsung pergi begitu saja dari rumah Aruna. Sedangkan Narendra sendiri sepertinya juga enggan untuk banyak mengobrol dengan ibu dan adik tirinya itu.
"Orang-orang pada kenapa sih?! Sejak tadi ganggu gue mau ngomong aja!" ketus Danu yang terlihat semakin kesal.
"Hahaha santai Nu, mungkin mereka punya dendam pribadi sama lo," cetus Narendra.
"Tau ah males gue!" Danu yang kesal pun langsung pergi dari sana dan meninggalkan sang kekasih.
"Pacar lo kalo ngambek kek anak kecil ya Ni," ujar Aruna yang masih memantau pergerakan Danu keluar dari rumahnya.
"Ya gitulah Na, padahal seorang dosen, tapi kelakuannya kayak bocah. Kalo mahasiswanya tau, pasti dia ditertawakan. Hahaha!!!" bukannya membela, Kania malah ikut menertawakan sang kekasih.
"Gue masih bisa dengar omongan kalian!" teriak Danu dari depan rumah Sena.
"Udah jangan diomongin lagi, marah tuh dia," ujar Narendra, sengaja di kencangkan agar Danu bisa mendengarnya.
"Yaudah, kalo gitu gue juga pergi dulu ya? Kasihan pak dosen udah nungguin lama," pamit Kania kepada kedua pengantin baru tersebut.
"Iya Ni, hati-hati," jawab Aruna
"Hati-hati." Sambung Narendra.
Kania hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu setelah itu dirinya segera menyusul Danu yang sudah menunggunya di dalam mobil.
Aruna dan Narendra sendiri mengantarkan Kania sampai ke depan rumah. Setelah kedua sahabatnya pergi, barulah mereka berdua kembali ke dalam rumah.
"Lily! Aku baru ingat sejak tadi pagi aku kunciin dia di kamar!" seru Aruna seraya berlari menuju ke lantai dua rumahnya.
"Jangan lari sayang, nanti kamu bisa jatuh." Narendra yang tidak mau sang istri terluka pun segera menyusulnya.
Lily adalah kucing jenis persia, berbulu putih bersih milik Aruna. Dia sudah merawat kucing tersebut sejak masih kecil, hingga saat ini sudah besar.
Lily bukan cuma hewan peliharaan Aruna saja, melainkan sudah menjadi teman Aruna disaat dirinya merasakan kesepian ketika berada di rumah seorang diri.
Ceklek.
Setelah pintu kamar terbuka, Aruna segera menghampiri kucingnya yang sedang tertidur pulas di atas ranjang miliknya. Diusapnya bulu-bulu putih lembut itu dengan penuh kasih sayang.
"Maafkan mama ya sayang, sejak tadi pagi mama kunciin kamu di dalam kamar," ujar Aruna yang memang sudah menganggap Lily seperti anaknya sendiri.
"Biarin Lily tidur sayang, lebih baik sekarang kamu beresin barang kamu. Setelah itu ayo kita pulang, biar kamu ada waktu istirahat untuk acara nanti malam," ucap Narendra yang ikut mengusap bulu-bulu Lily.
"Aku sudah membereskan semuanya Ren, kita tinggal pergi saja," jawab Aruna seraya mengambil Lily ke dalam gendongannya.
"Yaudah kalo gitu biar aku bawakan barang-barang kamu ke bawah, kita pulang sekarang juga," ujar Narendra seraya pergi untuk mengambil dua koper besar yang memang sudah berada di depan lemari besar milik Aruna.
"Biar aku bantu bawa ya?" tawar Aruna.
"Nggak usah, kamu bawa aja Lily," jawab Narendra yang sudah memegang kedua koper tersebut.
"Terima kasih sayang," ucap Aruna dengan senyuman manisnya.
"Iya sayang, sama-sama." Jawab Narendra yang juga tersenyum manis.
Mereka berdua pun keluar dari kamar yang tidak terlalu besar itu secara beriringan. Walaupun rumah Aruna kecil, namun rumah tersebut memiliki dua lantai. Dia sendiri sengaja tidak ingin membeli rumah yang lebih besar lagi, karena ia hanya tinggal seorang diri.
Sesampainya di luar rumah, Narendra langsung memasukkan koper sang istri ke dalam bagasi mobilnya. Sedangkan Aruna sendiri langsung mengunci pintu rumahnya.
Setelah dirasa semuanya selesai dan tidak ada yang ketinggalan, mereka berdua pun pergi dari rumah tersebut.
.
Berpindah kepada Maya dan Diandra yang saat ini masih berada di jalan.
"Ma, aku males banget mau pulang ke rumah, apalagi pasti rumah sedang rame," ungkap Diandra dengan tubuh lemasnya yang ia sandarkan di sandaran kursi mobil.
"Sama sayang, mama juga males banget buat pulang ke rumah," jawab Maya sembari terus fokus pada jalanan di depannya.
"Apalagi sekarang udah ada si miskin itu! Makin males aja tinggal di rumah!" cetus Diandra sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
"Mau gimana lagi Di? Kakak kamu susah banget dibilangin!" ketus Maya yang juga terlihat kesal.
"Pokoknya kita harus buat tuh orang miskin nggak betah di rumah kita ma!"
"Iya Di, nanti mama pasti bakal pikirin bagaimana caranya agar dia pergi dari rumah kita! Mama juga nggak rela rumah kita ditempati orang kotor dan miskin seperti dia!"
"Iya ma, nanti yang ada kita ketularan virus miskin lagi!"
"Hahaha udah jangan bahas dia lagi, mama males dengernya,"
"Hmm... Yaudah deh ma. Terus sekarang kita mau pergi ke mana?" tanya Diandra seraya menoleh ke arah sang mama.
"Mama juga nggak tau sih, yang penting nggak pulang ke rumah aja."
"Gimana kalo kita cari makan dulu aja ma?" usul Diandra.
"Yaudah kalo gitu sekarang kita pergi ke restoran dulu, kita tenangin pikiran kita di sana dulu,"
"Oke ma."
Maya pun akhirnya memutar balik mobilnya untuk pergi restoran mewah, tempat biasanya mereka makan.
Walaupun Aruna sudah menjadi pemilik butik terkenal, namun Maya dan Diandra masih menganggapnya sebagai seorang yang miskin. Bagi mereka pemilik butik masih tidak sebanding dengan seorang CEO perusahaan besar.
.
Beralih kepada Kania dan Danu yang saat ini sudah berada di taman kota. Mereka berdua duduk di bangku yang berada di bawah pohon beringin yang rindang, sembari menikmati es krim rasa vanila.
"Sayang, maafin aku ya kalo sampai saat ini aku masih belum melamar kamu," ucap Danu disela memakan es krim yang ada di tangannya.
Kania yang ingin menyuapkan es krim ke dalam mulutnya pun mengurungkan niatnya. Ia langsung menoleh ke arah sang kekasih yang terlihat bersedih, "Nggak usah pikirin perkataan mereka Nu, aku nggak buru-buru kok,"
Danu yang mendengar perkataan sang kekasih segera menoleh ke arahnya, sehingga kini mereka berdua saling pandang, "Nggak usah bohong Ni! Aku tau kamu capek kan nungguin aku?"
Kania tersenyum manis, "Aku nggak akan pernah capek buat nungguin kamu. Aku akan tetap berada di sini, sampai kamu siap melamarku," ucapnya penuh kelembutan.
Danu yang sudah tidak sanggup menahan air matanya pun langsung memeluk sang kekasih, "Terima kasih sayang, secepatnya aku akan melamar kamu,"
"Sama-sama sayang, aku akan menunggu sampai hari itu tiba." Jawab Kania sembari membalas pelukan sang kekasih.
Mereka berdua berpelukan cukup lama, bahkan kini keduanya saling meneteskan air mata saking terharunya dengan kesetiaan masing-masing.
"Aku pastikan kamu bahagia hidup bersamaku Kania, aku tidak akan pernah mengecewakan kamu," batin Danu yang mengeratkan pelukannya.
"Sampai kapanpun aku akan tetap menunggu kamu Danu. Bukan masalah waktunya yang lama, tapi cinta tulusku yang mampu membuat aku bertahan sejauh ini." Batin Kania.
Setelah dirasa cukup, mereka berdua pun langsung melepaskan pelukan masing-masing, lalu kembali memakan es krim yang hampir meleleh. Mereka berdua juga saling bercanda satu sama lain, seperti biasanya ketika mereka bertemu.
.
Setelah menempuh jarak sekitar setengah jam, akhirnya Aruna dan Narendra sudah sampai di depan rumah yang begitu mewah dan megah. Ya, itulah rumah peninggalan Evan untuk keluarganya. Tempat di mana pesta pernikahan mereka berdua akan dilaksanakan.
Narendra sengaja ingin membuat pesta pernikahannya di rumah saja. Bukan karena tidak mau keluar banyak uang, tapi dia lebih nyaman di rumahnya sendiri. Bahkan untuk pesta itu saja dirinya juga sudah keluar uang yang tidak sedikit.
Seorang wanita paruh baya segera menghampiri Narendra ketika melihatnya masuk ke dalam rumah.
"Biar saya bawakan ke atas tuan," ucap perempuan paruh baya tersebut, sembari mengambil alih koper yang ada di tangan Narendra.
"Terima kasih bi," ucap Narendra dengan tersenyum ramah.
"Sama-sama tuan." Ucap Bi Ainur yang langsung pergi dari sana.
Bi Ainur adalah pembantu di rumah tersebut semenjak Narendra masih kecil. Bahkan Narendra sangat akrab dengan dia, dibandingkan dengan Maya yang berstatus sebagai ibu sambungnya.
"Kamu ikut bibi ke kamar ya? Aku mau lihat kerjaan mereka dulu," pinta Narendra sembari menatap sang istri dan mengusap pucuk kepalanya dengan lembut.
"Kamu nggak istirahat aja? Nanti kalo kamu kecapean gimana?" wajah Aruna terlihat mengkhawatirkan sang suami.
Narendra tersenyum manis, lalu memegang kedua pipi sang istri dan mencubitnya pelan, "Aku nggak papa sayang. Takutnya nanti masih ada yang belum beres kalau aku nggak mantau sendiri,"
Aruna menghembuskan napasnya kasar, "Yaudah deh kalo gitu. Tapi nggak papa kan aku bawa Lily tidur di kamar kamu juga?"
"Nggak papa sayang, kamar aku kamar kamu juga. Jadi kamu bebas bawa Lily tidur di sana," jawab Bima yang beralih mengusap bulu halus Lily yang masih dalam gendongan Aruna.
"Terima kasih sayang, kalo gitu aku istirahat dulu ya?"
"Iya istriku sayang, selamat beristirahat."
Sebelum Aruna benar-benar pergi dari sana, Narendra terlebih dahulu mencium keningnya cukup lama. Ia tidak peduli ada banyak orang di sana, karena mereka berdua juga sudah sah menjadi suami istri.
.
Di sisi lain ruangan di dalam rumah tersebut, tanpa ada yang mengetahui perasaannya, hati Elena hancur berkeping-keping ketika melihat kemesraan sepasang pengantin baru itu. Bahkan saking sakitnya air matanya sampai menetes.
"Andai saja gue punya keberanian yang cukup, mungkin yang ada di posisi lo saat ini gue Na," batin Elena sembari mengusap air matanya sebelum ada yang mengetahuinya.
"Hati gue sakit Ren! Gue nggak bisa lihat kalian bahagia, tapi gue juga nggak bisa apa-apa," batinnya lagi.
"Bu Elen, buket bunganya mau ditaruh di mana ya?" tanya seorang laki-laki pekerja wedding organizer.
Seketika itu juga lamunan Elena buyar. Dirinya tersadar dan kembali tersenyum manis, menutupi seluruh luka yang ada di hatinya, "Taruh di samping pintu masuk aja,"
"Siap bu, kalau begitu saya permisi dulu," pamit laki-laki tersebut.
"Iya."
Setelah laki-laki tersebut pergi, senyuman Elena semakin merekah ketika melihat Narendra menghampirinya.
"Gimana El? Apa semuanya sudah selesai?" tanya Narendra yang masih berjalan menghampiri sekretarisnya itu.
"Sudah sembilan puluh sembilan persen pak," jawab Elena dengan senyuman tulusnya.
"Baguslah," ujar Narendra yang bernapas lega.
"Ada yang pak Naren butuhkan? Atau bapak mau saya pesankan makan siang?" tawar Elena yang terlihat sangat antusias.
"Tidak usah El, kamu awasi kerja mereka saja. Saya ingin melihat apakah masih ada yang kurang atau tidak," tolak Narendra secara halus.
"Baiklah pak."
Narendra tidak menjawab lagi, dirinya langsung pergi berkeliling ruang tamu rumahnya yang sangat besar, dan kini sudah banyak dihiasi meja, kursi dan berbagai hiasan lainnya untuk acara nanti malam.
.
Di dalam kamarnya, Bi Ainur sedang membantu Aruna untuk mengeluarkan dan menata barang-barang miliknya. Sedangkan Lily tertidur di atas ranjang besar milik Narendra. Kucing itu memang suka sekali jika disuruh tidur.
"Bibi kalo capek nggak usah bantuin aku, biar aku tata sendiri aja," ucap Aruna yang tidak mau merepotkan wanita paruh baya tersebut.
"Nggak kok non, dari tadi saya cuma diam saja. Yang capek pasti non Aruna," jawab Bi Ainur.
"Hehehe, capek cuma dikit doang bi, banyak bahagianya," ujar Aruna malu-malu.
"Ya iya lah non, orang habis nikah pasti bahagia,"
"Hehe... Iya bi," jawab Aruna tersenyum ramah, sembari mengambil bajunya lalu ia masukkan ke dalam lemari besar milik Narendra yang masih kosong.
"Kalau butuh apa-apa non bilang sama saya saja ya? Jangan sungkan, nanti pasti saya bantu non," ucap Bi Ainur
"Iya bi, nanti kalo aku butuh apa-apa pasti bilang sama bibi," jawab Aruna.
"Oh iya bi, bibi udah lama ya kerja di sini?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!