Lelaki itu memiliki nama yang sangar; Bima Cakra Samudera. Aura sangar itu memancar tak hanya dari ukiran dan rangkaian namanya yang demikian gagah dan indah, tetapi juga pada pahatan fisiknya yang menggugah siapa saja untuk memuji dan menyentuhnya.
Aku mengenal dia di suatu tempat, yang terbilang sangat formal. Dimana aku bekerja sebagai petugas kebersihan di universitas, sementara dia sebagai profesor yang mengajar. Sedangkan cara kami menjadi dekat dan intim, justru unik dan mungkin di luar nalar; 'Pak Bima' begitu aku dan orang-orang di kampus ini memanggilnya, memintaku menjadi pengasuh anaknya.
Untuk menjelaskan gambaran ceritanya, mungkin diperlukan BAB tersendiri, dengan dukungan plot dan kalimat rinci yang memadai. Namun, aku akan menjelaskan singkatnya;
Pak Bima memiliki seorang anak yang bisa dikira usianya sekitar 3 tahun. Aku sendiri awalnya tidak kaget, mengingat usia Pak Bima yang lumayan matang, jadi sudah wajar jika beliau sudah menikah dan memiliki anak.
Waktu itu, untuk pertama kalinya Pak Bima membawa putri kecilnya ke kampus, semua orang heboh terutama mahasiswi yang mengagumi dan menaruh hati padanya. Ada yang bilang seperti kesambar gledek besar; tapi lupakan saja. Sayangnya, saat itu Pak Bima tampak kewalahan mengurus anaknya sambil mengajar, jadi aku menawarkan diri untuk mengasuhnya sampai beliau menyelesaikan pekerjaan.
Tak seorang pun paham di mana letak jiwa seseorang. Kita hanya mengetahuinya dengan meraba--raba. Kesan yang muncul dalam diri kita menyangkut jiwanya yang murni. Ia terjaga dari belenggu yang membosankan. Dia selalu mampu mengatasi setiap masalah pada sayap yang menjajah kehidupannya. Dengan begitu, jiwanya mampu hidup, tak tertekan dan memiliki ruang. Lelaki besar dan kasar itu, kupikir hanya sibuk mengurus jenggot dan kumisnya saja tapi rupanya aku yang salah. Pak Bima adalah seorang bapak yang sangat bertanggung jawab, tak kusangka ia mampu menempatkan dua hal penting bersamaan; antara anak dan pekerjaan. Ya, anaknya sedang demam saat itu.
Dia adalah orang yang tak bisa ditebak, setiap tindakan dan ucapannya bisa selalu salah dari praduga, dia menyimpan begitu banyak teka-teki dan selalu mampu mengeluarkan kejutan; dia tertarik pada caraku mengasihi dan menjaga putrinya; Lily. Pada hari yang sama Pak Bima menawarkan aku untuk mengasuh.
Ada yang membuatku sedikit heran dan terkesan pada Pak Bima, dimana saat itu ku ketahui kalau beliau memiliki anak namun justru tak beristri. Sungguh di luar sangkaan, mungkinkah maksudnya beliau adalah duda? Jawabannya tidak! Tidak sama sekali.
"Aku belum menikah, dan aku tidak memiliki istri."
Begitu kalimat itu terucap dari bibirnya yang menggoda, aku sempat tercengang; kalau belum pernah menikah, lalu bagaimana caranya beliau memiliki anak?
"Aku menemukan Lily, sendirian dan terbuang."
Dia menjawab begitu frontal di hadapanku, seorang petugas kebersihan kampus. Padahal kurasa di hadapan orang lain, ia belum tentu akan menjawab seperti itu, mengingat posisinya yang terhormat dan terpandang. Aku sedikit bangga pada diriku karenanya.
Pak Bima yang kejam dan seram, ternyata lebih dari sekadar gambaran siluman yang menakutkan. Tapi beliau juga menjelma sebagai malaikat tak bersayap yang memeluk Lily dari kehampaan.
Dengan segala kelebihan dan kebaikan hatinya, tak pelak menggugah hatiku untuk melakukan hal yang sama. Aku terharu dengan kisah hidupnya di samping aku sendiri juga memang memerlukan uang tambahan untuk dikirim ke kampung, jadi kuterima pekerjaan sebagai pengasuh Lily.
Aku memang tak sehebat Pak Bima. Tapi, kupikir aku bisa melakukan hal yang baik seperti dia. 'Mengisi peran ibu, tapi bukan sebagai ibu'.
Nyatanya, kehadiran Lily sendiri sudah mengisi kembali hatiku. Ia mengingatkan aku pada bayi yang kulahirkan beberapa tahun yang lalu, mungkin kalau masih hidup sudah seusianya. Iya, benar aku emang belum pernah menikah tapi aku bukan pula seorang perawan.
Bila dibandingkan dengan Pak Bima, hidupku mungkin tak semurni dia. Aku memiliki anak, tapi hasil hamil di luar nikah. Bukan karena aku menginginkan atau suka rela melakukannya, namun sebuah malam suram datang tepat merenggut seluruh hal di tahun-tahun yang kubangun dengan kegembiraan. Aku dilecehkan oleh seorang pria, yang sampai sekarang tak kuketahui siapa orangnya dan dimana rimbanya.
Kejadian itu sempat mengubur jiwaku, dimana aku diasingkan, dibenci oleh Ibu dan warga kampung. Aku seperti gadis buruk yang tak bisa menjaga kesucian, apalagi itu terjadi saat perayaan desa seolah aku bukan cuma merusak diriku sendiri, tapi juga menghancurkan khidmadnya acara padahal senyatanya aku adalah korban. Walau demikian, itu tidak sama sekali menyurutkan hati dan niatku mengurus anak, kujaga dan tetap kunikmati masa mengandung; hingga yang paling menyakitkan hatiku adalah saat ibu bilang anakku lahir tapi langsung diambil Tuhan.
"Kata bidan, anak kamu telan air ketuban jadi kesulitan bernapas. Cuma bertahan beberapa menit saja sejak kamu lahirkan." Kata Ibu disambut kekecewaan yang demikian besar dari diriku.
Kesakitan yang sesungguhnya melampaui saat lelaki itu merenggut hidupku, melainkan saat aku sendiri tak mampu melihat wajah anak yang ku lahirkan 3 tahun yang lalu, cuma yang aku tahu dari ibu kalau anakku adalah dara (anak perempuan).
Serupa tapi tak sama, seperti itulah perumpamaan nasibku dan Pak Bima. Dia memiliki anak, tapi tak memiliki istri sementara aku pernah memiliki anak tanpa bersuami. Bedanya lagi, aku mendapatkan anak karena suatu kesalahan sedangkan Pak Bima karena kebaikannya.
Mengasuh Lily bukan cuma sekedar pekerjaan tambahan melainkan juga sebagai pelipur lara bagi makhluk yang mengalami kekalahan melawan takdir Tuhan, seperti ku ini, Lily lahir dan hadir sebagai penghibur bagi dunia yang sedih dan tenggelam dalam ratapan melankolis, dan sebagai cermin yang seolah merefleksikan anakku yang andai saja masih ada. Dia hadir bersama Pak Bima yang tak pernah kuduga akan ada di tengah-tengah hidupnya.
Pak Bima mengajarkan aku bagaimana cara seorang pria hidup dari berbagai sudut pandang, bagaimana ia mampu membuka berbagai kemungkinan yang memampukan kita melakukan visualisasi dirinya, tentang sesosok lelaki dengan pancaran mata yang tajam dan menggetarkan, dagu yang di hiasi janggut sensual, dan leher dengan pahatan rahang yang tegas di atasnya. Sebuah ketampanan yang citranya tak hanya memberi kesan tentang tubuh dalam pengertian duniawi, namun terutama surgawi, dengan aura yang sakral dan memabukkan.
Meski begitu, dia bukanlah sosok yang sempurna. Dia memiliki kelemahan permanen sebagaimana lelaki pada umumnya; penuh rahasia dan sulit diterka.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya itu dia hidup dan berusaha menjadi dirinya yang murni. Hingga akhirnya aku mengetahui segala hal yang selama ini ia sembunyikan begitu baik dan Tuhan merestui sebuah rahasia alam terbongkar, lebih dari selama ini yang aku cari dan kudapatkan.
Cerita ini berisi kesan-kesanku saat menjalin hubungan dengan seorang majikan yang ku panggil 'Pak Bima', yang kutulis dengan pandangan dan bahasa yang sederhana. Meski sudah menjadi korban lelaki asing, lalu menjadi pengasuh seorang anak profesor yang mengajar di tempat ku bekerja. Namun semoga masih bisa memberikan kesan mendalam di hati orang-orang yang haus akan berbagai kisah yang memberi warna bagi kehidupan.
Aku Julianne Risma, dan inilah kisah cintaku.
Saat itu, malam yang indah di bulan Desember. Hujan yang turun sepanjang sore telah reda dan langit kembali cerah. Bintang-bintang bermunculan membentuk titik-titik cahaya di ketinggian angkasa di atas sana. Namun, embusan angin yang memukul pepohonan membuat aroma hujan yang telah reda tetap bertahan sepanjang malam, seakan alam masih ingin menyegarkan diri lewat udaranya yang dingin dan basah.
Aku bangun menghadap kaca lemari, seraya berpose.
"Aku siap, malam ini adalah malam yang baik. Aku berdandan lebih feminin dari biasanya, biar kalau ketemu Kak Jafar, aku akan langsung mengutarakan perasaan."
Malam ini adalah malam perayaan desa sebagai tradisi tiap tahun untuk mensyukuri hasil panen. Dan malam ini juga aku akan menyatakan cinta pada lelaki pujaan hati yang selama ini aku sukai; Kak Jafar.
Sesampainya di balai desa; tepatnya di tempat pertunjukan acara perayaan, kuparkir sepeda ontel ku samping pohon mangga yang rimbun. Rupanya acara sudah dimulai. Kali ini, tampak lebih berbeda dari perayaan-perayaan di malam-malam sebelumnya, ada banyak tamu kehormatan yang diundang dari kota. Namun, diantara banyaknya kemegahan dan orang-orang itu mataku tak henti untuk mencari sosok yang memang ingin ku temui dari awal.
"Kak Jafar?" timpal Nin, tetanggaku sambil mengerutkan dahi, begitu aku selesai membisikkan tujuanku di telinganya.
"Ya," jawabku. "Lihat tidak?"
"Lihat," katanya sedikit berteriak karena suara musik di panggung yang cukup keras. "Kalau tidak salah, tadi itu Kak Jafar ke ruang penyimpanan di dalam sana." Nin menunjukkan suatu ruangan di dalam balai desa dengan jari telunjuknya.
"Terima kasih, Nin. Aku mau masuk ke sana dulu."
"Boleh, mau pacaran ya?" dia mengejekku. Nin dan semua teman sekolah ku, hampir semuanya tahu kalau aku memang mengagumi dan mencintai Kak Jafar, Kakak kelas kami dulu. Namun, karena masih sekolah aku menahan diri untuk tidak bilang, ibu bisa marah kalau tahu aku pacaran sebelum lulus.
Makanya, setelah Lulus SMA satu bulan yang lalu kini aku memberanikan diri untuk menemui Kak Jafar.
"Kalau sekarang belum," ujarku. "Tapi sebentar lagi, doakan ya."
"Oke, semangat. Aku yakin besok sudah beda status, tidak jomblo lagi."
Aku pun berharap demikian.
Aku masuk ke dalam balai desa dengan susah payah karena harus menerobos orang-orang yang sibuk berjoget. Sampai dipojok ruangan, satu-satunya tempat yang kemungkinan ada Kak Jafar. Kuputar gagang pintu, rupanya tidak terkunci. Aku segera masuk. Mataku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap inci ruangan yang mengerikan, hanya diterangi cahaya remang.
"Mana lampunya?"
"Sepertinya tidak ada." Kataku pasrah.
Sambil berjalan pelan, kuseru memanggil nama: "Kak? Kak Jafar?"
"Kakak ada di dalam sini tidak?"
Pada detik berikutnya, setiap panca indraku seolah tertutup begitu sebuah telapak tangan membekap mulutku dari belakang.
Dari ukuran tangannya, aku yakin kalau ini bukanlah tangan perempuan melainkan tangan seorang pria dewasa. Tapi siapa? Apakah Kak Jafar?
"Jangan bergerak!" Lelaki itu mencengkramku selagi berteriak. Sementara pikiranku mulai kacau karena ini bukanlah suara milik Kak jafar. Suara orang ini jauh lebih berat, lebih dewasa dari kisaran usia kami.
"Kamu siapa?" Kataku memberontak walau sebenarnya takut setengah mati.
"Jadi kamu yang mau menjebakku? Dasar orang kampung!"
Lelaki itu marah sambil menghembuskan napas di telingaku, sementara aku tidak mengerti sama sekali yang dia katakan.
"Bukan!" sergahku. "Aku tidak tahu apa-apa! Aku tidak tahu kamu siapa, aku kemari cuma mau cari Kak Jafar."
Lelaki itu tiba-tiba mendorongku ke lantai. Dia menimpa tubuhku, sementara aku terbaring di bawahnya, memberontak dan ketakutan. Dia menutupi tubuhku dengan tubuhnya, dan kedua tanganku terkunci oleh cengkeraman tangannya yang kuat. Aku terus berteriak, berharap seseorang datang menolongku dari pria buas yang gila ini dan dia menyuruhku agar tetap diam, berharap itu berhasil membungkamku.
Mataku terbelalak karena shock saat sedang memandang lelaki ini, tak ada yang bisa ku saksikan dengan jelas karena cahaya ruangan yang remang bahkan sangat gelap. Dadaku naik turun seiring napas yang memburu, kurasakan tekanan tubuh pria itu pada tubuhku.
"Jangan bersuara. Tetap di sini."dia memerintahku lagi.
Dan aku tidak terbiasa dengan perbuatan semacam ini.
"Aku tidak kenal kamu. Aku sedang mencari seseorang di sini. Demi Tuhan aku tidak ada urusan apa pun denganmu." Suaraku terdengar semakin tinggi seiring setiap kata yang keluar. Rasa takut seolah mengambil alih segalanya. Aku yakin lelaki ini pun bisa melihatnya di mataku, dan merasakan ketegangan mendadak yang mencengkeram tubuhku.
"Diam!" Dia berkata tegas.
"Tidak. Menyingkirlah dariku. Kamu harus menyingkir. Aku harus keluar dari sini, aku harus menemui seseorang---"
Tiba-tiba lelaki itu mencivmku. Seakan itu adalah cara paling jitu untuk membungkam. Mulutnya menyentuh mulutku, dan sesuatu yang seharusnya menjadi sederhana untuk menyelesaikan masalah, dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang sangat berbeda.
Selagi aku berusaha melepaskan diri, tangan lelaki itu mencengkeramku dengan kekuatan sepuluh kali lipat lebih kuat dari kekuatan yang kumiliki. Dia sama sekali tak memberikan ku ruang untuk mundur, dia menuntut untuk memeluk ku lebih erat, lebih kuat. Sementara mulutnya, masih sibuk mencumbv yang seharusnya bukan diperuntukkan untuknya. Aku benci mengatakan ini, tetapi lelaki itu seolah ingin mengambil sesuatu yang lebih dari ku.
Tubuh lelaki itu tegang karena gairah dan hasrat. Dan saat aku berusaha mengamatinya, mata gelap miliknya memancarkan sinar keperakan yang mengisyaratkan kebutuhannya terhadapku.
Aku tak memiliki kemampuan lagi untuk melawan, setelah pria itu kembali mendaratkan civmannya di bibirku. Tangan lelaki itu menyusup ke balik baju yang kukenakan, membelai setiap inci kulit ku yang tidak seharusnya dia sentuh. Napasku kian tersengal, saat dia perlahan-lahan mulai berkuasa.
Kemudian seluruh pikiranku terhenti. Semua usahaku menghilang selagi tubuhku akhirnya menyerah pada sentuhan seorang lelaki yang sama sekali tidak aku kenal. Dengan lihai dan dalam sekejap, dia melucuti pakaian miliknya dan menyentuhku di atas tumpukan seprai sutra biru. Meski sekali lagi aku mencoba memberontak dan melepaskan diri, namun lelaki ini jauh menahanku lebih kuat.
Dia menikati duniaku, sementara aku hanya bisa memandang tato harimau hitam di dadanya, gambar yang kuingat telah membelenggu hidupku dalam kesuraman. Dia menikmati kehalusan kain sutera, memuaskan hasrat sensvalnya serta memuaskan kilatan api di mata keperakannya.
Kuhela napas dan membiarkan tatapanku menjelajahi tiap inci tubuh lelaki itu. Sepertinya dia sudah siap untuk hal itu lagi, dan aku gemetar penuh harap agar dia mau membebaskan ku. Tetapi, dia menahanku seolah menginginkan milik wanita melebihi apa pun.
Tak ada seorangpun yang mendengar teriakanku, dan tak ada seorangpun yang masuk ke dalam. Nampaknya perayaan di luar memang sangat menyenangkan....
Malam ini, aku gagal menyatakan cinta pada Kak Jafar. Bukan hanya malam ini, kupikir. Melainkan untuk selamanya aku tak akan pernah bisa menyatakan cinta pada lelaki yang kupuja, sebab hari ini, seorang pria telah datang merenggut dunia ku secara paksa...
"Dasar anak tidak berguna! Kamu bikin malu Ibu, Julia!"
Suara seseorang menghampiri telingaku.
Aku bangun dengan mata pedih, kulihat beberapa orang berkumpul di depan ku. Mereka saling berbisik dan bercengkerama dengan teman-temannya. Rasanya aku mengenal mereka semua. Bukankah mereka semua adalah orang-orang sekampung? Lalu di hadapanku, aku memandangnya lebih cermat. Ibu.
Aku menangkap pandangan matanya yang tajam dan hitam menyerupai warna temaram buah terung yang matang. Auranya terpantul, pada caranya menatapku, Ibu memang pemarah, tapi kali ini dia seolah ingin menelan.
"Cepat benarkan pakaianmu! Kita bicarakan semua di rumah."
Aku segera menelaah perintah Ibu dan terkejut bukan main saat melihat keadaan ku yang sekarang, baru kuingat aku telah di perk0sa seorang pria yang tak ku kenal. Lalu, orang-orang ini ... Apakah berarti mereka tengah memberikan penilaian padaku? Aku tak tahu yang pasti aku malu, apalagi Ibu.
Semua orang menatapku. Oh, betapa malu dan hinanya aku, mereka semua tahu ada seseorang yang telah menghabiskan malam bersamaku dan dia mencuri semua, sementara orang-orang ini menyaksikan penampilan ku yang berbeda dari biasanya. Aku beranjak dari tempat ku terbaring, ibu lekas mencengkeram tanganku dan menarikku keluar dengan kasar.
"Bu, demi Tuhan Julia tidak seperti yang ibu bayangkan." Aku berusaha membela diri, tapi ibu enggan mendengarkan, dia cuma sibuk menyeretku untuk secepatnya sampai rumah.
"Ibu, Julia minta maaf. Tolong Julia, Bu, Julia cuma korban."
"Diam!" Ujarnya setelah mendorongku ke lantai ruang depan, Ibu lantas mengunci pintu rumah rapat-rapat. "Kamu benar-benar buat Ibu malu Julia! Kamu tidak ingat Ibumu ini janda? Waktu Bapak kamu lebih milih minggat sama perempuan seberang, semua orang di ladang mandang ibu itu seperti sampah, seolah isi keluarga kita ini memang aibnya desa. Ditambah sekarang anak ibu satu-satunya malah kumpul kebo di balai desa! Ibu sudah tidak punya muka untuk ketemu orang kampung, Julia!"
Kuraih kaki Ibu, ku peluk sambil memohon agar beliau mau memahami situasi. "Sumpah, Bu sumpah. Julia bukan kumpul kebo, Julia ini korban, Bu."
"Korban apanya? Nin yang ngomong ke Ibu kalau kamu memang sengaja masuk ke dalam sana untuk cari laki-laki!"
Kami saling berpandangan, Ibu menahan air matanya. Aku tahu saat itu Ibu jauh lebih terluka dibanding aku, tetapi nasi telah menjadi bubur.
"Bu, Julia memang masuk ke dalam sana untuk cari Kak Jafar. Tapi Julia tidak tahu kalau ada orang lain di sana ..."
"Julia..aa...aa!!" Ibu meringis frustasi, kakinya menghempas tubuh ku dan Ibu memilih duduk di kursi tamu.
"Ibu sudah bilang ke kamu, jangan pernah dekati laki-laki! Jangan dulu pacar-pacaran, kamu tidak pernah mau nurut omongan Ibumu ini. Mending kamu pergi saja, cari bapak dan ikut saja dia! Kalian tidak ada bedanya, sama-sama tidak bisa jaga harga diri dan martabat keluarga!" lanjutnya.
Hatiku pedih sekali, mendapati kata-kata ibu yang begitu mengiris. Memang, setiap aku berbuat kesalahan Ibu pasti akan bawa-bawa nama bapak bedanya sekarang Ibu ngomong sambil menangis. Ibu yang selalu pandai menyimpan air matanya, kali ini nampaknya sudah tak bisa diam-diam.
"Siapa laki-laki yang melakukan itu?" Ibu mengusap wajahnya kasar, sambil memandangku tajam. "Kita temui sekarang, biar kamu langsung nikah saja."
Sayangnya itu bukanlah pertanyaan yang mudah, sebab aku sendiri tak tahu jawabannya. "Julia tidak tahu siapa orangnya, Bu. Ruangan itu gelap, Julia tidak bisa lihat jelas."
Ibu hanya menghela napas berat tanpa menjawab apa pun, dia meninggalkan aku di ruang depan sendirian dan pergi masuk mengunci diri ke kamar.
Semua terjadi sangat cepat dan aku tahu sejak kejadian malam itu, dunia ku dan Ibu tidak sedang baik-baik saja, sampai akhirnya aku mendapati diriku hamil dan mengandung anak dari lelaki yang sama sekali tak kukenali.
"Kali ini kamu nurut sama Ibu, jangan pernah keluar rumah sampai anak itu lahir. Kamu ingat kan kalau bukan karena kamu meninggalkan rumah dan tidak nurut omongan, kamu tidak mungkin di perk0sa dan hamil anak yang tidak jelas bapaknya siapa!"
Nyaris setiap hari Ibu selalu mengulangi kalimat itu, sementara aku cuma bisa pasrah dan menuruti segala kata dan perintahnya. Agar tidak ada kesialan yang sama, katanya.
Sembilan bulan kulalui dan memang harus kuakui, pikirku, banyak yang sudah berubah sejak aku mengandung. Meski ibu memperlakukan ku acuh tak acuh dan warga kampung yang selalu melirik tiap saat lewat depan rumah kami, tak serta merta menjatuhkan hatiku untuk terus terpuruk atau bahkan tidak mau menerima kehadiran seorang anak.
Pada bulan ke-sembilan kehamilan, tepat jam 3 subuh aku akhirnya melahirkan. Ibu tidak mengizinkan ku lahiran di puskesmas, tapi Ibu cuma mendatangkan Nek Irah dari kampung sebelah. Nek Irah sendiri bukanlah tenaga medis ahli, beliau cuma dikenal sebagai dvkun beranak yang sering bantu orang-orang kalau mau lahiran.
"Bu, anak Julia mana? Boleh Julia lihat wajahnya, Bu?" kataku dengan napas terengah-engah saat anak ku akhirnya berhasil keluar.
Aku bisa mendengar tangisnya, lega dan bahagia. Mungkin saat aku lahir dulu juga begitu ya, pikirku. Ibu dan Bapak juga senang karenanya.
"Sabar, biar Ibu dan Nek Irah basuh anak kamu dulu." Kata Ibu, dia langsung bergegas ke belakang mengikuti Nek Irah yang sudah pergi lebih dulu membawa anak ku.
Lalu sekitar 5 menit setelah Ibu pergi, rupanya Nek Irah malah kembali. Kupikir dia kembali sambil membawa anak ku.
Ternyata, salah.
Nek Irah malah seperti orang yang ketakutan, dia gelisah dan panik. Buatku jadi bertanya-tanya.
"Nek? Nenek baik-baik saja? Anak Julia mana?" kataku sambil berusaha tersenyum.
Tapi Nek Irah bukannya menjawab pertanyaan ku, beliau cuma pamit dan langsung meninggalkan rumah kami.
"Tanya Ibumu langsung saja, dia yang urus. Nenek mau pulang, takut nanti ada yang mau lahiran lagi."
Kini, hanya aku tersisa sendirian lagi di kamar sembari menunggu Ibu untuk datang. Demikianlah kemudian, selang setengah jam mungkin, Ibu akhirnya kembali. Kupikir ia kembali sambil membawa anak ku.
Ternyata, aku salah lagi.
Ibu cuma datang seorang diri.
"Bu, anak Julia mana? Kenapa tadi Nek Irah langsung cepat-cepat pulang?" pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya.
"Maaf ya, Jul. Nek Irah bilang anak kamu telan air ketuban jadi kesulitan bernapas. Cuma bertahan beberapa menit saja sejak kamu lahirkan." Jawab Ibu dengan nada lesu.
Aku ternganga, "Maksud Ibu apa?"
"Ya anak mu sudah tidak ada, Jul. Dia langsung kembali ke Tuhan."
"Ibu bohong kan? Julia mau lihat anaknya Julia, Bu! Mana anaknya Julia?"
Aku lantas berusaha bangun dari kasur, tapi Ibu langsung menghalangi sambil terus meyakinkan ku kalau yang dia katakan bukanlah sekedar menakutiku melainkan fakta yang benar adanya.
"Anak kamu sudah tidak ada Julia, Ibu dan Mang Koes yang kubur langsung tadi."
"Terus kenapa Nek Irah tadi tidak langsung bilang ke Julia kalau anaknya Julia sudah tidak ada, Bu?" tanyaku lagi.
"Mungkin karena Nek Irah takut kalau kamu tahu, kamu akan menyalahkan dia." Jawab Ibu.
Kesakitan yang sesungguhnya melampaui saat lelaki itu merenggut hidupku, melainkan saat aku sendiri tak mampu melihat wajah anak yang ku lahirkan beberapa menit yang lalu, cuma yang aku tahu dari ibu kalau anakku adalah dara (anak perempuan).
3 tahun kemudian, aku memilih meninggalkan kampung dan bekerja di kota sebagai petugas kebersihan di salah satu universitas.
Di sana aku mendapatkan banyak pengalaman, terutama bagaimana gemilangnya orang-orang. Mahasiswa dan Mahasiswi yang usianya hampir sama dengan usiaku yang sekarang, 22 tahun.
Kehidupan yang baru aku jumpai dengan orang-orang yang sepuluh kali lipat berbeda dari orang di kampung ku. Salah satunya adalah seorang dosen di sana, profesor yang terkenal tampan tapi garang; Pak Bima.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!