Harap maklum kalau penulisannya belum rapi, ada yang sudah revisi ada yang belum🙏
Untuk kak Dilan ... (surat dari Aurel )
Aurel sangat menyayangi kakak, tapi Aurel sadar hidup Aurel tidak akan bertahan lama.
Hanya satu permintaan Aurel kak.
Aurel ingin Kakak, Ayah, Kakek dan juga Lano bahagia.
Rasanya berat harus meninggalkan kalian sebelum ada yang menggantikan Aurel menjaga dan merawat kalian.
Tapi, sebelum Aurel pergi Aurel sudah memutuskan memilih pendamping yang pantas untuk kakak.
Cobalah untuk membuka hati pada gadis pilihan Aurel ini
Aurel yakin sekali dia gadis yang sangat pantas untuk keluarga kita
Biarkan Aurel melihat kalian bahagia terutama Lano yang pasti sangat rindu sosok seorang ibu.
Percayalah kak, dia gadis yang baik dan bisa mewarnai kehidupan kakak.
Terimakasih sudah menyayangi Aurel selama Aurel hidup.
Aurel sayang kalian semua.
Sekali lagi, tolong pertimbangkan permintaan Aurel.
* * *
Untuk kesekian kalinya Dilan hanya bisa membuang napas dengan kasar setiap kali membaca surat peninggalan dari adiknya.
Terasa sesak bila dia belum memenuhi keinginan terakhir Aurel, tapi juga sesak bila ia membayangkan harus menikahi gadis pilihan sang adik.
Sudah tiga bulan adiknya meninggal, tapi Dilan belum juga memutuskan apapun.
Dia masih belum bisa menerima kehadiran seorang wanita di hidupnya lagi.
Walaupun sudah seminggu ini Aurel datang ke dalam mimpinya.
Aurel terlihat menangis di dalam mimpinya itu belum mempengaruhi niatnya.
Dilan sangat frustrasi, tidak tau apa yang harus dia lakukan.
Dilan memijit pelipisnya lalu ia memanggil asisten pribadinya lewat telepon genggam.
"Cepat ke ruangan ku!" titah Dilan pada Boy asisten pribadinya.
Tak lama kemudian Boy masuk ke ruangan Dilan.
"Ada apa, Tuan?" Pria dengan tubuh tinggi dan tegap itu bertanya.
"Cari informasi lengkap tentang gadis ini!" Menyerahkan selembar foto seorang gadis kepada Boy. "Ajak bertemu bila informasi tentang gadis ini sudah lengkap."
Boy mengambil foto itu dan melihat sebentar. Di belakang foto tersebut terdapat nama dan alamat.
"Baiklah, Tuan. Saya akan segera mendapatkan apa yang Tuan inginkan."
"Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu! Oh ya, bagaimana kabar bodyguard putraku?" tanya Dilan yang penasaran dengan cara kerja bodyguard baru anaknya.
"Sepertinya James sangat cocok dengan pekerjaan ini, Tuan. Lano juga menyukai James."
Dilan mengangguk. Sejak adiknya meninggal Dilan memang menyewa beberapa bodyguard khusus untuk membantunya, selain menjaga Lano putranya, beberapa juga dikhususkan untuk memantau kondisi ayahnya.
Karena sekarang Dilan akan sangat sibuk mengurus perusahaan sendiri.
Dulu, ada Aurel adiknya yang membantunya tapi sekarang tidak lagi. Kadang rasa yang teramat lelah sering ia rasakan.
Namun melihat raut wajah orang-orang yang bergantung padanya seolah memberikan semangat lagi untuk Dilan.
Keluarga dan juga para karyawan di perusahaannya sangat bergantung pada dirinya.
* * *
Di kampus ....
Sofia memanyunkan bibir tipisnya, setiap kali kakak dan kakak iparnya melakukan video call dari Korea, gadis itu merasa sangat iri karena dia tidak bisa ikut liburan bersama mereka.
"Halo adik ipar," sapa kakak iparnya Gracia yang begitu terlihat bahagia dari layar ponselnya. Cuaca di sana sedang dingin nampaknya, karena Gracia dan Ghaisan terlihat memakai pakaian tebal.
"Pamer ," gerutu Sofia. Gadis muda itu benar-benar iri dengan Gracia dan Ghaisan yang bisa pergi ke Korea.
"Hahahaha ... cup cup cup," ejek Gracia.
"Dasar kakak ipar menyebalkan, awas ya kalo kalian pulang gak bawa oleh-oleh!" Ancam gadis itu, ia mengepal tangannya ke arah layar ponsel seolah ingin meninju kakak iparnya.
"Udah yank, jangan diladeni si biang rusuh. Lebih baik kita jalan-jalan lagi." Suara Ghaisan yang sedang duduk di sebelah Gracia terdengar sangat jelas oleh Sofia.
"Dasar alay," kesal gadis itu.
"Daa ... Sofia." Ghaisan akhirnya memutuskan panggilan video tersebut.
"Awas ya, kalau Sofia punya uang sendiri, Sofia akan pergi liburan juga liat aja nanti heh," ocehnya kesal.
Sofia meletakkan ponsel di meja dan menyeruput jus jeruk yang ada di depannya.
Sekarang dia sedang berada di kantin kampus.
"Selamat siang, Nona," sapa seorang pria bertubuh tinggi dan tegap. Pria itu berdiri di dekat meja Sofia.
Sofia menatap pria itu dari bawah sampai atas. "Siang juga, ada apa, Mas?" Sofia bertanya dengan wajah bingung.
"Apa anda Nona Sofia Putri Anggara? Adiknya Pak Ghaisan dan putri Dokter Rafandi?" Pria tersebut menyebut nama keluarga Sofia dengan lengkap.
"Iya benar itu saya. Ada apa ya, Mas?"
"Bisa ikut saya sekarang?! Tuan Dilan ingin bertemu dengan Anda di kafe tak jauh dari kampus Anda."
Sofia membulatkan matanya, hampir saja ia tersedak jus yang belum sempat ia telan di dalam mulutnya. Dilan? Si Duda? Pria limited edition? Diakah atau Dilan lain? Ia masih mencerna sebuah nama yang diucapkan pria di hadapannya.
"Seperti yang Nona pikirkan Nona, Tuan Dilan Danuarta." Pria itu meyakinkan Sofia dengan sedikit penekanan di nama Dilan.
Apa dia mbah dukun? Kok bisa tau apa yang aku pikirkan? Sofia melirik pria tinggi itu dengan tatapan sinis.
"Saya hanya asisten Tuan Dilan Nona, bukan Dukun." Pria itu terkekeh sedikit melihat aura terkejut yang Sofia tampilkan.
"Kenapa kamu tau apa yang aku pikirkan? Jangan-jangan kamu memang bukan manusia?" Sofia berdiri dari duduknya, ia menatap pria itu dengan serius kali ini,
"GAES ... helo," teriak Sofia di dalam kantin dengan volume suara yang lumayan lantang.
Seketika seluruh mahluk yang ada di kantin menoleh ke arah gadis itu.
"Apa kalian bisa lihat dia?" Menunjuk pria yang berdiri di depannya. Menoleh semua penghuni kantin dan kembali menoleh pria di depannya.
Pria itu hanya menggeleng melihat tingkah Sofia. "Kenapa Tuan ingin mencari informasi tentang gadis ini?" batin Boy merasa sesuatu yang aneh, akan tetapi ia tidak ingin terlalu ikut campur pada kehidupan pribadi bosnya.
"Ayo jawab, apa kalian liat dia?" tanya gadis itu lagi.
"Jangan bodoh Sofia, siapa juga yang gak bisa liat pria semanis itu," celetuk seorang gadis yang duduk di sebelah meja Sofia.
"Manis?" Sofia akhirnya sadar. Ya, dia akui pria yang ada di depannya ini memang manis dan juga sedikit tampan.
"Bagaimana, Nona ... apa Anda masih tidak percaya atau Anda ingin saya gendong paksa agar segera ikut saya? Tuan Dilan tidak punya banyak waktu, Nona, harap Anda mengerti! Tapi jika Anda tidak ingin menemui Tuan Dilan, tidak apa-apa. Saya akan bilang bahwa Anda sibuk dan tidak bisa diganggu. Terimakasih, selamat siang." Boy membalikkan badannya dan segera pergi.
"Tunggu-tunggu ... kok main tinggal aja sih?" Sofia berlari kecil mengejar punggung pria yang bernama Boy itu.
"Ada apa lagi, Nona?" Boy menghentikan langkahnya. Ia membalikkan tubuhnya menghadap Sofia.
"Iiiikkuuuttt ...," ucap Sofia dengan wajah seimut mungkin. Mengedipkan kedua matanya ke arah Boy.
Seketika Boy merasa merinding di seluruh tubuhnya melihat ekspresi yang Sofia tunjukkan.
Boy menggeleng kepala melihat tingkah gadis di depannya," Apa sebenarnya yang Tuan Dilan inginkan dari gadis aneh ini?"
Boy bergumam dalam hati.
* * *
Jangan lupa dukungannya ya!!!
Like, komen n vote!!!
Selamat membaca!!!
Dilan melirik jam di tangannya berkali-kali. Ia pria sibuk. Tapi hanya karena menunggu seorang gadis, ia bisa duduk selama setengah jam dan menghabiskan 2 gelas kopi.
"Kenapa Boy lama sekali? apa Boy tidak bisa menghadapi gadis itu?" Dilan benar-benar sudah tidak sabar, dengan kesal ia memukul meja dengan telapak tangannya.
BRRAAK ... "Aku harus pergi sekarang." Dilan berkata sambil beranjak dari tempat duduk, baru saja ia hendak melangkah, dari jauh terlihat Boy berlari kecil dengan tergesa-gesa.
"Maaf Tuan. Saya tau ini sudah terlambat. Ini gadis yang ada inginkan." Boy menunjuk Sofia yang berada tepat di belakang punggungnya, gadis itu sejak tadi bersembunyi di belakang punggung Boy karena malu bertemu seorang Dilan.
"Hai ... Abang ..." Sofia cengengesan melirik Dilan dari balik punggung Boy. Melambaikan tangan dan tersenyum seimut mungkin.
"Jangan banyak gaya! duduk!" suruh Dilan kemudian. Masih dengan wajah kesal karena terlalu lama menunggu.
Sofia berjalan ke arah meja dan duduk dihadapan Dilan.
"Ada apa Abang mencari Sofi?" tanya Sofi tanpa basa-basi.
"Abang? tidak ada panggilan lain?" Dilan agak aneh dengan panggilan yang selalu gadis ini sebutkan.
"Tidak. Ini mulut Sofi jadi terserah Sofi mau panggil apa. Abang gak punya hak untuk melarang."
Dilan menarik nafas dan menghembuskan dengan kasar. " Baiklah. Kita langsung saja. Saya tidak punya banyak waktu." Dilan merogoh kantong kemejanya, ia memberikan sebuah kertas dan selembar foto ke hadapan Sofia.
"Apa ini?" tanya sofia.
"Baca saja! Kamu kenal adik saya Aurel kan?"
Sofia mengangguk, lalu membuka kertas yang dilipat itu dan membacanya.
Mata gadis itu membulat kaget dengan isi surat yang ia baca. Berkali-kali Sofia menelan ludah entah apa yang ada di pikiran gadis itu.
Dilan mencoba membaca raut wajah gadis di depannya. Tapi Dilan tidak tau sama sekali apa yang terlihat dari raut wajah Sofia.
Boy mengangkat alis tebalnya, ia sangat mengerti dengan apa yang ada dipikiran Tuannya dan gadis yang sedang membaca surat itu.
"Dia sepertinya membayangkan tentang Anda yang tidak-tidak Tuan. Dan saya pastikan gadis ini menyukai Tuan." Bisik Boy di telinga Dilan.
Dilan menatap Boy. Ia berbicara dengan matanya, karena ia tau Boy sangat ahli membaca mimik wajahnya.
Boy mengangguk saat Dilan mencoba berinteraksi lewat matanya ke arah Boy.
"Apa kalian Normal? kenapa kalian bicara dalam diam?" Sofia menatap aneh pada kedua pria di hadapannya. Bagaimana mungkin mereka bisa mengobrol tanpa bicara.
"Jangan ikut campur! sekarang apa keputusan kamu!" Dilan kembali pada imej sebelumnya.
"Abang mau Sofi jadi apanya Abang?" Sofi balik bertanya.
"Apa kamu tidak baca?" tanya Dilan lagi.
"Sofi baca. Cuma Sofi belum paham, posisi apa yang kak Aurel maksudkan." Sofi menatap Dilan dengan wajah polosnya. Entah pura-pura polos atau memang polos hanya Sofia dan Tuhan yang tau.
Dilan memijit pelipisnya, ia baru sadar kalau ia berhadapan dengan seorang gadis 19 tahun. Sedang ia pria 31 tahun.
"Pendamping. Sofi. Merawat, menjaga? Kamu tidak paham?" Ingin rasanya Dilan menelan gadis di depannya ini.
"Iya Aa ... bang. Bisa pacar, pengasuh, perawat, tunangan atau mungkin pembantu?" Berbicara dengan asal tanpa menghiraukan raut wajah Dilan yang sudah berubah seram.
"Boy. Urus gadis ini! Saya sudah tidak tahan. Saya percayakan semuanya padamu Boy! kabari saya bila sudah dapat kesimpulan."
Dilan beranjak dari duduknya dan pergi begitu saja setelah menoleh ke arah Sofia sekilas.
Sofia hanya menatap punggung Dilan dengan sedikit kesal. Bagimana mungkin pria itu berlalu begitu saja dan menyerahkan dirinya pada asistennya.
" Bikin penasaran aja ni Abang. Untung aja ketutup sama muka ganteng, kalo nggak udah aku sikat pake sikat panci." Oceh Sofi tapi hanya berani mengoceh di dalam hati.
"Eehhemm ... Jangan bicara yang tidak-tidak tentang Tuan Dilan." Boy yang masih setia berdiri di dekat meja, langsung duduk di hadapan Sofia. Ia mengambil surat yang masih betah di pegang oleh Sofia.
Membaca dengan cepat dan melipat surat itu kembali.
"Jadi Nona. Bersediakah Anda menikah Dengan Tuan Dilan?" Ucap Boy dengan wajah tenang tapi ucapannya begitu tegas.
"APA? Menikah? hahahaha kalo ngomong jangan asal ya mas, ntar kalo saya baper gimana?" Sofi mencoba mengalihkan pembicaraan. Bagaimana mungkin menjadi istri Dilan hanya karena sebuah surat. Sofia juga tak melihat ada kata istri di dalam surat itu.
"Ya sudah kalau Anda tidak mau, berarti bukan Tuan Dilan yang menolak permintaan terakhir Nona Aurel. Tapi perempuan yang Aurel pilihkan yang menolak permintaan terakhir nya." Lagi-lagi Boy bersikap tenang setenang batu di lautan.
"Kok gitu? serius? Abang Dilan mau Sofi jadi istrinya? jangan becanda dong mas! ini bukan prank kan?" Sofia memberanikan diri mendekati wajah pria di depannya, mengedipkan kedua matanya lagi, mencari kebenaran di wajah Boy.
Boy menyingkirkan wajah Sofia dengan telunjuknya. Menjauhkan wajah penasaran gadis itu agar tidak semakin dekat.
"Jaga sikap Anda Nona! Jika Anda bersedia, saya akan mengurus semuanya. Saya juga akan mengajarkan Anda cara bersikap yang baik agar Anda pantas bersanding dengan Tuan Dilan."
"Emang dia siapa sih sampai aku harus menjaga sikap. Apa karena dia kaya?" Sofia terus mengoceh tanpa memperdulikan Boy yang masih mendengar dan berada di depannya.
Boy juga hampir saja kehilangan kesabaran menghadapi Sofia.
"Jadi Nona? Anda bersedia atau menolak? cepat katakan Nona!! saya juga masih banyak pekerjaan." Boy berdiri sambil menatap tajam ke arah Sofia.
"Kalian kok jadi marah-marah sama Sofi? tadi Abang Dilan sekarang Mas Boy." Wajah Sofi berubah seolah tertindas.
Boy kembali menarik nafas dan menghembuskan perlahan. " Maaf Nona. Saya tidak marah, hanya sedikit emosi. Maafkan atas sikap saya yang kurang sabar." Boy mencoba mengalah tapi tetap dengan wajah datar. Tidak tampak penyesalan sedikit pun.
Sofia berdiri dari kursi. " Bilang sama Abang Dilan! Kalo mau nikah sama Sofi lamar Sofi malam ini juga! datang kerumah orang tua Sofi, minta Sofi baik-baik! oh ya, jam 7 malam." Ucap Sofia dengan penuh penekanan. Gadis itu segera pergi dengan raut wajah kemenangan.
"Apa mungkin Abang Dilan akan datang? ah mana mungkin. Dia kan pria sibuk." Gumam gadis itu lalu masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di depan Cafe.
Sementara Boy masih berdiri di dalam Cafe.
"Gadis licik." Ucap Boy, " Aku ingin lihat bagaimana gadis licik sepertimu menghadapi Tuan Dilan Nona. Ini sangat menyenangkan untuk di tonton." Boy tersenyum tipis dan pergi setelah Sofia sudah pergi dengan mobilnya.
* * *
Di kantor Dilan ....
"Bagaimana Boy?" tanya Dilan.
"Gadis itu seperti menantang kita Tuan."
"Menantang? maksudnya?"
"Dia menyuruh Anda datang melamar malam ini juga kerumahnya."
"Apa? malam ini? apa gadis itu sudah tidak waras? kenapa jadi dia yang memutuskan?" Dilan tak percaya dengan ucapan yang Boy sampaikan.
"Sebaiknya kita turuti saja Tuan. Sepertinya gadis itu sangat pintar."
"Benarkah? liat saja rubah kecil. Sepintar apa dirimu."
Bersambung ...
jangan lupa like, rate 5 n vote ya!!!
Sepuluh mobil mewah dengan berbagai merek membuat sedikit kegaduhan di perkomplekan perumahan. Ferrari, Jaguar, Lamborghini, Bugatti dan lain-lain. Masuk ke dalam pekarangan rumah seorang Dokter. Dokter Rafandi ayah Sofia.
Rumah yang memang tidak dijaga oleh satpam itupun dengan mudah dimasuki oleh para tamu luar biasa malam itu.
Bunyi mobil yang tampak sedikit asing di telinga tuan rumah membuat mereka penasaran.
Raya dan Rafa yang kebetulan sedang menonton televisi di ruang tengah kaget mendengar suara berisik dari luar.
"Kayaknya dari depan rumah deh yank." Rafa melirik istrinya di sebelah.
"Rame deh kayaknya beib, Ayo beib kita liat."
Rafa dan Raya beranjak dari sofa lalu menuju ruang tamu dan membuka sedikit pintu rumahnya.
Alangkah kagetnya Raya ketika melihat sepuluh mobil sport terparkir rapi di halaman rumahnya yang memang lumayan luas. Yang lebih membuat kaget lagi. Dari dalam mobil keluar para pria berkelas. Tampan, tinggi dan memakai tuxedo berwarna hitam.
Gleg ... Raya menelan ludah dengan kasar.
"Siapa mereka beib? aktor? pangeran?atau mafia?" Raya tak mampu berkata-kata lagi.
"Entahlah ...," Ucap Rafa yang juga sama kagetnya.
Raya dan Rafa merapatkan pintu rumahnya kembali setelah melihat beberapa pria menuju ke arah pintu rumahnya.
Ting ... Tong. Bel rumah Raya berbunyi.
"Kamu aja yang buka beib, aku masih pakai daster gak enak." Alasan Raya karena kurang percaya diri dengan penampilannya.
Ia segera berlari masuk ke kamarnya.
Rafa membuka pintu rumahnya setelah Raya sudah masuk ke dalam kamar.
"Siapa?" tanya Rafa ketika membuka pintu, namun salah satu pria di hadapannya seperti tidak asing dimatanya.
"Maaf, apa benar ini rumah Nona Sofia?" Boy membuka pembicaraan.
Sementara Dilan dan Dilano berdiri di samping Boy. Dan pria lainnya berdiri dengan rapi di belakang Dilan sambil membawa banyak sekali bingkisan yang berukuran besar, sedang dan juga kecil.
"Iya benar. Ada perlu apa dengan anak saya?"
Raya yang sudah mengenakan pakaian yang rapi menghampiri suaminya yang masih berdiri di depan pintu.
"Siapa beib?" tanya Raya.
"Cari Sofi katanya."
"Sofia? Putri kita? yakin?" Raya menatap satu persatu pria yang ada di hadapannya.
"Iya pak, buk. Apa Nona Sofia ada?" Boy kembali bertanya.
"Ada ada, ayo masuk dulu!" Raya yang setengah percaya akhirnya menyuruh tamunya itu untuk masuk.
Dilan beserta rombongannya masuk kedalam rumah Raya dan meletakkan bingkisan yang mereka bawa di berbagai tempat.
Rumah Raya yang tak seberapa besar itupun dipenuhi barang-barang yang entah apa saja.
"Kalian duduk dulu, saya panggilkan Sofia dulu, beib temani tamu Sofi mengobrol!" seru Raya kemudian dan berlalu menuju kamar anak gadisnya.
Dilan dan Dilano putranya duduk di sofa sementara Boy berdiri di dekat sofa. Para pengawal yang ikut mengantar Dilan keluar setelah meletakkan bingkisan ke dalam rumah. Jika mereka semua duduk di sofa, mungkin tidak akan cukup.
"Gak ikut duduk?" tanya Rafa pada Boy.
"Ini pekerjaan saya pak jangan sungkan. Saya sudah biasa, malah aneh kalau saya ikut duduk." Ucap Boy ramah.
"Kamu bukannya cucu Tuan Danu itu ya?" Rafa mencoba mengingat Dilan sejak tadi, jika Ghaisan mungkin akan langsung mengenalinya tapi tidak dengan Rafa ia memang tidak pernah ikut campur dengan urusan perusahaan ayahnya.
"Iya saya Dilan Danuarta dan ini Dilano anak saya." Ucap Dilan memperkenalkan diri.
Sementara di dalam kamar bernuansa merah, Sofia sedang asik menonton film dari ponselnya dengan aerphone yang melekat di telinga gadis itu. Suara ketukan pintu dari luar tak terdengar olehnya.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Sofi ... ini mami Sofi," berkali-kali Raya memanggil putrinya tapi Sofi sama sekali belum membuka pintu kamarnya yang terkunci. Raya mengambil ponselnya dan menelpon putrinya itu.
"Halo ... kenapa mami nelpon?" tanya Sofia di seberang telepon.
"Buka pintu kamar kamu!!"
Raya menutup panggilan telepon dan kembali mengetok pintu kamar anak gadisnya itu.
Sofia segera turun dari tempat tidur dan mencabut aerphone di telinganya.
Ceklek .... Sofia membuka pintu kamarnya.
"Ada apa mi?"
"Ada tamu nyariin kamu?"
"Siapa?"
"Gak usah banyak tanya, cepet kamu ganti baju yang rapi! mami tunggu di ruang tamu."
Raya segera berlalu, kembali menghampiri tamunya.
"Maaf lama. Sofi tadi lagi belajar." Raya beralasan pada tamunya agar putrinya terlihat sebagai mahasiswi yang rajin.
Dilan pura-pura tersenyum, padahal di hatinya sangat dongkol. Bagaimana mungkin seorang Dilan di acuhkan oleh gadis kecil seperti Sofia. Belajar? mana mungkin gadis aneh itu belajar. Apa dia tidak sadar bahwa tamu terhormat yang sedang datang.
Dilan hanya bisa menahan kesabaran. Kalau bukan karena permintaan terakhir adiknya, mana mungkin seorang Dilan bersikap merendah seperti ini.
Tak lama Sofia dengan santainya berjalan ke arah ruang tamu. Gadis itu mengenakan celana jins pendek selutut dan kaos lengan pendek yang tidak terlalu ketat. Ia juga mengikat rambutnya dengan asal.
Dilan hanya bengong melihat penampilan gadis yang akan di lamar olehnya itu. Ingin rasanya ia pergi saja dari rumah Sofia sekarang. Namun tatapan Boy seolah menahan ia untuk pergi.
"ABANG ... " Sofia tak kalah kaget dengan orangtuanya saat melihat tamu yang datang ternyata Dilan si pria limited edition.
Raya melirik anak gadisnya itu, menepuk jidatnya lesu melihat pakaian yang di kenakan oleh Sofia. Sungguh Sofia membuatnya malu tapi Raya tak mungkin mengomel di depan tamunya.
"Bisa pelan gak sih Sof kalo ngomong?"
Sofia duduk di sofa sebelah mami dan papinya, melirik Dilan, Lano dan Boy. Ia tak percaya kalau Dilan ternyata datang kerumahnya.
"Kamu kaget?" Dilan berusaha selembut mungkin berbicara dengan Sofia di depan Raya dan Rafa.
"Gak usah sok manis Abang. Kayak biasa aja, Sofi lebih suka Abang yang biasa. Dingin kayak kulkas." Celoteh Sofia tanpa malu.
"Sofi ... " Raya melirik Sofi dengan tatapan tajam. "Maaf nak Dilan, putri saya memang gitu, kadang suka gak disaring kalo ngomong."
"Gak apa-apa buk. Saya suka gadis yang unik seperti Sofia." Lagi-lagi Dilan harus berakting sebaik mungkin untuk meyakinkan orangtua Sofia.
"Gak usah basa-basi Abang. Sofi tau maksud kalian. Ayo cepetan ngomong! Abang mau Sofi jadi istri Abang kan? gimana mi? Mami setuju kan Sofia menikah muda? Sofi gak keberatan kok kalo nikahnya sama bang Dilan."
Uhuhukk ... uhuhukk ... Rafa yang sejak tadi hanya diam akhirnya mengangkat suara, walaupun dimulai dengan batuk.
"Menikah? kamu pikir menikah segampang itu? apa kalian udah saling lama kenal? saling cinta?" pertanyaan bertubi-tubi di layangkan Rafa pada putrinya.
"Cinta urusan belakangan Pi, yang penting aku sama Abang udah berniat baik." Sofia berkata dengan santai, tanpa sadar dengan sebuah beban yang akan ia tanggung kedepannya.
Dilan hanya tersenyum mendengar omongan Sofia namun terselip kedongkolan di hatinya.
"Gadis luar biasa. Cinta? tau apa bocah ingusan tentang cinta." Dilan membatin meremehkan Sofia dalam hatinya.
Jangan lupa tinggalkan jejak!!!
like, komen n vote ya😊
biar othor semangat up💪
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!