"Adibaaa!" teriakan seorang gadis berhijab putih menggema mengisi seluruh koridor, wajahnya mengarah ke kerumunan yang berada lumayan jauh dari jangkauannya.
"Adiba! Bu Indah manggil," teriaknya lagi tidak sabaran,.
"Iya, sebentar."
"Maaf ya, belajarnya kita akhiri dulu. Bu Indah memanggilku." Dengan suara sendu ia berucap, perasaan tidak enak timbul karena belajar bersama yang baru saja dimulai itu harus terhenti. Waktu Ujian pondok pesantren dan sekolah memang sebentar lagi dilaksanakan, karena itulah mereka sering melakukan kegiatan belajar bersama. Adiba Ahmad, tidak hanya memiliki paras cantik jelita, gadis berusia 21 tahun itu juga memiliki kecerdasan tinggi dan attide yang baik. Merupakatan paket komplit untuk dijadikan calon istri.
"Iya kak, tidak apa-apa," jawab mereka serempak. Menampilkan senyum terbaik guna menunjukan jika mereka tidak keberatan. Adiba membalas senyum kemudian bergegas menghampiri temannya, Aisyah.
"Ada Bu Indah memanggilku?" tanya Adiba dengan wajah yang nampak kebingungan, takut jika ia mempunyai kesalahan sampai membuatnya dipanggil.
"Katanya ada yang menjemputmu, coba aja lihat. Tadi Bu Indah berpesan menunggumu diruangannya."
"Benarkah?"
Wajah Adiba langsung, adegan dimana sang ayah datang dan memeluknya sukses menyita perhatian Adiba. sudah lama sekali ayah tidak mengunjungiku. Tanpa menunggu lama, kedua gadis cantik itu langsung bergegas ke tempat dimana Bu Indah dan ayah Adiba menunggu mereka.
Tok,,,Tok,,,Tok
"Assalamualaikum?" suara Adiba dan Aisyah bersamaan.
"Wa'alaikum salam, silahkan masuk." Jawab seorang perempuan dari dalam ruangan. Dengan sangat berhati-hati Adiba memegang handle pintu dan mendorongnya. Tampak Bu indah sedang duduk sedang seorang pria dihadapannya. Mata Adiba memicing, postur tubuh dan pundaknya yang lebar tidak seperti ayah. Berjalan menghampiri bu Indah lalu mencium punggung tangannya dengan sangat sopan diikuti oleh Aisyah yang masih tertunduk.
"Ada apa memanggil saya bu?" Bertanya dengan pandangan menatap lantai.
"Ada calon suamimu, katanya ingin menjemputmu pulang karna ada suatu hal penting" Ujar Bu Indah diiringi senyuman manis diwajahnya.
"Apa? Calon suami?" Suara Aisyah sukses membuatnya menjadi pusat perhatian, tersenyum kikuk kemudian kembali menunduk. Adiba terbelalak matanya menatap Bu Indah, kemudian mengikut pandangan menatap sip ria yang sejak tadi hanya duduk terdiam. Memindainya dari ujung kaki. Beberapa kali Adiba mengerjap guna mengembalikan ingatannya. Tetapi yang ditatap hanya memasang wajah datar, matanya menatap sebuah kaligrafi indah dan cantik yang menarik perhatian matanya sedari tadi.
Adiba terus menelaah wajah pria itu secara seksama mengingat-ngingat siapa dia. Tapi hasilnya nihil ia tidak mengenalnya sama sekali. Bahkan bayangan sang Ayah yang sedari tadi menjadi impiannya sirna begitu saja karna mendengar kata ‘Calon suami’. Aisyah tidak kalah terkerjut mendengar teman karibnya ini sudah mempunyai calon suami, bahkan mereka belum lulus sekolah. Aisyah ikut menatap pria itu meneliti, wajahnya berbinar-binar tersihir oleh ketampanan pria itu.
Wahhh, tampan sekali. Dari segi berpakaiannya, sepertinya dia bukan orang biasa. meski jauh lebih tua dari Adiba si hahahaha. Batin Aisyah
"Ekhemmm" Deheman seorang pria itu membuyarkan lamunan Adiba dan Aisyah
"Cie, udah punya calon suami to?"
menyenggol lengan Adiba yang masih menatap pria itu “Astagfirullah.” Menundukan pandangan setelah menatap Aisyah yang tersenyum.
"E-ehhh Hmm." Adiba gelagapan menjawab pertanyaan sahabatnya. Calon suami darimana? Aku bahkan tidak mengenal pria ini.
Aisyah dan Bu Indah saling melempar pandang sama-sama tersenyum melihat reaksi Adiba. Tak lama, Pria tersebut beranjak menatap Adiba secara intens dan beralih ke Bu Indah.
"Terima kasih sudah memberikan saya izin untuk membawanya, klo begitu saya permisi undur diri." Membalikan badan tanpa menoleh siapapun lagi. Adiba yang masih belum mengerti maksud kejadian barusan, dikagetkan lagi dengan suara Bu indah.
"Gih! ikuti calon suamimu, ibu sudah memberikan izin pulang kepadamu untuk beberapa hari sebelum ujian tiba.”
“Ingat ya Adiba, masih belum halal"
Nasehat Bu Indah kepada murid teladannya dengan wajah tersenyum-senyum.
"A-ah iya bu, terima kasih. Klo begitu saya juga pamit undur diri, Assalamualaikum" Meski bingung dengan maksud gurunya itu, tetapi ia langsung menunduk dan mencium tangan Bu indah diikuti dengan Aisyah
Adiba pergi meninggalkan ruangan tersebut dengan sejuta pertanyaan di fikirannya.
Adiba pergi
meninggalkan ruangan tersebut dengan sejuta pertanyaan di fikirannya.
Siapa dia?kenapa mengaku-ngaku sebagai calon suamiku? Jalankan calon suami aku bahkan tidak
mengenalnya. ehh sebentar dia mau membawaku kemana?
Menatap pundak
lebar yang sedari tadi memunggunginya.
aaaaaa jangan-jangan dia orang gila, tapi
dari wajah dan cara berpakaiannya tidak mungkind ia orang gila. Tidak mungkin ada Orang gila setampan dia,
kan?
Banyak
pertanyaan di benak Adiba, Ia berlari mengejar pria itu mengimbangi langkahnya
yang lebar, meninggalkan Aisyah yang masih berdiri ditempatnya.
Disana tampak
dua orang pria berpakaian sangat formal kemudian menghampirinya.
"Permisi tuan, maaf anda siapa? mengapa mengaku-ngaku sebagai calon suamiku?”
Menatap pria tadi dan langsung menunduk karena melihat tatapan tajamnya.
"Perkenalkan nona, beliau Tuan Muda Gibran."
Pria disampingnya memperkenalkan.
Ya, dia adalah
Gibran Adelard Wijaya, putra dari Mahendra Adelard Wijaya dan Alexa Adelard
Wijaya, Lulusan S3 di universitas yang sangat bergengsi di Inggris. Keluarga
Adelard Wijaya memiliki banyak perusaan di bidang Pertambangan emas dan minyak
dan puluhan anak perusahaan di bidang properti, perhotelan dan mall yang
tersebar berbagai belahan dunia.
Ayahnya
Mahendra Wijaya sudah meninggal 2 tahun silam. ia mewarisi semua aset keluarga
secara utuh atas nama Gibran. Awalnya Gibran menolak menerima kekayaan ayahnya
tersebut, dia ingin hidup mandiri dengan penghasilan atas kerja kerasnya
sendiri. Tetapi dengan sejuta rayuan dan drama sang mama akhirnya dengan berat
hati Gibran menerimanya.
"Tuan Muda Gibran?" Memberanikan
diri menelisik wajahnya.
"Kita langsung berangkat saja Vin."
Meraih tangan Adiba dan mengabaikan pertanyaannya, menariknya keluar menuju
tempat parkiran.
Mata Adiba
seakan mau keluar melihat tangannya disentuh. Refleks ia menepis tangan Gibran,
kulitnya yang telah bersentuhan dengan yang bukan mahram membuat Adiba merasa
bersalah.
"Kemana? tapi saya belum memberesken baju dan
buku-buku saya tuan."
Gibran menyorot
tajam, sifat gadis itu membuat wajahnya merah.Beraninya gadis ini menentang
hingga menepis tangannya. Banyak perempuan diluaran sana yang menginginkan
disentuh olen seorang Gibran Adelard Wijaya. Mereka melakukan banyak cara untuk
mendapat perhatiannya dan Gibran hanya menganggapnya angin berlalu. tetapi ini?
Gadis kecil yang cupu ini beraninya ia menolakku.
"Tidak perlu nona, kita hanya pergi sebentar. Semua orang sudah menunggu"
awab sekertaris Vino inisiatif ketika melihat
wajah tuan mudanya yang sudah merah menahan amarah karena sikap gadis itu.
Gibran kembali
meraih tangan Adiba dan mencengramnya dengan sangat kuat dan menariknya.
"Maaf tuan, tolong lepaskan tanganku. kita bukan mahram."
Lirih adiba
dengan mata yang sudah berkaca-kaca, cengkraman di tangannya terlalu kuat.
Mendengar
perkataan Adiba, Gibran langsung melepaskan cengkraman itu. Menatap gadi situ
tajam kemudian berlalu meninggalkan Adiba dan sekertaris Vino. Adiba
menggenggam lengannya. Lengan kecil nan putih itu kini sudah berubah menjadi
kemerahan.
"Silahkan nona, kita hanya akan mengantar anda"
sekertaris Vino
merentangkan tangan kanannya memberi pentunjuk jalan.
Adiba melangkah
menuju arah yang di tunjuk, diikuti dengan sekertaris Vino di sampingnya. Setiba
di parkiran, Gibran menunggu di depan pintu mobil sport mewah berwarna hitam
yang sudah terbuka.
"Masuklah" Menatap wajah adiba
sekilas lalu memalingkan pandangannya ka arah lain dengan wajah datarnya.
"Tapi anda mau membawa saya kemana?"
Tangan Adiba
menyangga pada pintu mobil masih tidak ingin masuk.
"Tidak usah banyak bertanya!" Menjawab
dengan wajah datar.
"Saya tidak akan masuk sebelum anda menjawab
pertanyaan saya!" Suara Adiba sedikit meninggi karna kesal pertanyaanya
tak kunjung dijawab.
"Orang tuamu meninggal, kita ditunggu
dipemakaman sekarang!"
Menjawab dengan suara tak kalah meninggi, Gibran tidak suka mendengar seseorang
menentang setiap ucapannya apalagi membentaknya.
"Apa?"
"Ayahmu meninggal, kita ditunggu
dipemakaman sekarang!"
Menjawab dengan suara tak kalah meninggi, Gibran tidak suka mendengar seseorang
menentang setiap ucapannya apalagi membentaknya.
"Apa?"
Dunia Adiba
seakan runtuh detik itu juga, wajah sang ayah langsung terbayang dikepalanya. Ia
memang melupakan satu hal tadi ketika
mendapat kabar ada yang menjemputnya. Awalnya Adiba mengira jika yang
menjemputnya adalah ayah. Tapi tunggu, apa tadi katanya, ayah meninggal? bagaimana
bisa? bagaimana aku akan menjalani hidupku tanpa satupun keluarga.
Ketika sang ibu
telah lebih lebih dulu, dan sekarang ayah. Harta terakhir paling berharga bagi
Adiba, kini juga akan meninggalkannya. Tidak? Siapapun, tolong katakan padaku
jika ini hanya lelucon kan?
Seketika tubuh
Adiba ambruk, kedua kakinya tidak sanggup lagi menopang berat tubuh dan
kenyataan pahit ini.
"Ayah! Hiks, hiks, hiks." Adiba
menangis histeris, menelungkupkan wajah cantik di kedua kakinya.
"Hiks, hikss, hikss Ayah. Kenapa ayah meninggalkanku? ayah sudah
berjanji tidak akan meninggalkanku seperti ibu meninggalkanku."
Parau Adiba
disela tangisannya, kesedihannya semakin pecah ketika ia teringat sang ibu yang
juga telah tega meninggalaknya. Bruk! Tubuh Adiba jatuh. Gibran menangkap tubuh
Adiba dan menggendongnya masuk kedalam mobil.
"Cepat jalan!"
Memerintah
dengan nada suara yang sangat tinggi. Sekertaris mengangguk kemudian menantap
gas.
Hati Gibran
bagai tersayat-sayat puluhan belati melihat dan mendengar langsung reaksi gadis
ini ketika mengetahui ayahnya meninggal. Reaksi gadis ini mengingatkanny apda
kisah dia dulu. Kisah dimana Gibran pernah mengalami hal sama seperti Adiba,
ditinggalkan orang terkasih. Masa kehilangan yang sama membuat Gibran ikut
bersedih ketika sang ayah meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Hatinya
begitu hancur, dunianya seakan runtuh. Tanpa disadarinya air bening menetes
diujung mata birunya, terjun dan mendarat bebas diwajah adiba yang kini ada
dipangkuannya.
Gibran mengepal
menyesal perbuatannya.
Flasback on
tampak sebuah
mobil sport mewah berwarna hitam sedang memecah keramaian kota.
Didalamnya ada
seseorang yang duduk dibelakang setir tengah fokus mengahadap jalan. Sesekali
ia melirik kaca spion melihat seseorang yang sedang duduk dibelakang dengan
tangal mengepal dan wajah yang sangat merah menahan emosi.
"Siapkan seluruh para pengawal dan anak buahku
untuk segera datang ke villa di jalan Xxx, aku tunggu dalam 10 menit. Jika terlambat sedetik saja aku habisi kalian
semua!" Tanpa mendengar jawaban dari seberang telpon, ia segera
mematikannya.
"Lebih cepat lagi atau kubunuh kau!"
Memerintah
dengan nafas yang sudah menggebu gebu menahan amarah
"Baik tuan muda" Sopir andalannya tersebut langsung menancap gas
memenuhi angka full di dasboardnya mematuhi perintah tuannya.
Setelah 10
menit akhirnya mobil tadi sudah tiba ditempat tujuan. Selama itulah ia bergelut
dengan menahan amarahnya sendiri. Gibran langsung keluar dengan mengambil
langkah lebar menuju villa yang dimaksud, sedang dua senjata api di tangannya.
Mata elang
Gibran menyapu bersih para pengawal yang sudah bersiap berbaris mengelilingi
villa dengan nafas terpongoh-pongoh, banyak pula para pengawal musuh yang sudah
babak belur karena pengawalnya.
Gibran semakin bergegas.
"Apa si penghianat itu masih disana Vin?” Menarik kerah baju sekertaris
Vino dan mendorongnya hingga terbentur gerbang besi.
"Ada tuan muda, nona Shella masih ada di dalam"
Shella Candrawinata
adalah tunangan Gibran. Gibran mendapat kabar dari sekertaris Vino jika kekasih
yang selalu ia rindukan selama 2 tahun ini bukanlah di LN menimba ilmu,
melainkan sedang berada dinegaranya sendiri disebuah villa. Bersama seornag
pria.
Betapa bodohnya
dia sama sekali tidak mengetahui kebenaran itu selama ini, selama di perjalanan
Gibran mengutuk dirinya sendiri.
"Awasi semua tempat, jangan biarkan ada yang
berani kabur dan bertindak tanpa seijinku!" Mata elang Gibran
menatap tajam sekertaris Vino, bergerak pada para pengawal yang tengah
tertunduk gemetar.
Tanpa menunggu
lama, Gibran melangkahkan kakinya kesebuah kamar diikuti dengan sekertaris Vino
dan beberapa para pengawal di belakangnya.
BRAK!!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!