Sore hari. Waktu itu...
Ufuk barat masih bercahaya terang. Sorot matahari masih belum memudar. Cahaya kemilau masih menyilaukan mata. Asap pekat masih terlihat jelas membubung tinggi di sana sini. Gurat hitam banyak menggores di setiap warna bidang bangunan yang terpampang di setiap sudut kota. Kobaran cahaya api sebagian masih menyelimuti bangunan – bangunan yang sudah menyerupai puing. Jilatan – jilatan lidah api menyambar beberapa reruntuhan bangunan.
Dulunya, kota itu sangat indah. Jalanan tertata rapi. Di kiri kanan ditanami bunga – bunga yang sangat asri. Elok untuk dipandang mata. Pohon – pohon rindang sebagian menutupi jalanan. Menyejukkan. Pedestrian yang luas dengan berbagai macam hiasan, enak untuk berjalan kaki. Baik dipagi hari, siang maupun di sore hari. Orang – orang ramai berlalu lalang menikmati suasana kota ataupun bergegas untuk memenuhi kebutuhannya.
Gedung – gedung berjejer di sepanjang jalan, meski bukan gedung – gedung tinggi, namun banyak mempesona dengan arsitektur yang beragam. Orang akan terpesona dan terkesima dengan bentuk estetika yang terpancar dari bangunan itu. Klasik. Mediterania. Modern. Minimalis. Futuristik. Dan beraneka langgam estetis ada disana. Mengelompok. Berpisah satu sama lain. Membentuk ciri khas masing – masing kelompok bangunan itu.
Kondisi itu berubah seratus delapan puluh derajat. Berbalik. Bertolak belakang. Gedung – gedung yang dulunya indah nan asri, menjadi puing – puing reruntuhan nan gersang. Satu dua kolom – kolom tiang bangunan masih berdiri tegak menunjuk langit diantara reruntuhan bangunan yang mmenghitam. Hancur berantakan. Pepohonan yang banyak tumbuh di sepanjang jalanan hanya menyisakan tonggak – tonggak kayu yang meranggas. Bunga – bunga berganti dengan rumput liar yang tumbuh tak beraturan. Jalanan banyak dipenuhi puing – puing kendaraan bermotor yang menghitam bekas terbakar. Berserak dimana – mana.
“Buuummm.....”
“Sinnggg.......”
“Bummm...!!!”
“Bumm!!!”
Sesekali masih terdengar ledakan yang memekakkan di beberapa sudut kota. Desingan suara roket sahut menyahut dengan suara ledakan yang menggema.
“Nguing...., nguingggg.... nguingg....”
“Singggg..... Bumm!!!”
Raungan sirine beberapa kali terdengar diikuti ledakan yang membahana. Berikutnya...., senyap. Seketika asap hitam membubung tinggi, dengan kobaran api yang menyala – nyala. Satu bangunan kembali terbakar dan hancur berantakan.
Di salah satu sudut kota, dibalik reruntuhan bangunan ada 5 orang pasukan yang merupakan unit XII Garda Penyerbu, mengamati kondisi jalan yang terbentang didepannya. Satu orang bertugas sebagai pemantau. Satunya sebagai penghubung komunikasi. Dan tiga orang sebagai pasukan pendukung. Dari perlengkapan yang disandangnya, mereka merupakan bagian dari sekelompok pasukan khusus. Helm khusus bertengger di kepala masing – masing, dengan kamera night vision bergayut di depan helm. Body armor yang tersemat di badan, terbuat dari plat baja khusus, merupakan perisai anti peluru di badan, yang sangat kuat. Sehingga ketika diberondong tembakan, platnya hanya mengalami tekanan saja. Mereka seperti kebal peluru, ibaratnya dengan memakai baju itu, seperti lembaran karet yang dipukul dengan palu. Membal.
Masing – masing dibekali dengan ZHG24, Zero Hand Gun. Senapan serbu paling modern dan merupakan senjata untuk pertempuran jarak menengah dan jarak pendek. Kecepatan tembaknya paling tinggi, mengalahkan senapan serbu vektor (1). Apalagi dengan dibekali silencer (2) atau peredam di ujungnya membuat musuh tidak sadar bahwa teman disebelahnya sudah mati kena tembakan. Meski beratnya bisa dikatakan ringan, kestabilan yang dimiliki juga cukup mengagumkan. Recoil (3) yang dipunyai cukup rendah. Amunisi yang terpasang juga cukup lumayan ada 24 buah. Itulah kenapa disebut ZHG24. Meski dengan spesifikasi yang mengagumkan seperti itu, pabrik pembuatnya tidak diketahui khalayak. Misterius. Bahkan ada beberapa rumor yang menyebut semua perlengkapan yang digunakan oleh Pasukan Elit Garda Penyerbu didukung oleh Stark Industries (4). Sebuah isu yang tidak masuk akal. (Yang bener aja coy....).
“Perang brengsek.” Gerutu seseorang bersungut – sungut.
Matanya tajam menatap ujung jalanan yang jauh dari tempatnya bersembunyi. Sesekali teropong binokuler yang tergenggam kencang di tangan kirinya diletakkan tepat di depan matanya.
“Kosong...” dengusnya pelan.
“Santai Kep.” celetuk kawan yang lagi asyik duduk di belakang tempatnya berdiri. “Tak kan lari gunung dikejar.” ucapnya dengan mata terpejam. Helmya dibiarkan menutup sebagian mukanya. Dimanfaatkan untuk melindungi silaunya matahari sore.
“Bentar lagi maghrib,” rutuk yang lain... Orang itu asyik mengelus ZHG24nya. “Udah seharian kita stuck disini.”
“Kamu juga Drako,” kata orang yang barusan menasehati orang yang dipanggil “Kep”. Kep, merupakan kepanjangan dari Kapten. Pangkat militer tertinggi di level Perwira Pertama. “Biarkan berjalan sesuai takdirnya...”
“Hmm..” dengus sang Kapten.
“Kawan – kawan, semua bersiap....” tukasnya kemudian. Kedua tangannya memegang binokuler yang diletakkan di depan matanya. Meneropong. Mengamati keadaan di ujung jalan yang berjarak kurang lebih 2 Km. Dengan pembesaran lebih dari 10x, semua terlihat jelas.
Serentak ke empat orang itu bergegas mengambil posisi masing – masing. Si Juru Radio, masih diposisi seperti tadi. Siap di sebelah Kapten. Kotak Radio yang semula diletakkan tergeletak dikakinya, kembali digendongnya. Sejenis monitor kecil mirip HP seukuran 6” yang tersemat di lengan pangkal telapak segera dikoneksikan di Radio yang ada di punggungya. Seketika warna hijau berpendar dari monitor itu. Beberapa sinyal dengan dengan putaran radar berkedip – kedip mencari fokus, mengoneksikan dengan semua kamera dan monitor di helm masing – masing anggota. Eagle, adalah sebutan sipembawa Radio. Sebenarnya, nama aslinya adalah Bajang. Entah kenapa dia disebut Eagle, mungkin karena kemampuannya menjelajah lokasi berkat teknologi yang dikuasi cukup tinggi, bak mata elang mencari mangsa di daratan. Hal itulah yang membuat dia disebut Eagle atau Elang. Pangkat yang disandangnya masih bengkok kuning satu, atau Sersan Dua.
Drako, orang yang barusan ngedumel bergegas mengambil posisi di ujung reruntuhan. Siaga disana. Ujung senapan menyeruak di sela – sela reruntuhan siap memuntahkan peluru. Sama dengan Eagle, Drako juga masih Sersan Dua.
Kemudian si penasehat tadi, bergerak merunduk mengambil posisi di sebelah Drako. Mengatur posisi. Meletakkan ujung senapan bertumpu di bongkahan puing. Pelontar granat kembali dipasang di ujung senapan. Seto, begitu nama si penasehat itu. Pangkat yang disandang dipundaknya ada dua garis kuning. Artinya dia adalah seorang Letnan Satu. Atau setingkat dibawah Kapten. Secara tidak langsung Seto adalah Wakil Komandan Unit XII.
Sedangkan yang satu lagi, adalah Gentar. Manusia satu ini, seperti tidak takut apapun. Lincah ia bergerak mencari posisi untuk melakukan penyerangan. Sesuai perintah sang Kapten ia melambung mencari posisi serang yang mematikan. Bak sniper ia mengambil tempat di lantai 2 sebuah bangunan yang ada di sebelah kanan kedudukan mereka. Menggelosor. Meletakan ZHG24 nya di atas tripod. Inilah kehebatan senjata itu, bisa dijadikan mini gun. Dengan mengganti bentuk magazin biasa menjadi magazin rantai, reload peluru tidak perlu sering – sering. Ujung mimispun, tidak cepat panas meski sudah 500 butir peluru terhambur dari larasnya. Gentar sendiri pangkatnya sudah setingkat di atas Drako dan Bajang. Sersan Satu.
Sementara sang Kapten sendiri, orang – orang di Pasukan Elit Garda Penyerbu menyebutnya si Serigala Hitam. Ada cerita panjang sehingga dia disematkan nama itu. Padahal nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya adalah Batara. Ia sendiri tidak ambil pusing dengan gelar yang diberikan oleh kawan – kawannya. Setiap kali dipanggil dengan nama itu dia hanya tersenyum kecut. Tidak ada niat untuk menolak ataupun marah. Baginya panggilan itu hanya panggilan akrab, bukan ejekan atau pelecehan.
Mereka – mereka itu sebenarnya kagum dengan pencapaian Batara. Setiap tugas yang diberikan selalu berhasil dengan kerugian kecil di pihaknya. Padahal pada usia 22 tahun sudah menjadi Kapten adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Bukan apa – apa, Kapten yang disandangnya adalah karena imbalan atas keberhasilannya menjalankan sebua misi yang tidak mungkin. Mission Imposible. Semua orang tahu itu. Awalnya semua orang tidak yakin, bahkan komandannya sendiri tidak percaya atas hasil yang diperolehnya. Namun, fakta berbicara lain. Ia mampu melakukan. Berhasil menyelesaikan.
“Kawan – kawan, lakukan seperti apa yang tadi kita rencanakan!” katanya tegas, melalui headset yang tersemat di helmya. “Sebentar lagi pesta akan kita mulai!”
“Siap!” teriak semua anggota unit yang terhubung di headset masing-masing.
💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗
Pusat Komando...
Monitor besar terhubung dengan kamera – kamera di 5 helm anggota Unit XII. Dibagian bawah monitor, ada 5 kotak layar terpampang pandangan kamera masing – masing anggota. Layar 1 milik Kapten Batara. Layar 2 milik Lettu Seto. Layar 3 milik Seru Gentar. Seterusnya layar 4 dan 5 milik Serda Drako dan Serda Eagle.
Beberapa orang di tempat kerjanya masing – masing sibuk memelototi layar monitor yang ada di depannya. Semua mata tegang mengawasi, begitu kamera terkoneksi demgan monitor utama. Komunikasi yang dari pagi tadi ditunggu akhirnya tersambung.
“Srigala Hitam! Awasi pergerakan musuh! Jangan sampai lengah!” Perintah Jenderal Birowo diruang Komando.
“Siap Jenderal!!” pekik suara Batara terdengar menggema di loudspker ruangan Pusat Komando.
“Sekali lagi aku katakan. Misi ini adalah tanggungjawabmu. Jangan sampai gagal. Aku percaya dengan kemampuan kamu dan teammu.”
“Siap..!!!”
💗💗💗💗💗💗💗💗💗
**1. Senapan serbu di permainan PUBG Mobile
Peredam Suara yang dipasang di ujung senapan
Hentakan yang disebabkan oleh senjata ketika ditembakkan.
4 Perusahaan dalam Film Avenger’s, milik Tony Stark sang Iron**
Dua hari sebelumnya...
Batara menatap map yang ada di depannya. Matanya tajam melihat titik – titik atau noktah merah yang ada di peta yang dihubungkan dengan garis – garis hitam ke setiap titik itu. Empat orang anggota timnya ikut mengawasi map yang terpampang di monitor transparan di depannya. Ada Seto, berdiri di pinggir monitor sebelah kiri. Gentar di balik layar monitor. Drako di sebelah kanan Batara. Dan Eagle berdiri disamping Gentar.
“Kita sergap mereka disini,” kata Batara tiba – tiba sambil menunjuk noktah merah yang ada di monitor.
“Tapi Kep,” kata Seto agak keberatan. “Masih ada peperangan di kota itu.”
“Kita tidak tahu, kawanan pemberontak itu berpihak ke siapa...” tukas Gentar.
“Lodaya ada di pihak kita.” Suara tiba – tiba muncul di ruangan itu diikuti sosok Jenderal Birawa bersama seorang ajudannya.
“Pagi Jenderal,” dengan sikap hormat Batara menyapanya.
“Jenderal!” yang lain ikut – ikutan memberi hormat.
“Lodaya?” Batara bertanya keheranan. Berdasarkan informasi intelijen yang diperoleh, Lodaya adalah pemimpin kawanan pemberontak itu. Dulunya dia adalah salah satu komandan anggota pengawal presiden Sularso. Entah apa yang melatar belakanginya, pada akhirnya ia disersi (1), bergabung bersama pemberontak. Dalam waktu yang tidak lama, tiba – tiba dia bisa menjadi pucuk pimpinan kawanan itu. Mungkin karena ia adalah mantan militer di pemerintahan sebelumnya, sehingga bisa menjadikannya Komandan. Kabar terakhir yang diperoleh, pangkat terakhir Lodaya ketika disertir adalah Kolonel.
“Dia orang kita Kep.” Jenderal Birawa menerangkan. “Pada suatu kesempatan kita berhasil menariknya. Kekacauan di negara itu harus segera diakhiri.”
Batara hanya diam mendengarkan.
“Sularso, Presiden keparat itu harus diseret ke Mahkamah Internasional untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sudah banyak kesengsaraan yang telah dibuatnya. Rakyat negara itu sudah terlalu lama menderita. Philiphina, Thailand, Vietnam dan Malaysia sudah setuju untuk tidak campur tangan. Sebagai negara tetangga, mereka akan pura – pura tidak tahu dengan apa yang kita lakukan. Semua negara Barat juga setuju untuk mendukung kita. Amerika Serikat. Inggris. Jerman. Bahkan Rusia setuju untuk membawa Sularso ke pengadilan. Hanya China yang msih bimbang. Mungkin karena negara itu ada di Laut China Selatan, ragu untuk bertindak. Takut akan mengganggu kestabilan wilayah teritori mereka.”
Jenderal Birawa diam sejenak.
“Begitu Sularso bisa kita ambil, Lodaya akan mengambil alih pemerintahan. Organ – organ birokrasi sudah mereka siapkan.”
“Bawa Sularso ke Batam. Sesampainya disana, orang – orang Mahkamah Internasional akan menjemputnya. Membawanya ke Belanda. Tugas kamu selesai.”
“Presiden sudah menyetujui.”
“Sore nanti kamu dan orang – orangmu akan diantar ke Natuna. Subuh kamu harus sudah sampai di negara itu. Semua peralatan kalian akan dikirimkan terpisah dengan drone.”
“Bersiaplah!!”
Jenderal Birawa berhenti sejenak. Matanya tajam menatap Kapten Betara. Seolah - olah ingin menelanjangi apa yang ada dalam pikiran sang Kapten itu.
“Tugasmu kali ini lumayan berat Srigala Hitam. Ini misi rahasia. Bawa orang – orangmu kembali pulang dengan selamat. Aku yakin unit kecil yang ada ditanganmu ini, akan mampu membereskan semua.” lanjutnya kemudian.
Ada penekanan di ucapan Srigala Hitam. Sepertinya, nama besar itu harus menjadi jaminan keberhasilan dalam melaksanakan misi. Lebih - lebih di dalam team ini, anggotanya juga bukan orang sembarangan. Orang - orang pilihan yang terlatih di dalam satuan elit pasukan khusus. Bukan saja sembarang orang untuk bisa memasukinya. Jauh sebelum menerima misi, mereka sudah digembleng cukup berat ketika memasuki satuan ketentaraan ini. Dilatih secara khusus untuk bisa menjadi Pasukan Khusus. Waktu berbulan - bulan dijalaninya untuk menempa mental dan fisiknya. Tidak perduli siang ataupun malam, latihan berat dijalani mereka. Semua dilakukan untuk menjadi seorang prajurit yang tangguh. Prajurit yang tidak ada kata menyerah.
Ajudan Jenderal Birawa, menyodorkan mapfile warna merah yang dibawanya ke Kapten Batara. “Semua informasi ada disini semua, Kapten.” ucapnya.
Batara hanya mengangguk.
“Selamat bekerja!”
“Siap Jenderal!” teriak semua anggota Unit XII serentak sembari dengan sikap hormat.
Jenderal Birawa hanya mengangguk. Terus berjalan meninggalkan mereka ke luar ruangan.
Batara menatap satu persatu wajah rekan – rekannya.
“Perintah adalah perintah,” tegasnya kemudian. “Resiko itu sudah kita ketahui bersama. Apapun akibatnya tidak ada kata mundur. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.”
Tanganya sibuk membolak – balik lembaran kertas yang ada di mapfile yang dipegangnya. Sesekali matanya tajam melihat data – data yang terpampang di dokumen itu. Ada banyak informasi yang diperoleh dari file – file itu. Mulai kondisi negara itu terupdate. Latar belakang Sularso. Sumber daya yang dimiliki, sampai nama – nama pendukung setia, maupun para pengawalnya. Termasuk juga beberapa kemampuan perang dan bertarung para pengawal presiden yang mengelilingi Sularso.
Meski sedikit, gambaran Lodaya juga ada disitu. Mungkin karena bukan musuh, penggalian informasi terhadap diri Lodaya tidak sedetail Sularso. Meski begitu Batara cukup berterima kasih atas informasi dasar terntang Lodaya.
Berikutnya, dokumen itu dilemparkan ke Seto yang dengan sigap menangkapnya.
“Pelajari itu, Letnan.”
Setelah cukup lama menatap layar monitor. Tangannya kembali sibuk menzooming noktah merah yang ditunjuknya. Perlahan titik map itu membesar. Berkat kecanggihan satelit yang mendokumentasikan kamera realtime, membuat lokasi – lokasi yang ditunjuk sangat presisi situasinya. Garis jalan terpampang akurat, titik – titik gedung serta gambar kondisi yang diperoleh ketika itu. Ia, sibuk menggeser ke kanan atau ke kiri dengan telapak tangan atau dengan ujung jarinya. Seekali juga seperti mencubit layar tersebut. Memperkecil zooming mapnya. Seringkali Batara mengusap ke atas atau ke bawah, untuk melihat kondisi sebelumnya atau menyakinkan pilihannya.
“Kita sergap disini.”
Di layar monitor terpampang persimpangan jalan. Batara melingkari simpang itu dengan warna merah. Menzoom outnya, hingga detail tempat itu terlihat jelas.
“Arah perjalanan itu dari sini,” katanya sambil menunjuk tepi kiri monitor. “Ada beberapa gedung yang bisa kita jadikan area penyergapan.”
Batara melingkari beberapa lokasi. “Aku disini sama Serda Bajang, Lettu Seto dan Serda Drako, disini. Kemudian Sertu Gentar membuat barikade disini. Buat senapanmu menjadi minigun. Jangan menembak, sebelum mereka sampai di titik ini. Ledakkan mini bomb di iring – iringan terdepan, ketika mereka sudah tiba, sehingga mereka kacau. Jangan buat yang belakang merangsek kedepan.”
“Alangkah bagusnya kalau kita pasang minibomb di sini Kep,” kata Lettu Seto mengusulkan, sambil menunjuk titik dalam lingkaran. “Sebagai ranjau dan penghalang mereka melarikan diri.”
Semua orang yang hadir disitu memperhatikan dengan seksama.
“Di titik ini kita bawa Sularso,” Batara menunjuk map itu. “Ada jarak 3 km dari sini, atau sekitar 4 menit untuk ke sana.”
“Back up penjemputan sudah siap untuk membawa Sularso ke Batam dan membawa kita pulang.”
“Hm,” Seto berdehem pelan.
“Lodaya sudah membersihkan area ini,” lanjut Batara kemudian. “Plan di mapfile itu ada..” sambil menunjuk mapfile yang dibolak – balik Gentar.
“Dengan begitu tugas kita sedikit ringan.”
“Jam 4.30, kita sudah standby di pangkalan.”
“Siap!!!”
💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗
1. Pelarian (keluar dari) ketentaraan
Banyak tulisan yang menceritakan tentang keberadaan negara ini. Republic of Nacturnasyia. Penduduk Negara itu menyebut negaranya dengan sebutan REON Mulai letak geografis. Politik. Sejarah. Ekonomi. Budaya sampai ke demografinya. Mirip Wikipedia (1). Lengkap. Selengkap – lengkapnya.
Anehnya, meski begitu banyak orang yang tidak mengetahui. Orang hanya menggeleng atau melongo ketika ditanya tentang Republic of Nacturnasyia.
Sampai akhirnya ketika ada kekacauan yang timbul di negara itu, dan diwartakan secara masif oleh TV – TV Berita Internasional, orang baru sadar bahwa ada negara itu. Orang - orang pada penasaran akan keberadaannya. Sedikit banyak, orang - orang baru mulai mencarinya di internet.
Secara geografis, Republic of Nacturnasyia terletak di Laut China Selatan. Sekitar 200 mil laut dari Zona Ekonomi Exclusive Kepuluan Natuna bagian utara. Dengan menggunakan Super Fast Boat, jarak tempuh hanya 20 menit, sampai di dermaga Selayang. Iya, pelabuhan Selayang adalah pintu masuk ke REON, sekaligus merupakan ibukota Negara itu. Wilayah Negara yang merupakan gugusan pulau – pulau kecil atau kepulauan dan atoll (2). Kumpulan pulau dan atoll membentuk garis memanjang ke utara dan selatan berbentuk bulan sabit, yang masyarakat REON menyebutnya “Rumondag Sasabi”. Rumondag sasabi itu membentang dan saling bersambungan satu sama lain, terdiri 5 pulau besar dan sekitar 75 buah pulau – pulau kecil dan atoll. Luas wilayah itu berkisar 2.500.000 KM2 dengan luas perairan sekiar 1.200.000 KM2 atau sekitar 475.000 mil persegi. Sisanya daratan, yang hanya dihuni oleh penduduk REON sebesar 70% dari luas daratan yang ada.
Sebagian besar masyarakat REON bermata pencaharian nelayan dan menjadi pegawai pemwrintah. Hanya sebagian kecil yang menjadi petani, itupun hanya sebagai peladana atau pekebun. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari - hari, mereka mengandalkan pasokan bahan makanan dari Natuna. Sebagian besar bahan - bahan yang dibutuhkan tercukupi dari impor. Baik berasal dari Indonesia, Malaysia, Philipina dan negara - negara tetangga yang ada di sekitarnya. Gas dan ladang minyak banyak ditemukan disana. Sayangnya, belum ada perusahaan local maupun asing mengexplorasi maupun mengexploitasi disana. Andaikata sumber daya alam itu dikelola, REON akan menjadi negara kaya. Kekayaannya bahkan bisa melebihi negara Brunai Darussalam.
Sularso adalah Presiden ke 3 negara REON. Nama lengkap Sularso, adalah Redneck Sularso. Sebelum menjadi Presiden dia adalah Perwira di kemiliteran negaranya. Jabatan terakhir di kemileteran yang disandangnya adalah Commander of REON Force. Panglima Tentara REON, dengan pangkat Letnan Jenderal. Setelahnya ia ditunjuk menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. Ministry of Defence and Security. Di Negara itu, pangkat tertinggi adalah Letnan Jenderal. Mungkin, karena Negara kecil Jenderal penuh tidak layak disematkan di sana. Ia mengenyam pendidikan militer dari Akademi Militer TNI di Indonesia. Ketika itu, waktu jaman Presiden Richardsom, Presiden pertama REON ada kerjasama dengan militer Indonesia untuk mendidik putra – putra terbaik REON, disekolah milter TNI. Sekaligus belajar system ketentaraan elite disana. Diharapkan, kelak bisa menjadi bibit – bibit taruna yang handal di militer, dan bisa menjadi cikal bakal berdirinya Akademi Militer di REON.
Keberhasilan Sularso menjadi Presiden adalah karena mengkudeta Presiden sebelumnya. Presiden Adnan Piet Bintuno. Seorang presiden ke 2 yang menggantikan Presiden Richardsom, karena mengundurkan diri. Waktu itu saat Sularso menjadi Ministry of Defence and Security REON, adalah orang kedua di negara itu, setelah Prediden Piet Bintuno. Memang, di REON tidak dikenal Wakil Presiden. Bahkan triumvirate pemerintahan tidak ada dalam sistim pemerintahan REON. Ministry of Defence and Security memiliki kewenangan mutlak menggantikan kekosongan Presiden. Dan itu semua di atur dalam Constitutions of REON. Undang – Undang Dasar REON. DPR dan MPR tidak ada. Perannya diambil alih oleh tetua adat masing – masing suku. Pemilihan presiden diwakilkan kepada para tetua adat.
Entah bagaimana, kejadian kudeta itu bermula. Isu yang berkembang adalah akibat perebutan sumber – sumber ekonomi di sana. Kabarnya, Sularso menginginkan militer diberi peran besar untuk mengurus sumber daya alam yang dimiliki REON. Presiden Piet Bintuno bersama para tetua adat menolak keinginan itu. Sularso meradang, ia mengumpulkan orang – orang di militer yang sepaham dan sepemikiran dengan dirinya. Ketidakpuasan menghasilkan pemberontakan. Untuk mencapai tujuan dan cita - citanya, orang yang menghalangi ambisinya dan kelompoknya harus disingkirkan. Hingga pada akhirnya mereka bersepakat menggulingkan Presiden Adnan Piet Bintuno. Makar.
Semenjak kejadian itulah, peperangan demi peperangan mulai terjadi di sana. Dimulai dari perang merebut kekuasaan, menyingkirkan sisa – sisa kekuatan Piet Bintuno yang masih tersisa sampai perang memberangus orang – orang yang tidak setuju dengan Sularso. Satu persatu para Tetua Adat yang tidak setuju dengan konsepnya disingkirkan. Bahkan dimarginalisasi. Dicari - cari kesalahannya, sekecil apapun. Peran tetua adat dihilangkan. Akibatnya, orang - orang yang setia dengan para tetua melawan. Membela para tuannya. Terjadilah perang saudara yang tidak berkesudahan. Sudah 12 tahun lamanya perang berlangsung. Menghabiskan semua energi yang dimiliki. Juga sumber daya yang ada di REON. Sebagai negara miskin, REONpun semakin bertambah miskin. Semua karena perang.
Untuk mempertahankan kedudukannya, sebagai Presiden, Sularso bertindak sewenang – wenang. Ambisi pribadinya sudah mengalahkan nalar kemanusiaan yang dipunyainya. Entah sudah berapa ratus bahkan ribu orang yang sudah dijebloskan ke penjara tanpa adanya pengadilan yang adil. Hanya karena gara – gara ketidak setujuan mereka atas cara Sularso memimpin. Jangankan protes, menggerutupun bisa masuk penjara. Semua dibungkam. Tidak ada yang aneh, apabila ada orang – orang yang hilang tanpa jejak. Hari ini masih berkumpul dan bersendagurau dengan keluarga dan kawan - kawanya, besok pagi sudah tidak ada. Hilang. Hanya terdengar ratapan dan kesedihan dari dalam rumah itu. Apakah itu sengaja menghilang atau dihilangkan, orang – orang di Negara itu tidak ada yang tahu.
Nyawa di Negara itu seperti tidak berarti. Sudah banyak orang yang kehilangan nyawa di masa kepemimpinan Sularso. Istri kehilangan suami. Anak kehilangan bapak. Kakak kehilangan adik. Atau sebaliknya.
Kejahatan merajalela di mana – mana, di seantero negeri. Jangan berharap ada ketertiban dan ketenangan disana. Kedamaian seperti hal yang mustahil tercipta. Bahkan polisi yang merupakan garda terdepan penjaga keamanan tidak berbuat apa – apa. Diam membisu. Membiarkan kejahatan berbuat sesukanya. Polisi dan tentara hanya dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasan Sularso.
Korupsi, kolusi dan nepotisme juga sudah mengakar disana. Dari mulai pemegang jabatan terendah sampai tertinggi semua seperti sudah mendarah daging. Di desa maupun di kota. Sama saja. Tidak ada beda. Birokratnya amburadul. Setiap urusan di pemerintahan semua dinilai dengan uang. Ada uang semua beres. Bak pepatah, 'hepeng mangatur nagaraon’ (3).
Kesewenang – wenangan dan ketidak mampuan Redneck Sularso memimpin, membuat sebagian mayarakat yang punya nyali membuat gerakan perlawanan. Ada yang terang – terangan memberontak. Ada juga yang secara sembunyi – sembunyi melakukan perlawanan. Membuat gerakan bawah tanah, mengumpulkan kekuatan untuk tiba masanya melakukan pemberontakan. Para Tetua Adat yang merasa disingkirkan, diam – diam juga membuat aliansi. Menyusun gerakan untuk ikut menumbangkan rezim Sularso.
Ada banyak faksi disana. Namun, semuanya hanya satu tujuan. Melenyapkan tirani Redneck Sularso dari bumi REON. Mengganti rezim. Dan menyeret Sularso ke pengadilan rakyat untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah dilakukan.
💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗
**1. Ensiklopedia multibahasa yang berisi koleksi dokumen hiperteks dibuat secara kolaboratif
Suatu pulau karang yang mengelilingi sebuah laguna sebagian atau seluruhnya.
Bahasa Batak, artinya UANG BISA MENGATUR NEGARA**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!