NovelToon NovelToon

Cinta Pemutus Rantai Dendam

Sinopsis

Sinopsis Cerita:

Brian dan Richie, adalah 2 saudara kembar mirip wajah namun beda sifat. Keduanya terlahir dari rahim Claire, seorang terpidana otak pembunuhan berantai terhadap wanita-wanita yang menyaingi cintanya pada Raven.

Setelah melahirkan, Claire kembali ke penjara dan 2 anaknya di bawah pengasuhan Ma'am, orang kepercayaan Claire. Sejak kecil, Ma'am menanamkan kebencian di hati kedua anak itu kalau Raven adalah musuh terbesar mereka yang mengantarkan mama mereka ke penjara dan papa mereka ke alam baka.

Brian dan Richie memulai tahun ajaran baru di sekolah baru yang terkenal sebagai sekolah elit. Di sana, Brian segera menjadi sosok yang terkenal dan dikagumi murid-murid cewek karena ketampanannya dan sifatnya yang cool. Namun Brian juga memiliki sifat temperamental dan mudah tersinggung. Sementara adiknya Richie lebih sabar dan perhatian.

Di kelas baru, Brian segera mencuri perhatian Violetta, cewek paling beken di sekolah. Violetta jatuh cinta pada pandangan pertama pada Brian, namun Brian selalu bersikap dingin padanya. Hati Brian malah diam-diam terpaut pada Clarissa, kakak kandung Violetta yang juga sekelas dengan mereka. Di lain pihak, Richie malah diam-diam menyukai Violetta.

Walaupun Brian menyukai Clarissa, namun dia tak bisa mewujudkan perasaannya, karena ada dendam yang dibawanya dari masa lalu orangtuanya. Bahkan maksudnya memilih sekolah yang sama dengan Clarissa-Violetta adalah untuk membalaskan dendam itu. Dia tak ingin perasaan cintanya pada Clarissa menghalangi tujuannya semula untuk membalas dendam.

Dendam yang dibawa Brian ini berasal dari cerita Ma'am. Dua puluh tahun lalu, ayah Brian tewas dalam suatu insiden yang melibatkan Raven (ayah Clarissa-Violetta) dengan Claire (mama Brian-Richie). Papa Brian-Richie yang bernama Kyle, tewas dalam insiden tersebut. Brian memendam dendam pada Raven yang mengakibatkan tewasnya sang ayah, Kyle, dan dipenjaranya sang ibu, Claire selama 20 tahun. Karena itu, dia sudah menyiapkan pembalasan pada Raven dengan mendekati Clarissa-Violetta, 2 putri Raven bersama Angela.

Clarissa-Violetta yang tak tahu apa-apa dan tak tahu maksud Brian memilih bersekolah di sekolah yang sama dengan mereka adalah untuk mendekati dan melancarkan rencana pembalasan dendam, bersahabat dan melewati hari-hari bersama kedua saudara kembar itu. Bahkan kedekatan mereka berempat membuat mereka saling percaya.

Akhirnya, Clarissa dan Violetta harus menelan pil pahit. Keduanya menjadi korban Brian-Richie. Sebenarnya, Richie yang berhati baik dan sabar enggan membalas dendam dan mengasihi Violetta. Namun karena Brian, abang kandungnya telah lebih dahulu menyakiti dan menghancurkan hidup Violetta, gadis yang dicintainya, maka Richie pun membalas dengan menyakiti dan menghancurkan Clarissa, gadis yang dicintai Brian.

Setelah kejadian itu, Brian dan Richie sempat bersitegang karena Brian marah sekali wanita yang dicintainya disakiti Richie. Namun Brian tetap memilih melamar dan menikah dengan wanita yang dicintainya semula, yaitu Clarissa. Sedangkan Richie memilih menjaga dan menikahi Violetta yang dicampakkan Brian..

Walaupun sudah menikahi Calrissa dan masuk ke dalam keluarga Raven, musuh besarnya, namun Brian teringat kembali meneruskan rencana pembalasan dendam saat mertuanya, Raven mengecam hasil pekerjaannya di perusahaan yang dipimpinnya.

Di suatu kesempatan, Brian berhasil menciptakan momen berdua dengan Raven dan hampir berhasil membunuh musuh besarnya itu, namun mamanya, Claire, tiba-tiba muncul menghalangi niat Brian. Claire yang di masa mudanya sangat mencintai Raven, menjelaskan pada kedua putranya kalau sebenarnya Raven bukan pembunuh papa mereka. Namun Claire-lah sendiri yang menghabisi Kyle, ayah dari kedua anaknya itu, dikarenakan saat insiden tersebut, Claire hendak melindungi Raven dari senjata Kyle, laki-laki yang mencintainya.

Violetta yang sedang mengandung anak Brian, tiba-tiba muncul bersama Richie di saat yang tegang itu untuk menjadi tameng bagi Raven yang sedang terancam. Brian tak mempedulikan Violetta dengan bayi yang dikandungnya dan malah melesatkan tembakan pada Violetta yang menghalangi niatnya. Namun apa mau dikata, di saat kritis itu tiba-tiba Clarissa muncul melindungi mereka hingga dia yang tertembak.

Brian sangat frustasi saat mengetahui rencana pembalasannya gagal dan malah telah menyakiti Clarissa, wanita yang dicintainya. Karena itu ingatan dan jiwanya tergoncang dan sosoknya pun hilang di jalanan selama beberapa tahun.

Seperginya Brian, Clarissa, Violetta, dan Richie melanjutkan hidup mereka dengan tenang. Violetta mengasuh 3 anak, yaitu anaknya dengan Brian, anaknya dengan Richie, dan anak Clarissa dengan Brian. Sedangkan Clarissa melanjutkan kuliah.

Saat sedang menyusun skripsi, Clarissa berkunjung ke rumah dosen pembimbingnya untuk meminta tanda tangan dan tanpa disangka bertemu Brian di sana.

Rupanya Brian yang saat itu hilang di jalanan, diselamatkan oleh seorang dokter jiwa yang mengembalikan kembali ingatannya dan memulihkannya. Dokter jiwa itu adalah istri dari dosen pembimbing Clarissa.

Clarissa yang masih memendam perasaan cinta pada Brian dan selalu merindukannya, akhirnya mengembalikan Brian ke tengah-tengah keluarga mereka dan hidup damai tanpa dendam bersama Claire, Raven, Violetta, Richie, dan 3 buah hati mereka.

* * *

Pesan moral dari cerita ini: pembalasan dendam hanya akan menyakiti diri sendiri dan orang yang dicintai. Lebih baik melupakan dendam dan hidup dengan damai. Ketenangan dan kebahagiaan akan didapatkan bila kita mengikhlaskan dan melupakan semua dendam di masa lalu.

Murid Baru Brian-Richie di Sekolah Clarissa-Violetta

Bab 1

“Violetta, cepat sedikit, nanti kita terlambat,” Clarissa mempercepat langkah-langkah kakinya di sepanjang koridor lebar menuju tangga ke lantai dua di sekolah SMU itu, sementara adiknya, Violetta, menyusul di belakangnya.

Violetta, sang adik, berusaha mengimbangi langkah-langkah kaki sang kakak yang tergesa-gesa menaiki tangga, tapi tampaknya ia kesusahan, karena tangannya sibuk memegangi kaca rias bergagang untuk melihat hasil dandanan di wajahnya.

Salahnya sendiri, kenapa sampai terlambat bangun di hari pertama masuk sekolah di tingkatan terakhir sekolah SMU itu. Mungkin karena tadi malam tidur terlalu larut setelah berpesta-pora dengan teman-teman se-geng-nya.

Dari belakang, Violetta melihat sosok kakaknya yang bertubuh semampai dengan rambut tergerai melangkah memasuki kelas dengan hati-hati, mungkin takut kalau-kalau sang guru sudah memasuki kelas duluan. Dalam hati, Violetta menertawakan kakaknya yang selalu ingin menaati peraturan itu. Lihat saja, cara berpakaiannya pun begitu rapi, seragam yang benar-benar dikenakan pada tempatnya. Sedangkan ia sendiri, walaupun berpakaian seragam, namun banyak aksesoris metal yang melekat di badannya. Mulai dari rambut ikal yang diikat tinggi semaunya, telinga, leher, tangan, pinggang, sampai ke kaki, semuanya tampak urakan, karena penuh dengan beraneka-macam aksesoris.

Ups! Langkahnya sampai di ambang pintu, untunglah sang guru belum masuk. Dengan santai, Violetta melenggang menuju bangku di barisan belakang. Ia lebih memilih duduk di bangku belakang, karena bisa santai dan agak luput dari perhatian guru. Sedangkan Clarissa sendiri sudah menduduki bangku di barisan depan dengan beberapa siswa perempuan yang lain.

“Violetta, sini ,Violet!,” seorang siswa laki-laki melambaikan tangan, memanggil Violetta yang sambil berjalan mengedarkan pandangannya mencari bangku kosong di barisan belakang.

“Hei, Josh, kosong ini?” Violetta menjatuhkan badannya ke bangku kosong di samping Josh, siswa laki-laki yang bertubuh kekar dan berwajah lumayan ganteng. “Sudah lama datang?” VIoletta berbasa-basi sambil memasukkan tasnya ke dalam laci.

“Iya, aku sengaja datang pagian, supaya bisa mencari tempat duduk yang paling strategis buat kita berdua,” senyum Josh megembang ketika mengucapkan kalimat itu.

“He-eh,” Violetta mengeluarkan hp-nya dari dalam tas, lalu mengecek kalau-kalau ada panggilan tak terjawab. Maklumlah, teman-temannnya sangat banyak dan sering mengajaknya ke sana kemari. Cocoklah, karena Violetta memang hobinya kelayapan.

Nah, tadi malam saja sudah ada enam panggilan tak terjawab. Masing-masing dari Mike, Rob, John, Stella, Stacy, dan Erick. Belum lagi pagi ini, ada satu, dua, ...

“Selamat pagi, anak-anak,” keasyikan Violetta memeriksa hp-nya, terusik oleh suara guru perempuan yang masuk dengan membawa dua orang siswa laki-laki. Seisi kelas langsung heboh karena kedua siswa laki-laki itu berwajah amat mirip, dan ya ampun..., Violetta langsung membelalakkan matanya. Apakah ia sedang bermimpi? Rasanya, seperti melihat dua orang pangeran berkuda putih yang baru datang dari langit, alangkah tampannya!

Bukan hanya Violetta saja yang terbelalak, karena suasana kelas yang langsung ricuh, terutama oleh suara para siswa perempuan yang saling berbisik-bisik, ikut menandakan kalau mereka juga terpengaruh.

“Halo..., halo..., halo...!” Ibu guru yang berdiri di samping kedua siswa laki-laki itu, memukul-mukul papan tulis untuk mendiamkan suasana kelas yang ribut. Setelah suasana agak tenang, barulah Ibu guru itu berkata, “Ini adalah teman baru kita yang akan duduk di kelas ini. Mereka baru pindah dari luar kota. Mari kita persilakan mereka memperkenalkan diri.” Ibu guru itu mengangguk kepada kedua siswa baru itu, sebagai isyarat agar mereka berbicara.

Salah seorang di antara kedua siswa baru itu maju selangkah ke depan, menganggukkan kepalanya sekali, lalu membuka mulut. “Hai teman-teman,” ia melambaikan tangan dengan sopan, “Nama saya Richie, umur 19 tahun, dan ini adalah kakak kembar saya, namanya Brian.”

Walaupun mereka amat mirip, bertubuh tinggi atletis, dan sama-sama berwajah tampan, tapi begitu menatap mereka, akan langsung mengetahui perbedaan di antara keduanya. Karena yang berbicara tadi adalah yang berwajah lebih ramah dengan senyuman manis. Sedangkan yang satunya lagi, sang kakak yang bernama Brian, bertampang cool dan hanya sebentar saja tadi tersenyum agak dingin.

Violetta merasakan hatinya berdebar ketika menatap sang kakak yang sampai sekarang belum membuka mulut. Siapa namanya tadi? Brian...? Ah, sungguh sebuah nama yang spesial dan seketika menggetarkan hatinya ketika melihatnya untuk pertama kali. Entah mengapa, mungkin merasa diperhatikan, sang kakak yang bernama Brian itu langsung melemparkan pandangannya ke bangku belakang. Pandangannya yang tajam seolah menghunjam ke wajah Violetta.

Seketika Violetta yang biasanya selalu santai dan tidak pernah salah tingkah menghadapi makhluk yang namanya cowok, menjadi tegang. Tapi Violetta masih berusaha membalas tatapan dari Brian dengan berani, padahal degup-degup di jantungnya sudah tak terkendali lagi. Aduh...! Kenapa ini? Biasanya ia tidak pernah begini.

Brian tersenyum sekilas padanya, lalu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Violetta menahan nafas, karena merasakan jantungnya seperti copot menerima senyuman dari Brian tadi. Senyuman maut yang benar-benar berbeda dari senyuman dingin yang tadi, karena senyuman ini dirasakan Violetta, seperti sengaja ditujukan untuknya.

Richie melirik Brian yang masih berdiri dengan santai, tiada tanda-tanda hendak membuka mulut. Ditariknya siku tangan Brian agar maju selangkah ke depan, lalu ia berbisik di dekat telinganya, “Bicaralah sepatah dua patah kata, Brian. Mereka sedang memandangmu dari tadi, nanti dikiranya kamu sombong.”

Teguran dari Richie itu menyadarkan Brian. Seketika ia berusaha tersenyum manis. “Hai semuanya!” Ia melambaikan tangan dengan relaks. “Saya Brian, kakak kembarnya Richie, mohon petunjuknya, okey?”

“Okeeeyyy...!” jawab para siswa perempuan serempak, lalu mereka tertawa riuh. Mungkin mendengar Brian berbicara, menyejukkan hati mereka. Tampaknya Brian lebih mencuri perhatian dibanding Richie. Menatap wajahnya ataupun mendengar suaranya, akan membuat hati orang menjadi senang. Itulah Brian!

“Nah, para siswa sekalian, adakah bangku kosong untuk Brian dan Richie?” tanya Ibu guru itu mengalihkan suasana yang ribut.

“Ada, Bu! Ada...!” jawab beberapa orang siswa sambil mengangkat tangan.

“Brian, sini Brian...!” terdengar suara beberapa orang siswa saling berebutan memanggil Brian agar duduk di dekat mereka.

Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas, melihat banyaknya siswa yang melambaikan tangan padanya. Richie malah tidak ada yang memanggil.

Akhirnya Brian berjalan ke bangku yang paling belakang, yaitu bangku yang amat dekat dengan tempat duduk Violetta, hanya dipisahkan oleh sebuah lorong sebagai jalan. Sedangkan Richie sendiri memilih duduk di bangku paling depan, tepat di samping Clarissa.

“Hai...!” Richie yang berpembawaan ramah itu menyapa Clarissa yang meliriknya sekilas dan menggeser duduknya ketika melihat kedatangannya.

“Hai...!” Clarissa membalas pendek sambil tersenyum dikit.

“Ehm..., aku Richie,” Richie berusaha merelakskan suasana dengan mengulurkan tangannya pada Clarissa yang dirasanya bersifat pendiam. “Kalau boleh tahu, kamu...?”

“Aku Clarissa,” jawab Clarissa sambil mengangguk dan menyambut uluran tangan Richie. “Kalau ada yang tak mengerti, tanya saja,” katanya ramah.

“Oh, terima kasih,” balas Richie merasa lega. Ia bersyukur karena mendapat teman sebangku yang tidak sombong.

Sedangkan Brian telah menduduki bangku di barisan belakang dengan seorang siswa laki-laki bertubuh kurus dan berkacamata minus.

“Halo, aku Bobby, panggil saja Bob. Senang berkenalan denganmu,” diulurkannya tangan pada Brian yang menyambutnya segera.

“Aku Brian,” balas Brian setelah menjatuhkan dirinya di bangku samping Bob itu. “Sudah lama sekolah di sini?” tanyanya sekilas sambil memasukkan tas.

“Sudah enam tahun,” jawab Bob cepat. “Kamu pindahan dari sekolah mana?” tanya Bob ingin tahu sambil memandang Brian lekat-lekat, seolah mengagumi ketampanannya.

Brian terdiam sesaat tanpa memandang Bob, tapi saat berikutnya ia segera berkata, “Sekolah di luar kota, jauh sekali dari sini, kusebutkan pun kau tidak akan tahu, karena bukan sekolah terkenal seperti ini.” Brian mengeluarkan sebuah buku notes kecil berwarna ungu berikut sebuah bolpoin hitam, bersiap-siap untuk menulis.

* * *

Perselisihan Brian dengan Teman-teman Violetta

Bab 2

“Oh...,” Bob mendesis panjang sambil melihat Brian mencorat-coret buku notes itu. Sebenarnya masih banyak lagi yang ingin ditanyakannya pada Brian, karena ia merasa Brian adalah sosok yang misterius. Tapi melihat sikap Brian yang seolah tidak suka kalau orang mengorek data-data tentang dirinya, membuat Bob jadi terdiam. Akhirnya mereka hanya saling membisu dan mencatat jadwal pelajaran yang ditulis oleh Ibu guru tadi di papan tulis.

Violetta yang duduk di dekat Brian, hanya dipisahkan oleh sebuah lorong kecil sebagai jalan, tidak mampu menyembunyikan keingintahuannya tentang Brian. Walaupun tangannya mencatat jadwal pelajaran di papan tulis, tapi pikirannya tidak ke situ, karena ia terus memasang telinga sejak tadi, mendengarkan percakapan singkat antara Bob dan Brian barusan.

Mata Violetta melirik buku notes kecil berwarna ungu yang dipakai Brian. Ungu sama dengan Violet? Kenapa kebetulan sekali sama dengan namanya? Dan bolpoin berwarna hitam pekat dengan tinta hitam yang dipakai Brian untuk mencorat-coret buku notes ungu itu...?

Ah, Violetta cepat-cepat membuang pikirannya yang tidak-tidak. Dia dan Brian bahkan belum sempat kenalan. Apakah setelah melihat Brian untuk pertama kali tadi, sudah membuatnya terobsesi, jadi apapun tindak-tanduk Brian membuatnya penasaran?

Sebuah suara khas menyadarkan lamunannya. “Papan tulisnya di depan, Nona, bukan di samping...,” entah mengapa Brian seperti tahu jalan pikirannya. Ia menolehkan kepalanya ke samping, tersenyum pada Violetta yang ketahuan sedang menatapi dirinya.

Violetta merasa malu setelah kepergok terus mencuri lihat pada Brian sejak tadi. Ditundukkannya kepalanya dengan wajah bersemu merah jingga.

“Kenalkan, aku Brian,” Brian berusaha membantu Violetta mengatasi rasa salah tingkahnya.

Violetta mengangkat kepalanya, melihat uluran tangan Brian. Ia merasa sangsi, tapi setelah Brian mengangguk dan tersenyum ramah padanya, barulah Violetta merasa lega dan menyambut uluran tangan Brian.

“Namaku Violetta, senang berkenalan denganmu!”

“Sama-sama!” Brian membalas. Setelah itu Brian kembali lagi melihat ke papan tulis dan menekuni tulisannya.

Violetta juga sibuk menyalin dan kali ini ia tidak berani lagi mencuri lihat karena takut akan ketahuan. Walaupun dalam hatinya sangat tersiksa karena ia sudah ingin secepatnya bisa mengenal Brian lebih dekat. Rasanya pasti bangga sekali, bila bisa berjalan bersama dengan Brian yang gagah, tampan, atletis, sempurna fisiknya bak seorang pangeran itu, lain sekali bila dibandingkan dengan semua teman lelaki yang pernah dikenalnya selama ini.

“Violet!” suara Josh yang duduk di sampingnya, membuyarkan khayalan Violetta.

“Apaa...?!” sahut Violetta kaget, merasa sebal karena khayalannya terganggu.

“Sebaiknya kau jangan dekat-dekat dengan Brian,” Josh memperkecil suaranya sampai volume yang terkecil, volume yang hanya bisa didengar oleh Violetta seorang yang duduk di sampingnya, sedangkan Brian yang duduk agak jauhan, tidak mungkin bisa mendengarnya.

“Memangnya kenapa?” tanya Violetta heran.

“Apa kau tidak melihat sorot matanya tadi, sewaktu di depan kelas? Begitu dingin dan misterius, seolah menyimpan suatu rahasia. Tapi begitu melihat dan berbicara denganmu, sorot matanya tiba-tiba bisa berubah drastis menjadi ramah, seperti disengaja untuk menarik simpatimu. Orang seperti ini pasti memiliki maksud jahat. Sebaiknya kau berhati-hati!”

“Akh! Kau jangan mengada-ada, Josh!” ujar Violetta bertambah sebal. “Aku tahu maksudmu! Kau tidak ingin aku berdekatan dengan Brian karena kau takut tersaingi bukan? Biar kuberitahu ya, Josh, kau itu bukan tipeku, dan kau juga tak bakalan bisa menyaingi Brian. Jadi jangan bicara yang tidak-tidak tentangnya, okey?”

“Tapi aku benar mengkhawatirkanmu, Violet! Aku punya prasangka buruk terhadap Brian. Biasanya prasangka dan firasatku itu kebanyakan benar lho!”

“Seandainya prasangkamu itu benar pun, aku tidak takut! Karena mulai detik ini aku sudah bertekad untuk mendapatkannya, puas?!” tegas suara Violetta bersamaan dengan tangannya yang menyelesaikan salinan di papan tulis. Dihempaskannya bolpoin di tangannya ke atas meja dengan kasar, lalu membuang muka ke samping. Eh..., malah tatapannya bertemu dengan mata Brian yang entah sejak kapan sudah mengawasinya.

Rona wajah Violetta langsung memerah. Semula hendak marah jadi merasa malu. Apakah Brian mendengar kata-katanya barusan? Mungkinkah volume suaranya jadi agak keras karena emosi tadi? Gawat, berarti Brian sudah mendengar percakapannya dengan Josh tadi?

“Ada yang membuatmu tidak senang?” pertanyaan Brian yang spontan membuat Violetta terhenyak.

“Ah, tidak...!” Violetta menjawab gugup. Dengan cepat ia menyembunyikan wajahnya yang sedang bersemu merah dari pandangan Brian. Sorot mata Brian begitu tajam dirasakannya, seolah-olah ingin mengoyaki isi hatinya. Apakah dikarenakan Brian mendengar kata-kata Josh tadi, dan sekarang ia merasa marah? Salah mereka juga, kenapa harus bicara hal seperti ini di saat Brian ada di dekat mereka?

“Kalau ada yang sengaja membuatmu marah, sudah seharusnya diberi pelajaran,” ucap Brian seenaknya.

Josh yang merasa tersindir oleh kata-kata Brian, spontan bangkit dari duduknya, sorot matanya tak senang menatap Brian dan suaranya terdengar keras, “Hati-hati kalau bicara ya! Kau ini orang baru! Sombong sekali!”

Brian tersenyum dikit, dingin dan sinis.

Melihat reaksi Brian itu, Josh bertambah emosi. “Memangnya kamu hebat...!”

“Sudahlah, Josh..., sudah...!” Violetta menarik tangan Josh supaya duduk kembali. Mata Violetta yang menatap Josh seolah memerintahkannya untuk tidak lagi bertikai.

“Iya Josh, jangan galak-galak!” timpuk seorang siswa laki-laki yang duduk di depan Violetta. Ucapannya yang bernada lucu itu spontan membuat beberapa orang siswa yang duduk di sekitar situ tertawa.

“Benar, Josh, tidak ada yang ingin berebutan Violetta denganmu!” seorang siswa perempuan ikut menimpali, seolah ingin memanasi Josh.

“Iya Josh, aku mendukungmu. Kalau ada yang sengaja ingin berebutan Violetta denganmu, sudah seharusnya diberi pelajaran,” kata-kata Brian dibalikkan kembali oleh salah seorang siswa laki-laki yang duduk di depan Josh.

Brian melihatnya sekilas. Siswa laki-laki yang duduk di depan Josh itu bertubuh tinggi besar dan bersikap menantang. Nada suaranya terdengar mengancam. Ia adalah Ted, teman sekelompok Josh. Jadi sudah tentu ia membela Josh.

“Sudah! Sudah! Sudah cukup belum?!” nada suara Violetta terdengar agak marah.

Beberapa orang siswa memang sedang memperhatikan mereka, seolah ingin mengetahui kelanjutan pertikaian itu. Kebetulan guru yang mencatat jadwal pelajaran di papan tulis tadi sedang keluar kelas, jadi mereka lebih bebas.

“Kalian semua puas, sudah memberikan kesan tidak baik terhadap seorang siswa baru, ha?! Ini baru hari pertama baginya, bagaimana nanti ia bisa melanjutkan belajar kalau sikap kalian seperti ini?” Violetta memandangi mereka satu persatu. Sorot matanya menyiratkan kemarahan. Beberapa orang siswa membuang muka, yang lainnya terdiam.

“Josh, Ted,” Violetta menyebut kedua nama itu dan menatap mereka tajam. “Aku ingin kalian berdua mnta maaf pada Brian, sekarang juga!”

“Apa...?!” Josh hendak protes.

“Kalau kau tidak minta maaf sekarang, Josh, maka nanti jangan berharap bisa menjadi temanku lagi,” ancam Violetta.

Josh menggigit bibir. Dipandanginya Brian yang sedang menunduk tapi di bibirnya tersembunyi seulas senyum. Senyum kemenangan dari orang yang benar-benar licik! Pikir Josh merasa muak. Seandainya diancam dengan pisau pun ia tak bakalan mau minta maaf. Tapi ini diancam dengan kata-kata Violetta, wanita yang sudah lama diincarnya, yang dikaguminya selama ini, dan ia tidak mau lagi berteman dengannya hanya gara-gara seorang siswa baru? Akh! Dengan terpaksa Josh harus menjilat kata-kata makiannya kembali.

“Aku minta maaf!” ucap Josh, berat dan ketus.

“Begitukah caramu minta maaf?” Violetta meliriknya marah.

“Okey, aku minta maaf, Brian..., puas?” Josh mengulangi ucapannya dengan jengkel.

Violetta melirik Ted. “Giliranmu, Ted!” perintahnya.

Ted membungkam mulutnya, hatinya terasa berat. Tapi setelah mellihat Josh memberi isyarat padanya untuk meminta maaf, barulah Ted membuka mulut. “Aku minta maaf,” ucapnya pelan.

Violetta menarik nafas lega. “Nah, kalian semua sudah dengar kan?”

“Sudah...!” jawab para siswa yang duduk di sekitar situ yang sedari tadi memperhatikan mereka.

“Brian...?” Violetta menatap Brian yang sedang memainkan bolpoinnya.

“Ya...!” Brian hanya mengangguk kecil. Ia tersenyum sedikit pada Violetta. Senyumannya itu terasa amat melegakan hati Violetta. Entah mengapa, Violetta amat takut Brian akan tersinggung, apalagi bila gara-garanya.

* * *

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!