Verlie, gadis berusia 20 tahun yang sedang menjalani masa kuliah di tahun kedua. Rambutnya lurus kecoklatan. Hari itu ia memakai celana jins yang dipadukan dengan kaus lengan pendek juga tas selempang disampingnya. Ia memakai topinya dan berjalan di pinggiran pantai sore itu.
Sepulang dari kuliah ia tak langsung pulang, melainkan ke pantai. Langit senja sangat disukainya. Ia memotret pemandangan sore dengan ponselnya.
"Heiiiii! Naik! Ini sudah sore!" teriak seorang pemuda yang memakai kaus putih berlapis kemeja dan bercelana jins pendek.
Verlie melihat ke pantai, ada dua pria sedang berenang sambil memberi kode meminta waktu sedikit lagi.
"Haishhh... Kalau sudah kena air lupa daratan!" ucapnya sambil bertolak pinggang. Verlie mengerling ke arah pemuda itu dan seketika terpesona dengan wajah pria itu. Untunglah pria itu tidak menoleh ke arahnya, malah sekarang membelakanginya.
Iseng, Verlie melihat bayangan pemuda itu tak jauh dari tempatnya. Ia memotret bayangan pemuda itu beberapa kali. Ia melirik sebentar, merasa pemuda itu tak memperhatikannya. Verlie beralih tak jauh dari pemuda itu, membuat bayangan seolah Verlie menciumnya lalu dengan cepat Verlie memotret bayangan mereka. Verlie tersenyum melihat hasil foto bayangan mereka.
Sekali lagi, Verlie membuat tangannya membentuk C dan mendekatkan bayangan tangannya ke arah bayangan pipi pemuda itu dan ia bersiap memotret. Ia terkejut karena di detik terakhir pemuda itu juga membuat tangannya membentuk huruf C dan menyatukan bayangan mereka sehingga membentuk love sempurna pada bayangan.
"Kamu diam-diam memotretku?" tanyanya sambil mendekat.
"Eeeh maaf, tapi maksudku tidak begitu," jawab Verlie merasa malu sekaligus gugup.
"Lalu? Apa maksudmu?" tanyanya berjalan mendekat dan berhenti. Wajahnya hanya sejengkal dari wajah Verlie hingga membuat kedua pipinya memerah.
"Aku hanya iseng memotret siluet," jawab Verlie.
"Begitu yaaa... Coba kulihat!" pria itu menengadahkan tangannya meminta hasil fotonya.
"Tidak boleh!" Verlie menyembunyikan ponsel di belakang tubuhnya.
"Kenapa? Aku hanya memastikan bahwa fotonya bagus," ucapnya.
"I... Ini sudah bagus kok,"
"Aku sebagai model curian harus boleh melihat fotonya," ucap pria itu.
"Tapi kan..."
"Atau kamu memotretku? Iya?" tanyanya.
"GR! Tentu saja tidak! Nih kalau tidak percaya!" Verlie memberikan bukti foto terakhir mereka. Dengan cepat pemuda itu menyambar ponsel Verlie dan segera menggulirnya.
"Heiiii! Kenapa kamu memeriksa semuanya?" tanya Verlie sedikit marah.
"Wajar kan? Ini siluetku semua!" ucapnya dan berhenti pada foto bayangan mereka yang seolah Verlie menciumnya.
"Waaaah... Kamu berbahaya sekali!"
"Berikan ponselku!" Verlie mencoba meraih ponselnya tapi pemuda itu lebih tinggi mengangkat ponselnya hingga Verlie tak bisa menjangkaunya.
"Aku akan menyita ponselmu!"
"Tidak bisa begitu!"
"Kenapa tidak? Kamu mencuri fotoku,"
"Itu hanya foto bayangan!" protes Verlie.
"Tetap saja itu aku!"
"kembalikan!"
"Tidak akan! Sampai nanti aku selesai mengecek ponselmu!"
"Maksudmu...?"
"Kalau kamu mau ponsel ini kembali, nanti malam temui aku di sana!" tunjuknya pada salah satu resto yang ada di pantai itu.
"Apa? Malam? Tidak... Tidak... Tidak... cek sekarang dan kembalikan padaku!" perintah Verlie.
"Tidak sampai aku menemukan keanehan lainnya!"
"Tidak ada lagi! Sini berikan! Aku mau pulang!" pinta Verlie.
"Aku tidak akan memberikannya sebelum kamu menemuiku di sana. Jam tujuh malam. Ingat!" pria itu berbalik dan berjalan menjauh. Verlia akan merebut ponselnya tapi pemuda itu segera berlari. Verlie ingin teriak maling, tapi tak ada lagi orang di sana kecuali dua teman pria itu yang berenang menuju daratan.
"Maaf, apa kalian teman pemuda tadi?" Verlie menghentikan kedua teman yang diteriaki oleh pemuda yang mengambil ponselnya.
"Siapa?" tanya salah satu diantara mereka.
"Pemuda tadi,"
"Siapa namanya?" tanya mereka. Verlie menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kedua pemuda di depannya melirik sambil tersenyum.
"Aku tidak tahu, tapi dia mengambil ponselku," adu Verlie.
"Maaf, mungkin kamu salah orang. Mana mungkin teman kami mengambil apalagi mencuri punya kamu,"
"Tapi..."
"Memangnya kenapa dia harus mengambil ponselmu, dia ada beberapa ponsel keluaran terbaru. Buat apa ponsel bekasmu diambilnya. Aneh..." ucap salah satu diantara mereka yang tubuhnya sedikit lebih rendah.
"Cih sombong sekali...!"
"Memangnya ada apa di ponselmu sampai dia mengambilnya?" tanya salah satu diantara mereka yang lebih tinggi.
"Itu isinyaaa..." Verlie menggaruk kepalanya lagi. Bagaimana ia harus menjelaskan pada kedua pemuda di hadapannya ini. Ia merasa malu.
"Hoiiiiii... Sini! Ngapain di sana!" teriak pemuda tadi dari kejauhan.
"Sebentar Ja!" teriak yang lebih pendek.
"Nah dia! Dia teman kalian kan?" tanya Verlia. Keduanya mengangguk. "Bisa tolong mintakan ponselku padanya?" sambung Verlie.
"Siapa namamu? Siapa tahu nanti bisa kubantu," kata yang tinggi.
"Namaku Verlie, kamu?"
"Aku Kefin," si tinggi mengulurkan tangan, disambut oleh Verlie.
"Aku Jimy," yang lebih pendek menyalaminya juga.
"Aku mohon bantu aku mengambil ponsel ya," pinta Verlie.
"Bantu kamu?" tanya Kefin, Verlie mengangguk semangat.
"Ambil ponsel?" tanya Jimy, Verlie mengangguk sambil tersenyum.
"Di tangan teman kami?" tanya Kefin.
"Iyah!" jawab Verlie.
"Malessss! Ambil aja sendiri hahaha!" kedua pemuda itu berkata sambil berlari menjauhi Verlie.
"Kurang ajar! Heiiii! Kembali!" teriak Verlie. Tapi mereka bertiga tertawa-tawa sambil pergi hingga tak lagi terlihat oleh Verlie. Ia merasa lelah bila harus mengejar. Mereka pasti lebih kencang berlari dari dirinya.
Kesal tak dapat mengejar, akhirnya Verlie duduk di salah satu bangku di sekitar resto yang ditunjuk pemuda tadi. Ia akan memesan minuman. Sampai waktu janjian mereka tiba, jam tujuh malam nanti. Masih ada satu jam untuk menunggu untung saja di sana ada suara musik dan menyediakan sudut baca. Verlie mengatasi rasa bosannya dengan menikmati membaca majalah. Dan berharap pemuda tadi tidak membohonginya dan mengembalikan ponselnya. Banyak nomor penting di sana.
Hampir satu jam Verlie sudah bosan dengab majalah dan musik yang terus mengalir tanpa henti. Berkali-kali ia melirik jam di pergelangan tangannya. Sepuluh menit lagi pukul tujuh, tapi keberadaan pemuda tadi belum terlihat. Verlie duduk dengan gelisah dan berkali-kali melirik keluar. Siapa tahu mereka sudah datang. Tapi nihil.
Tepat pukul tujuh seseorang masuk dan duduk di hadapannya sambil memainkan ponselnya sambil tersenyum jahil.
"Kembalikan!" pinta Verlie.
"Sabarlah, kamu temani aku makan dulu,"
"Tidak bisa! Aku harus pulang!" kata Verlie.
"Sebentar saja!" ia pun memanggil pelayan dan memesan makanan. Ia juga menawarkan Verlie untuk makan malam bersamanya yang tentu saja ditolak gadis itu.
"Kenapa memesan makanan untukku?" tanya Verlie.
"Anggap saja kita sedang kencan," jawabnya cuek.
"What? Nggak!" jawab Verlie sambil mendekap tubuhnya.
"Loh? Kenapa tidak? Tapi kamu mengatakan bahwa kamu sedang berlibur dan berterimakasih karena sudah menemanimu hari ini," ucap pemuda itu sambil tertawa.
"Kamu memeriksa story-ku?" tanya Verlie. Ia hanya mengangkat bahu. Lancang sekali. Huh.
Pemuda di hadapannya sedang asik menikmati makan malamnya. Verlie melirik sebal pemuda itu.
"Makanlah! Aku mentraktirmu. Ini sudah malam," ucapnya.
"Tapi ponselku..."
"Akan aku kembalikan, makanlah!" perintahnya.
"Janji?"
"Ck... Makan!" perintahnya lagi dengan sedikit galak. Verlie segera menyendok makanannya yang rasanya sungguh enak.
"Kamu suka makanannya?" tanya pria itu.
"Suka. Ponselku?" pinta Verlie menengadahkan tangannya.
"Astaga! Sudahlah, nikmati malam ini. Aku akan memberikannya nanti," ucap pria itu. Verlie merengut kesal.
"Tapi kamu sudah berjanji,"
"Iya, nanti pasti akan aku berikan. Tapi sebelum itu aku mau minta tolong. Oh ya, namaku Naja. Siapa namamu?" tanyanya mengulurkan tangan.
"Verlie" menyambut uluran tangan pemuda di hadapannya yang ternyata bernama Naja.
"Begini, aku mau meminta bantuanmu sedikit,"
"Apa itu?" tanya Verlie.
"Maukah kamu menemaniku ke suatu acara?" tanya Naja mengusap hidung mancungnya.
"Acara apa?"
"Pernikahan temanku, aku butuh pasangan," jawabnya. Verlie tertawa mendengarnya.
"Astaga... Kamu jomblo hahaha," Verlie tak tahan untuk menggoda Naja. Meski Naja sudah memberikan tatapan tajamnya.
"Dan kamu juga jomblo ditinggalkan pacarmu," jawabnya santai. Mulut Verlie menganga, bagaimana dia bisa tahu. Naja tersenyum mengejek.
"Kamu memeriksa ponselku? Tidak sopan sekali!" gerutu Verlie.
"Kamu mengambil fotoku tanpa ijin juga tidak sopan. Sudahlah kita impas!" kata Naja. Verlie melirik sebal pria di depannya ini, meski ia sangat ganteng, berkulit putih, dengan rambut hitam yang sedikit panjang mengingatkannya pada salah satu idol Korea yang pernah ditunjukkan teman sebangkunya. Naja juga menindik sebelah telinganya. Hmmm... Verlie sedikit bangga bisa duduk dengan Naja.
Naja menjelaskan tentang rencananya yang akan mengajak Verlie ke pernikahan temannya. Bahwa mereka berpacaran tentu saja dengan berpura-pura.
"Jadi begitu, apa kamu mengerti?" tanya Naja setelah menjelaskan panjang lebar, meski Verlie belum menyetujui rencananya untuk mau membantu Naja.
"Ha?"
"Astagaaaa Ver! Kamu bengong?" Naja menyugar rambutnya frustasi dengan tingkah Verlie.
"Tidak... Aku mengerti sebenarnya! Baiklah, tapi ponselku mana?" pinta Verlie.
"Tidak akan aku berikan, sampai selesai acara pernikahan temanku," jawab Naja santai. Verlie tak mempercayai pendengarannya.
"Apaaa? Tidak bisa gitu, kamu sudah berjanji..."
"Aku berjanji mengembalikan, tapi bukan malam ini," jawabnya memainkan ponselnya sendiri.
"Tidak bisa begitu! Bagaimana kalau ada pesan dari orangtuaku, dari kampusku atau dari..."
"Ini! Kamu pakai!" Naja meletakkan ponsel yang dimainkannya tadi ke hadapan Verlie.
"Tidak!"
"Pakai saja, pesan apapun yang kamu dapatkan di ponselmu akan aku teruskan ke ponsel itu!" ia menunjuk ponsel yang belum disentuh Verlie.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu," keluh Verlie.
"Terserah!" Naja menjawab santai. Verlie menghembuskan napasnya. Kenapa hari ini ia sial sekali. Setelah diputuskan oleh kekasihnya dan sekarang ia dikerjai orang asing yang tak bisa dipercaya begitu saja. Verlie melirik Naja dengan kesal.
"Heiii... Wah, sudah selesai makannya?" tanya Jimy yang baru saja sampai bersama Kefin, mereka duduk dan memesan makanan.
"Kenapa wajahmu begitu? Apa Naja memaksamu melakukan sesuatu?" Kefin terkekeh diikuti Jimy.
"Kalian lama sekali!" protes Naja.
"Ada seorang gadis disana, sendirian. Kami menemaninya," jawab Jimy menunjuk keluar resto.
"Cih! Semua memang penggoda tidak bertanggung jawab!" umpat Verlie.
"Kamu juga tergoda?" tanya Naja sambil memainkan rambutnya. Verlie mencebik kesal. Meski tak dipungkiri bahwa ia juga menyukai ketiga orang tampan dihadapannya.
"Sudahlah, lihat wajahnya memerah," goda Kefin sambil menunjuk Verlie.
"Tidak! Berhenti menggoda wanita!" protes Verlie.
"Waaah kamu dibelikan ponsel oleh Naja? Serius?" kata Jimy saat melihat Verlie memainkan ponsel yang diberikan Naja.
"Ck! Berisik! Cepat makan!" perintah Naja, keduanya langsung menyendok makanan meski sambil menahan tawa dan saling melirik.
"Setelah ini kamu mau kemana?" tanya Naja.
"Tentu saja pulang,"
"Dimana rumahmu?" tanya Kefin. Verlie menyebutkan alamat tempat kosnya saat ini.
"Itu jauh dari sini," seru Kefin.
"Makanya aku kesal temanmu mengambil ponselku, aku tidak tahu malam ini ada kendaraan atau tidak," keluh Verlie.
"Kamu tidak mempunyai kendaraan?" tanya Jimy. Verlie menggeleng pelan.
"Sudahlah, kami akan mengantarmu pulang," ucap Naja.
"Benarkah? Kamu tidak berbohong lagi?" tanya Verlie. Ketiganya mengangguk dan berjanji akan mengantar Verlie pulang setelah makan malam.
Benar saja, pukul 22.00 Verlie sudah sampai di kos diantar oleh ketiga teman barunya. Verlie merasa lucu mengingat bagaimana hari ini ia menemukan teman tanpa di sengaja. Meski sempat curiga tapi mereka terlihat baik.
Verlie masuk ke dalam halaman kostan barulah mobil Kefin beranjak dari sana. Mereka memastikan Verlie sudah masuk baru mereka pergi. Verlie masuk ke kamarnya yang sangat sempit. Karena memang hanya terdiri satu tempat tidur single di sudut, sebuah lemari pakaian dua pintu, sebuah meja belajar dan kamar mandi. Hanya tersisa sedikit space untuk bisa duduk dua orang di lantai.
Terlihat menyedihkan tapi itu lebih baik. Dekat dari kampus dan juga pasar. Keluarga Verlie sebenarnya mampu tapi memang Verlie menginginkan kawasan dekat dengan kampus, jadi ia menerima saja kostan sempit dengan harga yang agak lumayan.
Verlie membanting tubuhnya ke kasur. Melelahkan hari ini. Ia teringat kemarin ia menangisi hatinya yang patah karena Giandra kekasihnya memutuskannya tanpa alasan yang jelas. Dan tadi pagi ia baru tahu saat Giandra jalan berdua bersama Felisha, sang model di kampusnya.
Nyatanya baik saja tidak cukup bagi Giandra, setia saja tidak cukup. Giandra menginginkan yang sempurna dimatanya. Verlie tak cukup cantik dimatanya. Air mata Verlie kini mengalir lagi mengingat Giandra. Laki-laki yang setahun ini mengisi hari-harinya.
Verlie meraih tisu di meja belajarnya dan melihat ponsel pemberian tidak! Tepatnya dipinjamkan oleh Naja. Tentu saja ponsel itu terus diam, karena tidak ada kontak lain selain nomor Naja. Padahal saat ini ia membutuhkan seseorang untuk bercerita.
Ponsel itu berkedip tanda ada yang menelepon. Verlie mengusap air matanya dan meraih ponsel itu.
"Ya?"
"Tidak ada sapaan? Tidak sopan sekali!" protes Naja dari seberang sana.
"Iya, ada apa?" tanya Verlie.
"Hanya memastikan bahwa kamu masih bernapas, takut hidungmu tersumbat karena menangis," jawabnya diujung sana. Reflek Verlie mengusap air matanya.
"Tidak! Aku tidak menangis. Kamu menelepon hanya untuk mengejekku?" kata Verlie meraih botol minum. Menangis membuatnya kehausan.
"Tidak! Apa kamu benar menangis?" tanya Naja lagi.
"Tidak tapi... Huhuhu" Verlie tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Ia benar menangis, air mata tidak bisa ditahannya.
"Menangislah! Biar lega, aku temani," kata Naja di ujung sana membuat tangis Verlie semakin keras.
Setelah puas menangis, Verlie tertidur dengan ponsel tak jauh darinya. Tanpa mengganti pakaian dan mencuci wajahnya yang seharian berada di luar ruangan. Biasanya ia akan ribut tentang debu, karena kulitnya sangat sensitif dan mudah berjerawat. Sedangkan Naja hanya bisa mengusap wajahnya bingung. Baru kali ini ia menemukan gadis unik dengan perubahan mood yang sangat cepat. Dan bahkan gadis itu tertidur dengan ponsel masih tersambung dengannya.
Verlie berlari menuju ruang kelasnya. Ia terlambat lima menit! Verlie mengetuk pintu kelas dan mengintip ke dalam. Semua teman sekelas menatapnya.
"Kamu terlambat! But good news dosen kita juga tidak masuk!" kata Shendy teman dekatnya.
"Fiuh! Kukira aku terlambat!"
"Aku sudah mengirim pesan dan meneleponmu berkali-kali dari kemarin tidak ada balasan. Hanya dibaca! Kenapa?" Shendy merengut duduk di kursinya kembali.
"Maaf..."
"Dan... Asal kamu tahu! aku menelepon yang mengangkat suara cowok!" Shendy menyipitkan mata penuh kecurigaan. Verlie menggeleng.
"Kamu balikan dengan..."
"Nggak! Aku nggak balikan,"
"Terus? One night stand?"
"Astaga Shendy!" Verlie menutup mulut Shendy karena suara gadis itu tidak pelan. Untung saja yang lain sedang sibuk semua jadi tidak ada yang mendengarkan.
"Jadi? Beritahu aku!" desak Shendy.
"Nanti aku ceritakan, sekarang beritahu tugas kita," pinta Verlie. Shendy memberikan catatannya dan membiarkan Verlie menulis beberapa waktu dan setelah selesai menariknya menuju kantin.
"Jelaskan, bagaimana bisa ponselmu ada suara cowoknya?" tanya Shendy.
Verlie menjelaskan sambil memakan cemilan di hadapannya. Ia menjelaskan bagaimana pertemuannya dengan ketiga pria tampan itu kemarin. Shendy tak percaya, bagaimana mungkin Verlie bisa seberuntung itu.
"Pasti mereka bukan orang baik-baik," gumam Shendy.
"Nggak tahu!" Verlie mengangkat kedua bahunya. Ponselnya berdering siapa lagi yang menelepon kalau bukan Naja.
"Orangtuamu menelepon!" ucapnya tanpa basa basi.
"Haa? Lalu? Kamu jawab?" Verlie mendekap mulutnya.
"Menurutmu?"
"Naja... terus mereka bilang apa? Kalian sih iseng," Verlie merasa kesal.
"Hmmm... Begitulah,"
"Begitu bagaimana?"
"Kamu mau tahu? Temui aku sekarang!" kata Naja.
"Sekarang? Dimana?" tanya Verlie.
"Di parkiran! Cepat! Aku lelah menunggu!" perintahnya tanpa memberi jeda dan langsung mematikan ponselnya.
"Astagaaaa anak ini!" dengan kesal Verlie memasukkan ponselnya ke tas dan beranjak dari meja kantin.
"Mau kemana?" tanya Shendy.
"Ayo kalau mau ikut!" kata Verlie bergegas keluar, diikuti Shendy di belakangnya sambil berlari kecil.
Mereka sampai di pelataran parkir, Verlie mencari dimana Naja. Tak lama ponselnya berdenting, Naja memberitahu dimana mobilnya. Lalu Verlie mendekat, saat Naja menurunkan kaca mobilnya.
"Berikan ponselku!" pinta Verlie, Naja menggeleng pelan.
"Telepon dan loudspeaker!" Naja tetap memegang ponsel Verlie.
"Enak saja! Tidak bisa beg..."
"Halo Verlie?" suara ibunya memanggil dari seberang sana, rupanya Naja sudah menelepon lebih dahulu.
"Halo, iya bu? Ibu apa kabar?" tanya Verlie sambil ingin meraih ponselnya tapi dengan cepat Naja menjauhkan dari jangkauan Verlie.
"Baik, kamu baik-baik saja?" tanya ibunya.
"Baik bu,"
"Oh ya, siapa tadi yang menyimpan ponselmu?"
"Oh itu teman bu,"
"Lain kali hati-hati, untung temanmu baik menyimpankan ponselmu. Jangan teledor lagi! Apalagi meninggalkan barang di sembarang tempat!" ucap ibunya.
"Baik bu, ayah mana?"
"Ayah kerja, ya sudah ibu cuma mau tanya kabarmu. Syukurlah kamu baik-baik di sana. Nanti ibu telepon lagi ya,"
"Baik bu, salam buat ayah,"
"Nanti ibu sampaikan, kuliah yang benar. Jangan malas-malasan lagi,"
"Baik bu,"
"Ya sudah, ibu tutup ya, dah sayang,"
"Dah ibu!"
Klik
Ponsel langsung dimatikan oleh Naja. Ia melirik Verlie dan ternyata ada seorang teman di belakangnya.
"Aku mau membahas acara undangan, sebaiknya kita segera pergi," kata Naja.
"Bahas di sini saja!"
"Tidak! Ayo naik, dan pamit ketemanmu!" perintahnya.
"Cih! Memerintah terus!"
"Mau kubuang ponselmu?" ancamnya.
Verlie berbalik dan mengatakan bahwa Naja mengajaknya pergi dengan wajah yang terlihat tidak enak. Untunglah Shendy mengerti dan membiarkan Verlie pergi.
Verlie dan Naja saling diam. Verlie melirik ke arah Naja yang memakai kemeja berwarna navy dengan lengan yang digulung sampai siku sangat sinkron dengan kulitnya yang putih. Rambutnya tersisir rapi dengan anting yang masih bertengger di telinganya.
"Jangan menatapku terus, nanti kamu kagum," ucapnya saat mobil berhenti karena lampu jalan sedang berwarna merah.
"Percaya diri sekali!" Verlie mendecih dan mengalihkan pandangan keluar.
"Oh ya, aku lupa bilang. Kita akan menemui keluargaku," ucap Naja santai.
"AP...Apa??" dalam beberapa hari saja Naja sukses membuat Verlie terkena sakit jantung.
"Menemui orangtuaku,"
"Huh! Kalau mau mengerjaiku kira-kira! Aku sedang malas bertengkar!" ucap Verlie.
"Terserah saja," jawab Naja.
"Serius Ja...!"
"Tak lama lagi kita sampai," ucap Naja serius.
Mereka sampai di suatu rumah sederhana dengan pekarangan yang lumayan luas. Banyak tanaman tahunan di sekitarnya, pekarangannya di tutupi rumput. Ada satu mobil terparkir di depannya.
"Ayo!" ajak Naja. Verlie dengan gerakan lambat keluar dari mobil.
"Ini..."
"Dah masuk aja!" perintah Naja. Mereka masuk dan mendapati interior ruangan yang didominasi warna putih dan coklat.
"Duduklah!" perintahnya. Verlie yang merasa sedikit gugup segera duduk. Naja entah pergi kemana.
"Waah... Ada Verlie!" tiba-tiba Jimy turun dari lantai atas dan duduk di sofa.
"Hai Jim! Kamu di sini?" tanya Verlie.
"Iya, tadi habis main di atas," jawabnya santai.
"Kefin mana?" tanya Verlie.
"Di atas! Masih lanjut main. Dengan siapa kesini? Apa dengan Naja?" tanya Jimy. Verlie mengangguk.
"Tapi aku nggak tau dia dimana, apa dia mangģil..."
"Iya, sepertinya begitu," jawab Jimy memutuskan pembicaraan Verlie.
"Jadi benar?"
"Iyalah, kalau tidak pasti dia sudah duduk di sini!" jawab Jimy santai.
"Begitu ya..." Verlie sedikit gugup. Jika benar Naja memanggil orangtuanya, entah bagaimana Verlie harus bersikap. Jujur saja dia belum siap. Dan entah kenapa dia mau mengenalkan orangtuanya, sementara mereka baru kenal.
"Kenapa?" tanya Jimy.
"Aaah tidak apa-apa," jawab Verlie.
"Santai sajalah, apa Naja tadi ke kampusmu?" tanya Jimy.
"Iya, bagaimana dia bisa tahu kampusku?" tanya Verlie.
"Hal yang mudah bagi Naja untuk mencari informasi. Apa dia mengganggumu tadi?" tanya Jimy. Verlie menggeleng. Ia lalu bercerita bagaimana pertemuannya di kampus tadi. Sampai Verlie lupa akan rasa gugupnya. Jimy pendengar yang baik ditambah ia juga humoris. Sehingga Verlie merasa betah bercerita dengannya.
Jimy tertawa keras saat Verlie bercerita saat menelepon orangtuanya.
"Naja memang selalu begitu, sesukanya saja. Cuma aneh..." kata Jimy.
"Aneh kenapa?" tanya Verlie.
"Dia..."
Jimy tak jadi melanjutkan pembicaraan karena Naja datang dengan membawa minuman. Jimy sampai melongo melihat Naja.
Plak!
Naja memukul lengan Jimy.
"Apa sih!"
"Ngapain? Sana...!" usirnya pada Jimy yang duduk di sebelah Verlie. Jimy beranjak sambil menggerutu.
"Okeh, aku mau bicara soal undangan pernikahan kemarin," kata Naja.
"Iyaaaa" Verlie membalas dengan malas.
"Undangannya Sabtu ini, aku mau kamu merawat diri di..."
"JIM! JIMY! Kemarilah!" perintah Kefin dari atas menuruni tangga. Lagi-lagi ucapan Naja terpotong.
"Berisik! Aku sudah mengambil minumannya!" Jimy mengangkat minuman kaleng di tangannya.
"Cepatlah!" perintah Kefin, lalu saat ia akan kembali ke atas ia melihat Verlie.
"Hai Verlie..."
"Aaaarrrrrrrggggghhhhhhhhhhh!" teriak Verlie
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!