Di sebuah kerajaan yang jauh, tersembunyi di balik pegunungan tinggi, terdapat Kawanan Big Silver Moon.
Wilayah ini dipenuhi bunga dan tumbuhan dari berbagai spesies, serta rumah, mansion, dan apartemen yang tersebar di dalamnya. Sekilas, tempat ini tampak seperti kota biasa—dengan mobil, gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, dan bioskop besar.
Namun, satu hal yang membedakannya: para penghuninya bukan manusia biasa.
Gianna Garza, seorang gadis berusia tujuh belas tahun, telah menghadapi penolakan dari ayahnya sejak kecil. Menurut Mariano Garza—ayahnya—Gianna bertanggung jawab atas kematian ibunya, Giannella, yang merupakan seorang Gamma.
Mariano menikahi Giannella meski ditentang banyak orang, karena statusnya yang lemah. Kawanan Big Silver Moon adalah salah satu yang terkuat, dipimpin oleh Alpha Jackson, raja baru para manusia serigala.
Giannella adalah wanita yang cantik, baik hati, dan penuh kasih—cerminan dari putrinya, Gianna. Namun, kecantikannya justru menjadi alasan lain bagi Mariano untuk membencinya.
Dalam hierarki manusia serigala, terdapat beberapa tingkatan:
Alpha: Pemimpin kawanan, paling kuat dan dominan. Mereka memiliki fisik besar, taring tajam, dan suara yang berwibawa.
Beta: Tangan kanan Alpha, bertanggung jawab atas pengawasan dan eksekusi perintah. Beta dipilih berdasarkan kecakapan dan loyalitasnya.
Delta & Pejuang: Serigala yang kuat, sering kali setara dengan Alpha atau Beta dalam hal kekuatan, meskipun tidak memiliki kedudukan yang sama.
Omega: Berada di lapisan terbawah, mereka dikenal karena fisiknya yang lemah, sifat penurut, serta periode berahi yang lebih panjang. Mereka sering menjadi sasaran pelecehan.
Gamma: Lebih rendah dari Omega, mereka dianggap sebagai "Omega cacat." Gamma sangat rentan secara fisik, sering sakit-sakitan, dan berisiko tinggi saat melahirkan.
Hanya sedikit Gamma yang lahir, dan Giannella adalah salah satunya. Status ini membuat putrinya, Gianna, menjadi Omega—meski hal itu tak mendefinisikannya sepenuhnya.
Setelah kematian Giannella saat melahirkan Gianna, Mariano menikah lagi dengan seorang Beta bernama Lucrecia Serpa. Pernikahan ini adalah langkah strategisnya untuk mencalonkan diri sebagai Beta di bawah kepemimpinan Alpha saat itu.
Dari pernikahan ini, lahirlah dua anak: Mariana dan Mario.
Sejak kecil, Gianna telah menjadi sasaran pelecehan, ejekan, dan pemukulan karena dianggap lemah.
Adiknya, Mariana, yang setahun lebih muda, selalu menjelek-jelekkannya di hadapan orang lain, mengklaim bahwa Gianna mengintimidasinya dan menyebarkan kebohongan. Padahal, kenyataannya justru terbalik.
Di sekolah, Gianna menjadi korban intimidasi. Baru pada usia sepuluh tahun, setelah pulang dengan tubuh penuh luka dan memar, kakek-neneknya mulai mengajarinya membela diri—dengan busur, anak panah, dan pedang. Mereka melatihnya bertarung, dan sejak itu, meski sulit menghadapi lawan yang lebih kuat, setidaknya ia bisa melawan dan bertahan.
Sebagai anak dari seorang Beta, rumahnya dekat dengan kediaman Alpha, yang membuatnya sering melihat pria impiannya—Jackson. Tinggi, tampan, dan memiliki karakter kuat, Jackson selalu menarik perhatiannya.
Namun, pria itu justru memandangnya dengan hina, menganggapnya makhluk lemah yang tidak berguna, terlebih karena dugaan kesalahannya terhadap Mariana.
Saat ini, Gianna bersekolah di sekolah menengah kawanan, tempat mereka dipersiapkan untuk universitas sekaligus dilatih mempertahankan kawanan.
Mariana, meski cantik, memiliki hati yang kejam. Bersama kelompoknya, ia senang menyiksa Gianna, menertawakannya, dan menyembunyikan hal-hal darinya hanya untuk hiburan mereka.
Gianna sebenarnya cantik dengan kecantikan yang unik, tetapi ia memilih bersembunyi di balik sanggul berantakan dan pakaian longgar bernuansa maskulin. Sayangnya, hal itu justru membuatnya lebih rentan terhadap perundungan.
Biasanya, seseorang yang diintimidasi memiliki teman yang mendukung mereka. Namun, tidak bagi Gianna. Semua orang memandangnya rendah, seolah dia hanyalah seorang paria.
Satu-satunya yang peduli padanya adalah kakek-neneknya, yang memberinya kasih sayang meskipun mereka tahu betapa buruknya perlakuan yang ia terima. Tapi itulah nasib seorang Omega.
Sementara itu, dunia berada di ambang kehancuran. Perang telah pecah. Sekelompok makhluk bersatu berusaha merebut kekuasaan—mereka terdiri dari kawanan pengkhianat, klan vampir, serta entitas dari berbagai ras.
Mereka telah menghancurkan sebagian besar wilayah peri dan beberapa kerajaan elf, memperkuat pasukan biadab yang terdiri dari manusia serigala terbuang, vampir kuno, hibrida, dan raksasa yang menakutkan.
Akibatnya, pelatihan di sekolah menengah dan universitas diperketat.
Hari ini, kawanan kedatangan tamu penting—Alpha baru datang untuk menginspeksi mereka.
Semua siswa berbaris, termasuk Gianna. Jantungnya berdebar saat melihat sosok itu mendekat, tetapi alih-alih bersemangat, ia merasa gelisah.
"Semua orang akan dibagi ke dalam kelompok beranggotakan sepuluh orang untuk dievaluasi," kata sang Alpha. Siswa-siswa pun dengan sigap mencari kelompok mereka. Namun, saat Gianna hendak bergabung, Jackson turun tangan.
"Hei, kau. Keluar dari barisan," ucapnya dingin. "Jelas kau tidak bisa membela kawanan. Kau hanya berguna sebagai umpan agar yang lain bisa melarikan diri. Untuk itu, kau tak butuh pelatihan—atau status sebagai serigala betina."
Gelak tawa memenuhi udara, mengejeknya.
Gianna merasakan matanya mulai panas, tetapi ia hanya menarik napas dalam dan melangkah pergi. Ia tak mengerti mengapa Jackson begitu membencinya.
Dari kejauhan, ia menyaksikan pelatihan sambil merenungkan kemungkinan dirinya memiliki kekuatan tersembunyi. Namun, tidak. Ia bukan dewi, bukan makhluk istimewa dengan kekuatan dahsyat. Ia hanyalah seorang gadis biasa dengan satu-satunya pilihan—tetap lemah atau bertarung.
Gianna mengamati pria itu dari kejauhan, bertanya-tanya apa alasan di balik kebenciannya. Dia tidak pernah melakukan apa pun padanya.
Lelah, dia bangkit dan berlari menuju lapangan tembak tua—tempat yang pernah menjadi pelariannya saat SMA, sebelum dia dilarang menggunakannya hanya karena statusnya sebagai Omega.
Dia meraih busurnya, membidik, dan menembakkan anak panah satu per satu. Tak satu pun meleset dari pusat sasaran. Kemudian, dia mengganti busur dengan pisau, melemparkannya dengan presisi yang sama.
Latihannya berat. Dia tahu bahwa mungkin dia bukan serigala lagi, tapi dia adalah seorang pejuang.
Neneknya telah mengajarinya tentang tanaman obat, ramuan, dan mantra sederhana yang bisa menjadi pengalih dalam pertempuran. Kakek-neneknya selalu berkata bahwa keberanian dan kecerdikan bisa mengalahkan kekuatan, dan dia memilih untuk mempercayainya.
Di luar sana, vampir yang kuat, penyihir, dukun, dan serigala mendominasi berbagai kerajaan. Tapi ada juga kerajaan Raja Marcus—kaum manusia yang bertarung dengan pedang, senjata, dan pisau. Mereka mungkin tak punya sihir, tapi mereka memiliki naga raksasa sebagai sekutu. Dan bahkan tanpa naga, mereka telah memenangkan banyak pertempuran.
Gianna mempersiapkan dirinya, karena dia tahu dalam perang, tidak akan ada yang bisa begitu saja menyingkirkannya. Ini adalah kesempatannya untuk membuktikan bahwa menjadi seorang Omega bukanlah vonis kelemahan.
Namun, di usianya yang hampir delapan belas tahun, dia belum bertemu serigalanya. Kakek-neneknya percaya itu karena dia adalah putri seorang Gamma.
Tapi Gianna justru bersyukur—Omega lain sering dieksploitasi dalam masa birahi atau tunduk pada perintah serigala yang lebih kuat. Tanpa serigala, dia terbebas dari belenggu itu.
Banyak Omega yang dipaksa menikah dengan sesama Omega, atau lebih buruk lagi, hanya dijadikan alat pemuas. Tapi Gianna tidak pernah merasakan kegembiraan menjadi serigala.
Mungkin, suatu hari dia akan menemukan pasangan yang mencintainya tanpa peduli pada hierarki—seperti ayahnya yang dulu menikahi ibunya, seorang Gamma. Tapi lebih mungkin lagi, dia hanya akan berakhir ditolak, dengan rasa sakit luar biasa yang datang bersamanya.
Dengan tekad membara, Gianna terus berlatih, melompati rintangan dan menebas boneka latihannya dengan pedang. Satu-satunya kekuatan yang dia miliki hanyalah ketekunan dan keberanian.
Saat matahari mulai terbenam, dia berjalan menuju pintu keluar, melihat para siswa lain yang masih bertarung dalam wujud serigala mereka.
"Halo, sampah kecil. Kukira kau sudah pulang," suara Mariana menyapanya dengan seringai puas.
"Jangan mulai, Mariana," Gianna mendesah, hendak pergi. Namun, dia malah berhadapan dengan teman-teman saudara perempuannya.
"Bagaimana kalau kita ajarkan pelajaran pada si Omega ini?" salah satu dari mereka menyeringai.
Gianna meraba belatinya, mempertimbangkan perlawanan. Tapi ketika matanya menangkap sosok Raja yang masih berada di area pelatihan, dia menelan keinginannya. Jika dia melawan, dia tahu hukumannya akan lebih berat.
Dia tidak melawan saat mereka menyeretnya, meski dia terus berusaha membebaskan diri. Begitu sampai di area terpencil dekat tempat sampah, dia menyelipkan tangannya ke saku dan menjatuhkan bom warna-warni kecil.
Ledakan pigmen memenuhi udara, disertai jeritan panik Mariana dan gengnya. Tanpa menunggu lebih lama, Gianna melarikan diri, meninggalkan mereka dengan kemarahan mereka sendiri.
Berjalan pulang, dia merasakan lelah yang lebih dalam dari sekadar tubuhnya—kelelahan akibat bertahun-tahun pelecehan yang tak bisa dia hentikan.
Saat melangkah, matanya tertuju pada perbatasan yang memisahkan kawanan ini dari dunia luar. Apakah ada tempat untuknya di luar sana?
Sesampainya di rumah, dia mendapati ayahnya sedang duduk, menatapnya dengan jijik.
"Halo, Ayah. Aku sudah pulang. Bagaimana kabarmu?" sapanya, mencoba mencairkan suasana.
"Aku dengar dari adikmu bahwa kau ditendang keluar dari barisan pelatihan. Kau bahkan tidak berubah." Geraman rendah keluar dari pria itu, membuat bulu kuduknya berdiri.
"Aku tidak tahu malapetaka apa lagi yang ingin kau timbulkan padaku. Adikmu mengatakan sambil menangis bahwa kau melemparkan sesuatu yang menjijikkan padanya. Kenapa kau begitu jahat? Apa kau memang dilahirkan hanya untuk menyakiti?"
Hati Gianna mencelos. Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari belati mana pun.
"Ayah, tapi dia—"
"Tapi bukan apa-apa!" pria itu menyela dengan nada penuh kebencian. "Kau hanya wanita kurang ajar yang iri pada adikmu. Keluar dari hadapanku!"
Air mata mulai menggenang di matanya saat dia berlari ke kamarnya, menutup pintu, lalu membiarkan dirinya menangis.
Dia menatap langit dari jendela, mencari jawaban di antara bintang-bintang.
"Dewi Bulan..." bisiknya dengan suara bergetar. "Apakah ini akan pernah berakhir?"
"Dewi Bulan, mengapa begitu banyak penderitaan? Mengapa Kau tidak memberiku kekuatan, seperti Omega dalam cerita yang kubaca? Mengapa aku harus tetap lemah dan tak berdaya?"
Gianna berbisik dengan suara bergetar, air mata terus mengalir di wajahnya. Dadanya terasa sesak, seolah-olah dihimpit oleh kesedihan yang tak berujung. Namun, seperti biasa, tak ada jawaban.
Suara ketukan pelan terdengar di pintu. "Sayang, boleh Nenek masuk?"
Tanpa menunggu jawaban, neneknya melangkah masuk, menatapnya dengan mata penuh kasih dan penyesalan.
"Gadis kecilku, kemarilah."
Tanpa ragu, Gianna berlari ke dalam pelukan neneknya, menangis tanpa hambatan. Beban yang menindih hatinya akhirnya tumpah dalam isakan yang tak tertahan.
"Dia membenciku, Nek... Ayah membenciku. Aku tidak membunuh Ibu, aku tidak pantas menerima semua ini…" katanya dengan suara parau, sementara neneknya mengusap lembut kepalanya.
"Ssst, Nak... Tentu saja ini bukan salahmu. Tapi rasa sakit terkadang membutakan seseorang." Neneknya berbisik menenangkan, membiarkannya menangis hingga tenang.
Setelah beberapa saat, Gianna mengangkat wajahnya. "Nenek, mungkinkah aku bukan putri Ayah? Atau... mungkinkah aku memiliki kekuatan tersembunyi?"
Neneknya menghela napas, menatapnya dengan lembut sebelum menggeleng pelan. "Tidak, Sayang. Ibumu hanyalah seorang Gamma biasa yang tubuhnya terlalu lemah untuk melahirkan. Ayahmu adalah putra kami, dan kami tidak memiliki sesuatu yang ajaib... kecuali sedikit kekuatan penyembuhan dan kemampuan meramu obat yang sudah kuajarkan padamu."
"Jadi aku tidak akan menjadi seperti Omega dalam cerita, yang ternyata memiliki kekuatan besar dan menjadi ratu?" tanyanya, suaranya dipenuhi harapan yang nyaris pupus.
Neneknya tersenyum hangat, menggeleng perlahan. "Tidak, Nak. Tapi kau tidak membutuhkan kekuatan besar untuk menjadi berharga. Hati dan keberanianmu jauh lebih bernilai. Atau apakah kau berpikir seseorang yang tidak memiliki kekuatan itu tidak berarti?"
Gianna menundukkan kepala, menggeleng cepat. "Tentu saja tidak, Nek. Tapi aku benci menjadi Omega yang selalu mereka hina dan tertawakan."
Neneknya menatapnya penuh kebijaksanaan. "Hal terbaik dalam hidup ini adalah bahwa setiap hari adalah lembaran baru, dan apa pun bisa terjadi. Kau masih memiliki perjalanan panjang untuk membuktikan siapa dirimu."
Gianna mengangguk pelan, sedikit cahaya mulai kembali ke matanya. Dia memeluk neneknya erat-erat.
"Tenanglah, Sayang," bisik neneknya lembut. "Jangan pernah kehilangan harapan."
Hari-hari berlalu, dan seperti biasa, pelecehan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Gianna. Setiap hari terasa seperti pengulangan tanpa akhir.
Pertemuannya dengan pria yang ditaksirnya semakin sering terjadi, terutama karena dia sering pergi untuk menonton sesi latihan. Namun, setiap kali matanya menangkap sosoknya, Gianna akan segera meninggalkan barisan dan berjalan menuju lapangan lain—setidaknya sampai sang Alpha pergi.
Saat itu, langkahnya melambat. Dia menatap langit, terpukau oleh pemandangan di kejauhan. Naga-naga besar terbang melintasi cakrawala, siluet mereka bergerak anggun di antara awan. Sudah pasti ada konfrontasi yang terjadi lagi. Kini, kehadiran Alpha yang konstan mulai masuk akal.
Mata Gianna tak lepas dari para naga itu. Binatang buas yang mengerikan, milik Kerajaan Api. Penguasa mereka terkenal karena kekuatan dan ketegasannya.
Naga-naga itu terlatih dengan sempurna, patuh sepenuhnya kepada pemiliknya. Kadang-kadang dia melihat mereka bersama penunggangnya, kadang mereka terbang bebas, penuh kewibawaan.
Dia bertanya-tanya seperti apa sosok raja dan para prajuritnya—betapa luar biasanya mereka hingga mampu menjinakkan makhluk sekuat itu.
Namun lamunannya buyar ketika sebuah suara dingin menyela.
"Wah, wah... rupanya sekarang kau bermalas-malasan."
Gianna menoleh dan langsung merasa jantungnya berdegup lebih cepat.
Jackson.
Alpha kelompoknya berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan menghina. Dia luar biasa tampan—rambut hitam pekat, mata hijau tajam, rahang tegas, dan tubuh kuat yang memancarkan kekuatan serta dominasi. Kehadirannya saja cukup membuatnya gemetar.
“Alpha… ini jauh dari tempat latihan yang kau larang untuk kudatangi,” katanya hati-hati. Namun, dia hanya mendapat tatapan mencemooh sebagai balasan.
"Kenapa kau repot-repot datang ke sekolah? Dan nanti kuliah? Di sana akan lebih intens lagi. Kau hanya seorang Omega. Tinggallah di rumah dan tunggu seseorang untuk... memuaskanmu."
Kata-katanya menghantam seperti pukulan di dada.
Gianna menelan rasa sakitnya dan mengangkat dagu, meski tangannya gemetar. “Dengan segala hormat, Alpha, menjadi seorang Omega tidak menghalangiku untuk belajar. Kecuali jika itu adalah hukum baru yang belum aku sadari.”
Jackson menggelengkan kepalanya, sinis. “Satu-satunya alasan aku belum mengusirmu adalah karena menghormati Beta-ku—ayahmu, yang juga temanku. Tapi jangan pernah mencoba melewati batas, Omega.”
Gianna menundukkan pandangannya.
"Orang sepertimu seharusnya tidak meninggalkan rumah mereka. Atau... mungkin aku akan mempertimbangkan untuk membuat sekolah khusus Omega seperti dirimu, agar kau tidak mengganggu yang lain.”
Amarah di matanya menyala.
Gianna menggigit bibir, menekan emosi yang bergolak di dalam dirinya. Dengan suara setenang mungkin, dia berkata, “Jika itu yang kau pikirkan, maka pasti benar. Sekarang, aku akan pergi agar tidak lagi mengganggumu, Yang Mulia.”
Dia berbalik dan pergi tanpa menoleh, berusaha menahan air mata.
Sepanjang sisa sesi latihan, dia menghabiskan waktunya di lapangan tembak lama, melampiaskan amarah dengan setiap bidikan yang dilepaskan.
Saat matahari mulai tenggelam, dia tahu sudah waktunya untuk pulang. Setelah mengumpulkan barang-barangnya, dia berjalan pulang, kembali ke rutinitasnya yang tak berubah.
Namun, kini ada satu perbedaan.
Seorang penguntit baru telah ditambahkan ke dalam kehidupannya—pria yang diam-diam dicintainya.
Setibanya di rumah, dia melihat kesibukan di sekelilingnya, tetapi tidak ingin terlibat. Dia hanya menyapa ayahnya sekilas dan segera pergi, menghindari tatapan dingin yang selalu menyertainya.
Mariana dan Lucrecia tertawa riang saat memilih gaun, sementara Gianna diam-diam pergi ke kamarnya. Beberapa saat kemudian, kakek-neneknya datang.
"Sayangku, bagaimana kabarmu?" tanya kakeknya dengan lembut.
"Sedih, Kakek," jawabnya pelan. "Setiap hari rasanya semakin sulit menanggung semua hinaan itu."
Sang kakek menariknya ke dalam pelukan hangat, mengelus kepalanya dengan penuh kasih. "Jangan khawatir, kilau kecilku. Suatu hari nanti, semua ini akan berakhir."
Gianna menghela napas pasrah. Dia ingin percaya, tapi jauh di lubuk hatinya, dia tahu itu tidak akan pernah terjadi.
Neneknya tersenyum dan menyerahkan sepotong kue. "Lihat, kau mungkin berpikir tak ada yang mengingatnya, tapi kami selalu ingat."
Mata Gianna melembut. "Terima kasih, Nenek… Aku pikir tak ada yang peduli. Ayahku pasti ingat, tapi justru karena itu dia semakin membenciku. Itu sebabnya aku hanya menyapanya sekilas tadi."
"Jangan biarkan mereka merusak harimu, Sayang," ujar kakeknya. "Hari ini adalah hari yang luar biasa. Delapan belas tahun yang lalu, bayi paling cantik di dunia ini lahir."
Neneknya tersenyum penuh keyakinan. "Selamat ulang tahun, kilau kecilku. Malam ini, kau akan menjadi serigala yang luar biasa. Aku bisa merasakannya."
Gianna tertawa kecil. "Jadi itulah alasan semua keributan di rumah? Pesta untukku?"
Neneknya menggeleng sambil tertawa. "Bukan, Sayang. Besok ada pesta di rumah Alpha, dan semua orang di sini harus hadir."
Tatapan Gianna langsung berubah dingin. "Dia membenciku. Aku tidak akan pergi."
Kakeknya menggelitik pinggangnya dengan lembut. "Kau harus pergi, Nak. Ini penting bagi kelompok kita. Keluarga Beta wajib hadir."
Gianna mendesah, lalu akhirnya mengangguk. Ia meniup lilin bersama kakek-neneknya. "Buatlah permintaan, Cantik," bisik neneknya.
Gianna menutup mata. Aku berharap suatu hari nanti aku bisa bahagia. Kemudian, ia meniup lilinnya.
Sore itu terasa begitu tenang. Kue yang lezat, kehangatan keluarga, dan tawa ringan yang sudah lama tak ia rasakan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Gianna tersenyum.
Saat malam menjelang, ia berpamitan kepada kakek-neneknya dan naik ke kamarnya. Di atas tempat tidur, sebuah tas berisi pakaian bersih telah disiapkan oleh neneknya. Gianna menatapnya, lalu menghela napas.
Malam ini, segalanya akan berubah.
Malam ini, ia akan bertemu dengan serigalanya.
Tapi di balik antisipasi itu, ada ketakutan yang menyelinap. Karena begitu transformasi terjadi, ia tahu bahwa orang lain akan memiliki kekuasaan atas dirinya.
Angin malam bertiup melalui jendela, menusuk kulitnya. Gianna menatap langit. Bulan bersinar terang, sama seperti malam-malam sebelumnya. Ia melirik jamnya—pukul 11:30 malam.
Dalam waktu setengah jam, hidupnya akan berubah selamanya.
Serigala lain biasanya merayakan momen ini dengan pesta besar, tetapi tidak dengannya. Ia masih ingat malam transformasi saudara perempuannya—Mariana.
Betapa indahnya dia dalam wujud serigala: bulu cokelat, mata madu yang hangat. Betapa ayah dan ibu tiri mereka menyambutnya dengan tangan terbuka, mendukungnya dalam setiap detik transformasinya.
Tapi bagi Gianna, tidak akan ada pelukan. Tidak ada kata-kata penyemangat.
Karena sejak lahir, ia selalu berbeda.
Dan menjadi berbeda sering kali berarti dikucilkan.
Gianna mengambil tasnya dan pergi ke hutan. Langkahnya mantap, semakin jauh dari rumah yang tak pernah benar-benar menjadi rumah baginya.
Ia mendongak. Bulan bersinar keperakan, indah dan penuh misteri. Ia memejamkan mata, membayangkan sosok ibunya—tersenyum lembut, penuh kebanggaan, menatapnya dengan kasih sayang yang telah lama hilang dari hidupnya.
Kemudian, rasa sakit itu datang.
Seketika, tubuhnya seperti terbakar dari dalam. Tulang-tulangnya bergeser, meregang, kemudian patah hanya untuk menyatu kembali. Ia jatuh ke tanah, menjerit. Setiap helai otot terasa seperti sobek.
Dan saat ia mencoba berteriak lagi, yang keluar dari tenggorokannya adalah lolongan.
Gianna menunduk. Tangannya… bukan, cakar. Bulu putih bersih menutupi tubuhnya. Saat pikirannya berusaha memahami apa yang terjadi, sebuah suara lembut namun kuat memenuhi benaknya.
“Halo, Gianna.”
Dia tersentak. Itu bukan suaranya.
“Aku serigalamu. Namaku Xena."
Hatinya berdegup kencang. Dengan tubuh barunya, ia berlari ke arah danau. Begitu tiba, ia menunduk untuk minum, lalu melihat pantulannya.
Ia terdiam.
Serigala dalam pantulan air itu bukan hanya cantik—ia luar biasa.
Bulu putih bersih. Mata keemasan yang tampak seperti api.
Xena.
Malam itu, ia berlari tanpa henti, merasakan angin menerpa bulunya, berbicara dengan Xena, mengenal bagian dari dirinya yang selama ini tersembunyi.
Ia tak sendiri lagi.
Kini, mereka memiliki satu sama lain.
Saat malam hampir berakhir, ia kembali ke bentuk manusianya. Dengan hati yang lebih ringan, ia mengenakan pakaiannya dan kembali ke rumah.
Namun, seseorang melihatnya.
Mariana.
Dan besok, Gianna tahu saudara perempuannya akan mengarang sesuatu lagi tentang dirinya. Karena Mariana tidak akan pernah membiarkan Gianna menemukan ketenangan—atau cinta—sebelum dirinya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!