NovelToon NovelToon

Istri Setelah Cinta

Prolog

Dia menikmati waktunya menyeduh kopi. Tetesannya yang pelan dan terasa lembut. Menuangkan air dan melihat kopi mengepul-aroma yang memenuhi kafe sudah cukup untuk membuatnya melupakan masalahnya untuk sementara waktu. Itu adalah bagian terbaiknya dari semuanya....

Mendengarkan dan melihat semua hal itu dalam kesunyian yang tenang.

Kafe kecil yang berbentuk wisma dan kafe ini terletak di sudut terpencil di pinggiran Kota Sunderland, Timur Laut Inggris. Berjarak 30 menit dari kota terdekat dan diberi nama The Beautiful World's. Dengan badai salju yang memastikan tidak ada orang yang akan melakukan perjalanan hari ini, Nadia menyeduh kopi untuk dirinya sendiri....

Salju terus turun.... Rasanya seperti ada lubang yang terbuka di atas langit. Mereka mengatakan bahwa sangat jarang salju turun di daerah sini, apalagi sampai menumpuk. Pemandangan di luar yang lembut dan berkilauan adalah pemandangan yang cukup ajaib....

Meskipun dia merasa sedikit kasihan pada bosnya, Nadia menikmati gagasan tentang hari tanpa pelanggan. Tetapi kedamaian itu tidak berlangsung lama....

Di luar sana, suara mesin membelah dunia yang tenang dengan hamparan salju dan awan kopi.

Mengapa ada orang yang datang jauh-jauh ke sini pada hari seperti ini?

Nadia menjulurkan lehernya untuk melihat siapa orang itu. Sebuah taksi kuning berhenti di luar depan kafe.

Siapa yang akan naik taksi ke sini dari kota? pikirnya.

Seorang pria melangkah keluar dari taksi menuju salju yang turun.

“Aneh,” kata Nadia dalam hati.

Dia memeriksa catatan yang ditinggalkan bosnya dan melihat bahwa tidak ada reservasi penginapan untuk hari itu. Sambil membuka-buka buku catatan itu, dia menyadari bahwa tidak ada tamu yang datang selama tiga hari.

Apakah orang ini benar-benar hanya datang untuk sekedar minum kopi?

Sebelum Nadia sempat untuk menyelesaikan pikirannya, Ting, ting, bel berbunyi, dan pintu kayu berderit terbuka. Kriet.

“Selamat datang di The Beautiful World's. Di luar sana sedang turun salju.” Nadia menyapa pelanggannya dalam bahasa Inggris sebelum mendongak untuk melihat siapa dia.

Seorang pria yang mengenakan setelan jas dan membawa tas kerja berdiri di dekat pintu masuk. Butiran-butiran salju tampak di rambutnya yang baru saja berjalan kaki dari taksi. Nadia mendongak dan menatap mata pria itu yang bersinar dari balik rambutnya. Senyumnya yang sopan tampak mengeras.

“Halo. Kita jumpa lagi.” Dia menyapa dengan bahasa Indonesia yang sempurna.

Nadia hanya diam melongo saat melihatnya. Bibirnya melengkung nakal saat pria itu melihat wanita di depannya mencoba mengangkat rahangnya dari lantai.

“Aku tidak tahu kalau kamu bisa berbahasa Inggris dengan baik, Nadia.” Dia tertawa, menyibak salju dari rambutnya. “Tapi, aku tidak pernah tahu banyak tentangmu, kan?”

Tawa itu. Betapa dia ingin sekali mendengar tawa lembut itu. Dia tidak menyadari betapa dia ingin mendengarnya... sampai sekarang.

Suara yang memenuhi kafe kecil yang terbuat dari kayu itu terasa lebih manis daripada aroma kopi. Waktu berhenti. Suara berhenti. Segala sesuatu semuanya Berhenti. Tidak ada lagi yang penting. Tawanya mengiris hati Nadia dalam gerakan lambat.

“Kamu sangat tenang,” katanya, melangkah ke arahnya. Dia duduk di seberang meja tempat Nadia berdiri, menjatuhkan tasnya ke lantai. “Kamu tidak lupa bagaimana berbicara bahasa Indonesia, kan? Ini baru sebulan!”

Sindiran itu membuat Nadia terkejut, dan dia berhasil mengeluarkan satu kata. “Davino.”

“Ah.... Jadi, kamu masih mengingatku.” Dia tersenyum. Dia mengatupkan rahangnya agar tidak membalas senyumannya.

Bagaimana mungkin aku bisa lupa? Aku bisa saja melupakan namaku sebelum aku bisa melupakanmu.

Davino....

Davino El-Prasetyo....

Cinta dalam hidupku....

Cinta pertamaku....

Saat Nadia menenggak pemandangan pria tampan yang duduk di depannya, senyum mengembang dari matanya. Tatapan Davino membakar pipinya yang sudah memerah karena panasnya perapian kayu.

"Apa kamu benar-benar berpikir kamu bisa lari dariku?” tanya Davino.

“Aku tidak mencoba melarikan diri,” jawab Nadia, suaranya terdengar bergetar.

Bibirnya melengkung saat dia menolak. “Jika kamu tidak melarikan diri, mengapa kamu tidak memberitahuku ke mana kamu akan pergi?” Davino bersikeras.

Dia menunduk dan menggumamkan sesuatu yang lain. Sebuah kutukan? Sebuah desahan? Tanpa menyadarinya, Nadia mencondongkan tubuhnya untuk mendengar.

Tiba-tiba, Davino mengangkat kepalanya dan menutup jarak di antara mereka. Terlalu dekat. Nadia tersentak kaget dengan kedekatan mereka-dia bisa merasakan nafas Davino di ujung hidungnya. Nadia mulai melangkah mundur, tapi Davino memegang bahunya.

“Jangan pergi,” katanya, menahan Nadia di tempat.

Ujung-ujung jari yang kuat itu menjelajahi seluruh tubuh Nadia. Sentuhannya membakar kain lengan bajunya, dan dia merasa akan pingsan.

“Apakah kamu mencoba melarikan diri lagi?”

“Bagaimana.... Bagaimana kamu bisa menemukan aku?” Nadia tergagap.

“Aku datang untuk menemui istriku,” kata Davino, menyeringai.

Istri....

Kata-kata itu melingkari tenggorokan Nadia dan meremasnya. Dia telah menikah dengan Davino. Namun, alih-alih cinta, pernikahan mereka adalah sebuah kontrak. Kontrak itu dengan jelas menyatakan bahwa mereka akan berpisah setelah satu tahun. Satu tahun telah berlalu dan dia meninggalkan surat cerai di meja suaminya sebelum dia pergi ke Inggris.

“Davino, kita... kita sudah bercerai,” katanya, berusaha menahan air mata agar tidak keluar.

“Ya, benar.” Sebelum Davino sempat bertanya apakah dia sudah melihat surat cerai, dia melanjutkan, “tapi aku rasa ini tidak akan berhasil. Aku tidak akan menceraikanmu. Aku tidak bisa menceraikanmu. Tidak bisa!”

“Davino.”

“Jika kamu ingin menceraikanku, kamu harus melakukannya di Indonesia. Kita bisa bertarung di pengadilan. Apapun itu! Bagaimanapun juga kembalilah ke Surabaya bersamaku,” pintanya.

Nada bicaranya yang biasanya datar berubah menjadi tajam. Itu tidak masuk akal.

Kenapa Davino mengatakan dia tidak ingin bercerai?

“Nadia,” katanya sambil mengulurkan tangan untuk membelai pipi Nadia.

Tangan Davino yang lembut menghilangkan kata-kata kasarnya, dan Nadia seperti akan meleleh di bawah kehangatan sentuhannya. Jari-jari Davino menelusuri pipi Nadia dan mengangkat dagunya, nafasnya yang manis membelai wajahnya.

“Kembalilah padaku. Di sanalah tempatmu seharusnya berada.”

Mata Nadia berkaca-kaca. Namun sebelum air mata itu tumpah keluar, Davino menciumnya. Bibirnya membakar bibir Nadia.

Davino mencium dengan ganas-seolah-olah dia ingin menelan Nadia secara keseluruhan.

Seperti biasa, dia benar-benar seperti dilucuti. Tangannya menyapu leher Nadia bergerak ke arah dadanya, dan kenikmatan menyelimuti tubuhnya secepat nyala api.

Sambil mendekap kepalanya di tangan Nadia, Davino perlahan menarik bibirnya dari bibir Nadia dan berbisik, “Kumohon? Kumohon, Nadia....”

Nafas terasa panas karena kerinduan….

Permohonannya membuat air mata menetes dari matanya….

“Kembalilah bersamaku,” pinta Davino. Dirinya adalah seorang pengecut. “Kembalilah padaku, Nadia.”

Nadia menggumamkan sesuatu dalam hati.

Kamu tahu aku tak bisa menolakmu!

Mengapa kamu tidak mau melepaskan aku?

Kamu tidak mencintaiku....

Kamu tidak bisa mencintaiku....

...Kenapa?

...Mengapa kamu melakukan ini padaku?

^^^To be continued...^^^

Bab 01. Cinta Dalam Bayangan

SATU TAHUN SEBELUMNYA

Naksir rahasia yang sudah lama dia pendam berakhir pada saat yang tak terduga. Para anggota Klub Orkestra Universitas Airlangga sangat dekat antar satu sama lainnya. Bahkan sekarang—enam tahun setelah kelulusan—mereka masih mencari alasan untuk bertemu.

Setiap kali klub mengadakan pertemuan, dia selalu berada dalam suasana hati yang terbaik. Nadia sangat ingin keluar dari kantor dan bertemu dengan teman-temannya. Bibirnya lebih hangat dari biasanya saat dia memulas bibirnya dengan lipstik.

Apakah aku memakai terlalu banyak riasan? Nadia memeriksa dirinya di cermin untuk terakhir kalinya dan keluar.

Sepatu haknya berdecit di trotoar saat dia berjalan menuju halte bus terdekat. Saat itu, sebuah mobil hitam berhenti di sampingnya. Jendela mobil itu perlahan turun, dan seorang pria menatap Nadia dari dalam mobil.

Wajah pria itu yang tirus, hidungnya yang mancung, dan lekukan alisnya yang longgar sudah cukup untuk membuat para wanita yang lewat menoleh ke arahnya karena terpukau. Dia mencondongkan kepalanya ke luar jendela.

“Apa kamu sedang dalam perjalanan menuju pertemuan?” Dia bertanya.

“Oh, ya,” jawab Nadia.

“Aku juga mau ke sana,” katanya, membuka pintu penumpang. “Masuklah, cepat. Aku bisa memberikan tumpangan.”

Namanya Davino El-Prasetyo. Dia adalah Kakak Kelas Nadia—senior yang lebih dulu lulus dari Nadia di universitas—dan sekarang mereka bekerja di perusahaan yang sama.

“Apa kamu… yakin…?” tanya Nadia dengan canggung.

Davino mengangguk sebagai tanda setuju. “Tentu saja.”

“Terima kasih,” katanya, sambil menundukkan kepala untuk masuk. Mobil itu sangat bersih, tidak ada setitik pun kotoran atau debu yang terlihat. Benar-benar kinclong.

“Hari ini, cuaca terlihat cerah, kan?” Suaranya yang pelan memenuhi mobil seperti musik.

“Ya, Direktur Davino,” jawab Nadia.

Alisnya berkerut mendengar kata direktur.

Davino adalah putra tunggal dari Presiden HiGround Group, Hirawan Malik. Namun, Davino tidak bekerja di grup sang ayahnya. Melainkan dia bekerja di perusahaan keluarga ibunya, Husada H&S Pharmaceutical. Benar, Davino tidak hanya memiliki satu, tetapi dua orang tua yang sangat berpengaruh.

Davino adalah seorang direktur, sementara Nadia hanya seorang manajer, hanya satu langkah di atas karyawan biasa. Dia dengan gugup memanggilnya dengan sebutan itu tanpa dia menyadari. Tapi Davino tidak suka bersikap formal di luar pekerjaan.

Melihat cemberutnya, Nadia menambahkan, “Maaf, senior. Sudah kebiasaan.”

“...Tidak apa-apa.” Davino melambaikan tangan.

Nadia melihat ke arah luar jendela dan menggumamkan sesuatu. Davino tertawa sendiri, bibirnya yang rapi melengkung menjadi senyuman dingin.

...* * *...

Para anggota klub berjalan-jalan sebentar dan langsung menuju ke bar terdekat. Sebagian besar dari mereka mabuk dalam waktu satu jam.

“Minggu lalu, manajerku terus-terusan menggangguku tentang menikah. Mengapa dia harus peduli?”

“Apa kita sudah cukup umur untuk menikah?”

“Yah, mungkin. Semacam itu.”

“Aku tidak peduli berapa usia kita. Dia pikir dia siapa? Ibuku?”

Mereka semua telah banyak berubah sejak mereka bertemu sebagai mahasiswa baru. Sekarang, yang mereka bicarakan hanyalah pekerjaan dan pernikahan. Tetapi mereka bisa saling mengandalkan satu sama lain, itu adalah satu hal yang tidak berubah.

“Saat kita semua bersama, rasanya seperti kita tidak menua sama sekali.”

Nadia tertawa sambil melihat ke sekeliling teman-temannya. Tidak ada orang lain di dunia ini yang bisa diajaknya berbicara senyaman dengan teman-teman semuanya yang duduk di depannya….

Mungkin karena semua orang merasakan hal yang sama….

Bertahun-tahun setelah lulus, klub orkestra ini tetap masih mengadakan konser bersama. Tetapi mereka lebih peduli satu sama lain daripada musiknya. Ataukah karena alkohol?

“Nadia, minumlah lagi!” kata seseorang.

“Oh! Baiklah,” sahut Nadia.

Dia mengulurkan gelasnya dan teman di seberang meja menuangkan minuman lagi untuknya. Kemudian dia melihat ke arah pria yang duduk di sebelahnya sambil meneguk minuman dari gelasnya. Dia masih sadar dan memasang ekspresi dingin yang sama seperti biasanya.

Aku seperti seorang pengecut.

Apapun yang membuat orang lain datang kembali—musik, teman, atau alkohol—Nadia datang karena satu alasan dan satu alasan itu saja.

Itu adalah rahasia yang disembunyikannya selama ini.

Itu adalah dia.

Senior Davino.

Nadia membisikkan namanya pada dirinya sendiri.

Nama yang elegan itu menempel di bibirnya seperti madu. Tapi alkohol terasa pahit di lidahnya, cukup tajam untuk membuatnya menjadi berani….

Nadia tidak bisa mengalihkan pandanganya dari Davino. Dia menatap lebih dari yang dia lakukan jika dia tidak mabuk.

Merasakan mata Nadia tertuju padanya, Davino menoleh ke arahnya. “Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa,” jawab Nadia langsung, menggelengkan kepala dan menghindari tatapannya.

Nadia sudah lama menyerah bahwa Davino tidak akan pernah membalas perasaannya. Menemukan seseorang yang dia sukai yang juga menyukai dia sangatlah sulit, hampir seperti sebuah keajaiban….

Nadia menyadari setelah bertemu Davino, bagi Davino, Nadia tidak lebih dari sekedar anggota klub—seorang junior di sekolah. Baginya, dia bukanlah wanita yang bisa diajak menjalin hubungan.

Dan bukan hanya dia, Davino tidak melihat wanita mana pun seperti itu. Tahun kedua di universitas, dia bertemu dengan seorang siswa lain yang menyatakan naksir padanya.

“Davino, aku menyukaimu. Maukah kamu pergi keluar denganku?”

Dia mengeluarkan tawa kecil yang pahit dan berkata, “Maaf, tapi aku tidak bisa.”

Wanita itu mengerutkan keningnya. “Apa ada orang lain?”

“Bukan.” Dia menggelengkan kepalanya.

“Apa aku tidak cocok denganmu?”

“Bukan kamu. Aku tidak berencana untuk berkencan dengan siapa pun. Tidak untuk sekarang, tidak akan pernah.”

Davino tidak hanya mengatakan itu untuk keluar dari masalah yang dihadapi. Dia tidak pernah berkencan dengan siapa pun setelah itu. Dia tidak pernah membuka hatinya untuk siapa pun, bahkan untuk sesaat.

Itulah yang membuat Nadia tetap bertahan hidup. Tidak ada yang bisa memiliki Davino El-Prasetyo…. Untuk mereka sendiri….

Itulah mengapa cinta rahasianya mampu meringkuk begitu lama bagaikan dalam bayang-bayang. Nadia tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya, atau melepaskannya. Selama ini, dia hanya berdiri diam, mengamatinya dari jauh.

Nadia lalu menenggak satu gelas bir lagi, membiarkan rasa pahit membawa dirinya kembali ke dunia nyata. Aroma samar alkohol tercium di hidungnya. Davino berpaling dari Nadia lagi dan berbicara dengan tenang—dengan teman di hadapannya.

“..Tidak perlu terlalu terkejut...” Suaranya yang dalam menembus denting kacamata.

Nadia tidak bisa terus mendengarkan meskipun dia mencoba, setiap sel dalam tubuhnya tegang ke arah Davino.

Pikirannya tentang pria itu akan bertahan lebih lama daripada alkohol dan membuat dirinya lebih menderita daripada mabuk. Nadia mengangkat telepon dan mencoba untuk fokus pada hal lain, apapun itu.

“Aku serius. Aku akan menikah.”

Apa?!

Apa yang baru saja aku dengar?

Suara Davino menembus semua kebisingan di sekeliling mereka, langsung menuju ke hati Nadia yang paling dalam.

^^^To be continued…^^^

Bab 02. Aku (Tidak) Baik-Baik Saja

Apa?

Suara Davino menembus semua kebisingan, langsung menuju ke hati Nadia.

“Apa?!” Temannya berseru, terkejut. “Davino, apa yang baru saja kamu katakan? Kamu akan menikah?”

“Benar,” kata Davino

“Apa kamu sudah gila? Tidak, tunggu. Hari ini hari apa? Apa April Mop?”

Obrolan itu sepertinya semakin keras. Kepala Nadia mulai pusing saat suara lembut di sebelahnya bertanya, “Kamu baik-baik saja?”

Itu adalah Rama, seorang siswa dari tahun yang sama dengan Nadia. Dia adalah satu-satunya orang yang tahu tentang perasaan suka yang tidak disadari oleh Davino…. Dia tidak bisa memaksa dirinya untuk mengatakan bahwa dia baik-baik saja karena memang tidak.

Apa yang terjadi? Davino tidak tertarik pada wanita. Nadia telah mengenalnya selama lebih dari 10 tahun—sejak tahun pertama kuliah. Selama itu, dia selalu menjaga jarak dengan wanita. Tapi sekarang, dia akan menikah?

Jari-jari kakinya terasa mati rasa. Dia ingin bertanya, Dengan siapa kamu akan menikah? Apa yang terjadi? Bukankah kamu bilang kamu tidak akan pernah berkencan dengan siapa pun?

“Aku pikir kamu tidak tertarik untuk berkencan?” tanya seseorang.

“Tidak,” jawab Davino dengan santai, seolah-olah pacaran dan pernikahan tidak ada hubungannya satu sama lain.

“Lalu kenapa kamu tiba-tiba berbicara tentang menikah? Apa kamu diam-diam sudah pacaran dengan seseorang?”

“Tentu saja tidak,” jawab Davino.

“Lalu siapa yang akan kamu nikahi?”

Davino mengambil minuman lagi dan mengerucutkan bibirnya sambil berpikir. “Seorang wanita, kurasa,” katanya.

“Siapa…. Siapa? Wanita apa?”

“Aku akan meminta seseorang menjodohkanku dengan seorang wanita dan menikah. Sesegera mungkin.” Davino berbicara seolah-olah itu adalah hal yang paling sederhana di dunia.

“Kamu akan meminta seseorang untuk menjodohkanmu?”

Davino tidak pernah berkencan dengan seorang wanita, bahkan tidak sekalipun. Obrolan kembali membengkak dengan beberapa pertanyaan dan komentar.

Ada yang tertarik, ada yang kaget dia bisa menikah dengan orang yang tidak dicintainya, dan ada juga yang tidak kaget. Bagaimanapun juga, Davino selalu berbeda.

Nadia menunduk dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Apa kamu mau minum air?” Rama bertanya.

Nadia menahan nafasnya. Rama menyodorkan segelas air ke arahnya.

Nadia akhirnya menarik napas dan menggelengkan kepalanya.

“Tidak, aku ingin alkohol,” katanya.

“Nadia,” panggil Rama.

“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” katanya, meskipun suaranya bergetar.

Tembok yang dibangun Davino antara dirinya dan perempuan semakin kuat sejak kuliah. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin dia bisa bergerak maju ketika Nadia masih terpaku di tanah, tidak bisa mengakui perasaannya?

Apakah dia salah karena bertahan begitu lama? Apakah dia orang yang buruk karena berpikir bahwa semua baik-baik saja? Dia selalu tahu bahwa suatu saat Davino akan bersama dengan seseorang, tapi dia tak menyangka hal itu akan terjadi secara tiba-tiba.

Nadia menuangkan segelas penuh bir dan melemparkannya kembali. Tidak ada yang pernah terasa begitu pahit.

Keheningan di sekitarnya hanya terpecahkan oleh deru perasaan yang meluap dalam dirinya. Apakah dia telah salah semua waktu ini? Apakah dia telah menjadi orang yang salah karena memendam perasaannya begitu lama?

Mengapa ini terjadi? gumam Nadia, meraba-raba gelas tersebut seolah mencari jawaban.

Pikirannya melayang ke masa lalu, ke tahun-tahun di mana dia mengenal Davino. Selama bertahun-tahun, dia telah menjaga jarak, menciptakan tembok tak terlihat antara mereka.

Itu adalah langkah yang diambil Nadia untuk melindungi hatinya, agar tidak terjerat dalam perasaan yang lebih dalam…. Tapi sekarang, tembok itu tampaknya hancur berkeping-keping oleh pernyataan tiba-tiba Davino tentang pernikahan.

Apakah dia hanya berpura-pura baik-baik saja selama ini? Nadia bertanya pada diri sendiri.

Perasaan bingung dan kecewa bercampur dalam dadanya. Dia mencoba mencari jawaban dalam dirinya sendiri, mencari alasan di balik pertanyaan yang terus berputar-putar di pikirannya.

...* * *...

Nadia tidak pernah mabuk di salah satu pertemuan klub sebelumnya. Dia tidak ingin ada yang melihatnya seperti itu, terutama Davino. Dia takut akan mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dia katakan—bahwa dia menyukainya, bahkan juga mencintainya.

Dia tidak akan pernah pulih dari rasa malu akibat pengakuan yang tidak berguna, jadi dia tidak pernah minum banyak di klub—sampai hari ini. Dia mengosongkan gelas minumannya berulang kali.

Teman-temannya memutuskan untuk pergi ke tempat lain untuk ronde kedua dan meninggalkan bar. Meskipun dia bukan satu-satunya yang hancur, Nadia jelas terlihat paling goyah berjalan di samping mereka. Rasanya seperti dia berjalan melewati rawa gambut dan perlahan-lahan tersedot ke dalamnya.

“Nadia, jangan jatuh. Nadia!” Rama meraih lengan Nadia saat kakinya hampir terlepas dari bawahnya.

“Ah, hmm….” Nadia menyibakkan rambutnya dari wajahnya dan tersenyum. Senyuman yang lemah, hampir seperti seringai. ”Oh, ternyata kamu, Rama. Aku baik-baik saja.”

“Kamu tidak terlihat baik-baik saja. Apa kamu pusing?” tanyanya.

“Tidak, aku…” Nadia terdiam. …baik. Aku tak apa…. Aku akan baik-baik saja….

Dia merasakan tatapan khawatir Rama saat dia menundukkan kepalanya. Angin bertiup pelan dan hawa dingin menyadarkan Nadia untuk berdiri tegak.

“Aku harus pergi sekarang,” katanya.

“Apa kamu bisa sampai di rumah?” tanya Rama.

“Hah? Oh, ya…. Tentu saja,” jawabnya, sambil menganggukkan kepala dan berdehem, “Aku harus pulang. Ke mana lagi aku bisa pergi?”

Teman-teman mereka memanggil mereka, “Rama, kamu tidak ikut? Apa Nadia akan pulang? Bagaimana dengan ronde kedua?”

Nadia tidak sanggup menjalani ronde kedua karena terlalu mabuk. Sebuah benjolan sudah terbentuk di tenggorokannya. Jika dia minum lebih banyak lagi, entah apa yang akan dia katakan. Dia harus segera pulang sebelum melakukan sesuatu yang memalukan. “Rama, kamu pergilah.”

“Kamu minum terlalu banyak. Aku akan mengantarmu pulang,” kata Rama, memegang tangan Nadia.

“Aku bilang aku baik-baik saja. Lagipula rumahku dekat. Aku bisa berjalan kaki ke sana.... Tidak apa-apa…. Aku baik-baik saja, sungguh….” Nadia berusaha meyakinkan Rama.

Rama akhirnya melepaskannya atas desakan Nadia. Untungnya, semua orang begitu fokus untuk pindah ke bar berikutnya sehingga tidak ada yang menyadari betapa gemetarnya Nadia.

Nadia melambaikan tangan untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, lalu berbalik dan berjalan pergi.

Sambil menegakkan punggungnya semaksimal mungkin, menghembuskan dan menarik napas, dia melangkah maju—selangkah demi selangkah. Setelah merahasiakan perasaannya untuk waktu yang lama, dia tidak bisa mengatakannya begitu saja sekarang.

Itu akan sangat canggung bagi semua orang. Tutup saja mulutmu. Kamu bisa menangis di rumah. Jika kamu bisa pulang. Nadia menyadarkan dirinya sendiri.

Di jalan, angin malam terasa sangat dingin…. Rambutnya berkibar ke segala arah dan hatinya juga melakukan hal yang sama. Tepat ketika dia berhasil menguasai dirinya sendiri dan mulai menyusuri jalan setapak lagi, tak lama dia mendengar langkah kaki.

Apa Rama kembali untukku? Aku sudah menyuruhnya untuk pergi.

Sebelum dia sempat menoleh untuk melihat siapa orang itu, suara seorang pria terdengar hangat tertiup angin.

“Apa kamu berjalan pulang sendirian?” Suara itu rendah dan dalam, tetapi tidak keras. Nadia sangat mengenalnya. “Kamu benar-benar minum terlalu banyak.”

Nadia berbalik dan mendongak.

Davino.

^^^To be continued…^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!