NovelToon NovelToon

Menuai Rindu

sepanjang jalan

Mega melayangkan pandangannya keluar kaca jendela,

Jalanan kecil yang dulu masih penuh tanah dan batu kini sudah di aspal, tanah yang dulu lapang kini sudah banyak berdiri rumah rumah yang bagus.

Namun satu hal yang masih sama, pohon pohon tabebuya dengan bunga putih masih berdiri kokoh di sepanjang jalan menuju ke desanya.

Bahkan saking rindangnya, pohon pohon itu membentuk seperti terowongan, dahan dahannya bersatu layaknya atap yang menutupi jalan agar para penggunanya teduh dan sejuk.

Mega bisa melihat jelas bunga tabebuya yang mekar dengan rimbun itu, tampak cantik..

Sama seperti saat Mega masih remaja.

Diam diam Mega tersenyum,

Dulu, dirinya sering di bonceng melewati jalan ini.

Saat sawah sawah masih begitu luas menghijau, saat lahan lahan masih banyak yang kosong dan di tumbuhi ilalang.

" Masih jauh mbak?" tanya si supir taksi online membuyarkan lamunan Mega.

" Lima ratus meter lagi belok ke kanan pak.." jawab Mega.

" baik mbak," jawab si sopir,

tepat lima ratus meter, sopir itu berbelok ke kanan, mengikuti arahan Mega.

Terlihat sebuah gapura selamat datang,

" betul ini mbak?" tanya si sopir lagi,

" benar pak.. Jalan pelan pelan saja.. Saya lupa lupa ingat.." beritahu Mega, ia sudah masuk ke kampung halamannya dulu, namun karena banyaknya bangunan bangunan baru, ia jadi sedikit lupa, dimana letak rumah kakek dan neneknya.

Tapi saat melihat rumah yang di penuhi dengan tanaman bunga melati, ingatannya kembali segar.

" Itu pak, di depan..", Mega meminta si sopir menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah tempo dulu, halamannya luas dan bangunannya masih megah dan kokoh.

Bangunan itu tepat di samping sebuah rumah sederhana, yang di halamannya di penuhi tanaman bunga melati.

Rumah sederhana yang sering ia datangi saat ia lelah dengan Omelan papa dan mamanya.

Rumah sederhana yang sering menjadi tempatnya sembunyi saat ia jenuh dengan tuntutan tuntutan papa dan mamanya.

Mega turun dari taksi itu,

Ada perasaan yang tidak biasa, ia senang bisa kembali ke tempat ini, namun perasaan sedih juga menghinggapinya.

Banyak kenangan yang telah ia tinggalkan,

Banyak hal yang ia sesali.

" Terimakasih pak.." ucap Mega saat si sopir menurunkan koper hitamnya.

Mega membuka pagar besi berwarna hitam itu, lalu menyeret kopernya.

Berjalan memasuki halaman yang sudah banyak berubah itu,

Dulu banyak tanaman hias milik mbah utinya, sekarang tanaman itu entah kemana, tergantikan dengan bonsai besar beserta kandang burung yang cukup besar, yang berukuran tiga kali tiga meter, letaknya persis di tengah halaman.

Tentu saja kandang burung itu tidak terlalu banyak menyita tempat karena halaman itu masih cukup luas.

Rumah Mbah kung dan utinya itu adalah rumah tempo dulu, bangunan Jawa yang di padu padankan dengan bangunan Belanda.

Dulu keluarga Mega adalah keluarga yang cukup terpandang dan berkecukupan di kampung.

Empat pilar besar berwarna putih senada dengan cat rumah menyangga teras rumah, sementara di teras rumah di letakkan kursi kursi kayu jati.

Lampu gantung lawas kesayangan Mbah kungnya rupanya masih menggantung menghiasi teras, kesan kuno dan klasik begitu melekat.

Belum Mega mengetuk pintu, tapi pintu kayu yang cukup besar dan tinggi itu terbuka,

" Mbak Mega?!" seorang wanita berusia sepantaran mama Mega menyambutnya dengan senyum yang ceria.

" Buk Parni..?" Mega langsung memeluk wanita yang sudah bekerja sejak dulu dirumah itu.

" Kok Ndak telpon tho?! Kan bisa saya jemput di stasiun?" buk Parni memeluk Mega dengan penuh kerinduan.

" Tidak Buk, saya sengaja naik taksi, mau keliling keliling dulu.. Lama tidak pulang kesini..

Semuanya benar benar berubah drastis.." Mega melepaskan pelukannya.

" Iya, sudah sepuluh tahun mbak, sampean tidak pernah pulang sama sekali.."

Mega mengulas senyum, ia sungguh menyesal tidak pernah datang kembali ke tempat ini.

" Masuklah mbak, Kakung dan uti sedang di belakang, memberi makan ikan lele di kolam.."

" sekarang ada kolam lele?" tanya Mega,

" iya, ada kolam lele.. awalnya mujair mbak, tapi karena banyak yang mati, jadi Mbah kung merubahnya menjadi kolam lele, katanya lebih mudah di rawat.."

mega mengangguk, ia buru buru menarik kopernya untuk masuk.

Betapa terharunya kakek dan nenek Mega melihat kehadiran Mega, keduanya menangis karena rindu, cucunya...

cucu satu satunya,

yang sudah sepuluh tahun tidak mereka lihat, kini berada di hadapan mereka.

Setelah meluapkan semua kerinduannya selama ini, Mbah uti dan kakungnya menyuruh Mega untuk beristirahat di kamarnya yang dulu, kamar yang di tempatnya sejak ia kecil sampai remaja.

" Rencanamu berapa lama disini nduk?" tanya Mbah utinya saat Mega sudah menyelesaikan makan malamnya.

" Apa tidak apa apa kalau Mega lama disini mbah uti? Mbah kung?" tanya Mega dengan raut sedikit resah,

" lho? Kok pertanyaannya seperti itu nduk?,

Selamanya disini juga tidak apa apa, uti dan kung justru senang,

Tapi bagaimana dengan mama papamu?" tanya Mbah uti sembari mengelus rambut Mega.

" Mega sudah bukan anak kecil lagi uti, sudah cukup Mega menuruti kemauan papa dan mama," ucap Mega pelan.

" Lalu bagaimana dengan Yudha nduk?" tanya kakungnya,

" Mega tidak mau kembali padanya, karena itulah Mega kesini,"

" papa mama mu?"

" papa dan mama menyuruh Mega untuk kembali kepadanya,

Mega kesal, kesal sekali..!" mata Mega berkaca kaca mengingat apa yang sudah Yudha lakukan kepadanya.

" Bisa bisanya papa dan mama mu seperti itu nduk, sudah sepuluh tahun berlalu, tapi mereka tetap tidak berubah.." keluh kakungnya.

" Pokoknya Kakung dan uti harus melindungi Mega, Mega tidak mau kembali pada Yudha, Mega mau hidup sesuai dengan keinginan Mega sendiri.." Mega terlihat begitu sedih, uti dan kakungnya menangkap kesedihan itu.

" Kau sudah terbiasa hidup di kota nduk, apa kau akan betah disini?" tanya utinya,

" iya, nduk.. Kita tinggal di kampung.. tidak ada keramaian dan gemerlapan seperti di Surabaya.." imbuh kakungnya,

" Mega tidak masalah kung, uti..

Mega memang sedang mencari ketenangan, kalau bisa sekalian Mega mau mencari kerja kota ini.."

Mendengar itu Kakung dan utinya terlihat kaget,

" kau sungguh sungguh nduk? Kau mau mencari pekerjaan disini?" tanya Mbah kakungnya,

" iya kung, Mega tidak mau menjadi beban kung dan uti.."

Laki laki tua itu menghela nafas pelan, sejujurnya ia sedih dengan kondisi cucunya, tapi nasi sudah menjadi bubur, yang bisa di lakukan sekarang adalah menghibur cucunya itu dan menjaganya dengan baik.

" Kau jangan pikirkan itu dulu.. Tenang tenanglah kau disini..

kung inginnya kau menikmati hari harimu dengan tenang dan tanpa beban..

Apa yang di lakukan Yudha sudah pasti sangat menyakitimu..

Apalagi sikap kedua orang tuamu yang tidak memihakmu sama sekali..

Kau pasti sangat kecewa,

kung dan uti sayang padamu..

Jadi tenang tenanglah disini nduk..",

Mega mengangguk, ia sungguh bersyukur, masih memiliki kakek dan nenek yang sungguh amat menyayanginya.

budhe Asri

Suara riuh ayam berkokok membangunkan Mega,

di Surabaya ia tidak pernah mendengar suara Kokok ayam, karena rumahnya termasuk di daerah kota yang sudah ramai dengan kampus dan pusat perbelanjaan.

Mega tau ini masih subuh, tapi ia ingin menghirup udara pagi yang masih bersih.

Di buka jendela kamarnya yang lebar itu, Mega bisa melihat pagar batu bata yang di buat setinggi satu meter, pagar itu di buat hanya untuk pembatas antara tanah Kakung dan tanah tetangga di sebelahnya.

Namun karena rumah Kakung cukup tinggi, rumah rumah di sekitarnya jadi terlihat kecil.

Saat Mega berdiam diri di depan jendela yang terbuka itu, tak lama jendela rumah tetangganya juga terbuka.

Seorang perempuan yang sebaya dengan mamanya sedang membuka tirai berwarna putih.

Mega diam menatap perempuan yang sedang sibuk sendiri itu.

Diam diam Mega tersenyum menatap wajah yang kalem, dan terlihat sudah mulai menua itu, namun tetap saja cantik menurut Mega, meski penampilannya tidak pernah semodis mamanya yang hidup di kota besar.

" Budhe Asri.." panggil Mega pelan, membuat perempuan yang sedang sibuk memegang kemoceng itu mencari asal suara.

Setelah melihat ke kanan dan kekiri beberapa saat, perempuan yang Mega panggil budhe itu akhirnya melihat jendela kamar yang tidak pernah terbuka sudah sekian lama itu.

Betapa terkejutnya perempuan itu melihat siapa yang berdiri di depan jendela itu.

" Apa kabar budhe..?" sapa Mega kalem sembari mengulas senyum manis,

" Mega?!" kata perempuan itu tidak percaya dengan apa yang ia lihat,

" iya budhe, ini Mega.."

" sungguh kau Mega?!" perempuan itu seperti tidak percaya pada penglihatannya,

" iya budhe, ini Mega.. Mega yang sering sembunyi dirumah budhe dulu..." Mega tersenyum cerah,

" ya Ampun Mega?!" perempuan itu terlihat senang sekali melihat Mega,

" kesini nduk?! Kesini?!" perempuan itu melambaikan tangannya beberapa kali dengan semangat,

" Mega mandi dulu ya budhe, setelah ini Mega kerumah budhe.." kata Mega, setelah mengangguk pelan.

" iya nduk iya, kesini ya?! Budhe masak pepes! dan sayur asem! Kau sarapan disini ya?!" kebahagiaan terpancar jelas dari perempuan yang bernama asri itu.

Tiga puluh menit kemudian, setelah Mega mandi dan merapikan dirinya, Mega membuka pintu depan,

" mau kemana nduk pagi pagi begini?" tanya utinya saat melihat Mega berjalan keluar, sementara di luar langit sudah mulai sedikit cerah.

" ke budhe Asri,"

" memangnya Asri sudah bangun?"

" sudah uti, tadi Mega menyapanya dari jendela kamar, lalu budhe memanggil Mega.." jelas Mega,

" owalah, ya sudah nduk kalau dia sudah bangun..

Lho? Kau kan bawa oleh oleh nduk, tidak kau beri budhe asri mu itu?"

" lho? Iya ya uti?! Mega hampir lupa..?!" Mega buru buru kembali ke kamarnya, mengambil dua kotak lapis surabaya.

Mega memasuki halaman rumah budhe Asri yang terletak tepat di sebelah rumah Kakung dan utinya,

Ia di sambut dengan melati yang bermekaran, sama seperti dulu, bedanya dulu tanaman melati di depan rumah budhe Asri tidak serimbun sekarang.

Tanaman melati itu sekarang setinggi satu meter, bahkan di buat melingkari rumah seperti pagar.

" tok tok tok.." Mega mengetuk pelan pintu yang terbuka itu,

Tak banyak yang berubah, rumah itu tetap sederhana, namun cat rumah yang dulu hijau kini berubah menjadi warna putih, dan lantai yang dulu ubin, kini berubah menjadi keramik putih.

" Mega! Masuklah nduk!" budhe Asri berjalan dari ruang tengah ke arah pintu menyambut kedatangan Mega.

Mega di tarik masuk ke dalam, saat itulah Mega melihat banyak perubahan yang ada di dalam rumah itu, dari mulai perabotan dan pernak pernik.

Yang paling membuatnya kaget adalah foto foto yang terpampang.

Itu foto foto Wira,

Iya Wira..

Laki laki itu terlihat gagah, dan yang jelas bertambah tampan.

Mega langsung menundukkan pandangannya, meredam perasaan aneh yang menghinggapinya,

ia terus mengikuti langkah budhe Asri ke dapur.

" Nah, duduklah disini.. Budhe baru selesai memindahkan semua makanan ke dalam piring dan mangkok, kau mau langsung makan sekarang nduk??" tanya budhe asri duduk di hadapan Mega.

" Ini masih terlalu pagi budhe.." ujar Mega sembari tersenyum, namun senyumnya begitu ganjil, hatinya masih di hinggapi perasaan aneh setelah melihat foto foto di dinding ruang tamu budhe Asri.

Ia memang pernah membayangkan, setelah sepuluh tahun berpisah, pastinya Wira akan menjadi laki laki yang lebih dewasa, bahkan mungkin sudah menjadi bapak bapak.

Ia juga mengira, ia pasti akan merasa biasa saja, karena waktu telah lama berlalu, ia pun tidak tau sedikitpun kabar tentang Wira setelah dirinya pergi dari kampung ini,

Tapi nyatanya tidak,

Rupanya masih ada sesuatu yang tersimpan rapi di dalam hatinya.

" Mega?" suara budhe asri membuyarkan pikirannya.

" Iya budhe..?" jawab Mega,

" kau lama liburan disini nduk?" tanya budhe asri sembari memegang tangan Mega,

" lama budhe.."

" suamimu? Tidak ikut?"

Mendengar pertanyaan budhe asri Mega terdiam sejenak, raut wajahnya terlihat berbeda,

" kenapa nduk? Apa kau ribut dengan suamimu? Karena itu kau kesini?" tanya budhe asri sadar dengan perubahan raut wajah Mega.

" Ah.. Tidak budhe, mas Yudha sedang Ada bisnis di luar pulau, jadi untuk sementara sembari menunggu kepulangan mas Yudha saya disini.." jawab Mega, entah kenapa ia tidak bisa berbicara jujur, ia merasa malu kalau kalau permasalahannya di ketahui oleh budhe asri, pastinya budhe asri akan menyampaikannya pada Wira.

Berlipatlah rasa malu Mega, sudah pasti Wira akan menertawakannya, pikir Mega.

" Benar itu nduk?" tanya budhe asri lagi meyakinkan dirinya, karena ia melihat keganjilan ekspresi Mega.

Mega mengulas senyum, menutupi perasaannya,

" sungguh budhe... Mega sudah sepuluh tahun tidak pulang kesini, inilah kesempatan Mega, mumpung tidak ada suami.."

Mendengar itu budhe asri mengulas senyum mengerti,

" Baguslah kalau begitu.. Budhe heran saja, katanya kau sudah menikah, tapi kau malah kesini tanpa suamimu..

maafkan budhe ya, padahal baru bertemu denganmu tapi sudah berpikir yang tidak tidak.."

" tidak apa apa budhe.." Mega mengulas senyum manis.

" Baiklah jika kau tidak mau sarapan dulu.. Temanilah budhe disini.. Kau tidak ada kepentingan kan?"

" tidak budhe.. saya tidak ada rencana atau kepentingan, mungkin besok baru kerumah teman teman lama.."

" siapa nduk?"

" teman sekolah dulu budhe..",

Asri lama menatap Mega sembari terdiam,

" Kenapa budhe menatap Mega seperti itu?" tanya Mega heran,

" budhe sungguh rindu kepadamu nduk.. Lihatlah kau sekarang, cantik.. Dewasa.. Kau bahkan memanjangkan rambutmu yang selalu saja sebahu.." tatapan asri sungguh penuh kerinduan.

" Mega juga rindu budhe.. Rindu semua yang ada disini..

Tapi budhe tau..

Papa dan mama melarang Mega untuk kembali kesini..

Yang Mega bisa lakukan hanyalah berkabar dengan Kakung dan uti lewat telepon..

Maafkan Mega ya budhe..

Sudah bersikap tidak baik dengan tiba tiba pergi.." tatapan Mega sayu.

" Semua orang terluka dengan kepergianmu nduk..

Terutama Wira.."

Deg..

Mega terdiam saat nama itu di sebut,

" maafkan Mega budhe.. Mega saat itu hanyalah seorang anak yang mematuhi perintah orang tua..

Mega sungguh menyesal telah membuat semua orang yang ada disini bersedih.." ucap Mega tertunduk.

Asri menggenggam tangan Mega,

" nduk.. Apa kau tidak menanyakan kabar Wira?" asri menatap Mega teduh,

" mas Wira.." ucap Mega dengan senyum getir,

" mas Wira pasti sehat dan bahagia kan budhe..

Saya sepintas melihatnya di foto saat masuk tadi..

Mas Wira yang dulu kurus sekarang terlihat begitu gagah.." Mega memaksakan senyumnya.

" Iya nduk.. sepuluh tahun sudah berlalu..

banyak hal sudah berubah.."

" saya tau budhe.. sepuluh tahun tidaklah sebentar.."

asri mengangguk pelan,

" kau kan sudah disini.. Sering seringlah kesini ya..

Wira jarang pulang kesini, dia sudah punya rumah sendiri di kampung sebelah.." ujar Asri,

" Oh.. Syukurlah budhe.." jawab Mega lagi lagi mengulas senyum yang di paksa,

Tentu saja Wira sudah punya rumah sendiri, dia juga pasti sudah mempunyai anak istri.., batin Mega.

roti lapis Surabaya

Motor Yamaha XSR itu di parkir di teras rumah.

Seorang laki laki bertubuh tinggi berjalan masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka itu.

Kulitnya sawo matang, rahangnya tegas, hidungnya mancung dan alisnya sedikit tebal.

" Bu?!" panggil laki laki itu menaruh tas selempang nya di atas kursi, lalu berjalan ke dapur.

" Ibu ini kebiasaan, kalau sedang di dapur tutup pintunya, kalau ada orang masuk bagaimana?" laki laki itu langsung mengomel saat menemukan ibunya sedang sibuk di dapur.

" Siapa yang masuk, paling juga tetangga tetangga kita.." sahut ibunya sembari mencuci tangannya.

" Ibu masak opo?" tanya laki laki itu duduk di meja makan.

" kemarin ibu masak pepes dan sayur asem tapi kau malah tidak kesini le..

Sekarang ibu masak pecel.. Ada rempeyek teri sama mendol.."

" kalau Wira tidak kesini itu berarti Wira sibuk Bu.. seperti tidak tau saja ibu ini.." laki laki itu bangkit, mengambil piring di rak, lalu kembali duduk.

Saat akan mengambil nasi, laki laki itu melihat dua kotak lapis surabaya di atas meja.

" Siapa yang dari Surabaya? Enak ini Bu.." kata Wira tidak jadi mengambil nasi, ia membuka kotak lapis itu dan mengambil lapis itu sepotong, lalu memakannya.

Asri terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan putranya.

" Siapa yang dari Surabaya Bu? Kok ada oleh oleh dari Surabaya?" tanya Wira lagi sembari mengunyah habis roti lapis yang ada di mulutnya.

" Oleh oleh dari Mega, " jawab ibunya,

" Mega? Mega siapa tho Bu?" tanya Wira sembari mengambil roti itu sepotong lagi,

" Mega, Mega Wulandari Wicaksono.." jawab ibunya.

Wira langsung terdiam, roti yang di pegangnya sampai jatuh ke atas meja.

" Dia sedang liburan, ibu juga baru tau kemarin pagi,

Dia disini seharian kemarin le..

sarapan dan berbincang dengan ibu," beritahu ibunya pelan pelan dan hati hati.

Wira tertunduk sejenak,

Seperti membuang perasaan tidak nyamannya,

lalu menaruh roti yang jatuh itu kembali ke kotaknya.

" Dia kesini sendiri, tidak dengan suaminya..

Berkunjunglah kerumah Kakung, dan sapalah dia.."

Wira diam, tidak menjawab,

" Yang lalu biarlah berlalu Wira.. Kau paham kan maksud ibu..

toh sudah sepuluh tahun berlalu.." nasehat ibunya.

" Aku tidak ada urusan dengannya Bu," jawab Wira sinis, lalu kembali pada piringnya, ia mengambil nasi dan lauk.

" Kau jangan sinis begitu..

lihatlah dia, apa kau tidak rindu padanya sebagai teman..

Dia tumbuh sebagai perempuan dewasa yang anggun dan cantik le.."

Wira tersenyum kecut mendengar kata kata ibunya.

" Jangan membuat nafsu makan Wira menghilang Bu, berhenti membahasnya." ujar Wira terdengar serius, membuat ibunya diam seketika.

Setelah makan, laki laki itu duduk di teras rumahnya,

menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dengan tenang.

Ia sungguh tidak ingin melihat atau bertemu dengan Mega, sudah di matikan hatinya untuk perempuan itu.

Di hisap lagi rokoknya,

Luka di hatinya yang sudah mulai mengering kini seperti basah kembali saat nama itu di sebut oleh ibunya.

Wira bahkan masih bisa mengingat dengan jelas gadis kecil yang selalu berlarian di sekitarnya,

Gadis kecil yang selalu bergelantungan di lengannya,

Dan gadis kecil yang selalu berkata ingin menikah dengannya saat dewasa.

Wira menghela nafas berat, matanya melirik ke halaman rumah Kakung, sekilas, namun di kembalikan lagi pandangannya ke arah jalanan.

" Sore mas Wira!" sapa seseorang yang lewat di depan rumah,

" sore pak Adi! Baru pulang?!" balas Wira,

" iya mas, yok..!"

" iya pak, monggo Monggo..!" jawab Wira mengulas senyum ramah.

Tak lama buk Parni terlihat berjalan lewat, perempuan seusia ibunya itu rupanya membawa belanjaan di kedua tangannya.

" Mas Wira..!" sapa buk Parni dengan senyum cerah.

" Belanja buk Parni?" tanya Wira tenang,

" iya mas, ada mbak Mega lho dirumah, kemarin lusa datang! Mas Wira tidak kerumah?"

mendengar itu Wira mengulas senyum,

" Kebetulan sibuk buk ini baru pulang, mau lanjut lihat anak anak latihan.." jawab Wira,

" ah, biasa e sibuk sibuk ya kerumah Kakung, bantu Kakung memberi makan burung..?"

Wira tertawa mendengar itu,

" kan mau ada pertunjukan buk, jadi sibuk latihan dengan anak2..

besok saja saya bantu Kakung untuk memberi makan burung burungnya.."

" iya e mas, sampean kan sudah di titipi.."

" iya iya buk Parni.. Besok saya isi lagi pakannya.. Tenang saja.." jawab Wira tersenyum,

" ya sudah, saya masuk dulu ya mas..?"

" Monggo buk Parni.." Wira mengangguk sopan.

Ia memang sudah di pasrahi Kakung untuk merawat burung burung Kakung yang tidak sedikit itu, setiap dua hari atau tiga hari sekali Wira memeriksa air dan pakannya.

Wira selalu memberi banyak Pakan di wadah, karena Wira tidak bisa datang setiap hari.

Namun saat tau bahwa Mega berada dirumah Kakung, rasanya ia enggan untuk menginjak rumah itu.

Bukan benci, tapi ia tidak ingin saja berjumpa dengan Mega,

Susah payah ia menyembuhkan hatinya, dan menata perasaannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!