Anindya adalah seorang gadis yang baru saja menyelesaikan program studinya, S1 Fisioterapi. Cita-citanya untuk membuka klinik sendiri tinggal selangkah lagi, ketika Anindya mengajukan pendidikan profesi Fisioterapi untuk menjadi seorang Physio.
Sayangnya Anindya tidak bisa melakukannya karena Faris, anak dari teman sang ayah yang melamarnya. Kedua orang tua Anindya tidak memaksanya untuk menerima lamaran tersebut, mereka membebaskan pilihannya. Tetapi setelah mendengar jika dengan menikahi Faris usaha Ayah Anindya akan mendapatkan keuntungan dan keluarga Faris tidak akan menghalangi mimpinya untuk membuka klinik mandiri, Anindya dengan suka rela menerima lamaran tersebut.
Pernikahan keduanya pun ditetapkan dan akan dilangsungkan 3 bulan kemudian. Selama 3 bulan itu, Anindya dan Faris melalui proses penjajakan lewat panggilan video. Yang namanya tidak bertemu langsung tentu tidak membuat Anindya tertarik dengan Faris. Tetapi karena ia memikirkan usaha sang ayah yang diambang bangkrut, Anindya mulai membuka hatinya untuk Faris.
Faris bekerja di sebuah perusahaan swasta yang ada di Kalimantan Timur sebagai mekanik. Pernikahan yang akan dilaksanakan 3 bulan lagi juga dikarenakan cuti rutin yang Faris dapatkan.
“Apakah kamu sudah mantap, Nak?” tanya Ibu Anindya.
“Insyaallah, Bu.”
“Jangan hanya karena usaha Ayah, kamu mengorbankan masa depanmu. Ibu tidak rela!” ucap Ibu Anindya sambil menangis.
Ayah Anindya merupakan pengusaha batu bata yang saat ini mulai sepi peminat karena orang lebih memilih menggunakan batako yang relatif murah. Sedangkan orang tua Faris merupakan kontraktor yang mana bisa menjamin kelangsungan usaha Ayah Anindya.
“Tidak, Bu. Orang tua Mas Faris tidak melarangku untuk mengejar cita-cita, jadi masa depanku tidak dikorbankan di sini.” Anindya mencoba menenangkan sang ibu.
“Baiklah jika memang itu keputusanmu. Ibu selalu mendukungmu, Nak!”
Anindya memeluk sang ibu yang selama ini selalu mendukung keputusan dan cita-citanya. Ia hanya berharap apa yang menjadi keputusannya saat ini, tidak membuatnya menyesal nantinya.
Selama menunggu hari pernikahan, Anindya mengumpulkan data mengenai tempat calon suaminya bekerja yaitu Kalimantan Timur. Ia menemukan bahwa akan diadakan ujian CPNS di Kalimantan Timur, sebulan setelah pernikahannya. Jika ia bisa ikut ujian tersebut, ia memiliki kesempatan untuk bekerja sebagai tenaga medis di sana dan ia bisa melanjutkan pendidikannya. Anindya pun menyiapkan semua berkas yang ia perlukan untuk mengikuti ujian, agar ketika waktunya tiba ia bisa dengan lancar mengikuti ujian.
Hari demi hari telah berlalu, sampai hari pernikahan pun tiba. Anindya dengan kebaya berwarna putih lengkap dengan paes ageng khas Jogja, dituntun menuju meja tempat dilaksanakannya ijab kabul. Faris yang telah menunggunya di kursi pun berdiri menyambut Anindya. Seketika Faris terpukau dengan kecantikan Anindya yang akan menjadi istrinya.
Jika biasanya Anindya terlihat cantik dengan polesan make up tipis, kini Anindya semakin anggun dengan make up khas pengantin.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Anindya binti Supomo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Ucap Faris dengan tegas.
“Sah?” tanya penghulu kepada para saksi.
“Sah!” jawab saksi secara serempak diikuti ucapan hamdalah tamu yang menyaksikan ijab kabul.
Semua orang dengan perasaan bahagia mengaminkan doa yang dipanjatkan oleh penghulu untuk menutup prosesi ijab kabul. Kemudian acara dilanjutkan dengan prosesi pengantin sampai dengan foto bersama dan menyalami seluruh tamu.
Acara di rumah Anindya hanya berlangsung sampai tengah hari dan kemudian setelah asar dilanjutkan di rumah keluarga Faris yang kebetulan hanya berbeda desa, sampai pukul 9 malam. Rangkaian acara berjalan dengan lancar tanpa kendala apa pun, sampai pengantin kini hanya berdua di kamar.
“Badanku terasa pegal setelah seharian ini aku terlalu banyak berdiri!” seru Faris memecahkan kecanggungan keduanya.
“Apakah Mas mau Anin pijat?” tanya Anindya dengan lembut.
“Apakah kamu bisa?” Anindya menganggukkan kepalanya.
Tentu saja Faris menerimanya dengan senang hati dan segera melepaskan kaosnya. Sesuai instruksi yang diberikan Anindya, Faris berbaring tengkurap dengan hanya mengenakan celana pendek. Dengan melumuri tangannya dengan lotion, Anindya mulai menggerakkan tangannya di tubuh laki-laki yang kini halal baginya.
Awalnya gerakan Anin fokus pada bahu dan punggung Faris, kemudian beralih ke pinggang dan tangan hingga sentuhan terakhir, Anindya memijat kepala Faris. Anindya bingung karena selama proses memijat, Faris tidak banyak bicara dan ketika ia melihat ke arah wajah sang suami, ternyata Faris telah terlelap.
Tanpa ada rasa curiga, Anindya mengira jika suaminya mungkin kelelahan karena dirinya pun sama. Setelah menutup tubuh suaminya dengan selimut, Anindya mengoleskan lotion ke titik lelahnya dan memberikan pijatan singkat untuk melemaskan ototnya. Setelah merasa cukup, Anindya mencuci tangannya dan menyusul suaminya untuk tidur.
Di sisi lain.
“Mengapa kamu datang ke sini?” tanya Ibu Faris.
“Aku ingin bertemu Mas Faris!”
“Faris sudah menikah, menjauhlah darinya!” seru Ibu Faris.
“Akan aku pastikan kalian menyesal telah menolakku!” teriak perempuan tersebut dan pergi meninggalkan rumah keluarga Faris.
“Ada apa, Bu?” tanya Aya Faris yang keluar ketika mendengar teriakan seorang perempuan.
“Rani, Yah!”
“Mau apa dia kemari malam-malam?”
“Mau ketemu Faris lah, siapa lagi!”
“Bukankah mereka sudah lama tidak berhubungan?”
“Inilah alasanku menyuruhmu melamar Anindya. Agar Rani tidak lagi mendekati Faris! Perempuan bekas orang banyak tidak layak menjadi menantuku!” tegas Ibu Faris yang kemudian meninggalkan Ayah Faris yang masih terdiam di teras.
Ayah Faris baru saja mendengar alasan istrinya memintanya melamar Anindya untuk anaknya, Faris. Beliau awalnya mengira jika istrinya memilih Anindya karena pendidikan dan parasnya juga keluarga Anindya yang memang sudah lama berteman dengan keluarganya. Tetapi ternyata untuk menghindarkan Faris dari perempuan yang bernama Rani. Ada rasa bersalah di hati Ayah Faris, tetapi beliau tidak bisa mengatakan hal ini kepada Anindya. Karena bagaimanapun istrinya tetaplah istri yang harus ia tutup aibnya.
Dengan pasrah beliau menyerahkan semua yang telah terjadi kepada Allah Yang Maha Kuasa. Semoga pernikahan anaknya dengan Anindya membawa keberkahan untuk menjemput keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah.
Tanpa Ayah Faris sadari, sedari tadi ada yang mendengarkan percakapan mereka yang tidak lain adalah Faris yang ingin ke dapur untuk mengambil minum. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, setelah menenggak air di gelas Faris berjalan kembali ke kamarnya dengan tersenyum.
“Kamu memang cantik Anin, tapi sayangnya ragamu tak bisa membuatku berminat.” Gumam Faris sambil memandangi tubuh Anindya yang terbaring mengenakan pakaian tidur terusan.
“Satu-satunya alasan kamu menikah denganku adalah untuk menjauhkanku dari Rani, maka jadilah istri dan tameng yang baik untukku dan jangan berharap lebih padaku! Karena aku tidak mungkin bisa membalasmu dengan pantas. Semoga saja kamu bisa mengerti dan menjadi istri yang baik.” Imbuh Faris yang kemudian merebahkan tubuhnya di samping Anindya.
1 minggu kemudian, Anindya mengikuti Faris kembali ke Kalimantan Timur. Setelah 2 hari mereka menginap di penginapan, akhirnya mereka menemukan kontrakan yang cocok dan memungkinkan untuk dijangkau bus jemputan perusahaan Faris. Kontrakan 2 pintu yang terletak di belakang rumah pemilik kontrakan, dekat dengan pasar dan jalan utama di mana pangkalan jemputan berada.
Memasuki kontrakan yang kosong, keduanya merasa canggung. Setelah pernikahan, keduanya belum ada bersentuhan sama sekali. Anindya mengira jika suaminya memerlukan waktu mengenal satu sama lain untuk melangkah ke sana, berbeda dengan Faris yang merasa merdeka karena Anindya tidak ada membahas nafkah batin.
“Perabotan apa saja yang ingin kamu beli?” tanya Faris.
“Yang penting-penting saja seperti kasur, kompor dan kipas, Mas.”
“Catat saja, kita beli sekarang! Ini uang yang aku bawa hasil dari sumbangan saat acara.” Faris menyerahkan amplop coklat yang cukup tebal pada Anindya.
“Terima kasih, Mas.”
Keduanya pun berjalan kaki menuju pasar. Sepanjang jalan, Faris mengutarakan niatnya untuk mengirimkan motornya kemari agar mereka tidak perlu berjalan kaki. Anindya setuju saja karena setelah dihitung-hitung, ongkos pengiriman motor lebih murah dibandingkan membeli motor baru. Lagi pula motor yang akan dikirimkan hanya digunakan ketika Faris ada di rumah.
Mereka membeli kasur busa, kipas angin ukuran tanggung, kompor gas beserta tabung gas 3 kg, dan beberapa peralatan dapur. Setelah membayarnya, Anindya meminta pihak toko untuk mengantarkannya ke kontrakan mereka. Selesai dengan toko perabotan, Faris membawa Anindya masuk ke dalam pasar yang ada di seberang toko perabotan karena kebetulan saat itu adalah hari jumat yang merupakan hari pasar mingguan di sana.
Dengan sabar dan tanpa banyak bicara, Faris mengikuti Anindya yang sedang berkeliling mencari kebutuhan di belakang. Ia juga dengan sadar diri membawakan barang belanjaan Anindya yang berupa sayur, ayam, dan beberapa peralatan tambahan untuk kontrakan mereka. Setelah Anindya mengatakan sudah selesai membeli semua kebutuhan, Faris membawanya ke sebuah warung makan untuk makan siang.
“Hey Bang!” sapa seorang pemuda.
“Andra! Sedang apa kamu di sini?” tanya Faris sembari menepuk pundak pemuda bernama Andra.
“Makanlah Bang. Bosan aku dengan makanan kantin!”
“Ayo bergabung bersamaku! Ini istriku, Anindya.” Anindya menjabat uluran tangan Andra.
Mereka pun mulai memesan makanan dan menikmatinya bersama. Dari sana Anindya tahu jika Andra adalah junior suaminya di tempat kerja yang lebih muda 8 tahun darinya. Faris dan Andra yang telah selesai makan mulai membicarakan topik yang Anindya tidak mengerti, ia pun menyibukkan diri dengan ponselnya.
Beberapa menit kemudian, Andra pamit untuk kembali ke mess dan mereka pun berpisah di depan warung makan. Faris membawa Anindya kembali ke kontrakan mereka. Selama berjalan kaki, tak ada topik pembicaraan di antara mereka. Anindya hanya diam karena ia tidak tahu harus mengatakan apa, sedangkan Faris larut dengan pikirannya.
Pikiran Faris saat ini melayang di beberapa menit yang lalu, di mana ia secara tidak sengaja melihat Andra memperhatikan istrinya. Pandangan mata yang ditujukan Andra kepada istrinya adalah pandangan mata tertarik, ia bisa menyimpulkannya karena instingnya sebagai laki-laki. Walaupun belum ada rasa yang tumbuh di antara ia dan istrinya, bagaimana pun Anindya adalah istrinya yang sah.
Sampai di kontrakan, ternyata barang yang mereka beli telah diletakkan di depan kontrakan mereka. Tanpa membuang waktu, Faris mulai memindahkan barang-barang tersebut ke dalam di bantu Anindya. Selesai menata perabotan, Anindya pamit untuk mandi karena tubuhnya sangat gerah setelah berjalan kaki dan membereskan barang.
Faris duduk di tempat tidur menghadap kipas angin tanpa atasan. Ia berencana setelah Anindya keluar, ia akan mandi. Tetapi siapa yang tahu, Anindya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit tubuhnya hingga pemandangan tersebut membuat Faris terpaku. Faris adalah laki-laki normal yang memiliki hasrat, melihat Anindya yang tanpa bersalah mengganti pakaian di depannya pun membuatnya ingin menyentuh. Tanpa sadar Faris telah mendekat ke arah Anindya yang baru saja akan mengenakan pelindung dada.
“Mas!” seru Anindya yang terkejut dengan Faris yang tiba-tiba memeluknya dari belakang.
“Kenapa?” pertanyaan Faris membuat Anindya merasa ciut.
Bagaimana pun mereka adalah pasangan suami istri yang sudah menikah selama 2 minggu. Sudah menjadi kewajibannya untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri. Dalam kegugupan Anindya merasakan setiap sentuhan yang diberikan suaminya, sampai Faris membalik tubuhnya dan membuat mereka berhadapan.
Tanpa aba-aba Faris menyerang bibir Anindya dengan tangan yang bermain-main. Anindya yang baru merasakan sensasi untuk pertama kali hanya bisa pasrah dengan perlakuan Faris sampai ia kehabisan nafas, barulah suaminya melepaskan bibirnya.
“Apakah kamu siap?” tanya Faris dengan suara berat.
Dengan nafas yang terengah, Anindya menganggukkan kepalanya pelan. Dalam hati ia memantapkan hati jika suaminya berhak untuk mendapatkan mahkotanya. Faris menuntun Anindya ke tempat tidur dan memulai permainan mereka. Anindya menahan rasa sakit yang disebabkan ketukan pintu Faris dengan sekuat tenaga, hingga akhirnya mereka pun bisa saling menyatu. Faris yang mendominasi permainan pun melakukannya dengan penuh semangat sampai mereka kehabisan tenaga, membuat Anindya terlelap setelah permainan mereka selesai.
Faris kini merutuki dirinya sendiri di kamar mandi. Ia yang mengatakan jika tubuh Anindya tidak membuatnya berminat, ia juga yang menikmati tubuh Anindya sampai ia lupa berapa kali ia melepaskan benihnya.
“Astaga! Aku menelan air ludahku sendiri!” gumam Faris.
“Ini semua salah Andra. Gara-gara tatapannya aku menjadi seperti sekarang!” Faris menyalahkan Andra sebagai penyebab ia menyentuh Anindya tanpa sadar jika sebenarnya ia cemburu.
Anindya yang merasa haus pun membuka matanya dan mendapati tubuhnya yang polos hanya tertutup dengan selimut. Dengan perlahan ia mulai menggerakkan tubuhnya karena rasa nyeri di pangkal pahanya sangat terasa, menandakan dirinya telah menjadi milik suaminya seutuhnya. Dengan senyuman, Anindya menahan rasa sakitnya dan beranjak ke kamar mandi.
“Kamu sudah bangun? Aku membuatkanmu air hangat, mandilah dengan air itu, sebentar lagi maghrib.” Kata Faris yang baru saja memasuki kamar.
“Terima kasih, Mas.” Anindya pun mengenakan handuk yang ada dilantai untuk menutupi tubuhnya dan berjalan menuju dapur mengambil air panas yang Faris maksud.
Tatapan Faris beralih ke tempat tidur yang meninggalkan jejak permainan mereka dengan noda merah di sana. Ada rasa bangga dan puas di hati Faris. "Memang perawan terasa berbeda dengan yang sudah bukan perawan!" batinnya.
Setelah adzan magrib berkumandang, mereka pun melaksanakan sholat berjamaah. Selesai sholat, Anindya memasak bahan makanan yang telah ia beli siang tadi. Berhubung belum memiliki kulkas, Anindya mengungkep ayam yang di belinya dan membuat tumis sayur yang paling simpel. Mereka pun makan malam bersama dan setelahnya melaksanakan sholat isya’.
“Mas...” panggil Anindya ketika mereka kini sedang bersantai di tempat tidur.
“Hemmm.” Jawab Faris tanpa melihat ke arah Anindya.
“Bisakah besok kamu mengantarkan aku tes CPNS di Tanah Grogot?” Faris menatap ke arah Anindya.
Sebelum Anindya ikut dengannya kemari, memang ada pembahasan jika istrinya akan mendaftar PNS. Awalnya ia menyanggupinya karena mengira dengan adanya kesibukan Anindya sebagai tenaga medis akan membuat pertemuan mereka semakin sedikit dan akan ada alasannya baginya untuk tidak menyentuh istrinya. Akan tetapi, setelah ia merasakan kenikmatan yang diberikan tubuh Anindya yang terjaga membuatnya berpikir ulang.
“Apa kamu yakin?”
“Iya, Mas. Aku ingin membuka klinikku sendiri kelak, dengan ikut PNS aku bisa bekerja sambil melanjutkan pendidikanku.”
“Bagaimana dengan tanggung jawabmu sebagai istriku?”
“Tentu aku akan mengutamakanmu, Mas. Tetapi aku juga tidak bisa berjanji, karena dengan menjadi PNS waktuku akan terbagi antara kamu dan pekerjaanku. Aku hanya bisa mengusahakan yang terbaik.” Anindya mencoba meyakinkan
Faris.
Setelah berpikir sejenak, Faris pun menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Setelah sholat subuh, Anindya dan Faris sudah bersiap untuk berangkat ke Tanah Grogot. Faris meminjam motor salah satu temannya untuk mengantarkan Anindya mengikuti tes CPNS.
Dari tempat mereka tinggal saat ini menuju tempat tes, memerlukan waktu perjalanan selama kurang lebih satu jam setengah. Sehingga mereka berangkat pagi agar memiliki waktu longgar sebelum tes dilakukan di pukul 9 pagi. Selama perjalanan, Anindya mengeratkan pegangannya di pinggang Faris karena takut. Suaminya melajukan motor di atas rata-rata dengan medan yang naik turun dan banyaknya tikungan.
Sampai di Tanah Grogot, mereka menyempatkan sarapan di sebuah warung nasi kuning sebelum menuju tempat diadakannya tes. Selesai makan, Anindya memastikan penampilannya tidak berantakan dengan memoleskan make up tipis dan mengikat kuncir kuda rambutnya.
Semua yang dilakukan Anindya tak lepas dari perhatian Faris. Sejak ia menyentuh Anindya hari itu, Faris tak bisa melepaskan pandangannya dari istrinya. Seperti ada keinginan untuk memiliki tetapi juga enggan secara bersamaan. Bahkan semalam ia ingin mengulangi permainannya jika saja Anindya tidak ada tes hari ini.
“Ayo, Mas!” ajak Anindya yang telah selesai dengan persiapannya.
Anindya telah mendaftar secara online sebelumnya untuk mengikuti tes seleksi kompetensi dasar hari ini. Sehingga begitu sampai di tempat tes, Anindya menyerahkan dokumen yang menyatakan keikutsertaannya kepada panitia dan masuk untuk mengikuti tes.
Selesai mengikuti tes, Anindya dan Faris memutuskan untuk mencari makan sebelum kembali ke Batukajang karena hasil seleksi kompetensi dasar akan diumumkan minggu depan di website resmi instansi bersangkutan.
“Kira-kira kamu lulus tidak?” pertanyaan Faris sontak menghentikan tangan Anindya yang hendak memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
“Semoga saja tidak mengecewakan, Mas. Aku sudah mencoba semaksimal mungkin tadi.”
“Apa pun hasilnya, yang penting kamu bisa menerima.” Lisan Faris berbeda dengan keinginan hatinya yang berharap Anindya gagal.
“Iya, Mas. Aku sudah siap dengan segala kemungkinannya.” Jawab Anindya dengan senyuman karena merasa Faris mendukungnya.
Selesai makan, Faris menyempatkan waktu untuk membawa Anindya ke pinggiran Sungai Kandilo untuk menikmati suasana setelah ketegangan istrinya mengerjakan tes. Anindya merasa sangat senang dengan perhatian yang diberikan suaminya. Ia pun menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya sambil menutup matanya. Ketika membuka mata, Faris sudah ada di hadapannya dengan dua jus ditangannya. Mereka pun menikmati jus tersebut di pinggiran sungai.
Satu minggu kemudian, Anindya mengucap basmalah sebelum membuka website untuk melihat pengumuman kelulusan SKD CPNS. Anindya membuka lampiran yang ada dan mencari namanya di daftar yang ada. Dari 10 daftar nama penerimaan kategori Fisioterapi, Anindya menempati urutan ke lima dengan total nilai 442 dan dinyatakan lulus.
Dengan mengucap Alhamdulillah, Anindya pun menghubungi suaminya dan mengabarkan kelulusannya. Faris memberikannya selamat dan mengatakan jika ia akan pulang cepat hari ini. Setelah menghubungi Faris, Anindya menghubungi kedua orang tuanya dan mertuanya untuk mengabarkan hal serupa.
5 bulan kemudian.
Anindya yang telah menerima SPMT dan SK pengangkatan, akan mengikuti pelantikan dan pengambilan sumpah CPNS yang diselenggarakan di pengadilan agama Tanah Grogot. Tanpa ditemani Faris, Anindya melakukan perjalanan sendiri menggunakan motor yang telah dikirimkan dari Jawa dan menempuh perjalanan sekitar 2 jam dengan kecepatan rata-rata.
Selesai acara, Anindya langsung kembali pulang karena 2 hari kemudian ia harus melapor ke Puskesmas Batukajang untuk mulai bekerja. Sekitar pukul 5 sore, Anindya sampai di rumah dan segera menyiapkan makan malam. Ketika Faris pulang bekerja pukul 7 malam, Anindya yang sudah berhias pun menyambut suaminya dengan senyuman.
Faris yang awalnya berwajah masam, berubah menjadi sumringah melihat Anindya yang ada di hadapannya. Setelah mandi dan melaksanakan sholat maghrib, keduanya makan malam bersama.
“Lusa aku sudah masuk kerja, Mas.” Kata Anindya yang telah selesai membersihkan alat makan mereka.
“Jam kerja normal?” tanya Faris.
“Iya, Mas. Jam 8 sampai jam 2.” Anindya mulai memijat pundak Faris yang sudah menjadi kebiasaannya beberapa minggu ini setiap suaminya pulang bekerja.
“Baiklah, kita masih punya waktu bertemu di malam hari dan saat aku masuk shift malam, aku masih bisa melihatmu di sore hari.” Kata Faris yang menikmati pijatan Anindya.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Anindya yang hanya mengenakan dress tali spagetti pun segera mengenakan cardi dan Faris membukakan pintu. Andra dengan beberapa temannya datang berkunjung membawa durian.
Anindya yang awalnya enggan keluar kamar, mau tak mau keluar untuk menemui teman suaminya dan menyiapkan minum untuk mereka. Mereka berakhir menikmati durian bersama sambil mengobrol. Anindya hanya mendengarkan obrolan mereka tanpa ada niat untuk menimbrung karena sebenarnya ia sudah lelah dan ingin memejamkan mata. Setelah durian habis, mereka berpamitan kembali ke mess karena sudah jam 9 malam. Mess akan di tutup pukul 10 malam, jadi mereka harus kembali sebelum itu.
Faris memperhatikan Anindya yang sedang membersihkan kulit durian dan menyapu ruang tamu. Dimatanya, penampilan Anindya saat ini sudah biasa karena setiap hari istrinya akan menyambutnya seperti itu. Apalagi sekarang Anindya mengenakan cardi membuat dress yang dikenakannya tertutupi dan terlihat sopan dengan panjang di bawah lutut. Tetapi ia tidak suka dengan cara Andra melihat istrinya.
Selama mereka mengobrol dan menikmati durian tadi, Faris menangkap Andra yang diam-diam memandang ke arah Anindya. Meskipun Anindya tidak merasa, Faris merasa tidak tenang dibuatnya. Tanpa aba-aba, Faris mengangkat tubuh Anindya dan membawanya ke dalam kamar meninggalkan sapu dan pengki di ruang tamu.
Setelah menutup pintu kamar, Faris mulai melancarkan permainannya. Anindya hanya bisa pasrah tanpa tahu penyebab Faris menginginkannya. Permainan demi permainan Faris lakukan dengan Anindya yang berusaha mengimbangi sampai akhirnya mereka mencapai puncak dan mengulangi permainan.
Ada perasaan tidak nyaman di hati Anindya. Ia merasa perlakuan Faris malam ini, berbeda dengan yang biasanya dilakukan. Walaupun hubungan intim mereka lakukan setiap Faris menginginkannya, ada yang berbeda kali ini. Faris seperti menuntutnya dan menegaskan jika hanya dia yang bisa menyentuhnya dengan mendominasi permainan tanpa memberikan Anindya kesempatan untuk mengeluhkan gerakan yang ia rasa tidak nyaman. Bahkan Faris sampai menahan tangan Anindya yang mencoba berpegangan kepadanya.
Permainan mereka untuk yang kesekian kalinya pun diakhiri dengan Faris yang merasa puas sedangkan Anindya menahan sakit di pangkal pahanya.
“Kamu hanya boleh melihatku!” bisik Faris sebelum akhirnya memejamkan matanya.
Tersirat tanda tanya di benak Anindya. Mengapa suaminya mengatakan hal itu? Bukankah selama menjadi istrinya, ia hanya melihatnya dan menjaga pandangannya? Anindya tidak tahu jawaban dari semua pertanyaannya, ia pun menyimpulkan jika suaminya hanya takut dirinya berpaling. Ia pun memantapkan hatinya jika ia tidak akan melakukannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!