Aku adalah Diajeng Danisa Kusuma Putri, gadis kecil sederhana. Yang tidak suka dengan kemewahan. Bahkan tidak pernah ada yang Tahu kalau aku pewaris tunggal kekayaan kakek ku Budiono Djoyodiningrat. Yang katanya orang terkaya nomor dua dinegeri ini. Aku sekarang berkuliah dengan jalur beasiswa. Dengan jerih payah ku sendiri tanpa campur tangan kakek ku. Dari kecil aku hidup hanya dengan kakek ku.
Karena kedua orang tua ku telah meninggal. Karena kecelakaan saat perjalanan bisnis keluar kota. Pagi ini, hari libur sudah menjadi kebiasaanku. Berkebun dipekarangan rumah. Tiba-tiba ada yang memanggil ku. Ternyata yang memanggil ku adalah paman Yudi. Asisten kepercayaan kakek ku. Aku memanggilnya paman, karenan memang dia sudah kuanggap sebagai keluargaku. Beliau juga pengganti orang tua ku.
"Nona Kecil, dipanggil tuan besar." ucapnya kepadaku.
"Oh, iya paman. Bilang sama kakek sebentar ya. Aku bersih-bersih dulu." jawabku.
"Baik nona." kata paman Yudi sembari menganggukkan kepalanya.
Tanda beliau juga menghormatiku sebagai cucu dari tuannya. Yaitu kakek Budiono. Aku pun mencuci tangan dan melepas celemek yang biasa ku pakai saat berkebun. Aku menghampiri kakek, yang duduk diteras depan.
"Eyang memanggilku?" tanya ku perlahan mendekat.
"Iya, sini nduk ayu." katanya.
Aku pun mendekat dan duduk disampingnya. Nduk ayu yang memiliki artian gadis cantik. Adalah panggilan eyang kepadaku. Paman Yudi juga disana. Ternyata eyang ingin mengatakan sesuatu. Dia memberiku amplop coklat. Aku mengerutkan dahiku, tanda tak mengerti.
"Bukalah nduk." perintah eyang.
Aku membuka amplop itu perlahan. Berisikan biodata seseorang. Yang akupun tambah tak mengerti dengan isinya.
"Itu biodata Raden Mas Nalendra nona. Laki-laki yang akan dijodohkan dengan nona kecil." jelas paman Yudi.
"Eyang, Ajeng kan masih kuliah belum lulus. Usia Ajeng juga masih dua puluh tahun Eyang. Ajeng masih ingin kuliah dan lanjut berkarir." jelas Ajeng.
"Nduk ayu cucuku Ajeng. Eyang sudah tidak muda lagi untuk melindungi mu. Paman mu Yudi juga tidak mungkin bersama mu terus. Dia juga memiliki keluarga nduk." jelas Eyang Budiono.
"Nona kecil, jangan putus asa dulu. Nona masih bisa kuliah dan melakukan apa pun yang nona mau. Benar juga kata tuan besar nona. Nona pikir-lah dulu ya..." bujuk paman Yudi.
Aku pun memasukkan lagi biodata entah siapa tadi namanya. Aku membungkuk kan badanku dan pergi meninggalkan eyang. Aku masuk ke dalam kamar, dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang tempat tidur. Ku lempar amplop cokelat itu. Berhambur entah kemana. Pikiran ku sudah tak karuan. Lanjut aku mengambil ponsel ku dan ku cari kontak sahabat ku Arum.
Hanya Arum sahabatku dari kecil. Yang tahu bagaimana aku. Arum adalah anak dari paman Yudi. Yang tinggal dipaviliun belakang rumah. Iya, paviliun itu sudah menjadi milik keluarha paman Yudi. Karena dari aku kecil keluarga mereka sudah tinggal disana. Aku dan Arum pun sebaya. Jam dan tanggal lahir kita pun bersamaan. Arum memiliki kakak laki-laki yang usianya tak jauh dari kami berdua. Usianya hanya berjarak lebih tua dari kami tiga tahun. Namanya adalah Guntur.
Tak lama pintu kamar ku diketuk oleh seseorang. Aku tahu yang datang adalah Arum. Karena aku tadi menelponnya untuk pergi ke kamar ku.
"Ada apa tuan putri?" tanya nya dengan sapaan yang ku benci.
"Aduh..." keluh Arum.
Karena Arum kulempar pakai bantal. Sudah sebel dibikin tambah sebel aja. Arum pun mengambil bantal dan mendekat kepadaku.
"Ada apa? Jangan terbiasa uring-uringan Jeng." bujuk Arum.
"Gimana nggak uring-uringan? Tiba-tiba Eyang dan ayahmu ingin menikahkan aku Rum." jelasku.
"Hah... Apa Jeng? Kan kamu masih kuliah. Terus siapa calonnya?" cecar Arum.
"Raden Mas Nalendra." jawab ku.
"Masha Allah Ajeng... Kenapa pusing terus uring-uringan? Tuan muda Nalendra itu baik, sopan, terus CEO dari Buana Raya Grup. Anak dari bapak Surya Maheswara dan ibu Ayu Kusuma Putri. Orang terkaya nomor satu dinegeri ini Ajeng." jelas Arum menggebu.
"Kenapa kamu tahu semua tentang dia Rum? Jangan-jangan kamu sekongkol dengan paman dan Eyang." curigaku.
"Ngawur kamu... Sumpah aku nggak tahu sama sekali kalau kamu dijodohkan sama tuan muda Nalendra Jeng."
"Tapi kok kamu tahu si Nalendra itu?" tanya ku penasaran.
"Sekarang itu internet banyak memunculkan berita. Bahkan beberapa hari ini dia berseliweran ditv. Karena mendapat gelar pengusaha tersukses Jeng. Nona muda jangan kudet." ejek Arum.
Aku terdiam dan mengambil amplop cokelat yang ku buang tadi. Dan kubuka perlahan, muncul sebuah foto. Memang tampan dan berwibawa. Tapi usianya jauh terpaut dariku. Beda sepuluh tahun, apakah bisa bersama. Pertanyaan muncul dalam benakku. Arum berpamitan untuk pulang. Aku pun melangkah masuk kedalam kamar mandi. Karena hari sudah sore.
Ketika malam tiba, eyang memanggil ku kembali setelah makan malam. Kali ini kami hanya berdua diruang tv. Aku mendekat dengan memijit kaki Eyang. Karena sudah menjadi kebiasaanku. Eyang mengelus kepala ku.
"Nduk cah ayu, bukannya Eyang memaksamu untuk menikah. Tapi Eyangmu ini sudah sepuh nduk. Sebelum Eyang mu ini pergi, Eyang ingin sekali melihat cucu Eyang ini ada yang melindungi." wejang Eyang.
"Eyang jangan bicara seperti itu. Ajeng tidak mau mendengarkan Eyang. Ajeng sayang Eyang." aku tergugu dalam tangis.
"Jangan menangis nduk, berusahalah menerima Raden Mas Nalendra. Dia anak yang baik. Kalau kamu bersama dia Eyang akan bahagia. Kedua orang tua Nalendra dan orang tua mu sudah bersahabat sejak dulu. Eyang hanya meneruskan keinginan kedua orang tua mu. Untuk menjodohkanmu dengan putra sahabatnya itu." jelas eyang.
"Baik Eyang, Ajeng akan mencoba menerimanya. Mungkin hal ini juga yang akan membuat papa, mama bahagia disurga." jawab ku.
"Baiklah, besok pagi kamu datang ke perusahaan Buana Raya Grup nduk." pinta eyang.
Aku hanya mengangguk tanda menyetujui pemintaan eyang. Aku pun mengantar Eyang masuk ke dalam kamarnya. Dan aku pun masuk kedalam kamarku. Kubuka kembali amplop cokelat pemberian eyang. Ku perhatikan wajah om om yang mau dijodohkan kepadaku.
Ganteng sih, tapi apa iya kita tidak bakal ada kesenjangan. Beda usia kami cukup jauh, sepuluh tahun. Apa mungkin dia mau sama aku ini? Aku tidak tahu ya Tuhan apa rencana Mu. Tapi aku yakin mungkin ini yang terbaik. Aku yakin skenario Mu lebih indah dari apa yang aku bayangkan.
Sudahlah, aku akan beristirahat dulu. Besok pulang kuliah aku akan temui. Raden Mas Nalendra itu. Semoga ini yang terbaik untuk ku. Semoga eyang senang dan papa mama disurga tenang. Semoga dia juga akan menerimaku dengan baik.
Pagi ini, cuaca sangat sejuk. Seperti biasa setelah sholat, Ajeng pergi ke dapur. Membantu Arum dan ibunya menyiapkan sarapan. ibu Mutia, ibu dari Arum sebenarnya sudah melarang Ajeng membantu. Tapi Ajeng sendiri yang sudah terbiasa. Sepama eyang tidak melarang Ajeng akan terus melakukan kegiatan yang ia suka.
"Bibi, Ajeng mandi dulu ya... Siap-siap berangkat kuliah. Ayo Arum..." pamit dan ajak Ajeng.
"Iya nona kecil, Arum buru mandi nak. Tidak enak kalau nanti nona menunggu mu." nasehat ibu Mutia.
"Baik buk..."
Arum dan Ajeng pun pergi meninggalkan dapur. Mereka telah siap, mobil antar jemput mereka pun telah disiapkan Guntur. Kaka dari Ajeng yang diberi tugas menjadi supir pribadi Ajeng. Sekalian bodyguard Ajeng.
"Nona kecil, nanti saya yang mengantar nona ke perusahaan tuan Nalendra. Arum, kamu pulang naik taxi ya dek." ucap Guntur.
"Siap bang." jawab Arum.
"Kenapa nggak pergi sendiri aja sih bang?" tanya Ajeng.
"Tuan besar sudah memerintahkan saya nona." jawab Guntur tegas.
"Baiklah, baiklah..."
Ajeng pun mengalah. Sampai dikampus, Guntur menghentikan mobilnya di lobby kampus. Disana ada sebuah mobil hitam. Yang tak asing lagi bagi Guntur. Ya, itu adalah mobil tuan muda Nalendra. Dia sengaja datang ke kampus untuk bertemu dengan Ajeng. Dua bodyguard mengarah ke mobil Ajeng dan membukakan pintu untuk Ajeng.
"Mereka siapa bang?" tanya Ajeng.
"Nona tenang saja, mereka orang-orang tuan muda nona." jelas Guntur.
"Silahkan turun nona, dan ikut kami masuk ke mobil tuan muda." ucap salah satu pengawal.
Ajeng hanya mengangguk, sedang Arum pergi masuk ke dalam kampus. Guntur pun keluar dan mengikuti Ajeng. Semua pasang mata menatap sinis kearah Ajeng. Karena mereka semua tidak pernah tahu Ajeng itu siapa.
"Kamu kembali ke kantor saja, biar nanti nona mu ini aku yang antar." ucap orang asing itu.
Dan ketika Ajeng masuk ternyata Raden Mas Nalendra sudah ada didalam mobil. Ajeng pun terlihat gugup dan merasa tak nyaman. Pertama kali bertemu orang asing secara privat. Mobil itu pun berjalan menjauh dari area kampus.
"Loh, kenapa pergi? Aku kan ada kelas pagi." ucap Ajeng.
Tanpa ada jawaban, mereka semua diam. Ajeng pun semakin merasa takut. Ajeng mencoba menelepon Guntur. Tapi tidak diangkat, dia mencoba menelepon kakeknya. Dan menelepon paman Yudi. Mereka semua tidak mengangkatnya. Nalendra, yang duduk disamping Ajeng. Langsung mengambil ponsel Ajeng dan memasukkannya ke dalam saku celananya.
"Eh.... Sinikan ponsel saya." pinta Ajeng.
"Duduk dan diam." suara dingin keluar dari mulut Nalendra.
Eyang yakin, mau menjodohkan cucu semata wayangnya ini. Sama laki-laki yang modelannya seperti ini. Pertanyaan Ajeng dalam hati. Sampailah mereka di sebuah rumah besar. Yang tak kalah mewah dari rumah Ajeng. Bahkan lebih mewah dari rumah Ajeng. Ajeng pun turun, ketika seorang pengawal membukakan pintu.
Nalendra masuk dengan menggandeng tangan Ajeng. Ajeng melotot dan ingin menarik tangannya. Kembali Nalendra menggenggam tangan Diajeng Danisa Kusuma Putri. Ajeng pun menurut saja setelah mata Nalendra ingin keluar dari tempatnya😁. Masuk kedalam rumah ternyata disana sudah ada sang kakek dan paman Yudi.
Perlakuan Nalendra sangat berbanding terbalik. Ketika berada didepan para orang tua. Sangat manis dan lembut kepada Ajeng.
"Duduk sini Nis, kenapa bengong disitu?" ucap Nalendra.
"Oh iya... Terima kasih."
Tapi sebelum duduk, Ajeng menyalami om Surya dan tante Ayu. Kedua orang tua Nalendra. Dan juga Eyang dan paman Yudi. Setelah itu, Ajeng baru duduk.
"Kenapa panggilanmu beda Ndra?" tanya pak Surya.
"Lebih seneng panggil Danisa pa. Beda dari yang lain." ucapnya dengan seulas senyum.
Senyum yang begitu jarang terlihat dari bibir Nalendra. Ajeng hanya menunduk tak tahu haus berbuat apa.
"Duh, nak Ajeng bisa buat tuan muda Nalendra ini tersenyum lo eyang. Biasanya selalu berwajah dingin dan menyeramkan." ucap bu Ayu.
"Mama..." sadar Nalendra.
Mereka pun tertawa bersama kecuali Ajeng. Dia hanya menundukkan kepalanya. Tanpa tahu, apa maksud dari pertemuan ini dilangsungkan. Sebenarnya mereka ingin membahas sebuah pernikahan. Yang seminggu lagi akan diadakan secara tertutup.
"Nduk cah ayu, cucu semata wayang eyang. Kita berkumpul hari ini, untuk membahas pesta pernikahan kalian. Yang akan diadakan seminggu lagi." jelas Eyang Budiono.
"Eyang, apa ini tidak terlalu cepat? Ajeng dan om eh mas Nalendra belum saling mengenal." bantah Ajeng secara halus.
"Semakin cepat semakin baik nduk Nisa. Nggak papa kan mama panggil nduk Nisa. Ikut calon suami kamu nduk." tanya mama Ayu.
"Tidak tante, senyamannya tante saja." jawab Ajeng.
"Jangan ma, hanya aku calon suaminya. Yang boleh memanggil Danisa." tegas Nalendra.
"Sudahlah, kok kalian malah memperdebatkan panggilan untuk Ajeng. Kita bahas pernikahannya kapan?" relai pak Surya.
Hari ini ternyata pertama kali Ajeng bertemu calon suaminya sekaligus menetapkan tanggal pernikahannya. Yang akan diadakan seminggu lagi.
"Bagaimana nduk cah ayu? Kamu setuju dengan syarat yang diberikan Nak Nalendra. Dengan pernikahan privat hanya keluaga saja yang tahu." tanya eyang.
"Ajeng ikut bagaimana baiknya Eyang. Pernikahan kan memang harus sakral dan kondusif. Jadi bagaimana baiknya saja. Ajeng akan setuju." jawab Ajeng tanpa ragu.
Sedang sikap yang ditunjukkan oleh Ajeng. Disalah artikan oleh Nalendra. Pasti dia suka dengan ku, makanya dia langsung setuju. Ucap Nalendra dalam hatinya. Sedangkan Ajeng hanya ingin membuat sang kakek bahagia. Dengan apa yang ia inginkan terlaksana dengan baik.
Persiapan pun sudah mulai disiapkan mulai dari sekarang dikediaman Ajeng. Sudah banyak yang lalu lalang sibuk mendekor. Ajeng sendiri sedang memantapkan hati dalam kamarnya. Tiba-tiba ada yang masuk tanpa permisi.
"Danisa..." panggil seseorang.
Yang Ajeng pun sedikit banyak sudah hafal dengan suara tegas itu. Panggilan yang beda dari yang lain siapa lagi kalau bukan Nalendra. Danisa pun mulai menoleh.
"Dalem mas." jawab Danisa (dalem artinya iya)
"Kenapa kamu malah termenung disini?" tanya Nalendra.
"Tidak apa-apa. Apa ada yang dibutuhkan mas Nalen?" tanya Danisa.
"Tidak, aku hanya mau ngobrol sesuatu."
"Apa ini mas?" tanya Danisa.
Nalendra memberikan berkas untuk dibaca oleh Danisa. Danisa sangat terkejut dengan isi berkas tersebut. Isinya tentang beberapa syarat setelah menjadi istri Nalendra. Dan Danisa harus menaati semua isi dalam berkas tersebut. Yang isinya..
Hubungan mereka tidak boleh di publikasikan.
Mereka akan tinggal satu atap tapi beda kamar tidur.
Setelah menikah mereka akan tinggal berdua dirumah Nalendra.
Tidak boleh ikut campur pribadi masing_masing.
Akan terlihat mesra dan baik-baik saja didepan keluarga mereka masing-masing.
"Paham kan isinya?" ucap Nalendra.
Danisa hanya mengangguk menyetujui berkas yang diberikan Nalendra. Jika memang kita tidak saling suka. Tidak saling mencintai dan menyayangi. Maka aku akan mengikis jarak antara kita. Aku janji akan menumbuhkan rasa itu didiri kita masing-masing mas Nalen. Ucap Ajeng dalam hatinya.
Hari ini pernikahan Diajeng Danisa Kusuma Putri dan Raden Mas Nalendra berlangsung dengan kusyuk dan sakral. Usai pesta, untuk sementara Nalendra tinggal dirumah Ajeng. Seperti saat ini, mereka sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Nalendra duduk di sofa kamar Danisa. Dan Danisa sendiri sedang mandi di kamar mandi. Keluar kamar mandi dengan dress rumahan. Dan rambut yang masih basah.
Nalendra yang melihat istrinya keluar dari kamar mandi. Menelan salivanya dengan sangat susah. Nalendra disuguhi pemandangan wanita yang habis mandi. Dengan rambut tergerai yang masih basah. Danisa sibuk dengan handuk ditangannya yang digunakan untuk mengeringkan rambut.
"Mas Nalen nggak mandi?" tanya Danisa.
Tanpa jawaban, Nalendra mengalungkan handuk dipundak dan masuk ke kamar mandi. Danisa pun dengan cuek membuka koper Nalendra. Berniat mengambilkan baju ganti. Pertama membuka koper seorang laki-laki. Yang dilihat pertama oleh Danisa adalah celana dalam.
"Hiiiiii... Apa ituuuuu?" teriak Danisa.
"Apa?!" tanya Nalendra.
Yang baru saja keluar kamar mandi. Hanya dengan mengikatkan handuk sebatas pusarnya. Danisa semakin berteriak melihat Nalendra yang keluar kamar mandi tanpa baju.
"Aaaaaaaaaa..." teriak Danisa.
Danisa pun berniat berlari. Karena sudah kalang kabut, dia pun malah menabrak Nalendra dan lepas-lah handuk yang digunakan Nalendra.
"Aaaaaaaa... Tutup nggak, kamu nggak sopan mas." teriak Danisa.
Dia pun langsung pergi keluar kamar. Dan menutup pintu kamar. Arum yang sedang beres-beres didekat kamar Ajeng pun langsung lari mendekat.
"Pengantin baru sudah teriak-teriak aja nona." goda Arum.
"Astagfirullah Arum... Ngagetin aku aja." kata Ajeng.
Dengan mengatur nafasnya yang masih tersengal. Karena melihat pemandangan yang belum pernah sekali saja ia liat. Arum pun pergi meninggalkan Ajeng.
"Sudah belum ganti bajunya mas?" tanya Ajeng dari luar kamar.
Tanpa jawaban, Nalendra membuka sedikit pintu kamar. Ajeng menyembulkan sedikit kepalanya. Sudah melihat Nalendra duduk disofa kembali. Ajeng pun masuk dan membereskan baju Nalendra yang dibuatnya berantakan tadi. Nalendra pun sibuk dengan ponselnya. Tanpa menghiraukan Ajeng yang ada disitu.
Bahkan ketika Ajeng keluar dan masuk dengan secangkir kopi pun. Nalendra masih asik dengan ponselnya. Tanpa menghiraukan adanya Ajeng disitu.
"Asik banget sih main hpnya... Sampai aku dianggurin." celoteh Ajeng.
Nalendra menatap tajam Ajeng yang berdiri tak jauh dari Nalendra. Nalendra sangat tidak suka jika kegiatannya diganggu orang lain.
"Jangan sok asik, udahlah pergi sana. Sibukkan dirimu sendiri." ucapan dingin kembali keluar dari mulut Nalendra.
"Mas Nalen, kita kan masih dirumah ku. Jangan lupa dong dengan berkasnya. Kamu sendiri loh yang buat mas." jelas Ajeng.
"Diajeng Danisa Kusuma Putri, setelah menikah. Jangan harap sikap ku akan berubah kepadamu. Ini memang rumah mu. Tapi kita dikamar dan hanya berdua. Tidak akan ada yang tahu." dingin Nalendra.
"Kamar ku tidak kedap suara mas Nalen." bohong Danisa.
Terlihat raut wajah yang mulai berubah dari Nalendra. Karena ucapan yang dilontarkan Danisa. Melihat raut wajah yang berubah, membuat Danisa tertawa terpingkal.
"Hahahaha.... Tapi boong..." canda Danisa.
"DANISA...." teriak Nalendra.
"Maaf, maaf... Nisa hanya bercanda mas." mohon Danisa.
"Sekarang mulai kemasi barang mu. Aku sudah muak melihat wajah mu. Secepatnya kita pindah dari sini.!" tegas Nalendra.
"Mas ini sudah malam loh. Lagian boleh nggak? seminggu atau sebulan disini aja." pinta Danisa tanpa ada rasa takut sedikit pun.
Gadis ini, baru sehari aja sudah bikin kepala ku pecah. Apalagi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dengus Nalendra dalam hatinya. Nalendra pun pergi membaringkan tubuhnya diatas ranjang tempat tidur. Ajeng masih membereskan baju Nalendra. Selesai, Ajeng juga tidur disamping suaminya.
"Mau apa kamu?!" tanya Nalendra dengan nada tinggi.
"Bisa nggak sih nggak usah kaget-in. Ya aku mau tidurlah." jawab Ajeng santai.
"Nggak ada ! Jangan tidur satu ranjang sama aku. Kamu tidur disofa sana !" perintah Nalendra.
"Orang kasur, kasur aku juga. Kenapa malah aku yang terasingkan dari kasur ku." gerutu Ajeng.
"DANISA... !! Kamu tu bener-bener ya..."
"Iya-iya aku ngalah deh..."
Akhirnya Ajeng mengalah, dia mengbil bantal dan selimut dilemarinya. Dia pun tidur disofa, dengan perasaan yang sebenarnya begitu sedih. Lantas apa gunanya pernikahan ini, jika jarak kita sejauh ini mas. Tangis Ajeng dalam hatinya. Semalaman Ajeng tidak bisa tidur. Dia memutuskan untuk pergi ke dapur. Didapur Ajeng dikagetkan dengan suara Guntur.
"Nona kecil..." panggil Guntur.
"Eh... Copot dah, masha Allah bang Guntur ya... Aku kaget ini." gerutu Ajeng.
"Maaf Jeng... Lagian malam-malam bukannya olahraga ngapain disini?" tanya Guntur penasaran.
"Ha... Olahraga apa? Malam-malam gini. Malam tu buat istirahat tidur, ngorok yang kenceng." jawab Ajeng.
"Pengantin baru ya harusnya malam pertama dong." celoteh Guntur.
"Eh, ha... Iya ini capek cari minum deh aku." jawab Ajeng asal.
"Lah, sampek berapa ronde non?" goda Guntur lagi.
"Udah ah bang... Diledekin mulu aku."
Ajeng pun pergi meninggalkan Guntur. Sepolos itu kamu nona kecil. Padahal aku yakin, tuan muda belum menyentuh tubuh mu sedikit pun. Gumam Guntur dalam hati. Sampai dikamar, Ajeng kembali merebahkan tubuhnya disofa. Tanpa sengaja ia melihat lelaki tampan. Yang tengah berbaring diatas ranjangnya.
Ajeng tersenyum, menatapnya dalam. Aku yakin suatu saat nanti aku bisa masuk dalam hati mu. Bahkan kamu tidak akan pernah bisa jauh dari sisi ku tuan muda. Raden Mas Nalendra, aku berjanji akan menaklukkan mu. Semangat Ajeng, taklukkan suami dingin mu itu. Ajeng berbaring dan terlelap dalam tidurnya.
Bangun pagi, setelah sholat dia sudah melihat dua koper miliknya rapi. Ternyata semua itu kerjaan Nalendra. Yang sudah ingin pergi dari rumah Ajeng. Ajeng pun duduk disofa dan meregangkan ototnya. Karena terasa sangat pegal. Semalaman tidur di sofa yang terasa tidak nyaman.
"Buruan mandi, siap-siap pindah !" perintah Nalendra.
"Hom... Sarapan dulu sana. Aku mandi dulu."
Ajeng pergi ke kamar mandi dan setelahnya dia siap-siap. Nalendra yang masuk ke kamar setelah dari balkon. Terpana akan kecantikan Ajeng. Dandanannya tidak menor tapi terlihat anggun. Dengan dress selutut dan lengan balon berkerah. Dan rambut yang diikat kuda. Menambah cantik natural yang dipancarkan Ajeng.
"Jangan gitu pandanginya, ntar mas sayang loh." goda Ajeng.
"Jangan berharap. Oh ya... Sebisa mungkin setelah setahun kita pisah. Karena aku memiliki kekasih." ucap Nalendra santai.
Namun ucapan itu bak petir disiang bolong untuk Ajeng. Kenapa? Kalau kamu memiliki kekasih kamu menerima perjodohan ini. Kenapa kamu menikah dengan ku. Pertanyaan yang muncul dalam benak Ajeng. Namun Ajeng terlihat biasa, dia pun sarapan dengan tenang. Usai itu mereka berpamitan untuk pindah ke rumah baru.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!