NovelToon NovelToon

I Love You, Paman

Part 1 - Penculikan

"Ayo cepat, jangan sampai mereka tahu kalau kita menculiknya!," bisik seorang laki-laki pada pada rekannya yang seorang perempuan.

Mereka sibuk memasukkan seorang anak berusia enam tahun yang terlelap tidur ke dalam mobil. Keduanya beraksi cepat, mengangkat tubuh kecil itu dengan hati-hati agar tidak membangunkannya.

"Sudah masuk, jalan sekarang!," perintah lelaki itu sambil menutup pintu mobil dengan hati-hati. Mobil itu pun segera melaju pergi, meninggalkan keramaian bandara yang tidak curiga sedikit pun.

Di tempat lain, di tengah hiruk-pikuk bandara yang luas, Evan Mahendra dan Daisy Liana sedang kebingungan mencari anak mereka yang bernama Azalea Carolline.

Baru saja menginjakkan kaki di Indonesia setelah lima tahun lamanya menetap di luar negeri, mereka tidak pernah membayangkan akan menghadapi musibah sebesar ini.

"Mah, kita harus tenang," kata Evan, mencoba menenangkan istrinya yang sudah menangis histeris.

Mereka baru saja kembali dari toilet, dan dalam sekejap, Azalea yang akrab di panggil Lea, semula menunggu di kursi bersama koper-koper mereka tapi kini hilang tidak berjejak.

"Bagaimana ini, Pah... Dimana putri kita...?" Daisy menangis terisak di kantor polisi bandara dengan air mata yang mengalir deras di wajahnya. Ia sangat takut putri semata wayangnya itu tidak bisa di temukan.

Setelah berusaha mencari di sekitar bandara tanpa hasil, mereka pun memutuskan untuk meminta bantuan pihak berwenang.

"Tenang Mah, putri kita akan baik-baik saja, petugas polisi akan membantu menemukannya." Evan berusaha menenangkan dirinya sendiri sebanyak ia berusaha menenangkan istrinya.

Namun, hatinya juga sangat khawatir dan merasa bersalah karena telah kehilangan putri semata wayang mereka dalam waktu yang singkat.

Kini, petugas polisi yang tampak berpengalaman segera mengerahkan timnya. Mereka mengumpulkan informasi, mengecek rekaman CCTV, dan menanyai orang-orang di sekitar tempat terakhir Azalea terlihat.

Sementara itu, di dalam mobil yang melaju cepat, Lea yang terlelap mulai terbangun. Goncangan dari mobil yang sedang berjalan membuatnya membuka matanya yang masih terasa kantuk.

Bayangan dua orang di kursi depan membuatnya mengira itu adalah orang tuanya. "Mama, Papa...," gumam Lea dengan suara kecil yang masih setengah terjaga.

Namun, kedua penculik itu terlalu sibuk mengobrol sehingga tidak menyadari panggilan Lea. Mereka berbicara dengan suara pelan dan merencanakan langkah selanjutnya.

"Anak ini akan membuat kita kaya! Orang tuanya pasti akan menebus berapapun yang kita minta. Mereka orang kaya, dan mereka pasti akan lebih memilih putri mereka daripada uang," kata penculik laki-laki.

"Kamu benar-benar cerdas, sayang, tahu saja mana sasaran yang empuk," timpal perempuan di sebelahnya sambil menghisap rokok.

Asap rokoknya berputar-putar di udara mobil, kemudian perempuan itu menoleh ke arah Lea, yang kini memejamkan matanya kembali dan berpura-pura masih tidur.

Merasa aneh dengan kedua orang tersebut dan tidak menemukan keberadaan orang tuanya, Lea pun merasa kebingungan. "Siapa mereka? Papa dan Mama di mana?," batin Lea dengan rasa takut yang mulai menjalar di hatinya yang kecil.

Dia berusaha menenangkan dirinya, menutup matanya erat-erat sambil berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.

Namun, kenyataannya terlalu nyata untuk diabaikan. Dalam kegelapan mobil, Lea mendengarkan semua percakapan penculiknya. Dia mencoba mengingat detail-detail yang bisa membantu dirinya kelak.

"Berhenti di sini dulu, kita harus memastikan tidak ada yang mengikuti kita," perintah lelaki itu sambil menepikan mobil di jalan sepi.

Perempuan itu pun mematikan rokoknya dan mengangguk. "Baiklah, kita harus hati-hati. Tidak boleh ada yang tahu di mana kita menyembunyikannya."

Lea membuka matanya sedikit, cukup untuk mengintip keadaan di luar. Dia melihat mobil berhenti di tempat yang tidak dikenal, di jalanan gelap dan sepi. Dalam situasi seperti itu, rasa takutnya pun semakin membesar.

"Jangan takut, jangan menangis," ucap Lea dalam hati. "Mama dan Papa pasti akan datang menjemputku."

Setelah merasa aman, kedua penculik itu melajukan mobil mereka lagi. Saat melewati sebuah pom bensin yang sepi karena lokasinya yang cukup jauh dari kota, mereka menepikan mobil untuk mengisi bensin terlebih dahulu.

"Kamu tunggu dulu di sini, jaga anak itu baik-baik, aku beli rokok dulu," seru sang pria sebelum keluar dari mobil.

Pom bensin tersebut tampak sepi. Mereka langsung mengisi bensin tanpa harus mengantri, menggunakan sistem isi bensin sendiri.

Sementara bensin mobil terisi penuh, si wanita bersandar di mobil sambil asyik memainkan ponselnya dan tidak memperhatikan sekitar.

Lea yang sedari tadi sudah bangun, ia memutuskan untuk bertindak. Ia bergerak perlahan dan memastikan tidak ada yang memperhatikannya.

Dalam hati kecilnya, ia berpikir ini adalah kesempatan untuk melarikan diri dari orang-orang asing tersebut dan menemukan orang tuanya.

Dengan hati-hati, Lea membuka pintu mobil dan keluar. Saking asyiknya bermain ponsel, si wanita penculik tidak menyadari bahwa Lea berhasil keluar dari mobil dan mulai menjauhi mereka.

Awalnya, Lea ingin pergi ke minimarket yang ada di pom bensin itu untuk meminta pertolongan, tetapi ketakutan akan ditemukan oleh para penculik membuatnya mengubah rencana.

Lea pun memutuskan untuk berlari menjauhi pom bensin, menyusuri jalan yang mengarah ke area yang lebih gelap dan dipenuhi pepohonan rindang. Dia berlari sejauh yang bisa dengan kakinya yang kecil, meski merasa bingung dengan tempat yang tidak ia kenali.

Di tengah kebingungannya, Lea mulai merasa ketakutan. Tidak ada orang yang ia lihat di sekitarnya. Ia hanya melihat pepohonan yang besar dan tinggi serta suara kendaraan yang berlalu lalang, itu pun hanya satu dua saja.

"Mama...! Papa...!" gumam Lea dengan air mata mulai mengalir di pipinya. Dia terus berjalan dan berharap ada seseorang yang mendengarnya dan datang untuk menolong.

Sesaat kemudian, karena lelah, Lea berdiri di pinggir jalan dengan tubuhnya yang kecil dan rapuh. Dia menangis, air matanya tidak berhenti mengalir, mengalir di pipinya yang sudah kotor terkena debu.

Harapan bahwa orang tuanya akan segera menjemputnya pun mulai pudar. Sejauh mata memandang, tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka karena yang terlihat hanya deretan pohon dan jalanan yang sepi.

Di tengah tangisannya, Lea tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sesuatu yang bergerak di seberang jalan. Ia melihat seekor kelinci putih muncul dari semak-semak.

Tanpa berpikir panjang, Lea langsung menyebrangi jalan untuk menghampiri kelinci itu. Dia belum memahami bahaya yang mengintai dan hanya terfokus pada kelinci yang lucu dan menggemaskan.

Langkah kecilnya yang lincah membawa dirinya semakin dekat ke tengah jalan, tanpa menyadari sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke arahnya.

Sopir mobil tersebut yang seorang pria paruh baya, segera menyadari keberadaan Lea yang tiba-tiba muncul di tengah jalan. Dengan reflek yang cepat, dia membanting stir ke kiri sehingga menghindari tubuh mungil itu dengan hanya beberapa sentimeter.

Cekitttt!!!

Part 2 - Tersesat

Cekitttt!

Mobil yang di lakukan pria paruh baya tersebut meluncur ke bahu jalan dan hampir menabrak pagar pembatas, namun berhasil berhenti tepat waktu.

"Apa-apaan ini! Dari mana asalnya anak kecil itu!," teriak sang pria paruh baya.

Lea tidak menyadari bahaya yang baru saja terlewatkan. Dengan polosnya, dia menghampiri kelinci tersebut dengan senyum merekah.

Lalu Lea berjongkok dan mencoba menyentuh kelinci yang kini memperhatikannya dengan mata hitam yang besar.

Sementara, di dalam mobil, sang sopir masih terkejut, jantungnya berdegup kencang. Lalu dia keluar dari mobil dengan tergesa-gesa dan berlari ke arah Lea yang sedang bermain dengan kelinci di pinggir jalan.

"Nak, kamu tidak apa-apa?," tanya pria itu dengan cemas dan suara yang sedikit bergetar.

Lea menoleh, dengan matanya yang besar dan penuh kepolosan dan ia menatap pria itu. "Aku... aku cuma mau main sama kelinci," jawabnya dengan suara kecil dan lemah.

Lalu pria itu mendekat dan memeriksa Lea untuk memastikan dia tidak terluka. "Kamu tidak boleh bermain di jalan seperti itu, sangat berbahaya," katanya lembut.

Lea mengangguk pelan dengan air mata yang kembali menggenang di matanya. "Aku... aku cari Mama dan Papa," katanya, suara kecilnya kembali terdengar sedih.

Seketika pria paruh baya tersebut merasa merinding dan bulu kuduknya pun berdiri. Lalu ia memutar pandangannya ke segala arah yang nampak sepi. Pikiran anehnya pun muncul hingga ia bergidik ngeri.

Lalu, tanpa ragu ia beranjak dan meninggalkan Lea yang menatapnya polos. "Jangan-jangan anak hantu, kenapa hariku sial harus bertemu dengan makhluk seperti itu, hii...," gumamnya.

***

Sementara itu, di pom bensin, sang pria penculik kembali ke mobil dengan rokok di tangannya. Dia melihat wanita itu masih asyik dengan ponselnya dan bensin sudah terisi penuh.

"Sudah selesai? Ayo kita jalan lagi," katanya sambil membuka pintu mobil. Saat itulah dia menyadari bahwa Lea tidak ada di dalam mobil. Matanya langsung terbelalak, penuh kemarahan.

"Di mana anak itu?!," teriaknya hingga membangunkan si wanita dari keasyikannya bermain ponsel.

"Apa? Dia... dia ada di sini tadi!," jawab wanita itu dengan panik lalu menoleh ke kursi belakang yang kini kosong. Mereka berdua langsung keluar dari mobil dan mencari Lea di sekitar pom bensin namun tidak menemukan Lea.

Kemudian mereka masuk ke dalam mobil, kedua penculik itu saling beradu mulut dan saling menyalahkan. Lalu mereka melajukan mobil dengan cepat karena yakin bahwa Lea tidak mungkin berlari terlalu jauh.

"Ini semua salahmu! Kenapa tidak memperhatikan anak itu?!," bentak si pria sambil memegang erat kemudi.

"Kamu yang meninggalkanku sendirian dengan anak itu!," balas si wanita dengan suara yang sama-sama emosi.

Dan benar saja, mereka baru melaju beberapa meter ketika hampir sampai di tempat Lea berada. Namun, sebelum mereka melihat Lea, gadis kecil itu melihat seekor kelinci yang menarik perhatiannya lagi.

Tanpa berpikir panjang, Lea pun mulai berlari mengejar kelinci tersebut menuju hutan.

Perhatiannya pada kelinci itu rupanya telah menyelamatkannya dari para penculik. Lea terus berlari mengikuti kelinci, hingga akhirnya kehilangan jejak hewan tersebut dan baru menyadari bahwa dia tersesat di hutan.

Dia berdiri di antara pepohonan yang tampak sama, merasa bingung dan ketakutan.

"Mama, Papa... Hu hu hu hu hu...." tangis Lea semakin menjadi-jadi. Dia terus menangis, tetapi tidak ada yang menemukannya. Hanya suara alam yang terdengar disertai suara beberapa binatang hutan.

Sambil menangis, Lea mencoba melanjutkan langkahnya melalui jalan yang tidak ia kenal. Durinya sesekali mengenai kulitnya yang lembut hingga membuatnya kesakitan dan tangisnya pun semakin keras.

Namun, di tengah kesedihannya, Lea melihat beberapa binatang jinak yang mengamatinya dengan penasaran. Sejenak, dia terhenti dan memperhatikan mereka dengan air mata yang masih mengalir di pipinya.

Tiba-tiba, perut Lea berbunyi keras. "Krokokkkk..." Dia memegang perutnya yang terasa lapar. Pantas saja, hari sudah mulai sore sementara Lea belum makan apapun sejak siang tadi.

"Mama... Aku lapar hu hu hu hu... Lea pengen pulang...." tangisnya semakin memilukan. Dia merasa sangat sendirian dan tidak tahu harus bagaimana untuk kembali ke orang tuanya.

Di hutan yang semakin gelap, Lea berusaha mencari jalan keluar. Dia berjalan perlahan sambil merasakan lelah dan lapar. Setiap langkahnya terasa semakin berat, dan rasa takutnya pun semakin besar.

Nangis dan nangis lagi. Lea, anak semata wayang yang menjadi kesayangan orang tuanya, tidak pernah merasakan kelaparan atau kesepian seperti ini.

Bayangkan saja, tersesat sendirian di tempat asing bagaimana rasanya? Bahkan orang dewasa pun akan kebingungan dan menangis ingin pulang jika berada di situasi yang sama.

Tiba-tiba, Lea mendengar suara yang membuatnya takut. Lalu ia melihat ke kanan dan ke kiri, mencari dari mana asal suara itu. Suara tersebut semakin mendekat sehingga membuat tubuh kecil Lea bergetar ketakutan.

"Mama...." tangisnya lagi. Namun, tangisnya segera terhenti ketika melihat seekor babi hutan besar berjalan cepat ke arahnya.

Seketika, Lea berdiri mematung dan tidak berani bernapas. Merasa terancam, Lea pun mundur perlahan, lalu mencoba melarikan diri. Namun, langkah kecilnya tidak cukup cepat dibandingkan dengan kecepatan babi hutan tersebut.

Dalam hitungan detik, babi itu hampir menyeruduk Lea. Namun, tiba-tiba babi itu terhenti dan terjatuh ke tanah. Sebuah tombak menancap tepat di lehernya.

Namun Lea sendiri terjatuh cukup keras karena rasa syok yang besar hingga membuatnya kini tidak sadarkan diri dan meringkuk di semak-semak.

***

Seorang laki-laki berpakaian lusuh dengan rambut sebahu berdiri di dekat tubuh kecil Lea yang terbaring tidak berdaya. Saga, pria tersebut, baru saja menyelamatkan gadis kecil itu dari keganasan babi hutan.

Ia menatap Lea dengan tatapan dingin, namun bertanya-tanya dalam hati, mengapa ada gadis kecil sendirian di tengah hutan seperti ini.

Hari sudah sore dan malam segera menjelang. Saga berpikir meninggalkan Lea di sini bukanlah pilihan yang tepat. Hutan ini penuh dengan bahaya, dan anak sekecil Lea pasti akan menjadi santapan empuk bagi para binatang buas.

Setelah beberapa saat menatap Lea, Saga memutuskan untuk membawanya keluar dari hutan. Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh kecil Lea dan menggendongnya. Saga, meski baru berusia 21 tahun, ia terlihat jauh lebih tua karena jenggotnya yang lebat dan penampilannya yang kasar.

Kemudian, Saga membawa Lea ke mobilnya, sebuah truk pick-up tua yang penuh dengan kayu-kayu yang sudah terpotong.

Ia meletakkan Lea dengan hati-hati di kursi penumpang, lalu menutupi tubuh kecilnya dengan jaket agar hangat. Setelah memastikan Lea aman, Saga menyalakan mesin mobil dan mulai mengemudi keluar dari hutan.

Perjalanan keluar dari hutan terasa lama dan penuh dengan jalanan berbatu. Saga melirik Lea sesekali, memastikan bahwa gadis kecil itu masih bernafas dan tidak mengalami luka serius.

"Orang tua macam apa yang meninggalkan anaknya sendirian di hutan," gumamnya seraya berdecak.

Lanjut ke episode tiga...

Part 3 - Azalea & Saga

Di dalam mobil, Lea perlahan mulai siuman. Matanya yang besar dan lemah terbuka, lalu ia melihat ke sekitar dengan bingung. "Mama... Papa...," gumamnya pelan dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Saga mendengar gumaman Lea dan menoleh sejenak dengan tatapan dinginnya lalu fokus lagi ke depan. Lea menatap wajah Saga yang kasar dan penampilannya yang lusuh sehingga membuat Lea merasa takut karena mengira itu penculik lagi.

Namun, ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa sedikit tenang. Ia menggenggam jaket yang menutupi tubuhnya dan merasakan kehangatan yang menenangkan.

Sementara, Saga terus mengemudi hingga akhirnya menemukan sebuah pos polisi di tepi jalan. Ia berhenti di depan pos tersebut dan menyuruh Lea turun dari mobilnya.

"Turun," ucap Saga. "Masuklah ke sana dan minta pertolongan pada mereka," lanjutnya acuh tanpa menoleh ke arah Lea. "Dan ambil ini," ujarnya sambil memberikan sebungkus roti.

Lea mengambil roti tersebut dengan ragu, lalu menoleh ke arah kantor polisi dengan tatapan bingung. "Paman, aku mau pulang ke Mama...," rengek Lea sambil menatap Saga dengan nanar.

"Mereka akan membawamu kepada orang tuamu, sekarang turunlah," ujar Saga datar dengan wajah dingin.

"Paman...." Lea tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lalu dia bangkit dan turun dari truk yang terasa tinggi baginya.

Setelah Lea turun dari mobil, Saga menyalakan mesin mobil kembali dan melaju, meninggalkan Lea yang menatap mobilnya pergi.

Saga memantau Lea dari kaca spion, melihat gadis kecil itu yang masih menatap kepergiannya. Beberapa saat kemudian, Lea beranjak menuju pos polisi yang ditunjukkan oleh Saga.

Lalu, Saga menghentikan laju mobilnya di kejauhan dan memperhatikan apa yang terjadi pada Lea selanjutnya melalui kaca spion.

Yang terjadi ternyata pos tersebut kosong dan tidak ada satu orang pun di sana. Lea terduduk di depan pos yang terkunci itu dan mulai memakan roti pemberian Saga.

Sambil terus mengunyah, Lea menyadari bahwa mobil Saga masih terhenti di dekat sana. Dengan langkah kecil, ia berjalan menghampiri mobil Saga dan berdiri di samping mobil tua itu.

Saga tetap berada di dalam mobil dan tidak menampakkan wajahnya atau membukakan pintu untuk Lea. Gadis kecil itu hanya menunggu dengan harapan pintu itu akan terbuka sambil mengunyah sisa roti.

Hari pun mulai gelap dan suara binatang malam mulai terdengar. Harapan Lea satu-satunya adalah Saga, meskipun pria itu terlihat acuh dan tidak peduli padanya.

Tiba-tiba, pintu mobil pun terbuka. "Masuklah," kata Saga dengan suara rendah.

Lea tersenyum dan berusaha naik kembali ke mobil dengan semangat. Ia berpikir, meskipun Saga terlihat dingin, pria itu sebenarnya baik karena sudah memberinya makan.

Saga menatap Lea sejenak, lalu menghela napas panjang. "Gadis kecil ini benar-benar membuatku repot," gumamnya, nyaris tidak terdengar. Lalu ia menutup pintu dan mulai mengemudi lagi.

Lea duduk dengan tenang di kursi penumpang dan merasa sedikit lebih aman meski keadaannya masih belum pasti. "Paman, terima kasih," ucap Lea pelan.

Saga tidak menjawab ucapan terima kasih Lea, ia hanya terus mengemudi dan berpikir tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya pada anak kecil di sampingnya itu.

***

Kini, tibalah mereka di depan sebuah rumah sederhana yang agak jauh dari tetangga. Saga turun dari mobil tanpa memperhatikan Lea yang menatapnya dan mengira akan dibukakan pintu seperti yang selalu dilakukan ayahnya.

Namun, tidak demikian, melihat Saga yang akan memasuki rumah, Lea pun memanggilnya. "Paman, pintu mobilnya susah dibuka," ujarnya dengan suara khas anak kecil.

Namanya juga mobil tua, wajar jika pintu mobil terkadang macet, yang bahkan kapan saja bisa mati saat di pakai.

Saga, dengan sikap dinginnya, ia menghela napas dan membukakan pintu mobil untuk Lea tanpa bicara. Lea turun dari mobil dan mematung di depan rumah yang nampak asing baginya. Rumah kecil, agak gelap, berbeda dengan rumah tempat tinggalnya.

"Kalau kamu mau digigit nyamuk dan kedinginan, tetap berdiri di situ saja," ucap Saga dengan nada dingin.

Lea hanya menatapnya dengan tatapan takut dan bingung. Dia tidak berani melangkahkan kakinya masuk ke rumah. Dengan ragu, ia duduk di kursi yang terbuat dari kayu di teras rumah, berharap orang tuanya segera datang menjemputnya.

Waktu berlalu, dan Lea mulai merasa gelisah. Ia menatap ke arah jalan dan berharap melihat mobil orang tuanya datang untuk menjemputnya. Namun, harapannya mulai sirna ketika waktu terus berjalan dan tidak ada tanda-tanda kedatangan ayah dan ibunya.

"Mama... Papa... Huu Huu hu..." Lea mulai menangis sesenggukan lalu mengusap air matanya dengan punggung tangan kecilnya. Suara tangisannya terdengar menyayat hati mengisi keheningan malam.

Saga yang berada di dalam rumah mendengar tangisan Lea. Ia menatap ke arah jendela dan melihat gadis kecil itu duduk di kursi dengan air mata yang terus mengalir. Meski hatinya keras, ada sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak.

Lalu ia keluar dan mendekati Lea, berdiri di depannya dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Hei, berhentilah menangis. Orang tuamu tidak akan datang menjemputmu sekarang."

Lea mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata lalu menatap Saga dengan tatapan ketakutan dan kebingungan. "Kenapa? Kenapa Mama dan Papa tidak datang?," tanyanya polos.

Saga menghela napas panjang, lalu berkata, "Mereka tidak tahu kamu di sini."

Lea pun semakin terisak sementara Saga masuk lagi ke rumah dengan membawa beberapa potong kayu bakar.

Sementara di dalam rumah, Saga sibuk memasak nasi untuk makan malam tanpa memedulikan tangisan Lea. Setelah makanannya matang, ia langsung duduk dan mulai makan dengan sama sekali tidak menghiraukan Lea yang masih menangis.

Krokokkkk...!

Aroma makanan yang lezat menusuk hidung Lea, membuat perutnya yang kosong meronta minta diisi. Dengan perlahan, Lea berjalan masuk ke rumah sambil memegangi perutnya yang lapar.

Lea mendekati Saga yang sedang menghabiskan makanannya. Tanpa bicara, ia memandangi pria itu dengan penuh harap, matanya terpaku pada setiap suap yang diambil Saga. Lidah kecilnya bergerak-gerak, tergiur oleh makanan di depan matanya.

Melihat demikian, akhirnya Saga menghentikan makannya sejenak dan memperhatikan Lea. Dengan isyarat tangan, ia mengajak Lea duduk bersamanya dan memberinya sepiring nasi.

"Nasi putih dan lauk pauk seadanya," pikir Lea seraya menatap makanan yang kini ada di depan matanya. Meski rasa laparnya sangat besar, karena kepolosannya, Lea tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Paman, apa ada ayam goreng?."

Saga menatap Lea dengan tatapan datar. "Tidak ada, makan saja yang ada. Kalau tidak mau, ya sudah," jawabnya ketus.

Lea menunduk karena merasa sedikit kecewa. Namun, karena lapar Lea pun terpaksa memakan makanan yang ada di depannya.

Ia menyuap nasi perlahan dan mencoba menikmati setiap gigitan meski jauh dari makanan yang biasa ia nikmati di rumah.

Saga memperhatikan Lea dari sudut matanya, hatinya merasa sedikit tergerak meski tidak menunjukkan perasaan itu.

Ia berpikir, mungkin gadis kecil ini terbiasa dengan kenyamanan dan makanan yang enak, namun di sini, di rumahnya yang sederhana, Lea harus belajar menerima keadaan yang jauh berbeda.

Tapi, sebenarnya, apa yang terjadi pada anak sekecil itu, pikirnya.

Malam itu, keduanya makan dalam diam. Setelah makan, Saga membereskan meja dan membawa Lea ke sebuah kamar kecil di sudut rumah.

"Kamu bisa tidur disini," katanya singkat. "Besok, kita akan cari jalan untuk menemukan orang tuamu."

Lea mengangguk pelan dan merasa sedikit lega. Ia berbaring di tempat tidur sederhana yang disediakan Saga, lalu menarik selimut lusuh ke atas tubuhnya yang kecil.

Saga menatap Lea sejenak sebelum keluar dari kamar, lalu mematikan lampu dan menutup pintu perlahan.

"Hidupku juga sudah susah, kenapa harus bertemu bocil sepertinya."

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!