NovelToon NovelToon

Kemanapun Aku Pergi, Aku Akan Tetap Kembali Kepadamu

Pemuas Keinginan

"Sekali lagi aku bilang mas. Aku mau kita cerai."

Pria yang duduk tidak jauh posisinya dari orang yang mengucapkan kalimat tersebut, kembali menghela napasnya dengan berat. Sudah tak terhitung berapa kali kalimat itu terdengar olehnya, namun sudah tak terhitung berapa kali pula dia menganggap kalimat itu hanya angin lalu.

"Apa nggak bisa dibicarakan baik-baik, Vin?"

Wanita yang bernama Vina itu menggelengkan kepalanya. "Buat apa lagi kita bicarakan baik-baik mas? Kalo ujung-ujungnya aku selalu meminta hal ini ke kamu. Aku udah muak dengan semuanya."

"Tapi apakah aku langsung nurutin permintaanmu? Nggak kan? Aku nggak akan semudah itu lepasin kamu".

"Kenapa harus begitu sih, mas?!" Nada bicara Vina semakin meninggi, menandakan wanita itu mulai tak mampu mengendalikan emosinya. "Kenapa mas nggak semudah itu ngelepasin aku. Padahal selama ini aku udah nunjukin ke kamu, kalo aku emang nggak mau hidup sama kamu."

"Bagaimana pun perilaku kamu selama ini, sama sekali nggak bikin aku nyerah buat perjuangin kamu dan rumah tangga kita, Vin."

Bukannya terharu dengan ucapan pria yang bernama Gevan itu, Vina malah terkekeh. Seakan-akan setiap kata yang diucapkan Gevan hanyalah lelucon semata. "Buat apa mas perjuangin semuanya? Itu hanya akan sia-sia buat kita berdua. Nggak ada alasan lagi, buat kita perjuangin ini semua."

"Ada," Gevan dengan cepat menyela. "Alasan terbesarku buat perjuangin ini semua, karena aku sangat mencintaimu dan juga anak-anak. Aku dengan sepenuh hati mencintai-"

"Tapi aku nggak mas," kalimat itu spontan keluar dari mulut Vina tanpa rasa ragu sedikit pun.

Gevan tak mampu lagi melanjutkan, dia hanya terdiam membeku. Besar kemungkinan Gevan tahu jika wanita di hadapannya ini tidak memiliki perasaan yang sama persis seperti perasannya. Tetapi dia pun tidak menyangka Vina akan berucap seperti itu, dan rasa sakit yang ditimbulkan dari ucapan tersebut sangat menusuk ke ulu hatinya. Tidak cukupkah perjuangan yang dilakukannya selama ini dapat meluluhkan hati wanita tersebut? Sepertinya tidak cukup, pikir Gevan.

"Kalo benar begitu, lalu apa arti anak-anak kita bagimu?"

Vina mengedikkan kedua bahunya santai. "Tidak lain hanya untuk pemuas keinginan kedua orang tuaku mas."

Lagi. Ucapan Vina kembali mengiris hati Gevan. Hanya untuk pemuas keinginan kedua orang tuanya? Semudah itu kah dia mengucapkan kalimat tersebut? Gevan tak habis pikir dengan cara berpikir Vina.

"Bukannya kamu tau sendiri mas. Kalo orang tuaku, terutama ayahku, pengen punya penerus buat perusahaannya. Jadi hadirlah mereka, buat muasin keinginan ayahku," sambung Vina tanpa merasa bersalah. "Lagian kalo bukan karena itu, aku nggak akan mau punya anak sama kamu."

Hati Gevan mulai memanas, bahkan kepalanya pun ikut memanas. Awalnya Gevan ingin menyelesaikan perdebatan ini dengan kepala dingin, tetapi setelah mendengarkan ucapan Vina yang sudah cukup keterlaluan, Gevan tak mampu menahannya lagi. Setidaknya jika Vina benar-benar tidak bisa mencintai dirinya, anak-anak mereka tetap harus mendapatkan kasih sayang dan cinta dari wanita tersebut.

"Sudahlah mas. Keputusanku udah bulat, besok aku akan bawa surat cerai kita dan kamu harus tandatangani surat itu," Vina pun bangkit dari kursi.

"Tunggu Vin."

Baru saja Vina hendak melangkahkan kakinya, tangannya pun dicekal oleh Gevan. Wanita itu pun menoleh dengan hembusan napas berat. "Apalagi mas?"

"Apa kamu benar-benar udah yakin dengan keputusanmu ini?"

"Iya mas, aku udah sepenuhnya yakin dengan keputusanku ini. Kita lebih baik cerai, daripada harus memaksa buat bersama."

"Kalo kamu pergi dari sini, kamu bakal pergi ke mana? Ada tempat tujuan? Kalo belum ada, aku bakal bantuin kamu buat yang terakhir kalinya," Gevan mengucapkan kalimat tersebut dengan tatapan yang begitu tulus kepada Vina.

Vina menggelengkan kepala dan perlahan melepas cekalan tangan Gevan. "Nggak usah mas, terima kasih. Mas Pandu udah nungguin, dan siap bantuin aku."

Mendengar nama pria lain yang disebut oleh Vina, seketika Gevan mengerjapkan kedua matanya. Nama itu terdengar familier di telinganya, bukankah itu mantan kekasihnya Vina dahulu?

"Tunggu dulu. Jangan bilang kalo kamu masih berhubungan dengan pria itu?"

Menganggukkan kepalanya, kemudian Vina menyerahkan ponselnya kepada Gevan.

Setelah ponsel itu berada digenggamannya, Gevan satu persatu menggulir foto-foto yang berada di dalam galeri. Setiap satu foto yang dia geser, menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Bagaimana tidak, objek saat ini yang sedang Gevan lihat adalah foto-foto kebersamaannya Vina dengan Pandu. Kemudian tiba saat di mana napasnya tercekat, jantungnya seakan-akan berhenti berdetak pada detik itu juga. Gevan melihat, di foto tersebut Vina yang tersenyum lebar seraya memegang alat tes kehamilan dengan garis dua yang tercetak jelas. Di samping wanita tersebut, ada Pandu yang tersenyum tak kalah lebarnya.

"Vina, kamu?" Gevan meletakkan ponsel itu ke atas meja, kemudian menatap Vina yang tengah mengusap-usap perutnya yang terlihat sedikit membuncit dari biasanya.

"Aku nggak tau pasti umurnya, tapi benar mas. Di sini," Vina mengusap perutnya dengan gerakan naik turun. "Ada anak mas Pandu di dalamnya, dan anak ini sangat aku cintai. Begitu juga dengan mas Pandu yang mencintaiku dan anak ini."

BRAAK

"Vina, ini semua udah keterlaluan!"

...******...

"Mama, papa. Lauren pulang!" Teriakan keras itu berasal dari seorang gadis yang baru saja menutup pintu dengan raut wajah yang begitu riang.

Di belakangnya, ada sosok anak laki-laki yang terkekeh melihat tingkahnya itu.

"Nggak usah teriak-teriak juga kali, dek. Mama sama papa bakal tau kok, kalo kamu udah pulang."

Lauren Winata. Gadis yang memiliki lesung di kedua pipinya itu tersenyum cengengesan. "Lauren kan lagi semangat banget bang, wajar aja lah."

"Iya deh, iya," anak laki-laki itu tertawa, Geovanno Winata namanya. Kakak kandungnya Lauren yang 2 tahun lebih tua dari gadis tersebut. "Mentang-mentang juara satu dikelas, jadinya semangat banget ya."

"Harus dong bang, harus semangat. Karena Lauren bisa pertahanin prestasi Lauren sebelumnya. Dengan begitu, mama papa bakal bangga sama Lauren."

Kedua sudut bibir Geo refleks tertarik, membentuk senyuman. Siapa coba yang tidak tahan untuk tidak tersenyum, saat melihat tingkah adik perempuannya yang begitu menggemaskan itu. Ditambah lagi, kedua lesung pipi itu tercetak jelas saat gadis tersebut tersenyum. Hal itu membuat Geo hampir menjatuhkan jantungnya karena tak kuat.

Setelah itu, Lauren mengalihkan pandangannya dari Geo. Celingak-celinguk, seperti tengah mencari sesuatu. "Ngomong-ngomong, mama sama papa kok nggak keliatan ya dari tadi?"

"Benar juga kata kamu," Geo mengiyakan ucapan Lauren. Biasanya jika mereka pulang sekolah, hal pertama kali yang mereka lihat adalah kehadiran Vina di ruang keluarga. Tetapi kali ini, wanita yang mereka panggil mama itu pun tidak terlihat sama sekali. "Mungkin mereka lagi di kamar kali, dek," ucap Geo kemudian dengan asal.

"Bisa jadi sih, bang," Lauren menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Kalo gitu, kita susul aja mereka ke ka-"

"Sebaiknya kamu cepat pergi dari rumah ini Vina!!"

"Tanpa kamu suruh, aku juga bakal cepat-cepat pergi dari rumah yang cuma bisa bikin aku sengsara ini mas!!"

Tak disangka-sangka, dari arah dapur terdengar percakapan yang begitu keras. Sepertinya bukan percakapan biasa, melainkan perdebatan yang mengikut sertakan emosi yang memuncak di dalamnya. Hal itu membuat kakak beradik yang masih berdiri di depan pintu, hanya bisa saling memandang satu sama lain.

"Bukannya itu suara mama sama papa ya, bang?"

"Iya, benar banget dek."

"Kenapa mereka tiba-tiba bertengkar begitu?"

Geo hanya bisa mengedikkan kedua bahunya, tak mampu menjawab pertanyaan Lauren. Bahkan dirinya pun tak tahu penyebab kedua orang tuanya seperti itu, sebab ini pertama kalinya dia mendengar keributan yang ditimbulkan dari kedua orang tersebut.

Mama Pergi

"Tanpa kamu suruh, aku juga bakal cepat-cepat pergi dari rumah yang cuma bisa bikin aku sengsara ini mas!!"

Tak lama setelah itu, Vina berjalan dari arah dapur sambil menyeret dua koper besar bersamanya. Rupanya dia memang benar-benar sudah menyiapkan segalanya untuk segera pergi dari rumah itu.

"Aku harap, kamu nggak bakal pernah kembali lagi ke rumah ini," Gevan menyusul dari arah belakang, seraya berucap demikian dengan kilatan emosi di kedua bola matanya.

Wanita itu menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Gevan sebentar. "Sesuai permintaanmu mas. Aku bahkan bersumpah, nggak bakal mau balik ke rumah ini. Bagaimana pun keadaanku nanti, aku bersumpah!!"

"Ma, pa. Ada apa dengan kalian, kenapa jadi ribut-ribut begini? Nggak seperti biasanya."

Geo yang kebingungan atas keributan itu akhirnya berani membuka suaranya, memecah ketegangan di antara kedua orang tuanya. Sedangkan Lauren, gadis itu hanya bisa diam membeku seraya berdiri di belakang Geo. Sungguh, gadis yang masih berumur 14 tahun itu sama sekali tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi di hadapannya sekarang.

Vina beralih menghadap Geo, kemudian mendekati anak laki-laki tersebut. "Kamu bertanya ada apa dengan kami? Nggak seperti biasanya? Memangnya seperti apa biasanya kami menurutmu?"

Geo tak mampu menjawab pertanyaan wanita yang biasa dia panggil mama itu. Entah kenapa, dia merasa wanita di hadapannya itu seperti bukan wanita yang selama ini dia kenal. Seperti wanita itu baru saja membuka sikap aslinya yang selama ini disembunyikannya di balik topeng.

"Tanpa kalian tau, apa yang selama ini kalian lihat itu hanyalah pencitraan. Terutama untukku yang seumur hidup nggak bakal bisa mencintai pria itu," Vina menunjuk ke arah di mana Gevan berada tanpa mengalihkan pandangannya dari Geo. "Dan juga kalian."

Lagi. Geo hanya mampu terdiam, namun kali ini hatinya seakan-akan dihujani ribuan anak panah. Baru kali ini dia merasakan sakit yang teramat sangat sakit, dan rasa sakit itu ditimbulkan oleh sosok yang selama ini dia hormati dan sayangi. Rasa sakit itu pun turut mempengaruhi emosi Geo, kini dia sudah menatap Vina dengan tatapan tajam.

"Cukup Vina, berhenti bicara omong-kosong. Cepat keluar dari rumah ini!" Gevan kembali bersuara seraya berjalan mendekati ketiga orang yang berdiri di dekat pintu. Mau tidak mau Gevan harus bergegas menyuruh Vina keluar dari rumah, sebab dia tidak ingin kedua anaknya mendengar setiap ucapan Vina yang dapat menyerang mental tersebut.

"Sebentar, mas. Apa aku nggak boleh pamitan dengan kedua anakku sendiri?"

"Apa-apaan kamu, masih berani menyebut mereka anakmu?"

"Lalu dengan sebutan apa aku harus menyebut mereka, mas. Bukankah mereka anak kita berdua?" entah apa yang ada di dalam pikiran Vina sekarang, wanita itu tersenyum miring setelah berucap seperti itu.

"Sudahlah. Kamu udah banyak ngucapin omong kosong. Aku muak, Vin," Gevan yang sudah lelah menghadapi tingkah laku Vina, dengan gerakan cepat mencengkram pergelangan tangan Vina, bermaksud agar wanita tersebut cepat-cepat pergi dari rumah sekarang.

Namun saat baru saja Gevan ingin menarik Vina. Geo yang berada di sampingnya menghentikan tindakannya itu, lalu perlahan melepaskan cengkraman tangannya. Alhasil Gevan hanya bisa menatap Geo dengan tatapan heran, tanpa mampu bertanya kenapa anaknya itu bertindak demikian.

"Tuh, Geo aja nggak ngelarang aku buat pamitan sama dia."

Tidak berniat menanggapi ucapan Vina, Gevan hanya mendengus napas kesal.

"Mama mau ngomong apa?"

"Nggak banyak-banyak sih," Vina mengedikkan kedua bahunya tak acuh. "Aku cuma mau bilang. Besok, setelah urusanku selesai. Aku bakal bebas, dan nggak akan lagi ngehadapin kalian semua," wanita itu tersenyum dengan bangga, seraya menepuk-nepuk bahu sebelah kiri Geo. Tak lupa dia juga melirik gadis yang bersembunyi di belakang anak laki-laki tersebut. "Kalian tenang aja, aku nggak akan repot-repot ngurusin hak asuh kalian. Karena kalian bakal aku serahin sepenuhnya ke mas Gevan. Selamat buat kalian, bisa hidup enak dan nikmatin warisan almarhum ayah aku".

Mendengar ocehan Vina, Geo mengepalkan kedua tangannya. Kenapa bisa wanita tersebut dengan mudah mengucapkan setiap bait kata itu tanpa merasa ragu dan bersalah. Apakah ini benar-benar wujud sebenarnya dari wanita tersebut?

"Udah cukup omong kosongnya?" Tanya Gevan yang rupanya sudah membuka pintu. "Sekarang cepat pergi dari rumah ini. Aku mohon!"

"Dengan senang hati, mas. Nggak usah repot-repot sampai kamu memohon gitu," Vina terkekeh kecil dan kembali melangkahkan kakinya. Namun baru beberapa langkah, dia tiba-tiba berhenti. Sebab Vina merasakan sebuah tarikan di tangan sebelah kirinya.

"Mama jangan pergi," rupanya si kecil Lauren lah yang menarik tangannya Vina. "Lauren mohon, mama jangan pergi."

"Lepasin tangan aku!"

Lauren menggelengkan kepalanya. "Lauren mohon, jangan pergi. Lauren nggak mau kehilangan mama," seraya memohon gadis itu terus menggelengkan kepalanya. Air mata yang mengalir dari kedua matanya sudah tak terbendung lagi.

"Aku bilang lepasin!" Dengan kasar, Vina menarik tangannya. Akibatnya Lauren sedikit terhuyung ke depan, untungnya ada Geo yang dengan cepat menahan tubuh adiknya tersebut. "Dasar anak tidak berguna."

"Vina. Jaga omongan kamu!!"

Seketika Vina terlonjak kaget akibat suara keras Gevan. Bukan hanya Vina, Geo dan Lauren pun ikut terkejut. Sangat jarang bagi mereka mendengar Gevan bersuara sekeras itu.

"Aku mohon sekali lagi sama kamu, Vina. Cepat keluar dari rumah ini!" Setelah itu, Gevan menatap anak laki-lakinya. "Geo, cepat bawa adik kamu ke kamarnya. Sekarang juga!"

Tanpa ragu, Geo menganggukkan kepalanya dan perlahan menarik tubuh Lauren. "Kita ke kamar ya, dek."

Namun tidak semudah itu, Lauren malah memberontak dan semakin menangis keras. "Lauren nggak mau bang. Lauren mau cegah mama, biar mama nggak pergi".

"Nggak bisa, dek."

"Apanya yang nggak bisa bang? Kita masih bisa kok, cegah mama biar nggak pergi." Lauren semakin memberontak saat melihat Vina yang benar-benar sudah melangkah keluar, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang untuk melihatnya. "Memangnya abang mau mama pergi begitu aja!!"

"Nggak mau, dek. Abang juga nggak mau sampai mama pergi. Tapi bagaimana lagi, nyatanya selama ini mama nggak sayang sama kita, dan milih buat pergi ninggalin kita."

Ingin rasanya Geo ikut memberontak sambil mengucapkan semua kalimat tersebut. Tapi itu semata-mata hanya keinginannya Geo, semua kalimat tersebut hanya tercekat di tenggorokannya. Sebagai kakak laki-laki yang harus melindungi adik perempuannya, untuk sekarang dia harus tetap kuat. Bersikap seakan-akan dia tidak mempedulikan tindakan ibunya saat ini, dan memilih untuk lebih fokus kepada Lauren saja.

"Biarkan mama pergi, dek. Karena itu udah pilihannya buat pergi ninggalin kita," setelah berucap demikian, Geo mengangkat tubuh Lauren dan dengan paksa membawa adiknya itu naik ke lantai atas menuju kamarnya.

"Nggak mau, bang. Lauren nggak mau. Lauren nggak mau mama pergi!!" Lauren berusaha memberontak seraya menangis dengan keras. Namun itu semua sia-sia, karena sejatinya Geo lebih kuat darinya. "Mama jangan pergi!!" Gadis tersebut terus berteriak, seraya menatap punggung Vina yang sudah menjauh dan menghilang di balik pintu.

"Geo, Lauren, ayah minta maaf," setelah tak lagi melihat Geo dan Lauren di tangga, Gevan tak dapat lagi menahan tubuhnya. Pria itu menjatuhkan tubuhnya dengan perlahan, duduk bersandar di pintu. "Maafin ayah, karena udah nggak bisa mempertahankan keluarga kecil kita."

Kebahagiaan yang Masih Tersisa

6 tahun kemudian

Setelah melewati masa tidurnya, matahari perlahan memunculkan cahayanya menerangi bumi. Sungguh sangat cerah pagi ini, disertai dengan kicauan burung yang bernyanyi. Seolah-olah mereka menyambut kemunculan matahari dengan begitu gembira.

Cahaya matahari menyusup masuk ke sela-sela jendela yang kain penutupnya tidak tertutup dengan benar, mengakibatkan seorang gadis yang masih terlelap sedikit terusik akan cahaya tersebut. Cahaya itu begitu menyilaukan baginya, tapi dia sendiri terlalu malas bangun hanya untuk membenarkan tirai jendelanya. Akhirnya dia memilih berbalik dan menutup kepalanya dengan selimut, jadi sekarang tubuh gadis itu sudah sepenuhnya tertutupi selimut.

Tok tok tok

"Kebo, bangun. Sarapan dulu kata papa!"

Terdengar suara ketukan dan suara seorang laki-laki dari arah pintu kamar. Tetapi sang empu kamar sama sekali tidak menghiraukan panggilan tersebut dan masih senantiasa melanjutkan mimpinya yang sepertinya sangat indah.

Tok tok tok

Lagi, orang itu kembali mengetuk pintu kamar. Namun ketukan kali ini lebih keras dari sebelumnya.

"Lo kalo nggak buka pintu ini, gue terpaksa masuk kamar lo."

Jika sedang berada di hutan, mungkin suara yang selanjutnya terdengar hanyalah suara jangkrik. Sebab tak ada sahutan sama sekali dari sang empu kamar, membuat orang yang berdiri di balik pintu mendecak sebal.

Walaupun ini sudah menjadi rutinitasnya hampir setiap hari untuk membangunkan gadis itu. Tapi tetap saja, dia tidak dapat menahan kekesalannya karena manusia yang satu ini sangat sulit untuk dibangunkan dari tidurnya. Dia jadi bertanya-tanya, apakah orang ini adalah wujud putri tidur di dunia nyata?

Klek

Tanpa berbasa-basi lagi, laki-laki itu membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. Hal pertama yang dia lihat adalah seonggok tubuh yang tertutup oleh selimut dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bisa dibilang seperti, seekor kepompong yang sedang bermetamorfosis untuk menjadi seekor kupu-kupu.

Laki-laki itu hanya menatap datar fenomena dihadapannya sekarang. Kemudian menatap ke arah jendela yang tirainya tidak tertutup dengan benar, senyuman miring pun tercetak di wajahnya.

"Bangun woy!" setelah mengucapkan kalimat tersebut, laki-laki itu pun membuka tirai dengan gerakan cepat. Alhasil cahaya matahari sudah sepenuhnya masuk ke dalam kamar gadis yang belum bergerak sama sekali dari posisinya.

Tak cukup sampai di situ, laki-laki itu mendekati gadis tersebut dan menarik paksa selimutnya. "Jangan sampai-"

"Iya iya, gue bangun. Berisik amat, sih. Masih pagi juga."

"Ya siapa suruh, lo susah banget buat dibangunin." Laki-laki itu mengambil boneka koala yang berada di dekatnya, kemudian melemparnya ke arah gadis itu. "Lauren Winata."

"Bacot lo, Geovanno Winata," dari balik selimutnya Lauren mengeluarkan tangannya, mengacungkan jari tengah ke arah suara Geo berasal.

Yap. Gadis yang saat ini masih dipeluk erat oleh selimutnya itu adalah Lauren Winata, gadis itu sudah genap berumur 20 tahun. Lalu laki-laki yang kesusahan untuk membangunkannya tadi tak lain adalah Geo. Laki-laki itu juga sudah tumbuh dewasa dengan wajah yang tampan dan tubuh tinggi.

Mungkin saat mereka masih kecil, keduanya saling menyayangi dan bersikap manis satu sama lain. Tetapi saat tumbuh dewasa bersama, kedua orang itu semakin sering bertengkar dan berdebat karena berbedanya pendapat. Namun itu hanyalah sifat alamiah yang terjadi di antara kakak beradik, rasa sayang di antara keduanya sama sekali tidak berkurang. Apalagi semenjak kejadian itu, keduanya berjanji akan selalu menyayangi dan menjaga satu sama lain. Agar tidak terulang kembali yang namanya kehilangan di dalam hidup mereka.

"Dah lah, cepetan bangun sana. Papa dah nunggu buat sarapan," tak disangka-sangka Geo menendang tubuh Lauren, tubuh yang masih terbungkus selimut itu pun suksee terjatuh dari tempat tidur.

"Sialan lo, bangs-"

"Eh. Ingat kata papa, di rumah nggak boleh ngomong kasar," ucap Geo seraya berjalan acuh tak acuh meninggalkan Lauren yang sedang berusaha keluar dari gulungan selimutnya sendiri.

"Sabar Ren, sabar. Punya abang kek dia emang harus sabar," setelah terlepas dari selimutnya Lauren beralih melipat selimutnya dengan rapi, tak lupa juga merapikan tempat tidurnya. "Tapi gue heran banget, anjir. Kalo di luaran atau di depan orang lain, sok cool banget tu orang. Lah pas sama gue, nyebelin dan cerewet banget."

"Ren, gue masih di sini loh."

Lauren semakin menghembuskan napasnya kesal. "Tau kok, gue emang sengaja biar lo dengar," gadis itu kemudian melempar asal boneka koala yang tadi dilemparkan Geo kepadanya. "Gue dah selesai," tak ingin menunggu laki-laki yang masih berdiri di depan kamarnya. Lauren melangkahkan kakinya dengan gontai, sesekali dia menguap karena rasa kantuk yang belum sepenuhnya hilang.

"Lo kuliah siang?" Tanya Geo yang mengekori Lauren dari belakang.

"Hmm," deheman tersebut menandakan gadis tersebut terlalu malas untuk menanggapi pertanyaan Geo.

"Pantes. Tidurnya kek kebo, kebiasaan."

"Bacot lo, monyet."

Ya, seperti itulah gambaran percakapan kedua kakak beradik itu sehari-harinya. Hampir tidak pernah lagi terdengar kata-kata manis yang keluar dari mulut mereka masing-masing. Jika tidak ejekan yang menyebalkan, maka kata kasar lah yang meluncur dengan bebasnya. Namun hanya Lauren saja yang sering keceplosan mengucapkan kata kasar, dan itu penyebabnya juga tak lain karena Geo. Coba saja kakak laki-lakinya itu tidak semenyebalkan sekarang, mungkin Lauren tetap akan menjadi seorang adik perempuan manis yang menggemaskan.

...*****...

"Selamat pagi, papa," Lauren mendekati Gevan dan tanpa ragu mencium pria tersebut.

Gevan tersenyum dan ikut mencium pipi Lauren sebagai balasan. "Selamat pagi juga, sayang."

"Cih, giliran papa dicium begitu," siapa lagi yang mencibir seperti itu selain Geo. Nampaknya laki-laki itu merasa iri, karena adiknya bersikap manis hanya kepada Gevan saja. Sedangkan kepadanya, Lauren selalu meluapkan emosinya dan melemparkan kata-kata kasar yang bertumpah-ruah.

"Iri bilang boss."

"Ya iyalah, gue iri. Lo nya nyium pa-"

Cup

"Noh, biar lo diem."

Tolong, siapa saja yang bersedia untuk membangunkan Geo sekarang. Apakah dia sedang bermimpi kalau Lauren baru saja mencium pipinya? Oh ayolah, saat ini Geo hanya bisa terdiam di tempat, seraya menatap adiknya itu terheran-heran.

Sedangkan Lauren hanya terkekeh kecil melihat reaksi kakaknya itu. Jauh di dalam hati kecilnya Lauren, dia sangat merindukan di mana dia bisa dengan sebebasnya mencium Geo. Hanya saja dirinya yang sekarang ditutupi gengsi yang besar, sebab itulah Lauren sangat jarang melakukan hal tersebut.

Kelakuan kakak beradik itu, tak luput dari pandangan Gevan yang masih sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka. Pria itu tersenyum, bersyukur atas kebahagiaan yang masih diberikan oleh Tuhan kepadanya. Walaupun kehilangan yang pernah menimpanya di masa lalu masih membekas, setidaknya Gevan masih memiliki dua orang berharga ini di dalam hidupnya. Jika suatu saat Gevan harus kembali kehilangan, maka dia akan merelakan segalanya terkecuali untuk dua orang ini. Sebab Lauren dan Geo lah yang selama ini menjadi alasan untuk dirinya bertahan hidup dan memulai kehidupan dari awal lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!